Share

Bab 4 : Penyesalan Maria

Kiran berhenti di depan Arka, sambil mengangkat balok itu sedikit, dan menatap Arka dengan intens. “Kamu bilang tagihan-tagihan itu yang membuatmu pusing, kan? Aku akan membuat semuanya lebih mudah untukmu. Kamu tidak perlu memikirkan apa pun lagi.”

Arka mundur satu langkah, matanya melebar ketakutan saat melihat Kiran sudah mengangkat balok itu ke arahnya. “Kiran, tenang. Tidak perlu sampai seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik.”

Kiran tak mendengarkan perkataan Arka, ia tetap mengangkat balok tersebut, dan melayangkannya ke arah Arka. Arka segera menghindar sambil memejamkan matanya, lelaki itu terlihat begitu takut.

Crashh!

Namun, ternyata Kiran memukul mobil suaminya. Suara kaca yang pecah menggema di malam yang dingin. Kiran meluapkan semua rasa sakit hatinya dengan terus memukul mobil Arka.

“Kiran!” Arka berteriak, ia terkejut dan panik ketika Kiran merusak mobil barunya. “Hentikan, apa yang kamu lakukan!”

Kiran tidak menggubris teriakan suaminya, ia terus memukul mobil Arka menggunakan balok yang ada di tangannya, sampai kaca mobil Arka sudah retak bahkan sudah hancur.

Tangan Kiran sudah mengeluarkan darah segar. Tanpa ia sadari, kedua tangannya tergores paku yang menancap pada balok tersebut, tetapi Kiran tak menyadari atau mungkin tidak peduli dengan lukanya. Luka pada hatinya begitu menyakitkan sehingga luka pada tangannya itu terasa sepele.

Arka mencoba mendekat, ia memeluk istrinya dari belakang untuk menghentikan amukannya. “Kiran, hentikan! Kamu akan melukai dirimu sendiri!”

“Lepasin, Mas, lepasin aku. Kamu pikir ini akan membuatku merasa lebih baik? Tidak, Arka!” jerit Kiran, sambil terus mencoba melepaskan diri dari dekapan Arka.

“Kiran, hentikan!” Arka yang begitu panik karena Kiran tak bisa diam, tiba-tiba ia melayangkan tangannya ke wajah Kiran.

Plak!

Tubuh Kiran tertoleh ke samping, air matanya kembali luruh bersamaan dengan rasa sakit hatinya yang bertambah.

Kiran mengusap pipi bekas tamparan Arka dengan kasar, ia lalu menatap suaminya penuh kebencian. Ini adalah kali pertamanya Arka menampar dirinya dan rasa sakit itu menembus hingga ke lubuk hatinya yang terdalam. “Kamu sudah berani menampar aku, Mas.”

Tangan Arka bergetar ketika ia menyadari kesalahan karena telah menampar istrinya. “Kiran, maaf. Aku tidak sengaja.”

“Kata maafmu sudah basi, Mas,” ujar Kiran dengan suara bergetar. “Aku ingin kita bercerai.”

Deg!

Jantung Arka berhenti berdetak, ia menggelengkan kepalanya ketika mendengar beberapa kata yang keluar dari mulut istrinya. “Tidak, Kiran. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Aku masih sangat mencintaimu, Kiran.”

“Cinta? Haa … kamu bilang kamu masih mencintaiku? Makan tuh cinta!” hardik Kiran sambil melempar balok ke arah Arka.

Arka menghindari lemparan balok tersebut, lelaki itu mencoba meraih lengan Kiran, tapi Kiran segera menepisnya. “Jangan sentuh aku! Aku jijik disentuh sama lelaki seperti kamu. Mulai sekarang, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!”

Setelah berkata seperti itu, Kiran langsung berbalik dan pergi meninggalkan Arka yang masih mematung.

“Kiran …!” Arka berteriak memanggil istrinya yang sudah berlalu dari hadapannya, tapi wanita itu tak mendengarkannya.

Kiran berjalan menuju mobil. Tangannya yang terluka tanpa disadari terus meneteskan darah segar, meninggalkan jejak merah di sepanjang jalan. Sesampainya di mobil, ia membuka pintu dengan kasar dan masuk ke dalam. Wanita itu mencengkeram setir mobil dengan erat, tak peduli seberapa banyak darah segar yang terus mengalir dari tangannya.

“Aarghh …!”

Bugh!

Kiran berteriak sambil memukul setir mobil, meluapkan semua rasa sakit dan kemarahannya. Ia tidak peduli dengan luka fisik yang ia alami, karena luka di hatinya jauh lebih menyakitkan.

***

Ting! Tong! Ting! Tong!

“Iya, sebentar.”

Maria segera bergegas menuju pintu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi. Tangannya terulur meraih gagang pintu, dan saat pintu terbuka tanpa bunyi, ia terkesiap ketika melihat Kiran, menantunya, berdiri di depan pintu dengan penampilan yang acak-acakan.

“Kiran, kamu kenapa, Sayang?” Sepasang mata Maria langsung melihat ke arah darah yang menetes di lantai yang berasal dari tangan Kiran. “Ya Tuhan, tangan kamu berdarah! Masuklah, mama akan obati lukamu.”

Kiran hanya terdiam, tatapannya kosong dan air mata terus mengalir di pipinya. Maria segera membimbingnya masuk ke dalam rumah dan menuntunnya ke sofa. “Duduklah di sini, mama akan ambilkan kotak P3K,” kata Maria yang sudah begitu cemas.

Beberapa saat kemudian, Maria telah kembali dengan membawa kotak P3K di tangannya, ia segera duduk di samping Kiran, dan mulai mengobati luka tersebut. “Apa yang terjadi, Sayang? Kenapa tanganmu bisa terluka seperti ini? Apa kamu bertengkar lagi dengan Arka?”

Kiran menatap Maria dengan mata yang berkaca-kaca. “Mas Arka, Ma ... dia sudah berselingkuh,” katanya dengan suara bergetar. “Dia sudah memiliki anak dengan perempuan lain.”

Deg!

Pengakuan Kiran jelas membuat Maria terkejut. Ia tak pernah menyangka bila putranya, Arka, telah mengkhianati Kiran. “Apa? Apa kamu yakin, Kiran?”

Kiran hanya mengangguk, ia sudah tak mampu untuk mengeluarkan suara lagi, hanya air mata yang berbicara. Hatinya hancur berkeping-keping, seolah dunianya telah berakhir.

Beberapa saat kemudian, suara derap langkah kaki terdengar mendekat. Arka yang sedari tadi membuntuti ke mana Kiran pergi akhirnya tiba di rumah ibunya. Dia hanya khawatir Kiran akan melakukan sesuatu yang di luar kendalinya.

“Kiran.” seru Arka dari ambang pintu, lelaki itu melihat istrinya yang tengah duduk bersama ibunya.

Maria langsung berdiri ketika ia melihat Arka yang sudah berada di hadapannya. “Arka, jelaskan sama mama, apa yang dibilang Kiran itu benar?”

Arka terdiam, ia menundukkan pandangannya, rasa bersalah kini sudah menggerogoti hatinya. Pikiran dan hatinya kacau balau, tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terlanjur diperbuatnya.

“Arka, ayo jawab mama! Kenapa kamu hanya diam?” desak Maria dengan suara bergetar antara marah dan sedih.

“Maaf, Ma ...” Arka akhirnya membuka mulut, suaranya hampir seperti berbisik. Napasnya terasa begitu berat untuk dihela. “Semua itu memang benar.”

Maria merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Tanpa bisa menahan amarah dan rasa kecewanya, Maria langsung melayangkan tangannya, menampar wajah Arka dengan keras.

Plak!

“Bagaimana bisa kamu melakukan ini, Arka?” hardik Maria sambil menatap putranya dengan tajam. “Apa kamu tidak memikirkan perasaan Kiran? Bagaimana bisa kamu mengkhianati dia?!”

Arka hanya bisa menunduk, menahan rasa sakit di pipinya yang masih terasa panas. “Ma, aku tahu aku salah. Aku benar-benar menyesal.”

“Menyesal?!” Maria hampir berteriak. “Kamu pikir kata-kata maaf dan penyesalanmu bisa memperbaiki semua ini? Kiran telah memberikan segalanya untukmu, dan inilah cara kamu membalasnya? Apa kamu tidak punya hati?!”

Maria mengingat selama ini menantunya, Kiran, selalu ada untuk anaknya, Arka. Bahkan ketika Arka berada di bawah, saat masa-masa sulit yang hampir membuatnya menyerah, Kiran selalu ada, memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat. Kiran membantu Arka melewati masa-masa sulit, menopang beban bersama, dan tidak pernah mengeluh. Tapi sekarang, mengetahui bahwa anaknya telah mengkhianati wanita sebaik dan setulus Kiran, membuat Maria merasa sangat marah dan kecewa. Ia tidak pernah membayangkan Arka bisa begitu kejam dan tidak berperasaan.

Tubuh Maria begitu lemas, kakinya terasa rapuh seperti tak bertulang. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di bibir sofa, wajahnya terlihat begitu letih dan penuh penyesalan. Air mata mengalir tanpa henti dari matanya yang sudah merah. “Kenapa bisa begini, Tuhan? Aku menyesal telah membesarkan anak seperti Arka. Anak yang selama ini kukira baik dan bertanggung jawab ternyata bisa melakukan hal sekejam ini.”

Arka hanya tertunduk lesu mendengar perkataan ibunya. Suasana di rumah itu begitu hening, hanya terdengar suara isak tangis dari Kiran dan desahan napas berat dari Maria.

Tiba-tiba, pintu depan terbuka, seorang pria tampan dengan setelan jas hitam masuk ke dalam rumah. Pria itu adalah Arga Satya Wirasena, anak pertama Maria dan almarhum suaminya, Wirasena, yang baru saja pulang kerja setelah lembur di kantor.

Arga memasuki rumahnya, tapi tiba-tiba berhenti ketika melihat keluarganya dalam keadaan kacau. “Ada apa ini? Ma, kenapa Mama menangis?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status