"K-Kami sedang ... menemani Cleo yang sedang sakit," jawab Arka gugup. Ia berusaha tetap tenang meski tatapan Arga begitu nyalang padanya.
"Huh, jadi dia wanita selingkuhan kamu?" Arga menatap ke arah Lita yang ada di sebelah adiknya. Lita merasa tersudut, tubuhnya sudah bergetar, wanita yang mengenakan kemeja putih itu merasa gugup ketika Arga menatapnya begitu tajam seakan ingin menelannya hidup-hidup, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Saya Lita, Kak Arga. Saya ... ibu dari Cleo." "Jadi benar, kamu selingkuh dengan dia, Arka?" selidik Arga mengangkat tagannya, menunjuk ke arah Lita. "Apa kamu sudah gila?" "Kak, tolong jangan buat keributan di sini. Cleo sedang sakit, dia butuh ketenangan." Arka berusaha menenangkan situasi di mana kakaknya sudah tersulut emosi. "Aku tidak peduli!" Arga membentak. "Kamu sudah menghancurkan pernikahanmu sendiri, kamu mengkhianati Kiran! Apa kamu tidak punya rasa malu sedikit pun?" "Aku tahu, Kak. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar, tapi tolong! Kakak harus tahu posisi. Ini rumah sakit, jangan membuat kekacauan di sini!" "Kamu bilang aku membuat kekacauan? Bukannya kamu sendiri yang mengacaukan semua ini?! Kamu melakukan perselingkuhan dengan wanita ini dan membiarkan Kiran menderita! Suami macam apa kamu ini?!" Arga tak habis pikir dengan adiknya itu, ia pikir Arka sedang bekerja atau apa, tapi ternyata dia sedang bersama dengan wanita lain. Alih-alih menjaga Kiran yang sakit. Lita mencoba berbicara, "Kak Arga, tolong dengarkan. Kami juga tidak menginginkan ini terjadi. Kami hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk Cleo." "Jangan bicara padaku tentang melakukan yang terbaik! Apa kamu pikir ini yang terbaik? Menghancurkan rumah tangga orang lain?" sergah Arga, sambil menatap nyalang ke arah Lita. "Kak, aku yang bersalah. Jangan salahkan Lita." Arka mencoba meredakan situasi. "Aku yang membuat keputusan yang salah." "Ya, kamu memang bersalah, Arka. Dan sekarang, apa yang akan kamu lakukan? Kamu pikir dengan berdiri di sini dan meminta maaf, semuanya akan kembali normal?" Arga menatap adiknya, suaranya terdengar menghina. "Aku tahu tidak mudah, Kak. Tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin Kiran memaafkanku, dan aku ingin menjaga Cleo." "Memperbaiki? Kamu pikir semudah itu? Kiran hampir mati karena perbuatanmu!" Arga semakin marah, wajahnya sudah merah padam karena amarah. Lita segera menyela perkataan Arga. "Kami sangat menyesal, Kak Arga. Kami hanya ingin mencari jalan keluar dari semua ini." "Jalan keluar? Jalan keluar apa? Menikah dengan selingkuhanmu dan hidup bahagia? Kamu pikir itu solusi?" Arga mengejek Lita. "Tidak, Kak. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya tahu aku harus ada untuk Cleo dan mencoba memperbaiki hubungan dengan Kiran." Suara Lita terdengar putus asa. Arga menghela napas panjang, mencoba meredakan amarahnya yang sudah membara, ia sudah muak melihat Lita, terutama melihat adiknya, Arka. *** "Ma, bagaimana dengan Kiran? Apa dia sudah siuman?" tanya Arga, tepat ketika ia sudah berada di hadapan ibunya. Maria mengangguk. "Kiran sudah siuman. Mama mau mengambil minum dulu, kamu tolong jaga Kiran sebentar, ya?" "Baik, Ma." Maria hendak melangkah pergi, tapi Arga segera menghentikannya. "Ma .…" "Ada apa, Arga?" Maria menoleh lagi ke arah anaknya yang ada di belakang. "Tadi Arga bertemu Arka." Maria menyipitkan matanya. "Di mana?" "Di rumah sakit, Ma. Bersama selingkuhannya." Ketika mendengar itu, Maria sontak membelalakkan mata dan bertanya, "Apa? Sedang ngapain mereka di rumah sakit?" "Arka hanya bilang sedang menemani anaknya yang sedang sakit." "Arka benar-benar brengsek, bisa-bisanya dia lebih sayang dengan selingkuhannya itu daripada Kiran. Mama harus bicara dengan dia," maki Maria dengan kesal. "Ma, Mama tenang dulu, ini rumah sakit. Kita bicarakan ini nanti saja di rumah." Maria yang masih kesal pun hanya bisa mengangguk. Ia tak habis pikir dengan anak bungsunya itu. "Baik, kita bicarakan nanti di rumah," katanya dengan nada tertahan, lalu melangkah pergi. Ketika Arga melihat kepergian ibunya, ia pun langsung masuk ke dalam ruangan dan mendapati Kiran yang tengah tidur di atas brankar dengan selang yang menancap pada pergelangan tangannya. Wajah Kiran tampak pucat, tubuhnya terlihat lemah. Arga merasa hatinya tercabik melihat kondisi adiknya. Tepat ketika di hadapan Kiran, Arga menggeser kursi dengan pelan agar tidak mengganggu Kiran yang sedang beristirahat. Ia kemudian duduk di kursi yang ada di samping Kiran, sambil terus memandangi wajah adiknya yang pucat. Beberapa saat kemudian, Arga melihat Kiran mulai terbangun. "Kak, kamu di sini?" tanya Kiran dengan suara lemah. Arga mengangguk. "Mama sedang ambilkan air dulu untuk kamu," jawabnya. Kiran tersenyum tipis. "Terima kasih, Kak." "Bagaimana perasaanmu sekarang, Kiran?" Kiran menghela napas pelan. "Sedikit lebih baik, Kak. Tapi rasanya masih lelah." "Kamu harus istirahat yang banyak. Jangan pikirkan yang berat-berat dulu," kata Arga sambil mengusap lembut tangan adiknya. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan Arka, Kak. Dia sudah menghancurkan semuanya," ujar Kiran, suaranya terdengar begitu sedih. "Aku tahu, Kiran. Aku tahu betapa sakitnya kamu. Tapi kamu harus kuat, demi dirimu sendiri." Arga berusaha menguatkan Kiran. "Aku akan coba, Kak. Tapi rasanya begitu sulit." Arga menghela napas panjang, mencoba menenangkan Kiran dengan menepuk-nepuk tangannya yang terasa dingin. "Kamu tidak sendirian, Kiran. Aku dan Mama selalu ada untukmu." Kiran mengangguk pelan, ia merasa sedikit terhibur oleh kata-kata Arga. "Terima kasih, Kak. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa kalian." "Tidak usah berpikir seperti itu. Kita keluarga, kita akan selalu saling mendukung." Ketika mereka sedang berbicara, tiba-tiba dering ponsel Arga terdengar. "Maaf, Kiran. Aku harus angkat telepon ini dulu," pamit Arga sambil berdiri dan mengambil ponselnya. "Aku akan segera kembali." Kiran mengangguk. "Tidak apa-apa, Kak." Arga keluar dari ruangan dan menjawab panggilan tersebut. Setelah beberapa saat berbicara di telepon, ia kembali ke kamar Kiran. Namun, ia tidak mendapati Kiran di kamarnya. Arga pun menjadi panik. "Kiran? Kiran, kamu di mana?" teriak Arga sambil mencari ke setiap sudut ruangan. Tapi tidak ada jawaban dari Kiran. Arga semakin cemas, ia keluar dari ruangan dan bertanya kepada perawat yang lewat. "Maaf, apakah kalian melihat pasien dari kamar ini keluar?" Perawat itu menggeleng. "Tidak, saya tidak melihat siapa pun keluar dari kamar itu." Arga merasa semakin gelisah. "Tolong bantu saya mencari adik saya. Dia baru saja siuman dan tidak mungkin pergi sendiri."Maria baru tiba di depan ruang tempat Kiran dirawat dan langsung melihat ke arah Arga yang tampak sangat khawatir. Dia segera menghampiri putranya itu. "Ada apa, Arga?" tanya Maria begitu berada di hadapan anak sulungnya. "Ma, Kiran tidak ada di kamarnya," jawab Arga dengan suara gemetar, wajah tampannya terlihat begitu gelisah. Maria terkejut dan panik mendengar pengakuan putranya. "Bagaimana bisa Kiran tidak ada di kamarnya? Mama sudah menyuruh kamu untuk menjaganya, Arga!" tegas Maria dengan nada tinggi, ia begitu kesal kepada anaknya itu. "Maaf, Ma ...." Arga hanya bisa tertunduk mendengar teguran ibunya. Ia merasa bersalah karena telah lalai menjaga Kiran, yang beberapa hari terakhir ini kondisinya sangat tidak baik. Terutama setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh Arka terhadap Kiran. Pengkhianatan itu membuat Kiran terus mencoba menyakiti dirinya sendiri, sampai kini ia kabur entah ke mana. "Dari tadi Mama sudah bilang sama kamu untuk menjaga Kiran. Kenapa kamu begitu
"Mas, dari tadi aku mencari kamu. Cleo sudah lebih membaik sekarang," kata Lita sambil menghampiri Arka. Maria menatap remeh ke arah wanita yang ada di samping anaknya itu. Sekarang, ia bisa melihat wajah dari wanita yang telah menghancurkan keluarganya. "Oh, jadi kamu wanita pelakor itu!" hardik Maria sambil menatap Lita dengan tajam. Lita terlihat gugup ketika menerima hinaan dari wanita yang ada di depannya. Ia tidak tahu bahwa sedari tadi Arka bersama dengan ibunya, Maria. "Maaf, Bu...," ujarnya dengan suara bergetar. "Maaf? Kamu pikir maafmu itu cukup? Kamu menghancurkan pernikahan anakku, menghancurkan hati menantuku, dan sekarang kamu dengan santainya datang ke sini? Kamu tidak punya rasa malu!" sergah Maria, emosinya sudah tak dapat dibendung lagi. "Ma, tolong jangan seperti ini. Ini bukan salah Lita sepenuhnya. Aku yang bertanggung jawab," Arka mencoba menengahi, ia berdiri di antara ibunya dan Lita. "Jangan membela dia, Arka! Kamu tahu persis apa yang telah kamu l
Kiran berdiri di tepi jembatan, memegang erat besi pembatas. Pakaiannya yang masih mengenakan seragam pasien rumah sakit tampak kusut dan rambutnya berantakan. Matanya memandang kosong ke arah sungai yang mengalir deras di bawah. Arga, yang kebetulan melihatnya dari kejauhan, berlari secepat mungkin ke arah adiknya itu. "Kiran! Apa yang kamu lakukan di sana? Ayo, cepat turun!" teriak Arga dengan suara yang begitu panik sambil terus berlari mendekati Kiran. Kiran yang mendengar suara bariton Arga, ia segera menoleh. Tangannya yang menggenggam erat besi pembatas mulai merenggang, namun sebelum ia sempat melepaskan diri, Arga berhasil meraih tangannya."Kiran, apa yang ingin kamu lakukan?!" "Lepasin, Kak! Lepasin aku! Aku ingin mati saja," teriak Kiran sambil mencoba melepaskan genggaman Arga. "Kiran, apa yang ada di dalam pikiranmu? Apa kamu akan membunuh dirimu sendiri hanya karena Arka? Apa kamu akan menyerah begitu saja? Apa kamu akan merelakan Arka untuk wanita itu? Apa kamu
Arka terlihat canggung dan sedikit bingung. "Kiran, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sangat khawatir," katanya pelan. "Khawatir? Kamu khawatir?" Kiran tertawa getir mendengar perkataan Arka. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu berani bilang kamu khawatir? Kamu pikir aku akan percaya omong kosongmu itu?" Maria segera berdiri di antara Kiran dan Arka, ia mencoba menenangkan situasi yang sudah mulai memanas. "Arka, mungkin ini bukan waktu yang tepat. Kiran butuh waktu untuk menenangkan diri." "Tapi, Ma ...." Arga yang berdiri di belakang Maria, menatap Arka dengan tajam. "Sudah cukup, Arka. Kamu seharusnya tidak ada di sini sekarang." Arka tampak terluka oleh kata-kata anggota keluarganya, tetapi ia tetap mencoba mendekati Kiran. "Kiran, aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku benar-benar ingin memperbaikinya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan." Kiran menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kamu sudah memilih jalanmu
Kiran terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah, namun kesadarannya sudah kembali sepenuhnya. Matanya langsung menangkap sosok Arka yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak begitu cemas. Tanpa pikir panjang, Kiran langsung menghempaskan tangan Arka yang sedang menyentuhnya. "Jangan sentuh aku!" Suara Kiran terdengar dingin. Arka terkejut, namun lebih dari itu, ia merasa panik. Sorot mata Kiran yang membulat sempurna, menatapnya begitu tajam, membuat ia sadar betapa dalam luka yang telah ia torehkan di hati istrinya. "Kiran ..." Arka mencoba membuka mulutnya, tetapi kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Kiran bertanya dengan nada dingin. Tatapannya begitu tajam. Ia menatap Arka seolah-olah suaminya itu adalah orang asing, seseorang yang tak lagi ia kenal. Arka menelan ludah dengan susah payah, mencoba berusaha untuk tenang, meski Kiran terus menatapnya nyalang. "Aku hanya ingin menjaga kamu," jawab Arka pelan, suaranya hamp
Arga langsung menuju mobil yang terparkir rapi di area khusus eksekutif. Dengan setelan jas hitam yang masih rapi membalut tubuhnya, lengkap dengan dasi berwarna biru gelap yang sedikit longgar, ia tampak sangat gagah. Kemeja putih bersih di balik jasnya masih terlihat tanpa noda, meski seharian penuh ia berkutat dengan pekerjaan. Lelaki itu berjalan sambil membawa map berisi dokumen penting yang dibawanya dari kantor. Setelah membuka pintu mobil dengan tenang, Arga duduk di kursi pengemudi dan menaruh map tersebut di kursi penumpang sebelahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan sedikit kelelahan yang ia rasakan setelah seharian bekerja. Namun, sebelum ia sempat menyalakan mesin mobil, ponselnya berdering. Ia melihat layar ponselnya dan mendapati nomor ibunya terpampang jelas di sana. Arga segera mengangkat telepon itu. "Halo, Ma," sapanya dengan suara hangat. "Arga, kamu sudah selesai bekerja?" tanya Maria, suaranya terdengar mendesak. "Sudah, Ma. Ada apa?" Arga merasa
"Aku hanya ingin meringankan bebanmu, bukannya akhir-akhir ini pengeluaranmu sudah terlalu banyak?" sindir Arga kepada adiknya. Arka yang mendengar ucapan Arga merasakan amarahnya yang langsung merayap naik. Wajahnya yang semula tegas kini berubah menjadi tegang, rahangnya mengeras menahan kekesalan. Matanya menatap tajam ke arah Arga, seolah tak percaya bahwa kakaknya sendiri berani menyindirnya di depan Kiran dan Lita. "Pengeluaranku banyak atau sedikit itu bukan urusanmu, Kak," jawab Arka dengan nada dingin, sambil menahan emosi yang hampir meledak. "Aku masih bisa mengurus semuanya sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu untuk itu." "Aku tahu situasimu. Aku tidak ingin kamu terpuruk hanya karena gengsi. Jangan sampai bebanmu justru membuat keadaan semakin rumit," jawab Arga dengan nada tinggi. Arka mendengkus marah, ia merasa diserang dengan cara yang sangat tidak adil. "Gengsi? Kak, kamu pikir aku tidak mampu mengurus keluargaku sendiri? Hanya karena aku harus bertanggung jaw
Di sebuah cafe yang tenang, Kiran duduk sendiri di pojokan, mengenakan blazer biru yang melindungi tubuhnya dari dinginnya udara luar. Rambutnya yang panjang berwarna coklat tergerai begitu cantik, sebagian menutupi wajahnya yang terlihat sedang merenung. Ia merapikan rambutnya sambil sesekali memandang ke luar jendela, memperhatikan lalu lalang orang-orang yang tidak ia kenal. Secangkir kopi hangat berada di hadapannya, aroma yang khas dari minuman itu menghangatkan suasana hatinya meski hanya sedikit. Ia mencoba menikmati momen sendirinya di tengah hiruk pikuk dunia luar yang terus bergerak tanpa henti. Di depannya, beberapa dokumen dan agenda terlihat, namun pikirannya melayang jauh, memikirkan kejadian-kejadian yang baru saja ia alami. Wanita cantik itu merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Perjuangan menghadapi kenyataan pahit tentang perselingkuhan suaminya, Arka, membuatnya merasa hampa. Tak berselang lama, seorang wanita cantik dengan kemeja mera