Arka terlihat canggung dan sedikit bingung. "Kiran, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sangat khawatir," katanya pelan. "Khawatir? Kamu khawatir?" Kiran tertawa getir mendengar perkataan Arka. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu berani bilang kamu khawatir? Kamu pikir aku akan percaya omong kosongmu itu?" Maria segera berdiri di antara Kiran dan Arka, ia mencoba menenangkan situasi yang sudah mulai memanas. "Arka, mungkin ini bukan waktu yang tepat. Kiran butuh waktu untuk menenangkan diri." "Tapi, Ma ...." Arga yang berdiri di belakang Maria, menatap Arka dengan tajam. "Sudah cukup, Arka. Kamu seharusnya tidak ada di sini sekarang." Arka tampak terluka oleh kata-kata anggota keluarganya, tetapi ia tetap mencoba mendekati Kiran. "Kiran, aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku benar-benar ingin memperbaikinya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan." Kiran menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kamu sudah memilih jalanmu
Kiran terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah, namun kesadarannya sudah kembali sepenuhnya. Matanya langsung menangkap sosok Arka yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak begitu cemas. Tanpa pikir panjang, Kiran langsung menghempaskan tangan Arka yang sedang menyentuhnya. "Jangan sentuh aku!" Suara Kiran terdengar dingin. Arka terkejut, namun lebih dari itu, ia merasa panik. Sorot mata Kiran yang membulat sempurna, menatapnya begitu tajam, membuat ia sadar betapa dalam luka yang telah ia torehkan di hati istrinya. "Kiran ..." Arka mencoba membuka mulutnya, tetapi kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Kiran bertanya dengan nada dingin. Tatapannya begitu tajam. Ia menatap Arka seolah-olah suaminya itu adalah orang asing, seseorang yang tak lagi ia kenal. Arka menelan ludah dengan susah payah, mencoba berusaha untuk tenang, meski Kiran terus menatapnya nyalang. "Aku hanya ingin menjaga kamu," jawab Arka pelan, suaranya hamp
Arga langsung menuju mobil yang terparkir rapi di area khusus eksekutif. Dengan setelan jas hitam yang masih rapi membalut tubuhnya, lengkap dengan dasi berwarna biru gelap yang sedikit longgar, ia tampak sangat gagah. Kemeja putih bersih di balik jasnya masih terlihat tanpa noda, meski seharian penuh ia berkutat dengan pekerjaan. Lelaki itu berjalan sambil membawa map berisi dokumen penting yang dibawanya dari kantor. Setelah membuka pintu mobil dengan tenang, Arga duduk di kursi pengemudi dan menaruh map tersebut di kursi penumpang sebelahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan sedikit kelelahan yang ia rasakan setelah seharian bekerja. Namun, sebelum ia sempat menyalakan mesin mobil, ponselnya berdering. Ia melihat layar ponselnya dan mendapati nomor ibunya terpampang jelas di sana. Arga segera mengangkat telepon itu. "Halo, Ma," sapanya dengan suara hangat. "Arga, kamu sudah selesai bekerja?" tanya Maria, suaranya terdengar mendesak. "Sudah, Ma. Ada apa?" Arga merasa
"Aku hanya ingin meringankan bebanmu, bukannya akhir-akhir ini pengeluaranmu sudah terlalu banyak?" sindir Arga kepada adiknya. Arka yang mendengar ucapan Arga merasakan amarahnya yang langsung merayap naik. Wajahnya yang semula tegas kini berubah menjadi tegang, rahangnya mengeras menahan kekesalan. Matanya menatap tajam ke arah Arga, seolah tak percaya bahwa kakaknya sendiri berani menyindirnya di depan Kiran dan Lita. "Pengeluaranku banyak atau sedikit itu bukan urusanmu, Kak," jawab Arka dengan nada dingin, sambil menahan emosi yang hampir meledak. "Aku masih bisa mengurus semuanya sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu untuk itu." "Aku tahu situasimu. Aku tidak ingin kamu terpuruk hanya karena gengsi. Jangan sampai bebanmu justru membuat keadaan semakin rumit," jawab Arga dengan nada tinggi. Arka mendengkus marah, ia merasa diserang dengan cara yang sangat tidak adil. "Gengsi? Kak, kamu pikir aku tidak mampu mengurus keluargaku sendiri? Hanya karena aku harus bertanggung jaw
Di sebuah cafe yang tenang, Kiran duduk sendiri di pojokan, mengenakan blazer biru yang melindungi tubuhnya dari dinginnya udara luar. Rambutnya yang panjang berwarna coklat tergerai begitu cantik, sebagian menutupi wajahnya yang terlihat sedang merenung. Ia merapikan rambutnya sambil sesekali memandang ke luar jendela, memperhatikan lalu lalang orang-orang yang tidak ia kenal. Secangkir kopi hangat berada di hadapannya, aroma yang khas dari minuman itu menghangatkan suasana hatinya meski hanya sedikit. Ia mencoba menikmati momen sendirinya di tengah hiruk pikuk dunia luar yang terus bergerak tanpa henti. Di depannya, beberapa dokumen dan agenda terlihat, namun pikirannya melayang jauh, memikirkan kejadian-kejadian yang baru saja ia alami. Wanita cantik itu merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Perjuangan menghadapi kenyataan pahit tentang perselingkuhan suaminya, Arka, membuatnya merasa hampa. Tak berselang lama, seorang wanita cantik dengan kemeja mera
Kiran bersembunyi di balik tembok, menguping pembicaraan Lita dan lelaki tersebut. Perasaannya campur aduk antara kaget, marah, dan sedih. Ia menahan napas, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun agar tidak ketahuan. "Aku tidak mau tahu, kamu harus menghancurkan mereka," ancam lelaki yang mengenakan jaket berwarna hitam dengan suara tegas. Lita segera menjawab, "Tenang saja, selangkah lagi aku akan mendapatkannya. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan aku akan menjadi nyonya Wirasena satu-satunya. Terlebih, Arga sudah tidak memiliki istri lagi. Aku akan menguasai semuanya dan membuat semua orang melihatku sebagai yang berkuasa." Lelaki itu mengangguk, terlihat begitu puas dengan jawaban Lita. "Itu bagus. Kamu harus segera masuk ke rumah itu dan hancurkan semuanya. Aku tidak ingin mereka bahagia setelah apa yang mereka perbuat pada adikku." Lita tertawa kecil, suaranya terdengar licik. "Haa ... kamu tenang saja. Sudah dua tahun aku menantikan hal ini dan sebentar
Arka berjalan mendekati meja, ketika langkahnya terhenti di depan meja, ia meraih map yang tergeletak di atasnya, tangannya sudah mulai bergetar ketika membuka map itu. Mata coklatnya mulai berkaca-kaca melihat isi surat cerai tersebut. Tentu saja, ia tak pernah menyangka bila Kiran ingin meminta cerai darinya. "Kiran, aku tahu aku telah berbuat salah. Tapi kita bisa memperbaiki semuanya. Aku tidak mau bercerai," katanya dengan suara memohon. Kiran menatap Arka dengan tatapan tajam. "Memperbaiki? Setelah semua yang kamu lakukan?" Arka menghela napas, ia melihat ke arah Kiran yang masih menatapnya nyalang. "Kiran, aku tahu aku telah mengecewakanmu. Tapi aku tidak mau kehilanganmu. Kita bisa mencoba lagi, memberikan kesempatan kedua untuk pernikahan kita." "Tidak. Kesempatan kedua sudah berlalu. Aku sudah cukup menderita karena pengkhianatanmu. Aku tidak bisa hidup dengan rasa sakit ini lagi," jawab Kiran dengan tegas. Arka mencoba mendekat, tapi Kiran mundur beberapa langkah. "K
Arka terpaku di tempat, telinganya berdengung seiring dengan suara sirene ambulans yang semakin mendekat. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Suara mobil ambulans terus berbunyi, semakin mengingatkan pada kenyataan pahit yang ada di depan mata. Mobil Kiran terjebak di antara deretan mobil lainnya, dan Arka merasa waktu seakan berjalan lambat, menyaksikan setiap detik yang menyiksa baginya. Dengan segera, Arka membuka pintu mobil dan berlari ke arah mobil Kiran. "Kiran …!" teriaknya dengan suara serak yang begitu panik. Ketika ia sudah dekat, pemandangan itu semakin jelas. Mobil Kiran ringsek parah, dengan kaca depan yang pecah dan pintu yang terjepit. Orang-orang yang ada di sekitar mobil mencoba membantu, menarik seorang wanita keluar dari reruntuhan kendaraan. Arka berusaha mendorong kerumunan orang yang berkumpul. "Tolong, tolong keluarkan istriku dari mobil itu! Aku mohon!" teriaknya. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tersengal-sengal. Ia merasa l