Kiran bersembunyi di balik tembok, menguping pembicaraan Lita dan lelaki tersebut. Perasaannya campur aduk antara kaget, marah, dan sedih. Ia menahan napas, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun agar tidak ketahuan. "Aku tidak mau tahu, kamu harus menghancurkan mereka," ancam lelaki yang mengenakan jaket berwarna hitam dengan suara tegas. Lita segera menjawab, "Tenang saja, selangkah lagi aku akan mendapatkannya. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan aku akan menjadi nyonya Wirasena satu-satunya. Terlebih, Arga sudah tidak memiliki istri lagi. Aku akan menguasai semuanya dan membuat semua orang melihatku sebagai yang berkuasa." Lelaki itu mengangguk, terlihat begitu puas dengan jawaban Lita. "Itu bagus. Kamu harus segera masuk ke rumah itu dan hancurkan semuanya. Aku tidak ingin mereka bahagia setelah apa yang mereka perbuat pada adikku." Lita tertawa kecil, suaranya terdengar licik. "Haa ... kamu tenang saja. Sudah dua tahun aku menantikan hal ini dan sebentar
Arka berjalan mendekati meja, ketika langkahnya terhenti di depan meja, ia meraih map yang tergeletak di atasnya, tangannya sudah mulai bergetar ketika membuka map itu. Mata coklatnya mulai berkaca-kaca melihat isi surat cerai tersebut. Tentu saja, ia tak pernah menyangka bila Kiran ingin meminta cerai darinya. "Kiran, aku tahu aku telah berbuat salah. Tapi kita bisa memperbaiki semuanya. Aku tidak mau bercerai," katanya dengan suara memohon. Kiran menatap Arka dengan tatapan tajam. "Memperbaiki? Setelah semua yang kamu lakukan?" Arka menghela napas, ia melihat ke arah Kiran yang masih menatapnya nyalang. "Kiran, aku tahu aku telah mengecewakanmu. Tapi aku tidak mau kehilanganmu. Kita bisa mencoba lagi, memberikan kesempatan kedua untuk pernikahan kita." "Tidak. Kesempatan kedua sudah berlalu. Aku sudah cukup menderita karena pengkhianatanmu. Aku tidak bisa hidup dengan rasa sakit ini lagi," jawab Kiran dengan tegas. Arka mencoba mendekat, tapi Kiran mundur beberapa langkah. "K
Arka terpaku di tempat, telinganya berdengung seiring dengan suara sirene ambulans yang semakin mendekat. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Suara mobil ambulans terus berbunyi, semakin mengingatkan pada kenyataan pahit yang ada di depan mata. Mobil Kiran terjebak di antara deretan mobil lainnya, dan Arka merasa waktu seakan berjalan lambat, menyaksikan setiap detik yang menyiksa baginya. Dengan segera, Arka membuka pintu mobil dan berlari ke arah mobil Kiran. "Kiran …!" teriaknya dengan suara serak yang begitu panik. Ketika ia sudah dekat, pemandangan itu semakin jelas. Mobil Kiran ringsek parah, dengan kaca depan yang pecah dan pintu yang terjepit. Orang-orang yang ada di sekitar mobil mencoba membantu, menarik seorang wanita keluar dari reruntuhan kendaraan. Arka berusaha mendorong kerumunan orang yang berkumpul. "Tolong, tolong keluarkan istriku dari mobil itu! Aku mohon!" teriaknya. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tersengal-sengal. Ia merasa l
Kiran terbaring di atas tempat tidur, hampir seluruh tubuhnya tersembunyi di balik selimut putih yang tebal. Hanya bagian atas wajahnya yang terlihat, dengan mata yang tertutup, memberikan kesan bahwa dia sedang terlelap. Rambut coklatnya yang terurai sedikit berantakan, kontras dengan kerapian selimut di sekitarnya. Suasana di kamar terasa tenang, memberikan kesan damai dan nyaman, seolah dunia di luar tidak ada. Kiran merasakan kehangatan yang memeluk tubuhnya. Meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai perasaan campur aduk, mulai dari kesedihan hingga kebingungan, Kiran mencoba untuk menemukan ketenangan. Setiap helaan napas yang ia ambil tampak membawa sedikit demi sedikit ketenangan, meskipun dalam tidur. Wanita cantik itu pun segera bangun dari tidurnya, ketika mendengar suara ponsel berbunyi. Tapi ketika ia hendak mengangkat panggilan telepon tanpa membuka mata, tiba-tiba ponselnya sudah berhenti berdering. "Siapa yang nelpon pagi-pagi gini sih? Ganggu aja!" gerut
Arka menggeliat ketika merasakan sinar matahari mulai menerpa tubuh polosnya. Ia mulai membuka matanya perlahan dan tangannya meraba ke arah tempat tidur di sebelahnya, mencari Kiran. Namun, ia tidak mendapati kehadiran Kiran di sana. Arka pun terbangun sepenuhnya dan mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar, tetapi tidak menemukan Kiran. Kemudian, ia mendengar suara air mengalir dari arah kamar mandi. "Mungkin Kiran sedang mandi," pikirnya. Tanpa banyak berpikir lagi, Arka bangkit dari tempat tidur dan meraih pakaian yang terletak di tepi ranjang. Ia segera mengenakan pakaian tersebut. Sambil menunggu Kiran selesai mandi, Arka berencana untuk membuat sarapan untuk istri tercintanya. Ia melangkah keluar dari kamar dan menuju dapur yang berada di lantai satu, dengan niat memberikan kejutan kecil untuk Kiran. Arka berdiri di dapur, menggaruk-garuk kepalanya yang masih setengah sadar. "Apa yang harus aku masak?" gumamnya. Ia jarang sekali memasak, apalagi sejak bertengkar de
Vanya mengangguk. "Iya, benar. Aku sendiri kaget waktu Kiran cerita. Ternyata dia masih sayang sama Arka dan nggak mau buru-buru memutuskan untuk bercerai," jelasnya. "Mereka berdua memutuskan untuk mencoba memperbaiki hubungan mereka dulu, dan melihat apakah masih ada harapan." Arga tampak bingung sekaligus lega mendengar kabar tersebut. "Wah, aku tidak nyangka. Kukira hubungan mereka sudah tidak bisa diselamatkan lagi," katanya. Vanya tersenyum. "Ya, hubungan rumah tangga memang nggak pernah mudah, 'kan? Kadang-kadang butuh waktu untuk benar-benar tahu apa yang kita inginkan," jawabnya bijak. "Aku harap mereka bisa menemukan jalan yang terbaik, apa pun itu." Arga mengangguk setuju. "Ya, aku juga berharap begitu. Arka dan Kiran sudah melalui banyak hal bersama. Semoga mereka bisa menemukan jalan keluar yang terbaik." Mereka berdua terdiam sejenak, merenungi situasi yang dihadapi oleh Arka dan Kiran. Tak lama kemudian, Noah datang menghampiri Arga dengan membawa sekantong perme
Seorang pria tampan memasuki cafe, kehadirannya menarik perhatian setiap orang yang ada di dalam. Lelaki itu mengenakan setelan kemeja putih yang pas dengan tubuhnya. Rambutnya yang disisir rapi ke belakang menambah kesan elegan dan maskulin. Mata tajamnya menatap langsung ke arah meja tempat di mana Kiran dan teman-temannya sedang duduk. Di tangannya, pria itu membawa buket mawar merah yang segar, bunganya mekar sempurna. Kehadirannya langsung mengundang bisikan dan pandangan kagum dari pengunjung cafe lainnya. Beberapa orang bahkan berhenti dari aktivitas mereka hanya untuk melihat siapa pria tampan dengan bunga romantis itu. Kiran begitu terkejut, ia hanya bisa tersenyum menatap pria tersebut. Itu adalah suaminya. Arka begitu menawan dengan penampilannya yang sempurna, seolah-olah baru saja keluar dari halaman depan majalah. Senyum hangat dan tatapan yang Arka berikan padanya membuat jantung Kiran berdebar lebih cepat. "Ini untuk tuan putriku yang tersayang," kata Arka, samb
Kiran menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia bisa merasakan tatapan Arka yang penuh perhatian, tetapi hatinya masih terguncang dengan kenyataan bahwa Lita mengirim seseorang untuk mengawasi mereka. 'Oh, jadi Lita menyuruh lelaki itu untuk mengikuti kami. Baiklah, aku akan ikuti permainanmu, Lita,' gumam Kiran dalam hati, sambil mengeratkan pelukannya pada tubuh Arka. Arka merasakan perubahan sikap Kiran dan menatapnya dengan cemas. "Sayang, kenapa? Kamu dingin?" tanyanya dengan lirih. Kiran tersenyum kecil, ia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Mm … ya, udaranya sudah mulai dingin," jawabnya. Arka mengangguk. "Ya sudah, kita ke suatu tempat dulu." "Ke mana?" "Nanti kamu juga tahu." Kiran hanya mengangguk dan mengikuti ke mana suaminya pergi. Ketika mereka tiba di sebuah butik, Kiran menjadi semakin bingung. "Kok ke butik sih?" tanyanya begitu bingung. "Kita akan beli gaun," jawab Arka, sambil berjalan ke dalam butik. Kiran menghentikan langka