Lita menelan ludah dengan gugup, berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ketenangannya meskipun Kiran berdiri begitu dekat, menatapnya dengan tatapan tajam. "S-Sejak kapan kamu ada di situ?" "Kenapa jadi kamu yang balik bertanya?" selidik Kiran sambil bersedekap dada. "Aku ... aku hanya berjalan-jalan di sekitar rumah," Lita menjawab dengan gugup. Namun, Kiran tidak termakan oleh alibi lemah tersebut. Ia mendekat, membuat jarak antara mereka semakin dekat. Matanya menelusuri setiap gerak-gerik Lita, seakan mencari tahu kebenaran di balik sikapnya yang gelisah. "Kamu terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang. Siapa yang barusan kamu hubungi?" Lita tersentak, berusaha menyembunyikan rasa panik yang mulai merayapi dirinya. "Oh, tidak ada yang penting. Hanya teman lama yang ingin tahu kabarku," jawabnya cepat, sambil memasang senyum. Namun, senyumnya terasa kaku, seperti topeng yang nyaris retak. Kiran bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Lita, dan fi
Kiran berdiri di depan cermin, mengenakan gaun elegan berwarna merah muda pucat yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Gaun tersebut memiliki potongan yang anggun, dengan lengan tiga perempat yang menambahkan sentuhan klasik pada penampilannya. Bagian atas gaun memiliki garis leher berbentuk scallop yang menambah keindahan dan kemewahan pada busana itu. Gaun tersebut terbuat dari bahan renda berkualitas tinggi, dengan detail yang rumit pada seluruh permukaannya, memberikan kesan mewah dan sophisticated. Sebuah pita satin di bagian pinggang menonjolkan lekuk tubuh Kiran, sementara belahan di bagian depan gaun memberikan kesan elegan namun tetap feminin. Rambut cokelat Kiran yang bergelombang disisir rapi ke samping, tergerai indah di bahunya, memperlihatkan kilaunya yang sehat dan terawat. Perhiasan yang diberikan oleh ibu mertuanya—sebuah kalung berlian dengan anting-anting yang serasi—melengkapi penampilannya, membuatnya tampak seperti seorang bangsawan yang siap memukau semua or
Kiran menatap ke arah Arga dan Vanya yang tengah mengambil makanan bersama. "Sepertinya mereka memang serasi, Ma," jawab Kiran sambil tersenyum kecil di bibirnya. "Vanya itu sahabat baikku, dan aku tahu dia orang yang baik. Kalau mereka bisa bersama, aku akan sangat senang." Maria mengangguk setuju. "Mama juga berharap begitu. Mama ingin melihat anak-anak mama bahagia," ujarnya pelan, sambil tersenyum menatap Arga dan Vanya. Para tamu sudah mulai berdatangan, Kiran dan Maria menyambut tamu-tamu yang datang. Namun, suasana hati mereka berdua seketika berubah ketika melihat Arka, anak bungsu Maria, datang bersama dengan Lita, wanita yang kini menjadi istri kedua Arka. Maria yang melihat pemandangan itu langsung merasa kesal, terutama saat melihat Lita datang dengan menggandeng putranya begitu mesra. "Kenapa kamu membawa wanita itu ke sini?" tanya Maria dengan nada dingin saat Arka dan Lita sudah berada di hadapannya. Arka, yang sudah terbiasa dengan sikap ibunya terhadap Lita,
Saat semua orang sudah berkumpul di pesta tersebut, Arga menuntun ibunya, Maria, menuju meja di mana kue ulang tahun yang sudah didekorasi indah menunggu untuk dipotong. Seulas senyum kebahagiaan terus terpancar dari wajah Maria, terlihat jelas bahwa ia merasa sangat istimewa di hari ulang tahunnya yang ke-55 ini. Kiran dan Arka juga sudah bergabung bersama mereka, berdiri dengan penuh antisipasi menunggu saat-saat yang paling dinantikan. Sebelum memotong kue, seseorang memberikan mikrofon genggam kepada Arga, sementara Arka mendapatkan mikrofon yang bisa ditempel di bajunya. Arka langsung menempelkan mikrofon tersebut di jas hitamnya agar suaranya terdengar lebih jelas saat menyanyikan lagu ulang tahun nanti. "Baiklah, untuk semuanya, aku ingin menyampaikan terima kasih banyak karena kalian sudah hadir di ulang tahun ibuku yang ke-55 tahun ini," ucap Arga, ia mulai membuka acara tersebut. Ia lalu melihat ke arah Maria yang ada di sampingnya. "Ma, selamat ulang tahun. Semoga Mama
"T-tapi aku ...." "Kamu tidak perlu berjongkok seperti itu. Biar aku saja yang membersihkannya." Lita terdiam mendengar perkataan tersebut, sebenarnya ia juga tak ingin repot-repot membersihkan sepatu Kiran yang kotor karena ulahnya, terlebih dilihat oleh banyak orang.Arka langsung mengambil alih tisu tersebut dari tangan Lita. Ia lalu berjongkok di depan Kiran dan mulai membersihkan sepatu istrinya. Kiran merasa kesal melihat suaminya menggantikan Lita untuk membersihkan sepatu miliknya. Di dalam hati, ia merasa seolah-olah dirinya adalah istri yang paling kejam. Namun, Kiran tetap diam, ia hanya meremas gaunnya dengan erat. Sebenarnya, ia ingin berteriak dan meluapkan amarah yang ada pada dirinya kepada Arka, tetapi ia tidak mungkin melakukan itu terlebih di depan banyak orang. Setelah Arka selesai membersihkan sepatu Kiran, ia bangkit dan menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Aku sudah membersihkan sepatumu, Nona Kiran," sindir Arka dengan nada yang terdengar begitu ir
Kiran berdiri di atas rooftop rumah mertuanya, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa tubuhnya pada malam yang sudah larut ini. Dia menatap langit yang terbentang luas, dihiasi oleh hamparan bintang dan bulan yang bersinar begitu terang. Malam ini, langit tampak cerah, tapi tidak secerah hatinya. Pikirannya terus melayang, bercabang ke mana-mana. Rasa sakit di hatinya terus menjalar, seakan tak ada obat yang mampu menyembuhkannya. Wanita cantik dengan rambut tergerai itu terus merenung, membiarkan memori-memori indah berputar di otaknya. Sayangnya, kenangan-kenangan itu tampaknya hanya bisa disimpan dalam ingatan. Kiran merasa seperti tidak lagi bisa menggapai kebahagiaan yang dulu pernah ia rasakan, ketika hanya ada dirinya dan Arka. Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar di kesunyian malam. Arga melangkah mendekat ke arah Kiran yang sedang melamun. Lelaki yang mengenakan kemeja putih itu langsung melepaskan jasnya dan mengenakannya di tubuh Kiran. Kiran menoleh sedikit, m
Kiran sedang sibuk di dapur menyiapkan berbagai macam hidangan. Ia sedang memasak nasi goreng kesukaan mertuanya, Maria. Pagi ini, Kiran tampak menawan, ia mengenakan kemeja putih berlengan panjang. Yang tingginya hanya mencapai lutut, sehingga memperlihatkan kaki jenjangnya yang begitu mulusnya nan putih. Kiran tak hanya menyiapkan nasi goreng, ia juga tampak fokus menyiapkan sandwich untuk dirinya sendiri. Karena pagi ini, ia ingin sekali makan sandwich, terlebih semenjak hamil Kiran sudah jarang memakannya.Kiran merasa meskipun sebenarnya Maria, ibu mertuanya, memiliki pembantu. Namun, karena Bi Sri sedang sibuk membersihkan sisa-sisa pesta kemarin, Kiran memilih untuk memasak sendiri dan tak ingin merepotkan orang lain. Saat Kiran tengah meletakkan sandwich di atas meja, Maria keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Kiran sudah selesai memasak. "Sayang, kamu yang masak semua ini?" tanyanya, seraya memperhatikan nasi goreng kesukaannya dan juga sand
Arka membuka laporan rekam medis yang ada di tangannya, wajahnya terlihat bingung saat ia melihat nama Arga yang tertera di sana. Alih-alih dirinya. "Apa-apaan ini? Kenapa nama Kak Arga yang ada di sini? Kenapa bukan namaku?" Rasa kesal yang semakin memuncak membuat Arka meremas laporan medis itu dengan sekuat tenaga, seakan melampiaskan semua kekesalannya. Kertas yang tadinya rapi itu kini menjadi gumpalan tak berbentuk, lalu dilemparnya ke sembarang arah. Arka merasa harga dirinya seakan diinjak-injak. Ia tak mengerti kenapa nama kakaknya bisa tertera di laporan tersebut—seharusnya menjadi haknya sebagai suami Kiran. Meski hatinya sedang kalut, Arka tetap harus pergi ke kantor. Ia segera meraih tas kerja yang tergeletak di atas meja, lalu kemudian keluar dari kamar. Begitu sampai di lantai satu, Arka melihat Lita sedang sibuk di dapur. Aroma makanan yang wangi sudah tercium di hidungnya, tapi semua itu tak cukup untuk meredakan suasana hatinya yang kalut. Lita, yang menyada