“Kau tidak mau turun?”
Tersadar dari lamunannya, Levana langsung memperhatikan area sekitar. Dirinya tiba di depan salah satu rumah sederhana yang biasa ditemui di London. Bangunan berwarna putih terlihat sangat nyaman dipadukan dengan teras berwarna coklat muda.
“Di mana kita sekarang?” tanya Levana saat keluar dari dalam mobil.
“Richmond,” jawab Rave singkat yang mana berhasil membuat Levana berlari mengikuti pria itu.
“Richmond?” ulang Levana dan tidak mendapat balasan apa pun dari Rave yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah baru mereka.
Berbeda dengan keadaan di luar yang tampak tenang dan indah, bagian dalam justru tampak kosong. Hanya ada satu kursi kayu di dalam sana yang mana langsung diduduki oleh Rave. Pria itu kini lebih fokus melihat ponselnya dibandingkan memberi informasi untuk Levana.
“Aku akan tinggal di sini mulai sekarang?” tanya Levana yang berharap Rave akan mengatakan tidak kepadanya.
“Ya.”
Jawaban singkat Rave berhasil membuatnya mengembuskan napas panjang. Rave yang semula fokus pada ponselnya pun kini beralih melihat ke arahnya dengan pandangan tidak suka.
“Kau tidak menyukainya? Bukankah seharusnya kau berterima kasih aku memberikanmu tempat tinggal? Asal kau tahu, Levana. Richmond merupakan tempat tinggal Impian masa tuaku nanti dan kau kubiarkan tinggal di sini secara gratis,” protes Rave yang membuat Levana menyesali pertanyaannya tadi.
“Bukan begitu,” respon Levana cepat dan terlihat berulang kali hendak bicara, tetapi diurungkannya. “Maaf jika membuatmu kesal. Aku hanya terkejut saat mengetahui aku akan tinggal di sini. Kau.. kau tahu kan jarak rumah ini ke klinik tempat aku bekerja cukup jauh.”
“Levana, ada tujuan tersendiri aku memintamu tinggal di sini dan bukan di pusat kota London. Lilian dan kedua orang tuaku tinggal di sana, aku tidak ingin selalu berhadapan dengan masalah jika kau tinggal di lingkungan yang sama dengan mereka. Sudah cukup pernikahan ini menjadi masalah untukku, setelahnya aku tidak ingin menimbulkan masalah baru. Kuharap kau paham maksudku,” jelas Rave yang mana bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan ke lantai atas.
Langkah kaki Rave yang terhenti membuat Levana tanpa sengaja menabrak punggung pria yang kini menjadi suaminya itu. Rave tidak bergerak sama sekali walaupun Levana sudah meminta maaf. Pria itu hanya diam memperhatikan ruangan kosong yang lumayan besar di hadapannya.
Cukup lama Levana berdiri di belakang Rave yang tengah memperhatikan ruangan kosong di hadapannya dalam diam. “Kenapa? Kau membutuhkan sesuatu?”
“Kau bisa mengisi perlengkapan rumah ini sesuai yang kau inginkan, tapi biarkan ruangan ini aku yang mengisinya. Aku akan menempati kamar ini nantinya,” ucap Rave singkat yang mana setelahnya kembali turun ke lantai bawah.
“Kau yakin aku boleh mengisi perlengkapan rumah ini sesuai yang kuinginkan?” tanya Levana mengulangi ucapan Rave.
“Ya.”
“Kau yakin?” Levana kembali memastikan dan berhasil membuat Rave mengerang saat mendengarnya. “Bukan begitu, hanya saja selera kita.. sepertinya sangat bertolak belakang,” jelas Levana yang mendadak tidak yakin saat mengatakannya.
“Apa aku peduli dengan seleramu, Levana? Lagi pula aku tidak akan tinggal di sini nantinya. Aku akan datang sesekali jika itu diperlukan.” Jawaban Rave terdengar ketus hingga membuat Levana sedikit sedih mendengarnya.
“Benar, aku melupakan hal itu.”
Suasana di rumah itu mendadak canggung, Rave terlihat memandangi Levana dalam diam saat gadis itu fokus memperhatikan halaman belakang dari balik jendela. Seperti ada yang ingin dikatakan oleh Rave, tapi hingga Levana berbalik menatapnya, kata-kata tak sedikit pun keluar dari mulutnya.
“Oh Rave, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?” tanya Levana tiba-tiba yang mana membuat pria berambut pirang itu menatapnya dengan tatapan tak bisa dijelaskan.
“Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Boleh aku tahu kontak Lilian?” pinta Levana yang terdengar ragu karena takut Rave marah. Benar saja dugaan Levana karena ekspresi suaminya itu mendadak penuh amarah.
“Berhenti mengganggu hidup Lilian, Levana. Apa lagi yang kau inginkan darinya?” keluh Rave dengan nada tinggi yang membuat Levana harus menahan napas mendengarnya.
“Aku berjanji tidak akan menghubunginya, aku hanya ingin menyimpan kontaknya. Siapa tahu suatu saat aku membutuhkannya.” Levana berusaha meyakinkan suaminya itu.
“Tidak. Kau tidak membutuhkannya, begitu juga dengan Lilian,” tolak Rave yang mana kini bergegas hendak pergi meninggalkan Levana seorang diri di rumah barunya.
Belum siap ditinggal seorang diri di rumah barunya, Levana mencoba menghentikan langkah Rave dengan bercerita tentang apa yang terjadi tadi malam. Ia menceritakan tentang seseorang yang memberikannya selamat di pesta.
“Tadi malam temanmu datang dan memberikan selamat padaku,” seru Levana tiba-tiba yang berhasil membuat langkah Rave terhenti.
“Temanku?”
“Ya, seorang wanita berambut hitam pekat. Aku ingat dia temanmu karena sewaktu di reuni sekolah kau pernah datang bersamanya,” cerita Levana yang justru membuat Rave terlihat kebingungan.
“Reuni sekolah?” ulang Rave.
“Ya, reuni sekolah tahun lalu. Itu pertama kalinya aku datang karena kebetulan Ethan memaksaku untuk menemaninya ke sana.” Levana kembali bercerita yang mana membuat ekspresi wajah Rave berubah.
“Ah, aku lupa jika kau teman si bodoh itu,” respon Rave yang terlihat meremehkan sekarang, membuat Levana membenci melihat ekspresinya.
“Dia bukan pria yang bodoh, Rave. Dia temanku,” protes Levana yang mana membuat Rave tidak suka mendengarnya. “Lagi pula aku ingin memberi tahu tentang temanmu. Dia mencarimu tadi malam, kau bisa menghubunginya dan ucapkan terima kasih karena sudah datang.”
“Siapa kau berani menyuruhku seperti itu, Levana?” Suara Rave terdengar seolah mengancam membuat Levana tiba-tiba merinding mendengarnya.
“Dengar, aku hanya memberi tahumu,” balas Levana cepat dan tidak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka.
Melihat ekspresi wajah Levana yang terlihat seolah menghindar membuat Rave sadar apa yang dilakukannya. “Lupakan itu. Dan oh, Levana. Ethan Xander termasuk rival bisnisku dan karena kau kini menikah denganku, jangan coba-coba untuk berhubungan dengannya lagi walaupun pernikahan kita hanya pernikahan kontrak sekalipun,” ancam Rave yang mana membuat Levana tidak suka saat mendengarnya. Namun, Levana tidak bisa membela diri karena Rave sudah pergi begitu saja meninggalkan dirinya seorang diri.
Setelah kepergian Rave, Levana tidak melakukan apa pun dan lebih memilih duduk di kursi kayu yang mana satu-satunya barang yang ada di rumah itu. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan membalas pesan yang ia terima sebelumnya dari nomor tidak dikenal. Tidak mendapat balasan, Levana pun segera menghubungi nomor tersebut.
“Kau menikmati pernikahanmu dengan Rave, Levana? Bagaimana kalau aku memberi tahu Rave atau keluarga Maverick lainnya bahwa kau tidak bisa hamil?” ucap seseorang dari seberang telepon yang berhasil membuat tubuh Levana bergetar saat mendengarnya.
***
Selama 30 tahun dirinya hidup, Levana tidak pernah merasa punya musuh sebelumnya. Dirinya selalu bersikap baik kepada siapa saja yang ditemuinya. Saat dirinya menjadi korban perundungan pun, ia tidak pernah sekalipun membalas. Dirinya hanya diam menerima semua perlakuan buruk yang ditujukan kepadanya.Lalu sekarang, di hari pertama dirinya menikah dengan Rave sudah ada yang mengirimkannya pesan ancaman. Tentu saja hal tersebut membuat Levana sedikit takut sekaligus penasaran siapa pengirimnya. Yang terlintas di pikirannya hanya Lilian karena mau bagaimanapun juga, Levana memang sudah menyakiti wanita itu, jadi menurutnya hal yang wajar jika memang benar Lilian si pengirim pesan ancaman tersebut.“Kau menikmati pernikahanmu dengan Rave, Levana? Bagaimana kalau aku memberi tahu Rave atau keluarga Maverick lainnya bahwa kau tidak bisa hamil?” ucap seseorang dari seberang telepon saat Levana menghubungi si pengirim pesan ancaman.Tubuhnya refleks bergetar saat mendengar suara pria di sebe
“Siapa yang meneleponmu?”Tubuh Levana bergetar hebat saat mendengar ancaman Rave pada seseorang di seberang telepon. Dirinya bahkan tidak bisa bangkit seandainya saja sang suami tidak membantunya untuk berdiri.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Levana kembali bertanya karena Rave tidak juga menjawab pertanyaannya.Bukannya menjawab, Rave lebih memilih untuk mengitari ruang kerja Levana dan memperhatikan area luar dari balik jendela. “Jam berapa kau biasa pulang kerja?” tanya Rave tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.“Enam atau tujuh malam. Tidak menentu,” jawab Levana yang masih terpikirkan kejadian sebelumnya.“Sebaiknya mulai sekarang kau tutup pukul lima saja,” saran Rave yang justru semakin membuat Levana bertanya-tanya.“Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau diam saja dan tidak menjawab pertanyaanku?” keluh Levana yang sudah mulai kesal dengan sikap Rave.“Karena itu bukan urusanmu, Levana!” teriak Rave yang berhasil membuat Levana semakin kesal dibuatnya.“Kalau
Baik Levana maupun Rave hanya bisa terdiam saat pemilik Maverick Group memasuki rumah baru mereka. Pandangannya seolah mengisyaratkan keduanya jika rumah tersebut sangat tidak cocok untuk seseorang yang menyandang status keluarga Maverick.“Ini yang kau sebut rumah, Rave?” Hinaan yang keluar dari mulut Francis Maverick berhasil membuat Rave langsung bersuara.“Untuk apa aku membeli rumah mewah jika hanya akan digunakan selama tiga tahun saja? Terlalu berlebihan,” seru Rave yang mana tetap berusaha santai menghadapi ayahnya.Berbeda dengan Rave yang tetap terlihat tenang, Levana yang duduk di samping suaminya itu semakin menundukkan kepalanya. Tangannya mencengkeram kuat celana bahan yang ia kenakan saat dirinya mendengar balasan Rave barusan. Ada rasa sedih yang seolah langsung menyadarkan statusnya.Senyum meremehkan masih terlihat jelas di wajah Francis. “Aku tidak peduli kau membeli rumah mewah sekalipun karena selama tiga tahun ini Levana wajib menjadi prioritasmu. Kau harus memper
Terakhir kali Levana bertemu dengan kedua orang tuanya di malam pesta pernikahan dirinya dan Rave. Sudah seminggu berlalu dan ia baru berniat untuk menemui orang tuanya. Walau mereka jarang bertemu saat tinggal bersama dulu, Levana tetap merindukan keduanya.“Kau baik-baik saja, sayang?” tanya sang ibu ketika membawakan segelas jus untuk putri satu-satunya.“Ya, Mom. Aku baik-baik saja. Maafkan aku baru sempat berkunjung sekarang,” balas Levana yang sedikit berseru. “Ke mana Dad? Bukankah seharusnya dia libur hari ini?”“Semenjak Maverick Group mengambil alih, ayahmu semakin jarang pulang ke rumah, Levana. Pekerjaannya di kantor semakin padat,” balas sang ibu memberi info.“Kuharap itu berita bagus karena kini banyak investor yang mulai menaruh perhatian lebih, tapi aku khawatir dengan kondisinya yang sekarang.” Levana teringat fisik sang ayah yang mendadak memburuk karena permasalahan utang tempo hari.“Levana, kau tidak perlu memikirkan hal itu. Justru Mom yang sangat khawatir denga
“Kau pria yang baik, Rave. Titip jaga Levana,” pesan sang ibu saat Levana dan Rave hendak pergi.Levana tidak pernah tahu apa tujuan sang ibu berpesan seperti itu pada Rave di saat ibunya tahu betul hubungan antar keduanya. Yang bisa dilakukan Levana kini hanya tersenyum dan bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan ibunya seorang diri di rumah.“Ke mana kita akan pergi?” tanya Levana membuka pembicaraan saat keduanya di dalam mobil.Rave tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya berbicara. “Apa maksud ucapan ibumu tadi? Dia tidak tahu kita.. ah lupakan.” Ucapan Rave dihentikannya begitu saja seolah tidak ingin membahas lebih lanjut.Levana sendiri paham maksud pertanyaan Rave, tetapi melihat pria itu tidak melanjutkan ucapannya, Levana juga memilih untuk tidak membahasnya. Lagi pula pesan tersebut memang seharusnya tidak mereka bahas.“Jadi, kau bilang ada hal penting yang harus kau bicarakan denganku, apa itu?” tanya Levana kembali dan mencoba untuk mengalihkan kecanggungan.M
“Apa kau sudah gila?” teriak seorang pria yang sudah cukup tua keluar dari Audi hitam yang Rave tabrak.Sadar telah salah sasaran, Rave pun langsung keluar untuk meminta maaf dan membicarakannya secara kekeluargaan. Sedangkan Levana memilih untuk tetap diam di dalam mobil sembari menetralkan jantung dan pikirannya yang cukup terguncang karena kejadian barusan.Tiba-tiba ponselnya bergetar dan terlihat nomor asing kembali menghubunginya. Tanpa pikir panjang, Levana segera mengangkat panggilan telepon tersebut dan terdengar suara tawa yang cukup keras dari sambungan telepon.“Menarik sekali melihat suamimu sepertinya sangat khawatir terjadi sesuatu padamu,” seru si penelepon yang berhasil membuat kepala Levana semakin berdenyut.“Kau mengancam Rave?” tanya Levana seolah tidak percaya mendengar pernyataan pria tersebut.“Tidakkah kau bertanya-tanya kenapa akhir-akhir ini dia sepertinya sangat mengkhawatirkanmu, bahkan meminta kau pindah ke rumah utamanya, Levana Sullivan.”“Sebenarnya ap
Pada dasarnya tubuh Levana masih sangat lemas untuk digerakkan, tetapi dirinya menolak bantuan perawat yang hendak membantunya. Ia lebih memikirkan pekerjaan si perawat yang akan terbengkalai jika membantu dirinya.Dengan tangan yang masih gemetar saat memegang sendok, Levana berusaha keras untuk menyendokkan bubur ke mulutnya. Walau cukup sulit, setidaknya ia masih bisa melakukannya seorang diri.Tak lama derit pintu kembali terdengar, dan kali ini suaranya jauh lebih keras seolah seseorang yang membuka pintu sengaja melakukannya. Mata Levana pun terbuka sempurna saat mengetahui siapa gerangan yang datang.“Lilian? Apa yang kau lakukan di sini?” Pertanyaan yang refleks keluar begitu saja dari mulut Levana.“Seharusnya aku yang menanyakannya padamu. Apa yang kau lakukan di sini?” Lilian berbalik tanya yang membuat kening Levana berkerut.“Apa maksudmu, Lilian?” tanya Levana yang benar-benar tidak paham maksud wanita yang berdiri tepat di samping ranjangnya.Tawa sinis Lilian mendadak
“Keluar!”Teriakan Rave berhasil menghentikan langkah Lilian hendak melukai Levana lebih lanjut. Levana sendiri sudah tidak mampu untuk bersuara karena terlalu shock dan kondisi fisiknya yang sudah sangat lemas.“Ingat, Levana, kau akan membayar semua ini,” ancam Lilian yang mana langsung pergi dari ruang rawat inap Levana.Raut wajah Rave terlihat begitu khawatir saat mendapati kondisi Levana. “Bersabarlah sebentar, aku akan memanggil dokter yang berjaga.”Langkah Rave terhenti ketika Levana menahannya. “Jangan..” Yang mana setelahnya Levana tidak lagi mengingat apa yang terjadi.Saat Levana membuka matanya, hal pertama yang dilihatnya adalah sinar yang cukup menyilaukan mata. Dirinya berusaha mengerjap dan mendapati tengah dirawat di ruang yang berbeda.Selang infus masih terpasang, tetapi bukan di punggung tangan kirinya, melainkan dipindah di punggung tangan kanan. Ia juga merasakan ada yang mengganjal di wajahnya dan baru menyadari jika dirinya dibantu dengan alat bantu pernapasa