“Dengarkan dulu apa yang aku katakan!” tegur Rave yang berusaha mengejar Levana dari belakang.“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Rave. Sebaiknya kau pulang sekarang sebelum Lilian datang kembali ke sini,” usir Levana yang lebih memilih turun ke bawah.“Apakah tidak bisa jika tidak membawa nama Lilian saat kita sedang bersama?” sahut Rave yang membuat langkah Levana tiba-tiba terhenti.Baru saja Levana hendak berbalik menatap Rave, dirinya mendadak merasakan nyeri di perutnya yang membuatnya refleks mendudukkan bokongnya di tangga. Rave yang melihat pun langsung menghampiri Levana.“Apa yang terjadi?” tanya Rave yang terlihat sangat khawatir melihat kondisi Levana barusan.“Perutku.. perutku sakit sekali,” balas Levana yang tanpa sadar mencengkeram lengan sang suami.“Eva! Damian!” teriak Rave tiba-tiba yang mana membuat keduanya berlari mendekat.“Astaga apa yang terjadi?” tanya Eva yang langsung mendekati keduanya.“Damian, siapkan mobil. Kita ke rumah sakit sekarang,” perintah Rave
Levana begitu terkejut saat mendapati tubuh lain berada di atas ranjang yang sama dengannya. Tak hanya itu, dirinya bahkan berada di dalam pelukan seseorang di mana kepalanya bahkan menggunakan lengan orang lain sebagai pengganti bantal.Saat dirinya sepenuhnya mulai sadar, ia tahu siapa pemilik lengan yang memeluk pinggangnya itu. Tak hanya dari postur tubuhnya, ia bahkan bisa mencium aroma parfume yang sempat dirasakannya. Tak salah lagi, yang memeluknya saat ini adalah suaminya sendiri, Rave Maverick.“Tunggu sebentar, apa yang dilakukannya di sini?” tanya Levana dalam hati sembari matanya menyusuri ruangan.“Aku sudah pulang ke rumah,” jawabnya sendiri yang perlahan mulai melepaskan pelukan Rave di pinggangnya.Walau Levana menyukai pelukan Rave saat ini, dirinya berusaha untuk melepaskan diri dan bangkit dari tidurnya. Ia tidak ingin saat Rave bangun dirinya melihat raut sesal di wajah sang suami.Saat berhasil melepaskan dirinya, Levana memilih duduk sebentar dan memandangi Rave
Sudah lebih dari satu jam Levana dan Rave tidak berpindah tempat. Keduanya duduk berseberangan di taman belakang sejak kedua orang tua Rave memilih untuk pergi dan melanjutkan pekerjaan mereka.Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Levana hanya fokus pada tanaman di tamannya itu, sedangkan Rave yang mana Levana bisa rasakan, pandangannya tidak pernah lepas memperhatikan gerak-geriknya.“Sebaiknya kau pergi,” usir Levana sembari mengembuskan napasnya. Lelah karena Rave terus-terusan memperhatikannya dalam diam.“Kau mengusirku?” tanya Rave tak percaya.Mata Levana kini melirik ke arah sang suami. “Tidakkah seharusnya kau masih harus bekerja? Jangan karena kau mempunyai jabatan tinggi di kantor jadi kau dengan seenaknya kerja sesuka hatimu,” lanjut Levana yang semakin membuat Rave tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Levana.“Apa pedulimu? Bukan kau yang menggajiku,” sahut Rave cepat.Entah apa yang terjadi pada Levana, suasana hatinya sekarang cepat sekal
“Aku tahu ini tidak adil bagimu, Levana, tapi kau harus meyakinkan Rave agar dia bisa menerimamu menjadi istri kedua. Nasib keluarga kita ada di tanganmu!” Kalimat itu terlontar dari mulut sang ayah sebelum meninggalkan Levana seorang diri di sebuah restoran.Kepergian sang ayah tidak langsung membuat Levana bangkit dari duduknya. Pertemuannya barusan dengan sang ayah dan ayahnya Rave yang sudah lebih dulu pergi tentu saja tidak berjalan dengan baik. Ditambah Rave yang juga tak kunjung datang membuatnya lebih memilih untuk menunggu sebentar kedatangan pria itu.Tak lama, pintu ruangan VIP terbuka dan menampilkan sosok Rave yang datang tergesa-gesa. “Jadi, bagaimana keputusannya? Kau tentu saja menolak perjodohan ini kan, Levana?” tanya Rave dengan suara datar dan tatapan penuh harap agar Levana menolaknya.“Maaf, Rave, tapi ... Aku tidak bisa melakukannya,” ucap Levana dengan raut wajah bersalah.Mendengar ucapan Levana barusan membuat mata Rave menyiratkan kemarahan. “Aku sudah bilan
“Lilian, apa yang kau lakukan!” Rave refleks berseru saat melihat Lilian menampar wajah Levana. Diraihnya tangan Lilian, tetapi pandangannya fokus ke arah Levana yang tertunduk, terluka baik secara fisik maupun emosional. “Bukan begini caranya! Kita bisa membicarakan ini dengan tenang tanpa kekerasan.”“Tenang? Kau pergi menemui wanita lain di belakangku, dan kau ingin aku bersikap tenang?” teriak Lilian dengan amarah yang memuncak. Tangannya pun langsung ditarik begitu saja hingga pegangan Rave terlepas.Levana yang semula terdiam pun kini mengusap pipinya pelan karena tamparan yang diberikan Lilian barusan. Dengan suara tegas, tetapi tetap terdengar lembut, Levana berkata, “Lilian, aku mengerti perasaanmu. Aku mohon jangan salah paham. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu.”“Apa yang ingin kau jelaskan pada istriku, Levana! Ayo kita pergi dari sini,” ajak Rave pada Lilian yang mana istrinya itu tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri. “Tapi, Rave. Lilian juga berhak tah
Tidak pernah terpikirkan oleh Levana sebelumnya jika pernikahannya akan diadakan dengan begitu mewah. Ia pikir pernikahannya akan diadakan secara tertutup, mengingat dirinya menikah dengan pria yang sudah beristri. Namun, pikirannya itu salah karena pesta tersebut bahkan mengundang media besar dan meliput pesta pernikahannya.“Sampai kapan aku harus menemui mereka semua, aku bahkan tidak mengenal satu orang pun di pesta ini,” bisik Levana saat Rave kembali menghampirinya.“Tentu saja sampai orang yang menjanjikan akan melunasi utang perusahaanmu puas,” balas Rave yang mana arah pandangnya ke arah ayah mertua Levana.“Tidak bisakah kau mencari alasan agar kita bisa pergi dari sini?” tanya Levana yang mana justru membuat sudut bibir Rave terangkat.“Aku punya banyak alasan untuk kabur dari pesta ini, Levana, tapi tidak dengan dirimu. Nikmati saja pesta malam ini dan biar kuberi kau satu tips,” bisik Rave yang kini lebih mendekat ke Levana. “Manfaatkan untuk mencari kenalan yang bisa men
“Kau tidak mau turun?”Tersadar dari lamunannya, Levana langsung memperhatikan area sekitar. Dirinya tiba di depan salah satu rumah sederhana yang biasa ditemui di London. Bangunan berwarna putih terlihat sangat nyaman dipadukan dengan teras berwarna coklat muda.“Di mana kita sekarang?” tanya Levana saat keluar dari dalam mobil.“Richmond,” jawab Rave singkat yang mana berhasil membuat Levana berlari mengikuti pria itu.“Richmond?” ulang Levana dan tidak mendapat balasan apa pun dari Rave yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah baru mereka.Berbeda dengan keadaan di luar yang tampak tenang dan indah, bagian dalam justru tampak kosong. Hanya ada satu kursi kayu di dalam sana yang mana langsung diduduki oleh Rave. Pria itu kini lebih fokus melihat ponselnya dibandingkan memberi informasi untuk Levana.“Aku akan tinggal di sini mulai sekarang?” tanya Levana yang berharap Rave akan mengatakan tidak kepadanya.“Ya.”Jawaban singkat Rave berhasil membuatnya mengembuskan napas panjang. R
Selama 30 tahun dirinya hidup, Levana tidak pernah merasa punya musuh sebelumnya. Dirinya selalu bersikap baik kepada siapa saja yang ditemuinya. Saat dirinya menjadi korban perundungan pun, ia tidak pernah sekalipun membalas. Dirinya hanya diam menerima semua perlakuan buruk yang ditujukan kepadanya.Lalu sekarang, di hari pertama dirinya menikah dengan Rave sudah ada yang mengirimkannya pesan ancaman. Tentu saja hal tersebut membuat Levana sedikit takut sekaligus penasaran siapa pengirimnya. Yang terlintas di pikirannya hanya Lilian karena mau bagaimanapun juga, Levana memang sudah menyakiti wanita itu, jadi menurutnya hal yang wajar jika memang benar Lilian si pengirim pesan ancaman tersebut.“Kau menikmati pernikahanmu dengan Rave, Levana? Bagaimana kalau aku memberi tahu Rave atau keluarga Maverick lainnya bahwa kau tidak bisa hamil?” ucap seseorang dari seberang telepon saat Levana menghubungi si pengirim pesan ancaman.Tubuhnya refleks bergetar saat mendengar suara pria di sebe