Melihat Kiran begitu kesakitan, Arga tidak punya pilihan lain. Dengan hati-hati, ia segera menggendong Kiran, memastikan tubuhnya tetap aman dan nyaman di pelukannya. Kiran tampak lemah, wajahnya pucat dan menahan rasa sakit yang begitu hebat. Tanpa membuang waktu, Arga membawanya menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan."Tenang, Kiran, aku akan membawamu ke rumah sakit secepat mungkin," ujar Arga, mencoba menenangkan Kiran meski ia sendiri dilanda kepanikan.Kiran hanya bisa memejamkan mata, air mata mengalir di sudut matanya. Rasa sakit yang melilit perutnya semakin menjadi-jadi, dan ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. "Tolong cepat, Kak," bisiknya lemah, suaranya hampir tenggelam oleh rasa sakit.Setelah memasukkan Kiran ke dalam mobil dengan hati-hati, Arga segera duduk di kursi kemudi. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, kemudian menyalakan mesin, dan melaju dengan cepat menuju rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, Arga tidak berhenti mencuri pandang
"Kiran, Kak Arga, kalian sedang ngapain di sini?" tanya Arka, suaranya terdengar ragu-ragu ketika melihat keduanya di rumah sakit. Arga mendekat ke arah adiknya, tatapan matanya begitu tajam sampai menembus ke hati Arka. "Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, Arka. Ngapain kamu ada di sini?" hardik Arga, nadanya begitu tegas, sampai membuat Arka merasa terpojok. "Lita mengalami kecelakaan, Kak. Jadi, aku langsung pergi ke rumah sakit," jawab Arka terbata-bata, mencoba menjelaskan situasinya. Namun, nadanya tidak bisa menutupi rasa bersalah yang perlahan merayapi dirinya. "Oh, ya?" Arga mendengkus. "Sampai kamu tega meninggalkan Kiran sendirian di jalan, begitu?" Arga memelototi Arka. Arka terdiam, wajahnya memucat. Kata-kata Arga bagaikan tamparan keras yang membangunkannya dari kebodohan yang ia lakukan. Ia telah meninggalkan Kiran sendirian di pantai, sesuatu yang benar-benar tak bisa dimaafkan. Ia begitu panik saat menerima telepon tentang kecelakaan Lita, sampai membuatny
Arga langsung menoleh ke arah Kiran begitu melihat Kiran mulai membuka matanya. "Kiran, kamu sudah bangun? Maaf, apakah aku terlalu kasar saat mengangkat tubuhmu tadi?" Kiran menggelengkan kepala pelan, matanya terus menatap ke arah Arga, seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. "Tidak, Kak, kamu tidak kasar," jawabnya singkat, tetapi suaranya terdengar lemah. Ia terdiam sejenak, seolah sedang berjuang dengan pikirannya sendiri sebelum akhirnya berkata, "Kak, apa aku boleh bertanya sesuatu?" Arga duduk di samping tempat tidur, menatap Kiran lekat sebelum akhirnya ia berkata, "Tentu saja, Kiran. Apa yang ingin kamu tanyakan?" Kiran menunduk, seolah ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Tetapi akhirnya, dengan suara yang hampir bergetar, ia mengutarakan isi hatinya. "Kak, apa aku tidak cantik? Apa aku tidak baik? Apa aku tidak pantas bahagia? Apa aku terlalu buruk sampai Arka menduakan aku? Apa aku—" Arga langsung mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan telunjuknya denga
Arka menatap Kiran dengan raut wajah yang tegang, berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan situasi yang rumit ini. "Maaf, Kiran. Aku terpaksa membawa Lita ke rumah kita," ucapnya pelan, seolah takut kalimatnya akan melukai perasaan istrinya lebih dalam. "Kamu tahu sendiri keadaan Lita saat ini. Sejak dia tertabrak mobil, tangan dan kakinya terluka parah. Dia belum bisa menjaga Cleo sepenuhnya. Daripada aku bolak-balik ke sana kemari, jadi aku putuskan untuk membawa mereka ke sini." Kiran mengernyitkan dahi, mencoba menahan amarah yang mulai menggelegak di dadanya. "Lalu bagaimana bila aku tidak setuju?" tanyanya dengan nada dingin, matanya tajam menatap suaminya. Arka menghela napas panjang. "Kiran, aku tidak tahu lagi harus membawa mereka ke mana," jawabnya. "Sekarang sudah musim hujan, dan kontrakan yang mereka tinggali itu atapnya banyak yang bolong. Aku khawatir Cleo akan sakit-sakitan jika mereka terus tinggal di sana. Aku hanya ingin memastikan mereka aman
Arka menelan ludah, ia merasa serba salah. Namun, melihat tekad Kiran yang tak bisa digoyahkan, ia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, Kiran. Aku setuju. Lita akan tidur di kamar pembantu," katanya dengan suara yang lirih, Arka merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lita hanya bisa mengangguk pasrah, ia sadar dalam kondisi seperti ini tidak memiliki hak untuk menuntut lebih. "Terima kasih, Kiran," ucapnya pelan, meski dalam hatinya ia merasa sedih harus tinggal di tempat yang sempit dan kurang layak. Kiran tidak membalas ucapan Lita. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Sepertinya Cleo sudah lapar, Mas. Aku harus memberinya ASI," kata Lita ketika melihat Cleo yang masih nangis digendongan Arka. "Baiklah, aku akan membersihkan kamarnya dulu." "Aku akan membantumu, Mas." Arka mengangguk, ia pun lalu membawa Lita dan Cleo menuju kamar pembantu yang ada di dapur. Kiran hanya memandang punggung suaminya yang membawa Lita pergi da
Arka perlahan memasuki kamar tidur, langkah kakinya terdengar sangat hati-hati seolah takut mengganggu ketenangan yang memenuhi ruangan. Di hadapannya, Kiran terlihat tertidur, tubuhnya terbalut selimut putih yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Cahaya dari lampu tidur memantulkan sinar hangat yang menyelimuti wajahnya. Namun, Arka bisa melihat sisa-sisa air mata yang masih menggenang di sudut mata istrinya itu. Hatinya mencelos, perasaan bersalah menyeruak kuat dalam dadanya. Arka mendekati tempat tidur dengan perlahan. Ia tahu Kiran belum tidur. Isakan pelan yang tertahan dari balik punggungnya memberikan petunjuk bahwa hatinya masih sangat terluka. Meski demikian, Arka tidak ingin langsung mengganggunya. Ia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi terlebih dahulu, mencoba menenangkan pikirannya yang juga kalut. Suara air dari pancuran menjadi latar belakang yang menenangkan sejenak. Arka membiarkan air hangat mengalir di tubuhnya, membilas segala kelelahan dan kotoran yang menemp
Lita terpaku tidak tahu harus menjawab apa. Kehadiran Maria membuatnya tak bisa berkutik. "Saya ... saya ...." Lita tidak tahu harus menjawab apa, terlebih melihat tatapan tajam dari Maria membuatnya semakin menciut. Wanita yang sebentar lagi menginjak usia 55 tahun itu terlihat begitu menakutkan bagi Lita, sampai ia bingung harus menjawab apa. Maria berjalan mendekat ke arah Lita ketika melihat wanita itu hanya terdiam membisu. "Kenapa kamu diam saja? Apa kamu pikir bisa seenaknya masuk ke dalam rumah anakku? Kamu tahu anakku sudah menikah, tapi kenapa kamu terus mendekatinya? Kamu punya hati, bukan? Dasar wanita tidak tahu malu!" Lita tidak bisa menjawab, ia hanya bisa menundukkan kepalanya, merasa takut dengan tatapan tajam yang Maria berikan padanaya, sampai tubuh Lita sudah bergetar dan kedua tangannya meremas baju yang ia kenakan. Kehadiran Maria membuatnya semakin merasa tidak diinginkan dan membuat suasana semakin tegang. Masalah ini akan semakin rumit jika ibu Arka ikut
"T-tidak, aku hanya ingin membawa minuman ini untuk kalian," jawab Lita terbata-bata sambil berjalan menuju ke arah sofa. "Ya sudah, letakan saja di situ!" kata Kiran sambil menunjuk ke arah Meja. "B-baik." Lita pun segera meletakan dua gelas tersebut di meja, setelah itu matanya melirik sedikit ke arah perhiasan yang sedang dipegang oleh Kiran. Ada rasa iri dan cemburu dalam benaknya melihat perhiasan mewah itu. 'Lihat saja, suatu saat nanti perhiasan itu akan menjadi milikku,' gumam Lita di dalam hati sambil tersenyum miring. *** Arga berdiri di depan makam istrinya, Eva, dengan tangan yang sedikit gemetar memegang seikat bunga lili putih. Matahari siang ini terasa hangat, namun di hatinya hanya ada dingin yang menusuk. Suara angin yang berdesir melewati dedaunan pohon cemara, seolah membisikkan rasa kehilangan yang tak kunjung pudar. Kemeja hitam yang membalut tubuhnya terasa menyesakkan, seolah mencerminkan perasaan hatinya yang tertutup oleh duka. Ia berlutut perlahan, mel
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.