Arka terpaku di tempat, telinganya berdengung seiring dengan suara sirene ambulans yang semakin mendekat. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Suara mobil ambulans terus berbunyi, semakin mengingatkan pada kenyataan pahit yang ada di depan mata. Mobil Kiran terjebak di antara deretan mobil lainnya, dan Arka merasa waktu seakan berjalan lambat, menyaksikan setiap detik yang menyiksa baginya. Dengan segera, Arka membuka pintu mobil dan berlari ke arah mobil Kiran. "Kiran …!" teriaknya dengan suara serak yang begitu panik. Ketika ia sudah dekat, pemandangan itu semakin jelas. Mobil Kiran ringsek parah, dengan kaca depan yang pecah dan pintu yang terjepit. Orang-orang yang ada di sekitar mobil mencoba membantu, menarik seorang wanita keluar dari reruntuhan kendaraan. Arka berusaha mendorong kerumunan orang yang berkumpul. "Tolong, tolong keluarkan istriku dari mobil itu! Aku mohon!" teriaknya. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tersengal-sengal. Ia merasa l
Kiran terbaring di atas tempat tidur, hampir seluruh tubuhnya tersembunyi di balik selimut putih yang tebal. Hanya bagian atas wajahnya yang terlihat, dengan mata yang tertutup, memberikan kesan bahwa dia sedang terlelap. Rambut coklatnya yang terurai sedikit berantakan, kontras dengan kerapian selimut di sekitarnya. Suasana di kamar terasa tenang, memberikan kesan damai dan nyaman, seolah dunia di luar tidak ada. Kiran merasakan kehangatan yang memeluk tubuhnya. Meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai perasaan campur aduk, mulai dari kesedihan hingga kebingungan, Kiran mencoba untuk menemukan ketenangan. Setiap helaan napas yang ia ambil tampak membawa sedikit demi sedikit ketenangan, meskipun dalam tidur. Wanita cantik itu pun segera bangun dari tidurnya, ketika mendengar suara ponsel berbunyi. Tapi ketika ia hendak mengangkat panggilan telepon tanpa membuka mata, tiba-tiba ponselnya sudah berhenti berdering. "Siapa yang nelpon pagi-pagi gini sih? Ganggu aja!" gerut
Arka menggeliat ketika merasakan sinar matahari mulai menerpa tubuh polosnya. Ia mulai membuka matanya perlahan dan tangannya meraba ke arah tempat tidur di sebelahnya, mencari Kiran. Namun, ia tidak mendapati kehadiran Kiran di sana. Arka pun terbangun sepenuhnya dan mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar, tetapi tidak menemukan Kiran. Kemudian, ia mendengar suara air mengalir dari arah kamar mandi. "Mungkin Kiran sedang mandi," pikirnya. Tanpa banyak berpikir lagi, Arka bangkit dari tempat tidur dan meraih pakaian yang terletak di tepi ranjang. Ia segera mengenakan pakaian tersebut. Sambil menunggu Kiran selesai mandi, Arka berencana untuk membuat sarapan untuk istri tercintanya. Ia melangkah keluar dari kamar dan menuju dapur yang berada di lantai satu, dengan niat memberikan kejutan kecil untuk Kiran. Arka berdiri di dapur, menggaruk-garuk kepalanya yang masih setengah sadar. "Apa yang harus aku masak?" gumamnya. Ia jarang sekali memasak, apalagi sejak bertengkar de
Vanya mengangguk. "Iya, benar. Aku sendiri kaget waktu Kiran cerita. Ternyata dia masih sayang sama Arka dan nggak mau buru-buru memutuskan untuk bercerai," jelasnya. "Mereka berdua memutuskan untuk mencoba memperbaiki hubungan mereka dulu, dan melihat apakah masih ada harapan." Arga tampak bingung sekaligus lega mendengar kabar tersebut. "Wah, aku tidak nyangka. Kukira hubungan mereka sudah tidak bisa diselamatkan lagi," katanya. Vanya tersenyum. "Ya, hubungan rumah tangga memang nggak pernah mudah, 'kan? Kadang-kadang butuh waktu untuk benar-benar tahu apa yang kita inginkan," jawabnya bijak. "Aku harap mereka bisa menemukan jalan yang terbaik, apa pun itu." Arga mengangguk setuju. "Ya, aku juga berharap begitu. Arka dan Kiran sudah melalui banyak hal bersama. Semoga mereka bisa menemukan jalan keluar yang terbaik." Mereka berdua terdiam sejenak, merenungi situasi yang dihadapi oleh Arka dan Kiran. Tak lama kemudian, Noah datang menghampiri Arga dengan membawa sekantong perme
Seorang pria tampan memasuki cafe, kehadirannya menarik perhatian setiap orang yang ada di dalam. Lelaki itu mengenakan setelan kemeja putih yang pas dengan tubuhnya. Rambutnya yang disisir rapi ke belakang menambah kesan elegan dan maskulin. Mata tajamnya menatap langsung ke arah meja tempat di mana Kiran dan teman-temannya sedang duduk. Di tangannya, pria itu membawa buket mawar merah yang segar, bunganya mekar sempurna. Kehadirannya langsung mengundang bisikan dan pandangan kagum dari pengunjung cafe lainnya. Beberapa orang bahkan berhenti dari aktivitas mereka hanya untuk melihat siapa pria tampan dengan bunga romantis itu. Kiran begitu terkejut, ia hanya bisa tersenyum menatap pria tersebut. Itu adalah suaminya. Arka begitu menawan dengan penampilannya yang sempurna, seolah-olah baru saja keluar dari halaman depan majalah. Senyum hangat dan tatapan yang Arka berikan padanya membuat jantung Kiran berdebar lebih cepat. "Ini untuk tuan putriku yang tersayang," kata Arka, samb
Kiran menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia bisa merasakan tatapan Arka yang penuh perhatian, tetapi hatinya masih terguncang dengan kenyataan bahwa Lita mengirim seseorang untuk mengawasi mereka. 'Oh, jadi Lita menyuruh lelaki itu untuk mengikuti kami. Baiklah, aku akan ikuti permainanmu, Lita,' gumam Kiran dalam hati, sambil mengeratkan pelukannya pada tubuh Arka. Arka merasakan perubahan sikap Kiran dan menatapnya dengan cemas. "Sayang, kenapa? Kamu dingin?" tanyanya dengan lirih. Kiran tersenyum kecil, ia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Mm … ya, udaranya sudah mulai dingin," jawabnya. Arka mengangguk. "Ya sudah, kita ke suatu tempat dulu." "Ke mana?" "Nanti kamu juga tahu." Kiran hanya mengangguk dan mengikuti ke mana suaminya pergi. Ketika mereka tiba di sebuah butik, Kiran menjadi semakin bingung. "Kok ke butik sih?" tanyanya begitu bingung. "Kita akan beli gaun," jawab Arka, sambil berjalan ke dalam butik. Kiran menghentikan langka
Kiran menatap suaminya yang terus memegang ponsel dengan wajah bingung. "Mas, kenapa kamu tidak mengangkat panggilannya?" tanyanya. Arka hanya mengerutkan kening dan tanpa banyak bicara, ia mematikan panggilan itu. "Tidak penting," jawabnya singkat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Namun, beberapa saat kemudian, ponselnya berdering lagi. Kali ini, bukan Lita yang menelepon, melainkan nomor baru yang tidak dikenal. Arka mengangkat ponselnya, memandang layar dengan raut wajah bingung. "Kenapa, Mas?" tanya Kiran lagi, ia sedikit khawatir melihat ekspresi suaminya yang semakin tegang. "Aku tidak tahu siapa yang menghubungiku. Nomornya baru," jawab Arka, ia masih ragu untuk mengangkatnya. "Mungkin klien kerjaanmu, Mas. Siapa tahu penting. Kenapa tidak kamu coba untuk mengangkatnya?" saran Kiran, mencoba menenangkan suaminya yang tampak ragu. Dengan berat hati, Arka akhirnya mengangkat telepon tersebut. "Halo, ini siapa?" "Maaf, apa ini benar dengan Pak Arka?" Su
Kiran menutup matanya, ia sudah pasrah dengan apa yang mungkin menjadi saat-saat terakhirnya di dunia. Ia berharap segala rasa sedih, kecewa, dan luka batin terhadap Arka akan lenyap seiring dengan perginya ia dari kehidupan ini. Namun, tiba-tiba, ia merasakan sepasang tangan kekar menarik tubuhnya dengan cepat dan kuat. Dalam sekejap, ia merasakan dirinya terselamatkan dari kecelakaan maut yang nyaris merenggut nyawanya. "Aaahhh!" teriak Kiran, tubuhnya terhempas ke pinggir jalan. Namun, untung saja, lelaki yang menolongnya berhasil menahan tubuh Kiran agar tidak terjatuh lebih jauh. "Awh ...!" Kiran merintih kesakitan, merasakan kram di perutnya akibat ketegangan yang terjadi. "Kiran, kamu tidak apa-apa?" Suara lelaki di belakangnya terdengar khawatir. Kiran langsung menoleh dan melihat wajah yang tidak asing baginya. "Kak Arga? Kak Arga, kamu tidak apa-apa?" Arga mengangguk. "Aku tidak apa-apa. Bagaimana dengan kamu?" Kiran menghela napas lega mendengar itu. "Aku juga t
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.