Arka menatap Kiran dengan raut wajah yang tegang, berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan situasi yang rumit ini. "Maaf, Kiran. Aku terpaksa membawa Lita ke rumah kita," ucapnya pelan, seolah takut kalimatnya akan melukai perasaan istrinya lebih dalam. "Kamu tahu sendiri keadaan Lita saat ini. Sejak dia tertabrak mobil, tangan dan kakinya terluka parah. Dia belum bisa menjaga Cleo sepenuhnya. Daripada aku bolak-balik ke sana kemari, jadi aku putuskan untuk membawa mereka ke sini." Kiran mengernyitkan dahi, mencoba menahan amarah yang mulai menggelegak di dadanya. "Lalu bagaimana bila aku tidak setuju?" tanyanya dengan nada dingin, matanya tajam menatap suaminya. Arka menghela napas panjang. "Kiran, aku tidak tahu lagi harus membawa mereka ke mana," jawabnya. "Sekarang sudah musim hujan, dan kontrakan yang mereka tinggali itu atapnya banyak yang bolong. Aku khawatir Cleo akan sakit-sakitan jika mereka terus tinggal di sana. Aku hanya ingin memastikan mereka aman
Arka menelan ludah, ia merasa serba salah. Namun, melihat tekad Kiran yang tak bisa digoyahkan, ia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, Kiran. Aku setuju. Lita akan tidur di kamar pembantu," katanya dengan suara yang lirih, Arka merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lita hanya bisa mengangguk pasrah, ia sadar dalam kondisi seperti ini tidak memiliki hak untuk menuntut lebih. "Terima kasih, Kiran," ucapnya pelan, meski dalam hatinya ia merasa sedih harus tinggal di tempat yang sempit dan kurang layak. Kiran tidak membalas ucapan Lita. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Sepertinya Cleo sudah lapar, Mas. Aku harus memberinya ASI," kata Lita ketika melihat Cleo yang masih nangis digendongan Arka. "Baiklah, aku akan membersihkan kamarnya dulu." "Aku akan membantumu, Mas." Arka mengangguk, ia pun lalu membawa Lita dan Cleo menuju kamar pembantu yang ada di dapur. Kiran hanya memandang punggung suaminya yang membawa Lita pergi da
Arka perlahan memasuki kamar tidur, langkah kakinya terdengar sangat hati-hati seolah takut mengganggu ketenangan yang memenuhi ruangan. Di hadapannya, Kiran terlihat tertidur, tubuhnya terbalut selimut putih yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Cahaya dari lampu tidur memantulkan sinar hangat yang menyelimuti wajahnya. Namun, Arka bisa melihat sisa-sisa air mata yang masih menggenang di sudut mata istrinya itu. Hatinya mencelos, perasaan bersalah menyeruak kuat dalam dadanya. Arka mendekati tempat tidur dengan perlahan. Ia tahu Kiran belum tidur. Isakan pelan yang tertahan dari balik punggungnya memberikan petunjuk bahwa hatinya masih sangat terluka. Meski demikian, Arka tidak ingin langsung mengganggunya. Ia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi terlebih dahulu, mencoba menenangkan pikirannya yang juga kalut. Suara air dari pancuran menjadi latar belakang yang menenangkan sejenak. Arka membiarkan air hangat mengalir di tubuhnya, membilas segala kelelahan dan kotoran yang menemp
Lita terpaku tidak tahu harus menjawab apa. Kehadiran Maria membuatnya tak bisa berkutik. "Saya ... saya ...." Lita tidak tahu harus menjawab apa, terlebih melihat tatapan tajam dari Maria membuatnya semakin menciut. Wanita yang sebentar lagi menginjak usia 55 tahun itu terlihat begitu menakutkan bagi Lita, sampai ia bingung harus menjawab apa. Maria berjalan mendekat ke arah Lita ketika melihat wanita itu hanya terdiam membisu. "Kenapa kamu diam saja? Apa kamu pikir bisa seenaknya masuk ke dalam rumah anakku? Kamu tahu anakku sudah menikah, tapi kenapa kamu terus mendekatinya? Kamu punya hati, bukan? Dasar wanita tidak tahu malu!" Lita tidak bisa menjawab, ia hanya bisa menundukkan kepalanya, merasa takut dengan tatapan tajam yang Maria berikan padanaya, sampai tubuh Lita sudah bergetar dan kedua tangannya meremas baju yang ia kenakan. Kehadiran Maria membuatnya semakin merasa tidak diinginkan dan membuat suasana semakin tegang. Masalah ini akan semakin rumit jika ibu Arka ikut
"T-tidak, aku hanya ingin membawa minuman ini untuk kalian," jawab Lita terbata-bata sambil berjalan menuju ke arah sofa. "Ya sudah, letakan saja di situ!" kata Kiran sambil menunjuk ke arah Meja. "B-baik." Lita pun segera meletakan dua gelas tersebut di meja, setelah itu matanya melirik sedikit ke arah perhiasan yang sedang dipegang oleh Kiran. Ada rasa iri dan cemburu dalam benaknya melihat perhiasan mewah itu. 'Lihat saja, suatu saat nanti perhiasan itu akan menjadi milikku,' gumam Lita di dalam hati sambil tersenyum miring. *** Arga berdiri di depan makam istrinya, Eva, dengan tangan yang sedikit gemetar memegang seikat bunga lili putih. Matahari siang ini terasa hangat, namun di hatinya hanya ada dingin yang menusuk. Suara angin yang berdesir melewati dedaunan pohon cemara, seolah membisikkan rasa kehilangan yang tak kunjung pudar. Kemeja hitam yang membalut tubuhnya terasa menyesakkan, seolah mencerminkan perasaan hatinya yang tertutup oleh duka. Ia berlutut perlahan, mel
Lita menelan ludah dengan gugup, berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ketenangannya meskipun Kiran berdiri begitu dekat, menatapnya dengan tatapan tajam. "S-Sejak kapan kamu ada di situ?" "Kenapa jadi kamu yang balik bertanya?" selidik Kiran sambil bersedekap dada. "Aku ... aku hanya berjalan-jalan di sekitar rumah," Lita menjawab dengan gugup. Namun, Kiran tidak termakan oleh alibi lemah tersebut. Ia mendekat, membuat jarak antara mereka semakin dekat. Matanya menelusuri setiap gerak-gerik Lita, seakan mencari tahu kebenaran di balik sikapnya yang gelisah. "Kamu terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang. Siapa yang barusan kamu hubungi?" Lita tersentak, berusaha menyembunyikan rasa panik yang mulai merayapi dirinya. "Oh, tidak ada yang penting. Hanya teman lama yang ingin tahu kabarku," jawabnya cepat, sambil memasang senyum. Namun, senyumnya terasa kaku, seperti topeng yang nyaris retak. Kiran bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Lita, dan fi
Kiran berdiri di depan cermin, mengenakan gaun elegan berwarna merah muda pucat yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Gaun tersebut memiliki potongan yang anggun, dengan lengan tiga perempat yang menambahkan sentuhan klasik pada penampilannya. Bagian atas gaun memiliki garis leher berbentuk scallop yang menambah keindahan dan kemewahan pada busana itu. Gaun tersebut terbuat dari bahan renda berkualitas tinggi, dengan detail yang rumit pada seluruh permukaannya, memberikan kesan mewah dan sophisticated. Sebuah pita satin di bagian pinggang menonjolkan lekuk tubuh Kiran, sementara belahan di bagian depan gaun memberikan kesan elegan namun tetap feminin. Rambut cokelat Kiran yang bergelombang disisir rapi ke samping, tergerai indah di bahunya, memperlihatkan kilaunya yang sehat dan terawat. Perhiasan yang diberikan oleh ibu mertuanya—sebuah kalung berlian dengan anting-anting yang serasi—melengkapi penampilannya, membuatnya tampak seperti seorang bangsawan yang siap memukau semua or
Kiran menatap ke arah Arga dan Vanya yang tengah mengambil makanan bersama. "Sepertinya mereka memang serasi, Ma," jawab Kiran sambil tersenyum kecil di bibirnya. "Vanya itu sahabat baikku, dan aku tahu dia orang yang baik. Kalau mereka bisa bersama, aku akan sangat senang." Maria mengangguk setuju. "Mama juga berharap begitu. Mama ingin melihat anak-anak mama bahagia," ujarnya pelan, sambil tersenyum menatap Arga dan Vanya. Para tamu sudah mulai berdatangan, Kiran dan Maria menyambut tamu-tamu yang datang. Namun, suasana hati mereka berdua seketika berubah ketika melihat Arka, anak bungsu Maria, datang bersama dengan Lita, wanita yang kini menjadi istri kedua Arka. Maria yang melihat pemandangan itu langsung merasa kesal, terutama saat melihat Lita datang dengan menggandeng putranya begitu mesra. "Kenapa kamu membawa wanita itu ke sini?" tanya Maria dengan nada dingin saat Arka dan Lita sudah berada di hadapannya. Arka, yang sudah terbiasa dengan sikap ibunya terhadap Lita,