Hari semakin gelap dan Levana belum juga beranjak memandangi taman belakangnya yang kecil dan tertutup. Dirinya masih diam dan memikirkan banyak hal yang terlintas di pikirannya, terutama pada kandungannya yang semakin besar.Hampir dua minggu berlalu dirinya tidak bertemu dengan Rave. Pernah sekali ia tak sengaja bertemu di jalan dan saat itu Rave sedang bersama Lilian. Levana tahu jika Rave saat itu hanya berpura-pura tidak melihatnya dan hal itu yang membuatnya merasa semakin sedih.“Nyonya, hari sudah semakin gelap dan dingin. Sebaiknya Anda masuk ke dalam,” tegur Eva yang sedari tadi berusaha mengajak Levana masuk.Senyum di wajah Levana terlihat begitu menenangkan bagi siapa saja yang melihatnya. “Aku masih ingin menikmati udara segar. Biarkan aku di sini sebentar lagi,” tolak Levana akan ajakan Eva.“Udaranya makin lama makin dingin, Nyonya. Aku takut Anda akan jatuh sakit nantinya,” ujar Eva yang masih terus berusaha membujuk Levana.“Bisa tolong bawakan selimut untukku, Eva?”
“Dengarkan dulu apa yang aku katakan!” tegur Rave yang berusaha mengejar Levana dari belakang.“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Rave. Sebaiknya kau pulang sekarang sebelum Lilian datang kembali ke sini,” usir Levana yang lebih memilih turun ke bawah.“Apakah tidak bisa jika tidak membawa nama Lilian saat kita sedang bersama?” sahut Rave yang membuat langkah Levana tiba-tiba terhenti.Baru saja Levana hendak berbalik menatap Rave, dirinya mendadak merasakan nyeri di perutnya yang membuatnya refleks mendudukkan bokongnya di tangga. Rave yang melihat pun langsung menghampiri Levana.“Apa yang terjadi?” tanya Rave yang terlihat sangat khawatir melihat kondisi Levana barusan.“Perutku.. perutku sakit sekali,” balas Levana yang tanpa sadar mencengkeram lengan sang suami.“Eva! Damian!” teriak Rave tiba-tiba yang mana membuat keduanya berlari mendekat.“Astaga apa yang terjadi?” tanya Eva yang langsung mendekati keduanya.“Damian, siapkan mobil. Kita ke rumah sakit sekarang,” perintah Rave
Levana begitu terkejut saat mendapati tubuh lain berada di atas ranjang yang sama dengannya. Tak hanya itu, dirinya bahkan berada di dalam pelukan seseorang di mana kepalanya bahkan menggunakan lengan orang lain sebagai pengganti bantal.Saat dirinya sepenuhnya mulai sadar, ia tahu siapa pemilik lengan yang memeluk pinggangnya itu. Tak hanya dari postur tubuhnya, ia bahkan bisa mencium aroma parfume yang sempat dirasakannya. Tak salah lagi, yang memeluknya saat ini adalah suaminya sendiri, Rave Maverick.“Tunggu sebentar, apa yang dilakukannya di sini?” tanya Levana dalam hati sembari matanya menyusuri ruangan.“Aku sudah pulang ke rumah,” jawabnya sendiri yang perlahan mulai melepaskan pelukan Rave di pinggangnya.Walau Levana menyukai pelukan Rave saat ini, dirinya berusaha untuk melepaskan diri dan bangkit dari tidurnya. Ia tidak ingin saat Rave bangun dirinya melihat raut sesal di wajah sang suami.Saat berhasil melepaskan dirinya, Levana memilih duduk sebentar dan memandangi Rave
Sudah lebih dari satu jam Levana dan Rave tidak berpindah tempat. Keduanya duduk berseberangan di taman belakang sejak kedua orang tua Rave memilih untuk pergi dan melanjutkan pekerjaan mereka.Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Levana hanya fokus pada tanaman di tamannya itu, sedangkan Rave yang mana Levana bisa rasakan, pandangannya tidak pernah lepas memperhatikan gerak-geriknya.“Sebaiknya kau pergi,” usir Levana sembari mengembuskan napasnya. Lelah karena Rave terus-terusan memperhatikannya dalam diam.“Kau mengusirku?” tanya Rave tak percaya.Mata Levana kini melirik ke arah sang suami. “Tidakkah seharusnya kau masih harus bekerja? Jangan karena kau mempunyai jabatan tinggi di kantor jadi kau dengan seenaknya kerja sesuka hatimu,” lanjut Levana yang semakin membuat Rave tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Levana.“Apa pedulimu? Bukan kau yang menggajiku,” sahut Rave cepat.Entah apa yang terjadi pada Levana, suasana hatinya sekarang cepat sekal
“Kau terlalu mempercayainya, Theresa!” Terdengar teguran sang ayah pada ibu Levana yang terlihat begitu tenang mendengar cerita Levana.“Dia temanku, Vincent, wajar jika aku mempercayainya!” balas sang ibu yang membuat Levana refleks menarik napas panjang.Kedua orang tuanya tidak akan pernah memiliki pendapat yang sama jika menyangkut kebaikan Francis Maverick, ayah mertua Levana.Sang ibu yang merupakan teman dekat Francis dahulu selalu menganggap Francis adalah pria yang baik. Berbeda dengan sang ayah yang menganggap Francis adalah pria kejam yang bahkan tidak peduli pada orang lain.“Dan Levana adalah putri kita, Theresa, putri kita satu-satunya. Jika kau memang menganggap Francis adalah orang yang baik, seharusnya dia tidak menyarankan membantu perusahaan kita dengan menukarkan kehidupan Levana. Lama-lama aku juga muak dengan ayah dan anak itu,” seru sang ayah yang mana membuat mereka bertiga sama-sama terdiam.Jika boleh protes, Levana akan menganggap orang tuanya sama saja. San
Sudah hampir satu jam Levana menunggu kedatangan seseorang di Hotel Royal, lokasi yang dipilih untuk bertemu, tetapi orang yang Levana tunggu tidak datang juga. Semakin lama menunggu membuat Levana semakin cemas.“Kau sudah lama menunggu, Levana? Maaf karena ada rapat penting yang harus aku hadiri,” ucap seseorang di saat Levana baru saja hendak menghubunginya.“Tuan Maverick!” seru Levana yang terlihat sangat lega saat melihat kedatangan ayah mertuanya.Francis Maverick pun langsung menarik kursi di seberang Levana dan langsung mendudukinya. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Francis yang mana tangan kanannya tiba-tiba terangkat untuk memanggil pelayan, memesan teh hangat untuk dirinya sendiri.“Tarik napas dalam dan keluarkan perlahan, Levana. Tenangkan dirimu, kau terlihat sangat cemas saat ini,” tegur Francis yang kini tengah memperhatikan gerak-gerik Levana.Yang bisa dilakukan Levana saat ini hanya mengikuti apa yang dikatakan ayah mertuanya. Tarik napas dalam dan embuskan pe
Teguran Rave berhasil membuat Levana dan Francis menjadi sorotan. Bisik-bisik dari pengunjung lain pun terdengar, membuat Levana merasa tidak nyaman, terlebih saat ayah mertuanya terlihat begitu santai.“Tuan, apa sebaiknya kita pindah ke tempat lain?” tegur asisten Francis yang bisa didengar oleh Levana dan Rave, dan ditolak langsung oleh pria tua itu.“Kenapa aku harus pindah? Lagi pula bodoh sekali menganggap ayahnya tengah berkencan dengan istrinya sendiri,” sindir Francis yang mana membuat Rave tak nyaman mendengarnya. Fokus Francis pun kini melirik ke arah putra satu-satunya itu. “Kau tak akan duduk?”Entah mendapat keberanian dari mana, Levana justru mendorong tubuh Rave agar duduk tepat di sampingnya, berhadapan langsung dengan Francis Maverick.“Atas dasar apa kau menganggap aku dan Levana memiliki hubungan?” tegur Francis yang membuat Rave menatap tajam ayahnya sendiri.“Wajar bukan aku merasa ada yang tidak beres antara kau dan Levana, Dad, mengingat Levana tidak pernah mau
“Kau pulang bersamaku,” cetus Rave yang membuat langkah Levana terhenti.Dengan sigap Levana membalikkan badannya saat dirinya baru saja mengantar Francis pulang lebih dulu. “Aku datang bersama Damian, tentu saja aku akan pulang bersamanya,” tolak Levana yang mana membuat Damian yang berada di sana terlihat gugup.“Pulanglah bersama dengan Damian,” perintah Rave pada asistennya diikuti dengan tangannya yang menengadah.Tanpa banyak bicara dan dengan pekerjaannya yang selalu sigap, kunci mobil pun diletakkan sang asisten di atas tangan Rave. Berhasil mendapatkan kunci mobilnya, Rave pun langsung merangkul bahu Levana dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil.“Tidak bisakah kau menanyakan keinginanku dahulu?” tegur Levana yang tidak dipedulikan oleh Rave.“Cepat pakai sabuk pengamanmu,” perintah Rave yang mana mau tidak mau dituruti oleh Levana.Jarak antara Hotel Royal dengan kediamannya di Belgrave tidak terlalu jauh karena berada di pusat kota London. Hanya saja Levana merasa jika R