"Ya Allah, Kiran, bangun, Sayang. Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu melakukan ini semua?"
Maria begitu panik ketika melihat Kiran menenggelamkan tubuhnya di bathtub. Ia pun mencoba menarik tubuh Kiran agar keluar dari air. "Arga! Arga, cepat kemari!" "Ada apa, Ma?" Arga bertanya ketika sudah berada di dekat Maria. "Tolong bantu mama angkat Kiran!" Arga melihat ke arah Kiran yang masih berada di bathtub. "Kiran kenapa, Ma?" "Kiran tidak sadarkan diri, Arga. Cepat, angkat dia!" Arga yang ikut panik segera mengangkat tubuh Kiran dengan hati-hati agar ia tak terpleset oleh lantai yang licin. Arga meletakkan tubuh Kiran di atas kasur yang empuk, sambil merapikan rambut basahnya yang masih berantakan. "Kiran, bangunlah!" Arga sudah mencoba menepuk wajah Kiran dengan pelan, tapi Kiran tak kunjung bangun. Melihat wajah Kiran yang pucat pasi, Arga menjadi begitu khawatir. Ia takut terjadi apa-apa dengan adik iparnya itu, terlebih Kiran sedang hamil. "Arga, cepat panggil Dokter! Mama akan mengganti pakaian Kiran dulu," perintah Maria, ketika ia melihat Kiran tak kunjung membuka matanya. "Baik, Ma." Arga mengangguk dan segera keluar dari kamar. Arga bergegas menuju ruang tamu dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dengan tangan gemetar, ia menghubungi nomor dokter keluarga mereka. "Dokter, tolong cepat datang ke rumah Mama. Kiran, tidak sadarkan diri." "Baiklah, saya ke sana sekarang juga!" jawab Dokter dari ujung telepon. "Bagaimana, Ga? Dokternya sudah dihubungi?" tanya Maria ketika melihat putranya, Arga, sudah kembali. "Sudah, Ma. Dokter bilang akan segera ke sini," jawab Arga sambil duduk di tepi kasur. "Sayang, ayo bangunlah." Maria mengoleskan minyak angin ke tangan Kiran, hidung, dan juga kaki, tapi Kiran tak kunjung bangun. Arga yang melihat itu menjadi kesal sendiri, ia bukan kesal kepada Kiran, melainkan kepada adiknya, Arka. Andai saja Arka tidak selingkuh, mungkin Kiran akan baik-baik saja, pikirnya. 15 menit kemudian Dokter sudah datang, ia pun segera memeriksa Kiran. "Dia masih bernapas, tapi sangat lemah. Sepertinya dia mengalami hipotermia ringan karena terlalu lama di dalam air dingin," kata dokter sambil memeriksa nadi Kiran. "Kita perlu memindahkannya ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut." "Baik, Dok. Tolong lakukan apa saja yang diperlukan," kata Maria. *** "Bagaimana dengan Cleo? Apa dia baik-baik saja?" Arka begitu cemas dengan keadaan putranya. Pasalnya, tadi malam ketika Maria menyuruh untuk pulang, tiba-tiba Lita menghubungi lagi bahwa Cleo demamnya bertambah parah. Arka pun semakin cemas dan khawatir takut terjadi apa-apa dengan anaknya itu. Akhirnya, ia pun langsung menemui Lita kembali dan membawa anak mereka ke rumah sakit. "Kata dokter, Cleo mengalami infeksi saluran pernapasan," jawab Lita dengan suara lemah. "Dokter bilang dia perlu dirawat beberapa hari untuk memastikan kondisinya stabil. Aku sangat khawatir, Mas." Arka menghela napas gusar, ia segera duduk di samping Lita. Entah mengapa semenjak istrinya, Kiran, mengetahui hubungannya bersama Lita, Arka menjadi tak tenang. Ia selalu gelisah tak menentu. Selama ini, Arka terpaksa mengkhianati Kiran, terlebih setelah malam yang ia habiskan bersama Lita sampai memiliki anak. Sesungguhnya, Arka tak mau mengkhianati Kiran, tapi karena rasa kasihan dan tanggung jawabnya kepada Lita, ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Lita memandang suaminya yang terlihat gusar. "Mas, kamu kenapa?" "Tidak apa-apa." "Apa kamu masih memikirkan Kira?" Arka menghela napas begitu berat. Tentu saja ia masih memikirkan Kiran, entah apa yang dilakukan Kiran saat ini. Arka ingin sekali menemui istrinya itu, tapi ia tahu saat ini Kiran pasti enggan untuk bertemu dengannya. "Dia tidak ingin menemuiku lagi." "Mas, kamu harus tenang." Lita meraih tangan Arka, menggenggamnya dengan erat, seakan ingin memberi kekuatan pada suaminya itu. "Mungkin Kiran butuh waktu untuk semua ini, Mas." Arka benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia mencintai Kiran, tapi dia juga merasa bertanggung jawab pada Lita dan Cleo. Semua ini begitu rumit baginya. Ia hanya berharap suatu saat nanti Kiran akan memaafkan semua kesalahannya. Arka hanya bisa menundukkan kepala, ia merasa beban di pundaknya semakin bertambah. "Aku takut Kiran tidak akan pernah memaafkanku. Aku telah menyakitinya begitu dalam. Setiap kali aku melihatnya, rasa bersalah itu selalu menghantuiku." "Mas, percayalah, semua orang pasti pernah memiliki kesalahan. Kita semua membuat kesalahan. Tapi kita harus mencoba memperbaikinya. Aku percaya kalau Kiran pada akhirnya akan mengerti." Lita berusaha meyakinkan Arka, meski ia sendiri tidak yakin. Arka mengangguk lemah. "Aku harap kamu benar, Lita. Aku harap Kiran bisa memaafkan aku." "Iya, Mas. Aku berharap juga seperti itu." "Arka, sedang ngapain kamu di sini?" Suara bariton Arga mengagetkan Lita dan juga Arka. Mereka berdua melihat ke arah datangnya Arga. "Kak?" Arga yang kebetulan ada di rumah sakit yang sama dengan adiknya, Arka, tak sengaja melihat Arka bersama wanita lain. "Siapa wanita itu?" selidiknya sambil menatap Lita yang ada di samping Arka. Arka dan Lita langsung berdiri. "Kak, kamu ada di sini?" tanya Arka yang heran dengan kehadiran kakaknya yang tiba-tiba. "Jangan mengalihkan pertanyaanku?!" sergah Arga, sambil menatap Arka dengan tatapan nyalang."K-Kami sedang ... menemani Cleo yang sedang sakit," jawab Arka gugup. Ia berusaha tetap tenang meski tatapan Arga begitu nyalang padanya. "Huh, jadi dia wanita selingkuhan kamu?" Arga menatap ke arah Lita yang ada di sebelah adiknya. Lita merasa tersudut, tubuhnya sudah bergetar, wanita yang mengenakan kemeja putih itu merasa gugup ketika Arga menatapnya begitu tajam seakan ingin menelannya hidup-hidup, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Saya Lita, Kak Arga. Saya ... ibu dari Cleo." "Jadi benar, kamu selingkuh dengan dia, Arka?" selidik Arga mengangkat tagannya, menunjuk ke arah Lita. "Apa kamu sudah gila?" "Kak, tolong jangan buat keributan di sini. Cleo sedang sakit, dia butuh ketenangan." Arka berusaha menenangkan situasi di mana kakaknya sudah tersulut emosi. "Aku tidak peduli!" Arga membentak. "Kamu sudah menghancurkan pernikahanmu sendiri, kamu mengkhianati Kiran! Apa kamu tidak punya rasa malu sedikit pun?" "Aku tahu, Kak. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan b
Maria baru tiba di depan ruang tempat Kiran dirawat dan langsung melihat ke arah Arga yang tampak sangat khawatir. Dia segera menghampiri putranya itu. "Ada apa, Arga?" tanya Maria begitu berada di hadapan anak sulungnya. "Ma, Kiran tidak ada di kamarnya," jawab Arga dengan suara gemetar, wajah tampannya terlihat begitu gelisah. Maria terkejut dan panik mendengar pengakuan putranya. "Bagaimana bisa Kiran tidak ada di kamarnya? Mama sudah menyuruh kamu untuk menjaganya, Arga!" tegas Maria dengan nada tinggi, ia begitu kesal kepada anaknya itu. "Maaf, Ma ...." Arga hanya bisa tertunduk mendengar teguran ibunya. Ia merasa bersalah karena telah lalai menjaga Kiran, yang beberapa hari terakhir ini kondisinya sangat tidak baik. Terutama setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh Arka terhadap Kiran. Pengkhianatan itu membuat Kiran terus mencoba menyakiti dirinya sendiri, sampai kini ia kabur entah ke mana. "Dari tadi Mama sudah bilang sama kamu untuk menjaga Kiran. Kenapa kamu begitu
"Mas, dari tadi aku mencari kamu. Cleo sudah lebih membaik sekarang," kata Lita sambil menghampiri Arka. Maria menatap remeh ke arah wanita yang ada di samping anaknya itu. Sekarang, ia bisa melihat wajah dari wanita yang telah menghancurkan keluarganya. "Oh, jadi kamu wanita pelakor itu!" hardik Maria sambil menatap Lita dengan tajam. Lita terlihat gugup ketika menerima hinaan dari wanita yang ada di depannya. Ia tidak tahu bahwa sedari tadi Arka bersama dengan ibunya, Maria. "Maaf, Bu...," ujarnya dengan suara bergetar. "Maaf? Kamu pikir maafmu itu cukup? Kamu menghancurkan pernikahan anakku, menghancurkan hati menantuku, dan sekarang kamu dengan santainya datang ke sini? Kamu tidak punya rasa malu!" sergah Maria, emosinya sudah tak dapat dibendung lagi. "Ma, tolong jangan seperti ini. Ini bukan salah Lita sepenuhnya. Aku yang bertanggung jawab," Arka mencoba menengahi, ia berdiri di antara ibunya dan Lita. "Jangan membela dia, Arka! Kamu tahu persis apa yang telah kamu l
Kiran berdiri di tepi jembatan, memegang erat besi pembatas. Pakaiannya yang masih mengenakan seragam pasien rumah sakit tampak kusut dan rambutnya berantakan. Matanya memandang kosong ke arah sungai yang mengalir deras di bawah. Arga, yang kebetulan melihatnya dari kejauhan, berlari secepat mungkin ke arah adiknya itu. "Kiran! Apa yang kamu lakukan di sana? Ayo, cepat turun!" teriak Arga dengan suara yang begitu panik sambil terus berlari mendekati Kiran. Kiran yang mendengar suara bariton Arga, ia segera menoleh. Tangannya yang menggenggam erat besi pembatas mulai merenggang, namun sebelum ia sempat melepaskan diri, Arga berhasil meraih tangannya."Kiran, apa yang ingin kamu lakukan?!" "Lepasin, Kak! Lepasin aku! Aku ingin mati saja," teriak Kiran sambil mencoba melepaskan genggaman Arga. "Kiran, apa yang ada di dalam pikiranmu? Apa kamu akan membunuh dirimu sendiri hanya karena Arka? Apa kamu akan menyerah begitu saja? Apa kamu akan merelakan Arka untuk wanita itu? Apa kamu
Arka terlihat canggung dan sedikit bingung. "Kiran, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sangat khawatir," katanya pelan. "Khawatir? Kamu khawatir?" Kiran tertawa getir mendengar perkataan Arka. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu berani bilang kamu khawatir? Kamu pikir aku akan percaya omong kosongmu itu?" Maria segera berdiri di antara Kiran dan Arka, ia mencoba menenangkan situasi yang sudah mulai memanas. "Arka, mungkin ini bukan waktu yang tepat. Kiran butuh waktu untuk menenangkan diri." "Tapi, Ma ...." Arga yang berdiri di belakang Maria, menatap Arka dengan tajam. "Sudah cukup, Arka. Kamu seharusnya tidak ada di sini sekarang." Arka tampak terluka oleh kata-kata anggota keluarganya, tetapi ia tetap mencoba mendekati Kiran. "Kiran, aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku benar-benar ingin memperbaikinya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan." Kiran menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kamu sudah memilih jalanmu
Kiran terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah, namun kesadarannya sudah kembali sepenuhnya. Matanya langsung menangkap sosok Arka yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak begitu cemas. Tanpa pikir panjang, Kiran langsung menghempaskan tangan Arka yang sedang menyentuhnya. "Jangan sentuh aku!" Suara Kiran terdengar dingin. Arka terkejut, namun lebih dari itu, ia merasa panik. Sorot mata Kiran yang membulat sempurna, menatapnya begitu tajam, membuat ia sadar betapa dalam luka yang telah ia torehkan di hati istrinya. "Kiran ..." Arka mencoba membuka mulutnya, tetapi kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Kiran bertanya dengan nada dingin. Tatapannya begitu tajam. Ia menatap Arka seolah-olah suaminya itu adalah orang asing, seseorang yang tak lagi ia kenal. Arka menelan ludah dengan susah payah, mencoba berusaha untuk tenang, meski Kiran terus menatapnya nyalang. "Aku hanya ingin menjaga kamu," jawab Arka pelan, suaranya hamp
Arga langsung menuju mobil yang terparkir rapi di area khusus eksekutif. Dengan setelan jas hitam yang masih rapi membalut tubuhnya, lengkap dengan dasi berwarna biru gelap yang sedikit longgar, ia tampak sangat gagah. Kemeja putih bersih di balik jasnya masih terlihat tanpa noda, meski seharian penuh ia berkutat dengan pekerjaan. Lelaki itu berjalan sambil membawa map berisi dokumen penting yang dibawanya dari kantor. Setelah membuka pintu mobil dengan tenang, Arga duduk di kursi pengemudi dan menaruh map tersebut di kursi penumpang sebelahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan sedikit kelelahan yang ia rasakan setelah seharian bekerja. Namun, sebelum ia sempat menyalakan mesin mobil, ponselnya berdering. Ia melihat layar ponselnya dan mendapati nomor ibunya terpampang jelas di sana. Arga segera mengangkat telepon itu. "Halo, Ma," sapanya dengan suara hangat. "Arga, kamu sudah selesai bekerja?" tanya Maria, suaranya terdengar mendesak. "Sudah, Ma. Ada apa?" Arga merasa
"Aku hanya ingin meringankan bebanmu, bukannya akhir-akhir ini pengeluaranmu sudah terlalu banyak?" sindir Arga kepada adiknya. Arka yang mendengar ucapan Arga merasakan amarahnya yang langsung merayap naik. Wajahnya yang semula tegas kini berubah menjadi tegang, rahangnya mengeras menahan kekesalan. Matanya menatap tajam ke arah Arga, seolah tak percaya bahwa kakaknya sendiri berani menyindirnya di depan Kiran dan Lita. "Pengeluaranku banyak atau sedikit itu bukan urusanmu, Kak," jawab Arka dengan nada dingin, sambil menahan emosi yang hampir meledak. "Aku masih bisa mengurus semuanya sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu untuk itu." "Aku tahu situasimu. Aku tidak ingin kamu terpuruk hanya karena gengsi. Jangan sampai bebanmu justru membuat keadaan semakin rumit," jawab Arga dengan nada tinggi. Arka mendengkus marah, ia merasa diserang dengan cara yang sangat tidak adil. "Gengsi? Kak, kamu pikir aku tidak mampu mengurus keluargaku sendiri? Hanya karena aku harus bertanggung jaw