Beranda / Romansa / Hati yang Kau Sakiti / Bab 1 : Kehamilan Tak Diharapkan

Share

Hati yang Kau Sakiti
Hati yang Kau Sakiti
Penulis: Vanilla_Nilla

Bab 1 : Kehamilan Tak Diharapkan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Diajeng Kirana Ardani, wanita yang kerap disapa Kiran itu segera berdiri dari lantai yang dingin ketika ia mendengar suara pintu kamar terbuka. Wanita yang berusia 27 tahun itu mengangkat pandangannya dari lantai, melihat ke arah suaminya, Arka, yang telah pulang kerja.

“Mas, kamu sudah pulang?”

“Malam ini banyak pekerjaan yang harus diurus. Jadi, aku baru sempat pulang sekarang,” jawab Arka sambil menaruh tas dan ponselnya di meja.

Arkana Wirasena, anak kedua dari almarhum Wirasena itu bekerja sebagai seorang manajer proyek di sebuah perusahaan konstruksi besar. Tanggung jawabnya besar, mulai dari mengawasi pembangunan hingga memastikan segala sesuatu berjalan sesuai jadwal. Hari-harinya sering kali dihabiskan di lokasi proyek, yang membuatnya selalu pulang larut malam, bahkan kadang tak pulang ke rumah.

“Mas, aku ingin bicara,” ujar Kiran, sambil mengangkat pandangannya, menatap ke arah Arka begitu gelisah.

Arka yang sedang melepas kancing kemejanya, sejenak menghentikan aktivitasnya, dan menatap Kiran yang sedang berjalan ke arahnya. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Tepat di hadapan suaminya, Kiran menyodorkan sebuah alat tes kehamilan ke arah Arka.

Arka yang melihat itu, segera meraih alat berbentuk panjang tersebut dari tangan Kiran dengan wajah bingung. “Apa ini?”

“Aku hamil, Mas.”

Wajah Arka seketika berubah menjadi marah mendengar itu. “Kenapa bisa kamu hamil? Bukannya kita sudah berjanji untuk menunda kehamilanmu?”

Selama ini, Arka selalu meminta agar mereka menunda memiliki momongan terlebih dahulu, meskipun mereka sudah menikah selama lima tahun.

Sorot mata Arka yang berwarna coklat tajam menembus dinding hati Kiran. Tak ayal, Kiran selalu takut dengan sorot mata tersebut. Dia terdiam, bibirnya terkatup rapat, tubuhnya bergetar ketika mendapatkan tatapan tajam dari suaminya.

“Ayo jawab, kenapa kamu diam saja? Bukannya aku juga selalu menyuruhmu untuk minum pil KB?” Lagi, suara Arka semakin menggema di malam yang sudah larut.

Kiran menundukkan kepalanya, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan suaminya itu. “Maaf, Mas. Aku sudah tidak minum obat itu lagi. Perutku kram bila minum obat itu.”

Arka terkejut mendengar penjelasan Kiran. “Kenapa kamu tidak bilang? Kenapa kamu diam saja?”

“Aku takut, Mas,” jawab Kiran, suaranya nyaris hampir tak terdengar. “Aku takut kamu marah, aku tidak tahu harus bagaimana.”

“Tapi seharusnya kamu bilang bila tidak minum obat itu lagi, setidaknya aku bisa mencegahnya!”

Dengan perasaan kesal, Arka menjatuhkan bobot tubuhnya di tepi ranjang. Ia membuang test pack ke sembarang arah, tangannya segera menyanggah kepalanya yang terasa berat. Bagaimana tidak, beban di pundaknya semakin bertambah, belum lagi pekerjaan yang menguras tenaga, dan juga tagihan yang semakin membengkak.

Baru sekitar tiga bulan lalu, ia membeli mobil impiannya dengan kredit, belum juga hutang bank, dan tagihan lainnya yang membuatnya pusing. Sekarang ditambah lagi dengan kehamilan dari istrinya.

Kiran memandang suaminya yang terlihat frustrasi. “Mas, kenapa kamu seperti ini? Seharusnya kamu bahagia, bukan? Kita akan memiliki anak.”

Bukannya ucapan Kiran membuat Arka bahagia, tapi malah membuat lelaki itu murka. Arka mengangkat pandangannya ke arah Kiran dan menatapnya tajam. “Kamu tahu, aku ini sedang pusing! Aku sedang memikirkan bagaimana caranya membayar tagihan yang sudah membengkak, dan sekarang ditambah lagi dengan beban kamu yang sedang hamil,” sergah Arka, tanpa ia sadari, ucapannya itu begitu menyakitkan di telinga Kiran.

Kiran tertegun, ia tidak habis pikir dengan perkataan suaminya itu. Beban? Apakah suaminya menganggap anak yang dikandungnya itu adalah beban?

“Mas, kenapa kamu bilang begitu? Anak itu adalah anugerah yang Tuhan kasih untuk kita. Seharusnya kamu bahagia, bukan kesal seperti ini. Kamu tahu, Mas, semua suami temanku merasa bahagia ketika tahu istrinya sedang hamil. Tapi kenapa dengan kamu?” Suara Kiran mulai terdengar putus asa. Wanita itu melanjutkan perkataannya lagi dengan kesal. “Di luar sana banyak orang yang mendambakan keturunan bahkan harus mengeluarkan uang banyak agar bisa memiliki anak. Harusnya kamu bersyukur!”

Arka menghela napas panjang, mencoba untuk tenang, tetapi rasa frustrasi dan beban yang menghimpitnya masih terlalu besar. “Kiran, kamu tidak mengerti. Aku tidak bilang aku tidak bersyukur, tapi situasi kita sekarang ini ... semuanya sangat berat. Aku hanya tidak tahu bagaimana kita akan menghadapinya.”

Kiran meraih tangan suaminya, ia berjongkok di hadapan Arka, berharap suaminya mau menerima anak yang ada dalam kandungannya itu.

“Aku tahu, Mas, kita sedang menghadapi banyak masalah. Tapi kita bisa melaluinya bersama. Aku butuh kamu dan anak kita juga akan membutuhkan kamu.”

Arka menarik napas dalam-dalam, ia begitu frustrasi, bagaimana caranya agar Kiran bisa mengerti posisinya. Arka menggenggam tangan Kiran, lelaki itu menundukkan kepala, sebelum akhirnya berkata dengan suara bergetar. “Kiran, mungkin lebih baik kalau kita menggugurkan saja anak itu.”

Deg!

Kiran tercengang, wajahnya memucat mendengar perkataan suaminya. Murka menguasai hatinya, jelas. Dia menarik tangannya dari genggaman Arka dan berdiri dengan cepat. “Apa?! Bagaimana bisa kamu mengusulkan hal seperti itu, Mas? Anak ini adalah darah daging kita! Darah daging kamu!”

“Kiran, dengarkan aku dulu.” Arka mendongak menatap Kiran yang sudah marah. “Aku hanya berpikir tentang bagaimana kita akan menghadapi semua ini. Kita tidak siap secara finansial, dan aku tidak ingin melihat kita semakin terpuruk.”

Kiran menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Kamu tidak berpikir tentang aku, tentang anak kita. Kamu hanya berpikir tentang dirimu sendiri dan masalahmu. Bagaimana bisa kamu meminta aku untuk menggugurkan anak yang baru hadir di rahimku?”

“Bukan begitu, Kiran.” Suara Arka mulai melemah. “Aku hanya ingin memastikan kita bisa memberikan yang terbaik untuk anak kita di masa depan. Jika kita tidak siap sekarang, aku takut kita akan gagal sebagai orang tua.”

Kiran menggelengkan kepala, satu tetes air matanya akhirnya jatuh menggelinding menyatu dengan bibir tipisnya. Ia tak pernah menyangka bila suaminya akan berkata demikian. “Mas, tidak ada waktu yang sempurna untuk memiliki anak. Setiap orang tua pasti menghadapi tantangan. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah sebelum kita mencoba. Anak ini adalah berkah, dan aku akan berjuang untuknya, dengan atau tanpa dukunganmu.”

Arka merasa terpukul oleh kata-kata Kiran. “Kiran, aku ....”

“Aku tidak ingin mendengar alasanmu lagi, Mas. Jika kamu tidak bisa mendukungku dalam hal ini, maka aku akan melakukannya sendiri. Tapi aku harap kamu bisa melihat bahwa anak ini adalah bagian dari kita berdua, dan dia berhak mendapatkan kesempatan untuk hidup.”

“Terserah kamu mau bilang apa, aku capek!” Arka berdiri dan langsung pergi dari hadapan Kiran.

“Mas, kenapa kamu seperti ini?”

Kiran menatap kepergian suaminya dari hadapannya. Lelaki yang berusia 30 tahun itu memasuki kamar mandi, meninggalkannya dalam diam yang menyesakkan.

Sudah lima tahun mereka menikah, tapi suaminya itu terus saja meminta agar mereka menunda memiliki anak. Alasannya tetap sama, karena banyak tagihan yang harus dibayar. Namun, itu tidak membuat Kiran kehilangan harapan dan keinginan untuk menjadi seorang ibu.

Setelah suaminya tak terlihat lagi dan menghilang dibalik pintu, tiba-tiba terdengar satu notifikasi dari ponsel Arka yang tergeletak di atas meja.

Pandangan Kiran tertuju pada layar ponsel yang sudah menyala, ia meraih ponsel tersebut. Mata coklatnya melebar ketika melihat sekilas pesan yang masuk. Tanpa sengaja, matanya menangkap beberapa kata yang membuat hatinya berdegup kencang.

“Mas, kamu di mana? Kamu jadi ke mari, ‘kan? Cleo demam, kita harus membawanya ke rumah sakit.”

Deg!

Jantung Kiran terasa berdenyut nyeri ketika membaca pesan tersebut. “Siapa ini? Kenapa dia mengirim pesan seperti ini?” gumam Kiran, suaranya bergetar saat membaca pesan tersebut.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Watti37
Jahat kamu arka
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
anak itu anugrah dan memiliki rejekinya sendiri bisa2nya arka ngomong seperti itu, jht km arka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 2 : Kenyataan Pahit

    Tangannya sudah bergetar, tapi Kiran mencoba memberanikan diri untuk tetap membuka pesan tersebut. Untung saja, ponsel itu tidak terkunci, sehingga ia bisa membaca semua isi percakapan yang ada. Selama ini, Kiran memang tak pernah membuka ponsel suaminya karena ia percaya sepenuhnya pada Arka. Tapi kepercayaannya kini hancur berkeping-keping ketika ia melihat pesan tersebut.Tubuh Kiran bergetar hebat, dadanya terasa sesak, kakinya begitu rapuh dalam berpijak hingga ia jatuh ke lantai yang dingin. Semua pesan itu membuatnya begitu terpukul. Bagaimana tidak, kontak yang memiliki foto profil seorang anak kecil yang begitu mirip dengan suaminya itu menyita perhatiannya.“Siapa anak kecil ini? Kenapa dia begitu mirip dengan Mas Arka?”Hati Kiran berdenyut nyeri. Terlebih, Arka menyimpan nomor ponsel itu dengan panggilan ‘Ay.’ Kiran merasa dunia di sekitarnya runtuh. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, mengaburkan pandangannya. Setiap pesan yang terbaca seolah menambah beban di hatin

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 3 : Kehadiran Orang Ketiga

    “Kiran.” Bibir Arka bergetar ketika memanggil nama istrinya.Kiran tersenyum, menatap suaminya yang sudah berada tepat di hadapannya. “Mas, apa kamu sudah bertemu dengan klien-mu? Tadi kamu pamit padaku, kamu bilang kamu ingin bertemu dengan klien, ‘kan?” Kiran menatap ke arah wanita yang ada di samping suaminya. “Apa dia klien-mu, Mas?”“Kiran, aku .…”Kiran segera menyela perkataan Arka, meski hatinya begitu sesak seperti ditusuk ribuan jarum. “Oh iya, Mas, tadi aku juga melihat kamu menggendong seorang anak kecil. Dan kenapa aku mendengar kamu bilang ‘anak papa’? Siapa anak itu, Mas?” Jujur saja, kiran sudah tak mampu lagi untuk menatap suaminya, bibirnya memang tersenyum, tapi hatinya sudah menjerit ingin berteriak. “Ayo jawab aku, Mas. Kenapa kamu hanya diam?”Arka meraih tangan Kiran, rasa bersalah dan ketakutan sudah memenuhi hatinya. Satu hal yang sangat ia takutkan akhirnya terjadi juga.“Kiran ....”“Aku tidak mau kamu terus berbohong kepadaku, Mas. Aku ingin kamu jujur.” K

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 4 : Penyesalan Maria

    Kiran berhenti di depan Arka, sambil mengangkat balok itu sedikit, dan menatap Arka dengan intens. “Kamu bilang tagihan-tagihan itu yang membuatmu pusing, kan? Aku akan membuat semuanya lebih mudah untukmu. Kamu tidak perlu memikirkan apa pun lagi.” Arka mundur satu langkah, matanya melebar ketakutan saat melihat Kiran sudah mengangkat balok itu ke arahnya. “Kiran, tenang. Tidak perlu sampai seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik.”Kiran tak mendengarkan perkataan Arka, ia tetap mengangkat balok tersebut, dan melayangkannya ke arah Arka. Arka segera menghindar sambil memejamkan matanya, lelaki itu terlihat begitu takut.Crashh!Namun, ternyata Kiran memukul mobil suaminya. Suara kaca yang pecah menggema di malam yang dingin. Kiran meluapkan semua rasa sakit hatinya dengan terus memukul mobil Arka.“Kiran!” Arka berteriak, ia terkejut dan panik ketika Kiran merusak mobil barunya. “Hentikan, apa yang kamu lakukan!”Kiran tidak menggubris teriakan suaminya, ia terus memukul mobil Arka

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 5 : Ingin Berpisah

    “Arga, adikmu ... adikmu, Arka ...” Maria tidak bisa melanjutkan kalimatnya, suaranya seakan tersendat di kerongkongan. Arga segera mendekati ibunya, sepasang tangannya terulur menyentuh bahu ibunya yang bergetar hebat. “Ma, tenang dulu. Tolong jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?” Maria mencoba mengangkat wajahnya lagi, menatap ke arah putra sulungnya, Arga, yang sudah ada di hadapannya. “Adikmu, Arka, dia sudah mengkhianati Kiran, dia sudah memiliki anak dengan perempuan lain.” Deg! Mata Arga melebar mendengar pengakuan ibunya. “Apa?” Arga segera menoleh ke arah Arka yang masih berdiri di belakangnya. “Arka, apa yang dikatakan Mama itu benar?” Arka mengangguk perlahan, menatap kakaknya yang sudah menatapnya dengan nyalang. “Iya, aku ... aku telah membuat kesalahan besar.” Arga merasa darahnya mendidih mendengar pengakuan adiknya. Ia tidak percaya bahwa Arka, yang selama ini ia anggap sebagai pria yang bertanggung jawab, bisa melakukan hal sekeji ini. Ia begitu sangat ke

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 6 : Rumah Sakit yang Sama

    "Ya Allah, Kiran, bangun, Sayang. Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu melakukan ini semua?" Maria begitu panik ketika melihat Kiran menenggelamkan tubuhnya di bathtub. Ia pun mencoba menarik tubuh Kiran agar keluar dari air. "Arga! Arga, cepat kemari!" "Ada apa, Ma?" Arga bertanya ketika sudah berada di dekat Maria. "Tolong bantu mama angkat Kiran!" Arga melihat ke arah Kiran yang masih berada di bathtub. "Kiran kenapa, Ma?" "Kiran tidak sadarkan diri, Arga. Cepat, angkat dia!" Arga yang ikut panik segera mengangkat tubuh Kiran dengan hati-hati agar ia tak terpleset oleh lantai yang licin. Arga meletakkan tubuh Kiran di atas kasur yang empuk, sambil merapikan rambut basahnya yang masih berantakan. "Kiran, bangunlah!" Arga sudah mencoba menepuk wajah Kiran dengan pelan, tapi Kiran tak kunjung bangun. Melihat wajah Kiran yang pucat pasi, Arga menjadi begitu khawatir. Ia takut terjadi apa-apa dengan adik iparnya itu, terlebih Kiran sedang hamil. "Arga, cepat panggil

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 7 : Kepergian Kiran

    "K-Kami sedang ... menemani Cleo yang sedang sakit," jawab Arka gugup. Ia berusaha tetap tenang meski tatapan Arga begitu nyalang padanya. "Huh, jadi dia wanita selingkuhan kamu?" Arga menatap ke arah Lita yang ada di sebelah adiknya. Lita merasa tersudut, tubuhnya sudah bergetar, wanita yang mengenakan kemeja putih itu merasa gugup ketika Arga menatapnya begitu tajam seakan ingin menelannya hidup-hidup, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Saya Lita, Kak Arga. Saya ... ibu dari Cleo." "Jadi benar, kamu selingkuh dengan dia, Arka?" selidik Arga mengangkat tagannya, menunjuk ke arah Lita. "Apa kamu sudah gila?" "Kak, tolong jangan buat keributan di sini. Cleo sedang sakit, dia butuh ketenangan." Arka berusaha menenangkan situasi di mana kakaknya sudah tersulut emosi. "Aku tidak peduli!" Arga membentak. "Kamu sudah menghancurkan pernikahanmu sendiri, kamu mengkhianati Kiran! Apa kamu tidak punya rasa malu sedikit pun?" "Aku tahu, Kak. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan b

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 8 : Mencari Kiran

    Maria baru tiba di depan ruang tempat Kiran dirawat dan langsung melihat ke arah Arga yang tampak sangat khawatir. Dia segera menghampiri putranya itu. "Ada apa, Arga?" tanya Maria begitu berada di hadapan anak sulungnya. "Ma, Kiran tidak ada di kamarnya," jawab Arga dengan suara gemetar, wajah tampannya terlihat begitu gelisah. Maria terkejut dan panik mendengar pengakuan putranya. "Bagaimana bisa Kiran tidak ada di kamarnya? Mama sudah menyuruh kamu untuk menjaganya, Arga!" tegas Maria dengan nada tinggi, ia begitu kesal kepada anaknya itu. "Maaf, Ma ...." Arga hanya bisa tertunduk mendengar teguran ibunya. Ia merasa bersalah karena telah lalai menjaga Kiran, yang beberapa hari terakhir ini kondisinya sangat tidak baik. Terutama setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh Arka terhadap Kiran. Pengkhianatan itu membuat Kiran terus mencoba menyakiti dirinya sendiri, sampai kini ia kabur entah ke mana. "Dari tadi Mama sudah bilang sama kamu untuk menjaga Kiran. Kenapa kamu begitu

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 9 : Selamat Tinggal

    "Mas, dari tadi aku mencari kamu. Cleo sudah lebih membaik sekarang," kata Lita sambil menghampiri Arka. Maria menatap remeh ke arah wanita yang ada di samping anaknya itu. Sekarang, ia bisa melihat wajah dari wanita yang telah menghancurkan keluarganya. "Oh, jadi kamu wanita pelakor itu!" hardik Maria sambil menatap Lita dengan tajam. Lita terlihat gugup ketika menerima hinaan dari wanita yang ada di depannya. Ia tidak tahu bahwa sedari tadi Arka bersama dengan ibunya, Maria. "Maaf, Bu...," ujarnya dengan suara bergetar. "Maaf? Kamu pikir maafmu itu cukup? Kamu menghancurkan pernikahan anakku, menghancurkan hati menantuku, dan sekarang kamu dengan santainya datang ke sini? Kamu tidak punya rasa malu!" sergah Maria, emosinya sudah tak dapat dibendung lagi. "Ma, tolong jangan seperti ini. Ini bukan salah Lita sepenuhnya. Aku yang bertanggung jawab," Arka mencoba menengahi, ia berdiri di antara ibunya dan Lita. "Jangan membela dia, Arka! Kamu tahu persis apa yang telah kamu l

Bab terbaru

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 125 : Happy Wedding (Tamat)

    Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 124 : Rencana Clarissa

    Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 123 : Pertengkaran Kiran & Arga

    Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 122 : Menemui Lita

    Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 121 : Kehilangan

    Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 120 : Batu Nisan

    Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 119 : Donor Mata

    "Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 118 : Kritis

    Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada

  • Hati yang Kau Sakiti   Ba 117 : Tabrak Lari

    "Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.

DMCA.com Protection Status