Share

Bab 5 : Ingin Berpisah

“Arga, adikmu ... adikmu, Arka ...” Maria tidak bisa melanjutkan kalimatnya, suaranya seakan tersendat di kerongkongan.

Arga segera mendekati ibunya, sepasang tangannya terulur menyentuh bahu ibunya yang bergetar hebat. “Ma, tenang dulu. Tolong jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?”

Maria mencoba mengangkat wajahnya lagi, menatap ke arah putra sulungnya, Arga, yang sudah ada di hadapannya. “Adikmu, Arka, dia sudah mengkhianati Kiran, dia sudah memiliki anak dengan perempuan lain.”

Deg!

Mata Arga melebar mendengar pengakuan ibunya. “Apa?” Arga segera menoleh ke arah Arka yang masih berdiri di belakangnya. “Arka, apa yang dikatakan Mama itu benar?”

Arka mengangguk perlahan, menatap kakaknya yang sudah menatapnya dengan nyalang. “Iya, aku ... aku telah membuat kesalahan besar.”

Arga merasa darahnya mendidih mendengar pengakuan adiknya. Ia tidak percaya bahwa Arka, yang selama ini ia anggap sebagai pria yang bertanggung jawab, bisa melakukan hal sekeji ini. Ia begitu sangat kecewa kepada adiknya itu. “Brengsek!” umpat Arga dalam emosi yang meluap-luap.

Bugh!

Arga melemparkan tinjunya ke wajah Arka, membuat adiknya itu terhuyung ke belakang. “Bisa-bisanya kamu mengkhianati Kiran, apa yang ada dalam otakmu ini, hah?” sergah Arga, yang terus mendaratkan tinju di wajah Arka sambil memakinya. “Kiran selalu ada untukmu, dan kamu membalasnya dengan cara seperti ini?”

Bugh!

Arga mendaratkan pukulannya lagi tepat di wajah Arka. Setiap pukulan yang dilayangkan Arga, menggambarkan kekecewaan yang mendalam. Arka sudah terkulai lemas di teras, darah mengalir dari sudut bibirnya, namun Arga terus saja tak berhenti memukulnya.

Maria dan Kiran terkesiap ketika melihat Arga yang terus memukul Arka. Maria, yang sudah tidak tahan melihat kekerasan itu, berteriak, “Arga, hentikan!”

“Aku minta maaf, aku tahu aku salah. Aku menyesal. Aku hanya ingin memperbaikinya,” ujar Arka sambil meringis menahan sakit.

Arga tidak mendengarkan, ia masih terus melayangkan tinjunya ke wajah Arka.

Bugh!

“Kamu pikir dengan meminta maaf semuanya akan selesai? Kamu pikir dengan mengatakan kamu menyesal akan memperbaiki semuanya? Kamu sudah menghancurkan hati Kiran!”

Bugh!

Arga terus meninju, sambil menendang perut adiknya dengan keras. Entah sudah berapa banyak pukulan yang mendarat di tubuh Arka, tapi lelaki itu terus saja memukul adiknya secara membabi buta.

“Arga, hentikan!” teriak Maria sekali lagi, kali ini suaranya lebih keras.

Arga akhirnya berhenti, napasnya tersengal-sengal, matanya masih menyala dengan kemarahan. Ia melihat Arka yang sudah tak berdaya di lantai, tubuhnya gemetar karena emosi yang masih belum reda.

“Ma, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi,” ujar Arga sambil menahan emosinya, ia lalu menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku tidak bisa menerima apa yang telah dia lakukan.”

Maria mendekati kedua putranya. “Arga, kita semua kecewa dan marah, tapi kekerasan tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita harus mencari jalan keluar yang lebih baik.”

Kiran yang duduk di sofa hanya bisa terdiam, hatinya hancur melihat keluarga yang ia sayangi berantakan seperti ini.

Arga menatap Kiran yang sedari tadi hanya terdiam. “Kiran, aku minta maaf. Aku tidak tahu mengapa aku memiliki adik sebodoh dia.” Tunjuk Arga ke arah Arka.

Kiran hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada Arka yang terkulai lemas di lantai. “Aku hanya ingin semuanya berakhir. Aku tidak bisa lagi bersama Arka setelah semua yang dia lakukan.”

Maria menatap Kiran, hatinya berdenyut nyeri ketika mendengar Kiran ingin mengakhiri semua ini. Selama ini, Maria begitu menyayangi Kiran, ia sudah menganggap Kiran sebagai anaknya sendiri. Melihat Kiran dalam keadaan seperti ini membuat hatinya hancur.

Maria berjalan mendekati Kiran, setelah tepat di hadapan Kiran, Maria menggenggam tangan menantunya itu dengan erat. Wanita paruh baya itu memandangi wajah lusuh Kiran, wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menawan, kini hanya dipenuhi oleh isak tangis.

“Maafkan mama, Sayang,” ujar Maria dengan suara gemetar. “Mama tidak bisa menjadi ibu yang baik. Mama sudah gagal menjadi seorang ibu. Mama tidak tahu mengapa mama bisa melahirkan anak semacam Arka. Mama sungguh berdosa kepadamu, Kiran.”

Satu tetes air mata jatuh kembali, menggelinding di pipi Kiran meninggalkan jejak yang begitu terasa menyakitkan. Kiran menatap Maria, ia bisa melihat rasa bersalah yang begitu mendalam di mata ibu mertuanya. “Ma, ini bukan salah Mama. Arka yang membuat pilihan buruk. Mama tidak bisa disalahkan untuk itu.”

“Tidak, Kiran,” Maria menggelengkan kepalanya, air mata terus mengalir deras di pipinya. “Sebagai seorang ibu, Mama merasa gagal. Mama tidak bisa mendidik Arka dengan baik. Mama tidak bisa memberikan nilai-nilai yang benar padanya. Dan sekarang, kamu yang harus menanggung akibatnya.”

Kiran menggenggam tangan Maria dengan erat, mencoba memberikan kekuatan kepada ibu mertuanya yang sedang dilanda rasa bersalah. “Mama, Mama sudah melakukan yang terbaik. Ini bukan salah Mama.”

Maria menghapus air mata yang masih tersisa di wajah Kiran. “Kiran, kamu terlalu baik,” gumam Maria, suaranya terdengar begitu pedih. “Kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini. Mama berjanji akan selalu mendukungmu, apa pun keputusanmu.”

Kiran menunduk, air mata kembali mengalir di pipinya. Hatinya terasa seperti diremas-remas, setiap kenangan indah bersama Arka kini berubah menjadi luka yang mendalam. Kepercayaannya telah dikhianati, dan hatinya hancur berkeping-keping. Selama ini, dia selalu ada untuk Arka, mendukungnya di setiap langkah, tetapi balasan yang ia terima begitu menyakitkan.

Maria yang melihat Kiran menangis seperti itu hanya bisa membawa menantu kesayangannya itu ke dalam pelukannya. Ia memeluk Kiran begitu erat, sambil terus mengelus rambut Kiran. “Sayang, kamu tidak sendiri. Mama di sini untukmu, mama selalu menyayangimu,” bisik Maria sambil mencoba menenangkan hati Kiran yang penuh dengan rasa sakit.

Kiran membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Maria. Meski air mata masih terus mengalir, pelukan hangat Maria memberikan sedikit rasa nyaman di tengah badai emosional yang sedang ia alami.

***

Malam ini, Kiran mencoba untuk menutup matanya, tetapi bayang-bayang pengkhianatan suaminya terus berputar di memorinya. Ia sudah mencoba untuk tidur, tetapi hanya tangis yang keluar dari sudut matanya. Kiran memutuskan untuk tinggal di rumah mertuanya daripada ikut bersama suaminya, Arka. Rasanya lebih aman dan lebih tenang meskipun hatinya masih terasa sakit.

Mata Kiran terbuka lebar dalam gelap. Ia bangun, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu perlahan turun dari tempat tidur. Kakinya menapak di lantai yang dingin, tetapi rasa dingin itu tidak bisa mengalahkan dinginnya perasaan di hatinya. Ia segera berjalan ke arah kamar mandi.

Setelah sampai di kamar mandi, Kiran membuka keran dan mulai mengisi bathtub dengan air hangat. Suara air yang mengalir memenuhi ruangan yang sunyi. Setelah air mulai mengisi bathtub tersebut, Kiran merendamkan tubuhnya di dalam bathtub. Ia menutup mata, menenggelamkan tubuhnya di bawah permukaan air, berharap bisa meredam rasa sakit yang begitu mendalam.

Keesokan paginya, Maria membawa segelas susu hangat ke kamar Kiran. Ia mengetuk pintu kamar Kiran, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya, Maria membuka pintu. Setelah pintu terbuka, ia tidak melihat Kiran di kamar tersebut.

“Kiran, kamu di mana, Sayang?” tanya Maria dengan cemas. Ia meletakkan segelas susu di meja dan berjalan ke arah kamar mandi.

“Kiran, apa kamu sedang mandi?” Suaranya semakin cemas. Ketika Maria membuka pintu kamar mandi, ia terkesiap melihat Kiran yang menenggelamkan tubuhnya di bathtub.

“Astagfirullahaladzim, Kiran!” Maria berlari ke arah bathtub dan dengan panik menarik tubuh Kiran keluar dari air.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status