Share

Bab 2 : Kenyataan Pahit

Tangannya sudah bergetar, tapi Kiran mencoba memberanikan diri untuk tetap membuka pesan tersebut. Untung saja, ponsel itu tidak terkunci, sehingga ia bisa membaca semua isi percakapan yang ada. Selama ini, Kiran memang tak pernah membuka ponsel suaminya karena ia percaya sepenuhnya pada Arka. Tapi kepercayaannya kini hancur berkeping-keping ketika ia melihat pesan tersebut.

Tubuh Kiran bergetar hebat, dadanya terasa sesak, kakinya begitu rapuh dalam berpijak hingga ia jatuh ke lantai yang dingin. Semua pesan itu membuatnya begitu terpukul. Bagaimana tidak, kontak yang memiliki foto profil seorang anak kecil yang begitu mirip dengan suaminya itu menyita perhatiannya.

“Siapa anak kecil ini? Kenapa dia begitu mirip dengan Mas Arka?”

Hati Kiran berdenyut nyeri. Terlebih, Arka menyimpan nomor ponsel itu dengan panggilan ‘Ay.’ Kiran merasa dunia di sekitarnya runtuh. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, mengaburkan pandangannya. Setiap pesan yang terbaca seolah menambah beban di hatinya.

“Kiran!” Kiran terkesiap ketika Arka memanggilnya.

“Kiran, apa kamu mendengarku? Sabun di kamar mandi habis, bisa kamu ambilkan?!” Arka berteriak dari dalam kamar mandi.

Kiran yang mendengar itu langsung mengusap air matanya dengan kasar. Ia lalu meletakkan ponsel Arka di atas meja lagi. “Iya, sebentar,” jawabnya, suaranya terdengar begitu dingin.

Wanita itu segera beranjak, berjalan menuju lemari tempat penyimpanan sabun. Setelah berada di depan lemari, ia membuka lemari itu dan mengambil sabun cair, lalu menutup lemari itu lagi dan berjalan ke arah kamar mandi. “Ini sabunnya.”

Arka membuka pintu sedikit, lalu meraih sabun yang ada di tangan Kiran. “Terima kasih.”

Setelah Arka menutup pintu lagi, Kiran menyandarkan tubuhnya di tembok. Ia masih memikirkan siapa orang yang mengirim pesan tersebut kepada suaminya. Kiran tak pernah membayangkan bila suaminya itu berselingkuh di belakangnya, terlebih selama ini Kiran selalu percaya kepada suaminya.

Sepuluh menit telah berlalu. Arka keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambut basahnya menggunakan handuk. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu masih berdiri di situ?” tanya Arka ketika melihat Kiran hanya terdiam sambil bersandar di tembok.

Kiran tak menjawab, ia hanya memperhatikan suaminya yang berjalan ke arah meja. Tiba-tiba suara panggilan dari ponsel Arka terdengar. Arka segera mengambil ponselnya, ia terkesiap ketika tahu siapa yang menghubunginya. “Aku angkat telepon dulu,” kata Arka sambil menoleh ke arah Kiran.

“Kenapa tidak mengangkatnya di sini saja, Mas?” usul Kiran, ketika melihat suaminya hendak pergi.

Arka menoleh sejenak ke arah ponsel itu, lalu ia pun menganggukkan kepalanya. “Baiklah.”

Arka pun mengangkat panggilan telepon tersebut. “Halo.”

“Mas, Cleo sedang demam, kamu harus ke sini sekarang juga.” Suara wanita di seberang telepon terdengar cemas.

“Oh, baiklah, aku akan ke sana sekarang.”

Setelah berkata seperti itu, Arka langsung mematikan sambungan teleponnya.

“Siapa yang menelepon, Mas?” selidik Kiran sambil menatap suaminya tajam.

“Tiba-tiba ada urusan di kantor,” jawab Arka.

“Tapi kamu baru pulang ke rumah, apa kamu akan pergi lagi?”

“Ya, urusannya mendadak, tidak bisa dibatalkan,” kata Arka sembari mengambil jaket dan kunci mobilnya dari gantungan.

Kiran memandang suaminya dengan tatapan penuh curiga. “Apa urusan kantor yang mendadak itu, Mas? Kenapa terdengar begitu mendesak?”

Arka terdiam sejenak, ia mencari kata-kata yang tepat agar istrinya tak curiga. “Ada masalah penting yang harus segera diselesaikan. Aku harus menemui klien yang sedang mengalami situasi darurat. Ini tidak bisa ditunda.”

Kiran hanya mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi oleh keraguan. “Baiklah, hati-hati di jalan, Mas.”

Arka mengangguk, sebelum pergi, ia mengecup singkat kening Kiran terlebih dahulu. “Aku pergi dulu. Kamu jangan begadang terus, tidak baik untuk kesehatanmu.”

Setelah Arka pergi dari hadapannya, Kiran kembali merasakan sesak di dadanya. “Kamu sudah berani berbohong kepadaku, Mas.”

Kiran segera berjalan ke arah nakas untuk mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di laci nakas. Wanita itu berencana untuk mengikuti ke mana suaminya akan pergi.

Setelah ia berhasil mendapatkan kunci mobilnya, Kiran segera berlari mengejar suaminya yang sudah pergi terlebih dulu, tepat ketika sudah di depan mobil, Kiran langsung memasuki mobil. Tangannya bergetar ketika menyalakan mesin mobil, ia mengintip keluar jendela untuk memastikan bahwa Arka sudah cukup jauh di depan. Perlahan, ia mengikuti mobil suaminya dari belakang, dan berusaha menjaga jarak agar tidak ketahuan.

Selama perjalanan, perasaan Kiran begitu gelisah. Ia berharap apa yang ada dipikirannya itu tidaklah benar. Namun, keraguan dan kecurigaan terus menghantui pikirannya. Air mata kembali mengalir di pipinya saat ia membayangkan kemungkinan terburuk.

“Mas, aku hanya berharap kamu tidak mengkhianatiku.” Kiran mengusap air matanya yang terus mengalir, ia kembali fokus mengendarai mobilnya lagi.

Hatinya berdebar kencang saat melihat Arka berbelok ke jalan yang tak biasa mereka lewati. Kiran mencoba tetap tenang dan fokus, mengikuti setiap gerakan mobil suaminya dengan hati-hati. Ia berharap ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Namun, ketika Arka berhenti di depan sebuah rumah yang asing baginya, Kiran merasa nyeri yang mendalam di hatinya. Ia melihat seorang wanita keluar dari rumah tersebut, sambil menggendong seorang anak kecil yang tampak sakit.

Kiran melihat suaminya, Arka, keluar dari mobil dan segera menghampiri mereka. Wanita itu mencengkram setir mobil begitu erat ketika menyaksikan suaminya berbicara dengan wanita lain begitu akrab. “Siapa wanita itu? Kenapa mereka terlihat begitu dekat?”

Ketika Arka mengambil anak kecil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah, Kiran merasa seluruh dunianya runtuh. Air mata tak terbendung lagi. Kenyataan pahit ini begitu menghancurkan hatinya. Semua harapan dan kepercayaannya pada Arka seakan musnah dalam sekejap.

Kiran memberanikan diri untuk keluar dari mobil. Ia hanya ingin memastikan apa yang sebenarnya suaminya lakukan di dalam sana. Setibanya di depan pintu rumah, Kiran mulai menguping pembicaraan mereka.

“Kenapa tubuh Cleo panas sekali?” tanya Arka, yang terlihat begitu khawatir.

“Aku juga tidak tahu, Mas. Aku sudah membeli obat dari apotek, tapi suhu panasnya belum turun juga. Apa sebaiknya kita bawa Cleo ke rumah sakit saja? Aku takut terjadi apa-apa sama Cleo.”

“Baiklah, kita ke rumah sakit sekarang. Kamu siap-siap dulu.”

“Baik, Mas.”

Arka meletakkan anak kecil itu di atas sofa. Ia mengelus wajah anak kecil yang masih berumur sekitar satu tahun itu. “Ada apa dengan anak papa ini? Kenapa suhu tubuhmu panas sekali, hm?”

Deg!

Jantung Kiran terasa diremas hebat ketika mendengar perkataan Arka. Air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia tak menyangka semua ini akan terjadi padanya. Kiran begitu terpukul mendengar kenyataan ini, ia merasa begitu rapuh dan hancur secara bersamaan.

“Apa yang aku dengar tadi?” Kiran bertanya dalam kebingungan, ia melangkah mundur. Namun, kakinya tak sengaja menjatuhkan pot yang ada di lantai.

Praakk!

“Mas, suara apa itu?” tanya wanita yang ada di dalam rumah.

“Aku juga tidak tahu, mungkin kucing,” ujar Arka. Ia berdiri dan berjalan ke arah luar, diikuti oleh wanita yang ada di belakangnya.

Ketika pintu berhasil dibuka, Arka terkejut ketika melihat Kiran yang ada di sana. “Kiran ….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status