Arka berdiri terpaku, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Istri yang ia cintai, yang selama ini ia percayai sepenuh hati, ternyata telah mengkhianatinya. Rasa sakit dan amarah sudah menggrogoti hatinya. Selama ini, ia pikir cinta Kiran hanya untuknya, tetapi kenyataannya semua itu salah. Arka tahu bahwa dirinya juga pernah khilaf dan mengkhianati Kiran, tetapi dia tak pernah menyangka bahwa Kiran akan membalasnya dengan cara yang sama. "Ada apa, Mas? Kenapa kamu terlihat begitu kesal?" Lita bertanya ketika melihat wajah suaminya ditekuk. "Bagaimana aku tidak kesal? Lihat ini sendiri!" Arka melemparkan foto-foto tersebut ke atas meja, seolah membuang seluruh rasa kecewanya di sana. Lita segera meraih foto-foto itu, ia terkejut saat melihatnya. Wajahnya tampak seperti diliputi rasa syok, meski sebenarnya ia sudah tahu apa yang akan ia lihat. "Ya Tuhan, Kiran … Ini … ini benar-benar Kiran, Mas?" "Aku benar-benar tidak habis pikir dengan dia! Bagaimana bisa
Bi Sri tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada Arka tentang bagaimana Maria bisa terjatuh dari tangga. Ia melihat sendiri pertengkaran Maria dengan anaknya. Meski begitu, wanita tua itu begitu khawatir tentang bagaimana situasi yang akan terjadi bila Arka tahu tentang kejadian yang sebenarnya. Arka pasti marah, bahkan mungkin mengusir Lita dari rumah. Bi Sri tak ingin hidup anaknya susah lagi seperti dulu. Ia mengingat bagaimana mereka begitu kesusahan. Suaminya telah meninggal, meninggalkan mereka dalam kondisi yang sangat susah. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kekurangan, tak punya tempat tinggal, apalagi makanan yang cukup. Jika bukan karena Aldo, yang membantu mereka, mungkin mereka masih hidup dalam kemiskinan hingga kini. "Bi, kenapa Bibi diam?" Arka mendesak Bi Sri agar segera menceritakan semua yang ia tahu. "Bibi tidak perlu takut, katakan saja yang sebenarnya." Arka berharap Bi Sri akan menceritakan semua kebenaran. Selama ini, yang ia tahu wanita itu selalu ju
Kiran menatap foto-foto itu dengan perasaan kacau balau. Seluruh tubuhnya gemetar saat ia melihat gambar dirinya tidur di samping seorang lelaki yang telanjang dada. 'Ini tidak mungkin. Aku tidak pernah melakukan ini. Ini pasti ulah Lita dan kakaknya, mereka bersekongkol untuk menghancurkan hidupku.' "Kenapa kamu hanya diam? Apa kamu tidak bisa menyangkalnya, Kiran? Apa kamu bahkan tidak punya penjelasan untuk ini?" Kiran berusaha mengumpulkan keberaniannya. Pandangannya menatap ke arah Arka lagi. "Mas … ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Ini semua … ini pasti ulah Lita yang ingin menjebakku!" "Aku sudah muak dengan semua kebohonganmu, Kiran! Foto-foto ini adalah bukti nyata dari pengkhianatanmu!" "Mas, aku bersumpah, aku tidak pernah melakukan apa yang terlihat di foto-foto ini!" Mata Kiran sudah berkaca-kaca, ia begitu bingung bagaimana caranya agar Arka bisa percaya padanya lagi. Tatapan Arka semakin dingin, rasa sakit di hatinya semakin dalam. "Kiran, aku sudah mencob
Kiran berharap apa yang didengarnya barusan hanyalah mimpi buruk. Kata-kata Arka telah menghancurkan seluruh harapan dan mimpi yang pernah mereka bangun bersama. Jantungnya terasa berhenti berdetak, dan napasnya tertahan di tenggorokan. Kiran tidak pernah menyangka, tidak pernah membayangkan bahwa Arka—lelaki yang ia cintai—akan menalaknya dengan begitu mudah, seakan semua yang telah mereka lalui tidak berarti apa-apa. Rasa sakit yang menghujam dadanya terasa begitu nyata, dan Kiran ingin meyakinkan dirinya bahwa semua ini tidak lebih dari sekadar mimpi buruk yang akan segera berakhir. Kiran menatap Arka, sorot matanya sudah berkaca-kaca. Ia berharap semua yang didengarnya itu tidaklah benar. "Apa yang kamu katakan ini tidaklah benar, kan, Mas? Kamu tidak mungkin menceraikan aku?" "Aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangga kita." Suara Arka begitu datar. Seolah-olah keputusan itu sudah lama ia pikirkan dan akhirnya ia ungkapkan tanpa beban. Mendengar kata-kata Arka, hat
Bi Sri menarik tangan Lita, membawa anaknya itu ke area rumah sakit yang lebih sepi. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong sempit yang tidak banyak dilalui orang. Setelah memastikan tidak ada orang lain yang mendengar, Bi Sri melepaskan cengkeramannya dan menatap tajam ke arah Lita. "Nak, kamu harus berhenti melakukan hal-hal seperti ini. Ibu mohon, jangan terus-terusan menghancurkan kehidupan orang lain. Ini sudah cukup, Nak. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Bi Sri berusaha menasehati Lita agar anaknya tidak melakukan hal-hal diluar kendalinya lagi. Namun, Lita hanya menatap ibunya dingin, ia bersedekap dada seolah menolak setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. "Jangan urusi aku, Bu. Sekarang Cintya pasti sudah tenang di alam sana, karena aku sudah membalas dendamnya. Semua ini kulakukan untuk dia." Mendengar kata-kata Lita, hati Bi Sri semakin hancur. Lita telah berubah menjadi seseorang yang keras dan tak kenal belas kasihan. Namun, ia tetap mencoba me
Arga menatap jendela ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Ia melihat pemandangan kota yang mulai gelap. Sudah hampir empat bulan ia berada di Surabaya, memimpin cabang baru perusahaan yang ditugaskan kepadanya. Meski begitu, rasa rindu kepada keluarga mulai menggelayuti hatinya. Arga pun memutuskan bahwa waktunya untuk pulang sudah tiba. Ketika Arga mendengar kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit, Arga pun begitu cemas. Rasa khawatir yang mendalam membuatnya ingin segera pulang ke Jakarta dan melihat kondisi ibunya secara langsung. Ia bahkan berencana untuk memajukan jadwal kepulangannya, tak peduli berapa banyak pekerjaan yang harus ditinggalkan. Namun, adiknya meyakinkan bahwa tidak perlu tergesa-gesa. Arka menyuruh agar Arga menyelesaikan dulu pekerjaannya. Meski begitu, kekhawatiran Arga tak kunjung hilang. Ia merasa waktu untuk pulang sudah tidak bisa ditunda lagi. Arga menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kegelisahan di dadanya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak
Diajeng Kirana Ardani, wanita yang kerap disapa Kiran itu segera berdiri dari lantai yang dingin ketika ia mendengar suara pintu kamar terbuka. Wanita yang berusia 27 tahun itu mengangkat pandangannya dari lantai, melihat ke arah suaminya, Arka, yang telah pulang kerja. “Mas, kamu sudah pulang?” “Malam ini banyak pekerjaan yang harus diurus. Jadi, aku baru sempat pulang sekarang,” jawab Arka sambil menaruh tas dan ponselnya di meja. Arkana Wirasena, anak kedua dari almarhum Wirasena itu bekerja sebagai seorang manajer proyek di sebuah perusahaan konstruksi besar. Tanggung jawabnya besar, mulai dari mengawasi pembangunan hingga memastikan segala sesuatu berjalan sesuai jadwal. Hari-harinya sering kali dihabiskan di lokasi proyek, yang membuatnya selalu pulang larut malam, bahkan kadang tak pulang ke rumah. “Mas, aku ingin bicara,” ujar Kiran, sambil mengangkat pandangannya, menatap ke arah Arka begitu gelisah. Arka yang sedang melepas kancing kemejanya, sejenak menghentikan
Tangannya sudah bergetar, tapi Kiran mencoba memberanikan diri untuk tetap membuka pesan tersebut. Untung saja, ponsel itu tidak terkunci, sehingga ia bisa membaca semua isi percakapan yang ada. Selama ini, Kiran memang tak pernah membuka ponsel suaminya karena ia percaya sepenuhnya pada Arka. Tapi kepercayaannya kini hancur berkeping-keping ketika ia melihat pesan tersebut.Tubuh Kiran bergetar hebat, dadanya terasa sesak, kakinya begitu rapuh dalam berpijak hingga ia jatuh ke lantai yang dingin. Semua pesan itu membuatnya begitu terpukul. Bagaimana tidak, kontak yang memiliki foto profil seorang anak kecil yang begitu mirip dengan suaminya itu menyita perhatiannya.“Siapa anak kecil ini? Kenapa dia begitu mirip dengan Mas Arka?”Hati Kiran berdenyut nyeri. Terlebih, Arka menyimpan nomor ponsel itu dengan panggilan ‘Ay.’ Kiran merasa dunia di sekitarnya runtuh. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, mengaburkan pandangannya. Setiap pesan yang terbaca seolah menambah beban di hatin