Share

Bab 7 : Kepergian Kiran

"K-Kami sedang ... menemani Cleo yang sedang sakit," jawab Arka gugup. Ia berusaha tetap tenang meski tatapan Arga begitu nyalang padanya.

"Huh, jadi dia wanita selingkuhan kamu?" Arga menatap ke arah Lita yang ada di sebelah adiknya.

Lita merasa tersudut, tubuhnya sudah bergetar, wanita yang mengenakan kemeja putih itu merasa gugup ketika Arga menatapnya begitu tajam seakan ingin menelannya hidup-hidup, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Saya Lita, Kak Arga. Saya ... ibu dari Cleo."

"Jadi benar, kamu selingkuh dengan dia, Arka?" selidik Arga mengangkat tagannya, menunjuk ke arah Lita. "Apa kamu sudah gila?"

"Kak, tolong jangan buat keributan di sini. Cleo sedang sakit, dia butuh ketenangan." Arka berusaha menenangkan situasi di mana kakaknya sudah tersulut emosi.

"Aku tidak peduli!" Arga membentak. "Kamu sudah menghancurkan pernikahanmu sendiri, kamu mengkhianati Kiran! Apa kamu tidak punya rasa malu sedikit pun?"

"Aku tahu, Kak. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar, tapi tolong! Kakak harus tahu posisi. Ini rumah sakit, jangan membuat kekacauan di sini!"

"Kamu bilang aku membuat kekacauan? Bukannya kamu sendiri yang mengacaukan semua ini?! Kamu melakukan perselingkuhan dengan wanita ini dan membiarkan Kiran menderita! Suami macam apa kamu ini?!"

Arga tak habis pikir dengan adiknya itu, ia pikir Arka sedang bekerja atau apa, tapi ternyata dia sedang bersama dengan wanita lain. Alih-alih menjaga Kiran yang sakit.

Lita mencoba berbicara, "Kak Arga, tolong dengarkan. Kami juga tidak menginginkan ini terjadi. Kami hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk Cleo."

"Jangan bicara padaku tentang melakukan yang terbaik! Apa kamu pikir ini yang terbaik? Menghancurkan rumah tangga orang lain?" sergah Arga, sambil menatap nyalang ke arah Lita.

"Kak, aku yang bersalah. Jangan salahkan Lita." Arka mencoba meredakan situasi. "Aku yang membuat keputusan yang salah."

"Ya, kamu memang bersalah, Arka. Dan sekarang, apa yang akan kamu lakukan? Kamu pikir dengan berdiri di sini dan meminta maaf, semuanya akan kembali normal?" Arga menatap adiknya, suaranya terdengar menghina.

"Aku tahu tidak mudah, Kak. Tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin Kiran memaafkanku, dan aku ingin menjaga Cleo."

"Memperbaiki? Kamu pikir semudah itu? Kiran hampir mati karena perbuatanmu!" Arga semakin marah, wajahnya sudah merah padam karena amarah.

Lita segera menyela perkataan Arga. "Kami sangat menyesal, Kak Arga. Kami hanya ingin mencari jalan keluar dari semua ini."

"Jalan keluar? Jalan keluar apa? Menikah dengan selingkuhanmu dan hidup bahagia? Kamu pikir itu solusi?" Arga mengejek Lita.

"Tidak, Kak. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya tahu aku harus ada untuk Cleo dan mencoba memperbaiki hubungan dengan Kiran." Suara Lita terdengar putus asa.

Arga menghela napas panjang, mencoba meredakan amarahnya yang sudah membara, ia sudah muak melihat Lita, terutama melihat adiknya, Arka.

***

"Ma, bagaimana dengan Kiran? Apa dia sudah siuman?" tanya Arga, tepat ketika ia sudah berada di hadapan ibunya.

Maria mengangguk. "Kiran sudah siuman. Mama mau mengambil minum dulu, kamu tolong jaga Kiran sebentar, ya?"

"Baik, Ma."

Maria hendak melangkah pergi, tapi Arga segera menghentikannya. "Ma .…"

"Ada apa, Arga?" Maria menoleh lagi ke arah anaknya yang ada di belakang.

"Tadi Arga bertemu Arka."

Maria menyipitkan matanya. "Di mana?"

"Di rumah sakit, Ma. Bersama selingkuhannya."

Ketika mendengar itu, Maria sontak membelalakkan mata dan bertanya, "Apa? Sedang ngapain mereka di rumah sakit?"

"Arka hanya bilang sedang menemani anaknya yang sedang sakit."

"Arka benar-benar brengsek, bisa-bisanya dia lebih sayang dengan selingkuhannya itu daripada Kiran. Mama harus bicara dengan dia," maki Maria dengan kesal.

"Ma, Mama tenang dulu, ini rumah sakit. Kita bicarakan ini nanti saja di rumah."

Maria yang masih kesal pun hanya bisa mengangguk. Ia tak habis pikir dengan anak bungsunya itu. "Baik, kita bicarakan nanti di rumah," katanya dengan nada tertahan, lalu melangkah pergi.

Ketika Arga melihat kepergian ibunya, ia pun langsung masuk ke dalam ruangan dan mendapati Kiran yang tengah tidur di atas brankar dengan selang yang menancap pada pergelangan tangannya. Wajah Kiran tampak pucat, tubuhnya terlihat lemah. Arga merasa hatinya tercabik melihat kondisi adiknya.

Tepat ketika di hadapan Kiran, Arga menggeser kursi dengan pelan agar tidak mengganggu Kiran yang sedang beristirahat. Ia kemudian duduk di kursi yang ada di samping Kiran, sambil terus memandangi wajah adiknya yang pucat.

Beberapa saat kemudian, Arga melihat Kiran mulai terbangun. "Kak, kamu di sini?" tanya Kiran dengan suara lemah.

Arga mengangguk. "Mama sedang ambilkan air dulu untuk kamu," jawabnya.

Kiran tersenyum tipis. "Terima kasih, Kak."

"Bagaimana perasaanmu sekarang, Kiran?"

Kiran menghela napas pelan. "Sedikit lebih baik, Kak. Tapi rasanya masih lelah."

"Kamu harus istirahat yang banyak. Jangan pikirkan yang berat-berat dulu," kata Arga sambil mengusap lembut tangan adiknya.

"Aku tidak bisa berhenti memikirkan Arka, Kak. Dia sudah menghancurkan semuanya," ujar Kiran, suaranya terdengar begitu sedih.

"Aku tahu, Kiran. Aku tahu betapa sakitnya kamu. Tapi kamu harus kuat, demi dirimu sendiri." Arga berusaha menguatkan Kiran.

"Aku akan coba, Kak. Tapi rasanya begitu sulit."

Arga menghela napas panjang, mencoba menenangkan Kiran dengan menepuk-nepuk tangannya yang terasa dingin. "Kamu tidak sendirian, Kiran. Aku dan Mama selalu ada untukmu."

Kiran mengangguk pelan, ia merasa sedikit terhibur oleh kata-kata Arga. "Terima kasih, Kak. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa kalian."

"Tidak usah berpikir seperti itu. Kita keluarga, kita akan selalu saling mendukung."

Ketika mereka sedang berbicara, tiba-tiba dering ponsel Arga terdengar. "Maaf, Kiran. Aku harus angkat telepon ini dulu," pamit Arga sambil berdiri dan mengambil ponselnya. "Aku akan segera kembali."

Kiran mengangguk. "Tidak apa-apa, Kak."

Arga keluar dari ruangan dan menjawab panggilan tersebut. Setelah beberapa saat berbicara di telepon, ia kembali ke kamar Kiran. Namun, ia tidak mendapati Kiran di kamarnya. Arga pun menjadi panik.

"Kiran? Kiran, kamu di mana?" teriak Arga sambil mencari ke setiap sudut ruangan. Tapi tidak ada jawaban dari Kiran. Arga semakin cemas, ia keluar dari ruangan dan bertanya kepada perawat yang lewat. "Maaf, apakah kalian melihat pasien dari kamar ini keluar?"

Perawat itu menggeleng. "Tidak, saya tidak melihat siapa pun keluar dari kamar itu."

Arga merasa semakin gelisah. "Tolong bantu saya mencari adik saya. Dia baru saja siuman dan tidak mungkin pergi sendiri."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status