"T-tapi aku ...." "Kamu tidak perlu berjongkok seperti itu. Biar aku saja yang membersihkannya." Lita terdiam mendengar perkataan tersebut, sebenarnya ia juga tak ingin repot-repot membersihkan sepatu Kiran yang kotor karena ulahnya, terlebih dilihat oleh banyak orang.Arka langsung mengambil alih tisu tersebut dari tangan Lita. Ia lalu berjongkok di depan Kiran dan mulai membersihkan sepatu istrinya. Kiran merasa kesal melihat suaminya menggantikan Lita untuk membersihkan sepatu miliknya. Di dalam hati, ia merasa seolah-olah dirinya adalah istri yang paling kejam. Namun, Kiran tetap diam, ia hanya meremas gaunnya dengan erat. Sebenarnya, ia ingin berteriak dan meluapkan amarah yang ada pada dirinya kepada Arka, tetapi ia tidak mungkin melakukan itu terlebih di depan banyak orang. Setelah Arka selesai membersihkan sepatu Kiran, ia bangkit dan menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Aku sudah membersihkan sepatumu, Nona Kiran," sindir Arka dengan nada yang terdengar begitu ir
Kiran berdiri di atas rooftop rumah mertuanya, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa tubuhnya pada malam yang sudah larut ini. Dia menatap langit yang terbentang luas, dihiasi oleh hamparan bintang dan bulan yang bersinar begitu terang. Malam ini, langit tampak cerah, tapi tidak secerah hatinya. Pikirannya terus melayang, bercabang ke mana-mana. Rasa sakit di hatinya terus menjalar, seakan tak ada obat yang mampu menyembuhkannya. Wanita cantik dengan rambut tergerai itu terus merenung, membiarkan memori-memori indah berputar di otaknya. Sayangnya, kenangan-kenangan itu tampaknya hanya bisa disimpan dalam ingatan. Kiran merasa seperti tidak lagi bisa menggapai kebahagiaan yang dulu pernah ia rasakan, ketika hanya ada dirinya dan Arka. Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar di kesunyian malam. Arga melangkah mendekat ke arah Kiran yang sedang melamun. Lelaki yang mengenakan kemeja putih itu langsung melepaskan jasnya dan mengenakannya di tubuh Kiran. Kiran menoleh sedikit, m
Kiran sedang sibuk di dapur menyiapkan berbagai macam hidangan. Ia sedang memasak nasi goreng kesukaan mertuanya, Maria. Pagi ini, Kiran tampak menawan, ia mengenakan kemeja putih berlengan panjang. Yang tingginya hanya mencapai lutut, sehingga memperlihatkan kaki jenjangnya yang begitu mulusnya nan putih. Kiran tak hanya menyiapkan nasi goreng, ia juga tampak fokus menyiapkan sandwich untuk dirinya sendiri. Karena pagi ini, ia ingin sekali makan sandwich, terlebih semenjak hamil Kiran sudah jarang memakannya.Kiran merasa meskipun sebenarnya Maria, ibu mertuanya, memiliki pembantu. Namun, karena Bi Sri sedang sibuk membersihkan sisa-sisa pesta kemarin, Kiran memilih untuk memasak sendiri dan tak ingin merepotkan orang lain. Saat Kiran tengah meletakkan sandwich di atas meja, Maria keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Kiran sudah selesai memasak. "Sayang, kamu yang masak semua ini?" tanyanya, seraya memperhatikan nasi goreng kesukaannya dan juga sand
Arka membuka laporan rekam medis yang ada di tangannya, wajahnya terlihat bingung saat ia melihat nama Arga yang tertera di sana. Alih-alih dirinya. "Apa-apaan ini? Kenapa nama Kak Arga yang ada di sini? Kenapa bukan namaku?" Rasa kesal yang semakin memuncak membuat Arka meremas laporan medis itu dengan sekuat tenaga, seakan melampiaskan semua kekesalannya. Kertas yang tadinya rapi itu kini menjadi gumpalan tak berbentuk, lalu dilemparnya ke sembarang arah. Arka merasa harga dirinya seakan diinjak-injak. Ia tak mengerti kenapa nama kakaknya bisa tertera di laporan tersebut—seharusnya menjadi haknya sebagai suami Kiran. Meski hatinya sedang kalut, Arka tetap harus pergi ke kantor. Ia segera meraih tas kerja yang tergeletak di atas meja, lalu kemudian keluar dari kamar. Begitu sampai di lantai satu, Arka melihat Lita sedang sibuk di dapur. Aroma makanan yang wangi sudah tercium di hidungnya, tapi semua itu tak cukup untuk meredakan suasana hatinya yang kalut. Lita, yang menyada
Kiran bangkit dari tempat tidur, ia merasa gelisah saat melihat Arka yang menatapnya dengan tatapan tajam. "Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanyanya dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang meskipun terlihat jelas bahwa ia sedang bingung. Arka, yang tanpa basa-basi, ia langsung menuntut Kiran. Dan mempertanyakan kegelisahannya selama ini, bahkan saat ia bekerja pun selalu tidak fokus karena memikirkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. "Apa kamu malu memiliki suami seperti aku?" Kiran mengerutkan kening, ia bingung dengan tuduhan suaminya itu. "Apa maksudmu?" Arka meraih sebuah kertas yang tadi sempat ia buang ke lantai sebelum pergi bekerja. Ia lalu menunjukkan kertas itu kepada Kiran. "Kamu menulis nama Arga di sini sebagai suamimu?" tanyanya, seraya memperlihatkan laporan medis yang tercantum di tangannya. Kiran mengambil laporan itu dengan cepat, ia mencoba merapikan laporan tersebut yang sudah kusut, lalu mulai membacanya. Wajahnya seketika pucat ketika menya
Lita tersenyum smirk saat Kiran mengambil gelas itu dari tangannya. 'Cepat minum, Kiran. Aku sudah tidak sabar ingin segera melihat kehancuranmu,' gumamnya dalam hati. 'Aku tidak ingin Mas Arka lebih menyayangimu dan anakmu daripada aku dan Cleo.' Lita berusaha menahan senyumnya yang hampir meledak menjadi tawa, ia begitu senang membayangkan apa yang akan terjadi setelah Kiran meminum susu itu. Kiran sudah menempelkan gelas tersebut di bibirnya dan hendak meminum susu tersebut. Namun, tiba-tiba kedua kucingnya, Anabul dan Milo, yang biasanya tenang, mereka mulai berkelahi dengan heboh. Mereka berlarian di sekitar ruangan, mengganggu konsentrasi Kiran. Salah satu dari mereka, Anabul, melompat ke arah Kiran, sampai membuat gelas yang ada di tangannya terjatuh ke lantai. Craack! Pyar! Gelas itu pecah berkeping-keping, dan susu yang seharusnya Kiran minum, tumpah ke lantai. "Astaga!" Kiran terkesiap, ia melihat lantai yang kini sudah berantakan. Kiran langsung mengalihkan perhatian
Kiran segera bergegas naik ke lantai dua setelah tahu siapa yang menghubunginya. Ia hanya tak ingin percakapan mereka terganggu. Apalagi sampai mendengar pertengkaran dirinya dan juga Arka. Begitu sampai di kamarnya, Kiran langsung menutup pintu dengan pelan dan menuju balkon untuk mendapatkan sedikit privasi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Kiran menjawab telepon. "Halo." "Kiran, apa kamu masih menganggapku ibumu?" Suara ibunya di ujung telepon terdengar kesal. Tentu saja, pertanyaan itu membuat Kiran merasa bersalah. "Apa maksud Mama ngomong seperti itu?" tanyanya bingung, meskipun dalam hati ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. "Kiran, apa kamu tidak mengerti apa maksud mama? Mama sudah tahu semuanya. Kenapa kamu menyembunyikan ini semua dari mama?" Kinanti merasa kecewa kepada putri satu-satunya itu karena tak pernah cerita apa pun tentang rumah tangganya bersama Arka. Selama ini bila Kiran dan Arka sedang ribut atau ada masalah, ia memang lebih sering cerita deng
Darah Kiran berdesir hebat ketika ia mendengar suara dua orang yang sedang bercinta dari dalam kamar. Terlebih, ia mengenali suara desahan suaminya sendiri. Tangannya mencengkram erat gelas, amarahnya sudah tidak bisa lagi untuk dikendalikan. "Berani-beraninya mereka bercinta di rumah ini!" Prang! Gelas yang dipegangnya dilemparkan ke lantai, sampai pecah berkeping-keping, dan menimbulkan suara gaduh. Arka terkejut, seketika menghentikan apa yang sedang ia lakukan. Ia langsung berdiri dan dengan cepat mengambil celana yang tergeletak di lantai. Ia mengenakannya dengan tergesa-gesa sambil berlari ke luar kamar. "Mas, kamu mau ke mana? Aku belum keluar!" teriak Lita, ia kecewa melihat suaminya yang langsung pergi tanpa mempedulikannya lagi. Arka tak menjawab, ia sudah keluar dari kamar. Ketika pintu kamar terbuka, Arka terkesiap melihat Kiran berdiri dengan pandangan tajam menusuk ke arahnya. "Kiran .…" Arka mencoba memanggil dengan suara rendah, merasa bersalah tapi tak tahu h