Baik Levana maupun Rave hanya bisa terdiam saat pemilik Maverick Group memasuki rumah baru mereka. Pandangannya seolah mengisyaratkan keduanya jika rumah tersebut sangat tidak cocok untuk seseorang yang menyandang status keluarga Maverick.
“Ini yang kau sebut rumah, Rave?” Hinaan yang keluar dari mulut Francis Maverick berhasil membuat Rave langsung bersuara.
“Untuk apa aku membeli rumah mewah jika hanya akan digunakan selama tiga tahun saja? Terlalu berlebihan,” seru Rave yang mana tetap berusaha santai menghadapi ayahnya.
Berbeda dengan Rave yang tetap terlihat tenang, Levana yang duduk di samping suaminya itu semakin menundukkan kepalanya. Tangannya mencengkeram kuat celana bahan yang ia kenakan saat dirinya mendengar balasan Rave barusan. Ada rasa sedih yang seolah langsung menyadarkan statusnya.
Senyum meremehkan masih terlihat jelas di wajah Francis. “Aku tidak peduli kau membeli rumah mewah sekalipun karena selama tiga tahun ini Levana wajib menjadi prioritasmu. Kau harus memperhatikannya sebaik mungkin karena ia wajib menghasilkan keturunan darimu.”
“Dad!” tegur Rave tidak terima dengan ucapan sang ayah barusan.
“Kenapa? Kau tidak menyukainya? Hanya tiga tahun saja, Rave, dan kau akan seutuhnya terlepas dari dirinya.” Francis kini beralih fokus pada Levana. “Jangan pernah lupa akan janji yang kau buat, Levana!”
“Ya, Tuan, aku mengerti maksudmu,” balas Levana dengan suara yang terdengar sedikit serak.
Francis yang semula duduk kini bangkit berdiri dan menyentuh dinding rumah, seolah tengah mengecek sesuatu. “Pindahlah ke Belgravia. Jika kau tidak mau Levana tinggal satu rumah denganmu dan Lilian, beli rumah yang tak jauh dari tempat kau tinggal.”
“Bukankah keterlaluan membiarkan Levana tinggal bersama denganku dan Lilian,” protes Rave. “Lagi pula Levana akan baik-baik saja tinggal di sini.”
“Yang dikatakan Rave benar, Tuan. Aku tidak masalah tinggal di sini. Akan jadi masalah jika aku tinggal di lingkungan yang sama dengan Rave dan Lilian,” tolak Levana yang kini ikut bersuara.
“Dan aku tidak butuh pendapatmu, Levana,” potong Francis cepat.
Mendengar itu Levana mengembuskan napas beratnya sepelan mungkin. Ia bisa melihat Rave yang masih duduk di sampingnya mengepalkan telapak tangannya hingga urat di tangannya terlihat jelas.
“Hentikan, Dad! Berhenti mengontrol hidupku,” ucap Rave dengan penuh penekanan yang justru membuat Francis tertawa mendengarnya.
“Aku akan berhenti mengontrol hidupmu jika kau menjalani hidup yang benar, Rave. Kau masih beruntung kuberi izin untuk tetap menikahi Lilian.” Francis kini mengambil mantelnya yang tergantung dan segera mengenakannya. “Keturunan Maverick tidak boleh terhenti. Pastikan kau sudah membawa Levana pindah ke Belgravia minggu ini.”
Melihat Francis yang hendak pergi membuat Levana langsung mengikutinya dari belakang, membiarkan Rave tetap diam di tempatnya. Walau Levana sendiri merasa sakit hati dengan perlakuan Francis padanya, ia tetap menghormati pria itu karena bagaimanapun dia yang membantu hidup keluarga Levana.
“Hati-hati di jalan, Tuan Maverick. Sampai bertemu besok,” ucap Levana yang mana mendapat gelengan kepala dari Francis.
“Tidak perlu menemuiku. Kita akan bertemu lagi setelah kau pindah di Belgravia,” tolak Francis dan seketika mobil yang membawa ayah mertua Levana itu melaju cepat meninggalkan perkarangan rumah Levana.
“Kau baik-baik saja?” tegur Levana saat melihat Rave yang tengah bersandar dan memejamkan matanya.
“Aku pakai kamarmu sebentar,” ucap Rave yang kemudian menaiki tangga ke lantai dua.
Setelah mendengar pintu kamarnya tertutup, Levana kembali ke dapur untuk melanjutkan masakannya yang terhenti. Sulit bagi Levana untuk berkonsentrasi pada masakannya sekarang, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain tetap memasak.
Tidak butuh waktu lama bagi Levana memasak makan malam untuknya dan Rave. Setelah merapikan makanan di atas meja makan, Levana langsung pergi ke kamarnya untuk memanggil Rave agar mereka bisa segera makan bersama.
Levana menarik napas panjang sebelum akhirnya mengetuk pintu kamarnya sendiri. “Rave? Boleh aku masuk?”
Tak ada jawaban dari Rave hingga Levana berinisiatif membuka pintu kamarnya sendiri. Ia tidak mendapati Rave di atas ranjangnya dan membuat dirinya membuka pintu lebih lebar. Rave terlihat tengah berdiri tepat di depan jendela kamarnya yang juga menghadap ke halaman belakang.
“Kau baik-baik saja?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Levana.
Tatapan dingin terlihat jelas dari sorot mata Rave. Levana yang semula hendak melangkah mendekati suaminya itu memilih untuk berhenti, terlebih ketika dirinya mendengar embusan napas kasar milik sang suami.
“Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berakhir seperti ini. Terperangkap dalam pernikahan yang tidak pernah aku inginkan sebelumnya.” Kata-kata Rave terdengar sangat pahit.
“Lalu aku harus menerima semua konsekuensinya sekarang,” lanjut Rave dengan tawa getir saat mengatakannya.
Levana sendiri yang merasa sakit saat mendengar ucapan Rave, tetapi ia tetap berusaha terlihat tegar. “Aku tahu ini bukan yang kau inginkan, Rave, karena aku juga begitu. Namun, kita tidak punya pilihan lain. Aku juga tidak punya pilihan selain menerimanya.”
“Tapi kau menerimanya.” Suara Rave kini terdengar meninggi. “Kau memilih untuk berada di sini yang mana membuat semuanya semakin rumit. Kau tahu, Levana, setiap kali aku melihatmu hanya penyesalan saja yang datang menghampiriku.”
Kata-kata Rave barusan benar-benar berhasil membuat Levana tidak sanggup lagi membendung air matanya. “Aku mengerti perasaanmu, Rave. Jauh lebih mengerti dibandingkan orang lain.”
Levana benar-benar tidak sanggup menahan emosinya hingga dirinya berjalan dan mendekati ranjang miliknya. Ia berpegangan kuat pada ranjangnya tersebut seolah tengah mencari kekuatan untuk dirinya menghadapi ini semua.
“Kau pikir aku baik-baik saja saat menerima perjodohan ini? Tidak, Rave, karena aku juga terluka.” Tatapan Levana seolah memaksa Rave untuk balas menatapnya. “Kau pikir aku setuju menikah denganmu karena keinginan pribadi? Aku hanya mencoba untuk bertahan.”
Melihat Levana yang terlihat rapuh semakin membuat Rave memilih untuk mundur beberapa langkah. “Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapimu, Levana. Menikah denganmu hanya membuat diriku tersiksa.”
“Aku tidak pernah meminta lebih padamu, Rave. Yang kuinginkan darimu hanya melewati ini bersama-sama tanpa harus saling menyalahkan,” respon Levana dengan suaranya yang bergetar.
Mendengar itu justru membuat Rave tertawa sinis. “Melewatinya secara bersama? Aku bahkan tidak tahu bagaimana caraku harus menghadapimu, apa aku bisa bertahan dalam pernikahan ini atau tidak.”
“Berbeda denganmu, walau ragu aku akan tetap bertahan karena aku rela melakukan apa pun agar orang yang kusayang bisa hidup bahagia dan nyaman.” Levana tertunduk lesu saat mengatakannya.
Rave tidak merespon ucapan Levana dan lebih memilih memandangi gadis itu dengan tatapan sulit diartikan. Sebenarnya ia sangat tahu jika bukan hanya dirinya yang tersakiti, melainkan juga istri barunya itu, tetapi Rave lebih memilih mengabaikannya.
Tanpa pikir panjang Rave pun keluar dari kamar Levana yang mana langsung disusul oleh gadis itu dari belakang. Langkah kaki panjang Rave dengan mudah membawanya melangkah menuju ke ruang tamu yang berada di lantai bawah.
“Rave,” panggil Levana yang mana berhasil membuat langkah Rave terhenti.
Pria itu berbalik dan menatap Levana dalam diam tanpa berniat merespon apa pun. Setelahnya ia keluar dan meninggalkan Levana seorang diri di dalam rumah yang sepi dan dingin itu.
Tanpa keduanya sadari, bayangan seseorang yang tengah mengintai rumah Levana dari kejauhan, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka dengan mata yang penuh dengan niat jahat. Sesuatu yang berbahaya tengah menanti Levana, dan keduanya tidak ada yang menyadari ancaman tersebut.
“Senang melihatmu hanya seorang diri di rumah, Levana.”
***
Terakhir kali Levana bertemu dengan kedua orang tuanya di malam pesta pernikahan dirinya dan Rave. Sudah seminggu berlalu dan ia baru berniat untuk menemui orang tuanya. Walau mereka jarang bertemu saat tinggal bersama dulu, Levana tetap merindukan keduanya.“Kau baik-baik saja, sayang?” tanya sang ibu ketika membawakan segelas jus untuk putri satu-satunya.“Ya, Mom. Aku baik-baik saja. Maafkan aku baru sempat berkunjung sekarang,” balas Levana yang sedikit berseru. “Ke mana Dad? Bukankah seharusnya dia libur hari ini?”“Semenjak Maverick Group mengambil alih, ayahmu semakin jarang pulang ke rumah, Levana. Pekerjaannya di kantor semakin padat,” balas sang ibu memberi info.“Kuharap itu berita bagus karena kini banyak investor yang mulai menaruh perhatian lebih, tapi aku khawatir dengan kondisinya yang sekarang.” Levana teringat fisik sang ayah yang mendadak memburuk karena permasalahan utang tempo hari.“Levana, kau tidak perlu memikirkan hal itu. Justru Mom yang sangat khawatir denga
“Kau pria yang baik, Rave. Titip jaga Levana,” pesan sang ibu saat Levana dan Rave hendak pergi.Levana tidak pernah tahu apa tujuan sang ibu berpesan seperti itu pada Rave di saat ibunya tahu betul hubungan antar keduanya. Yang bisa dilakukan Levana kini hanya tersenyum dan bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan ibunya seorang diri di rumah.“Ke mana kita akan pergi?” tanya Levana membuka pembicaraan saat keduanya di dalam mobil.Rave tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya berbicara. “Apa maksud ucapan ibumu tadi? Dia tidak tahu kita.. ah lupakan.” Ucapan Rave dihentikannya begitu saja seolah tidak ingin membahas lebih lanjut.Levana sendiri paham maksud pertanyaan Rave, tetapi melihat pria itu tidak melanjutkan ucapannya, Levana juga memilih untuk tidak membahasnya. Lagi pula pesan tersebut memang seharusnya tidak mereka bahas.“Jadi, kau bilang ada hal penting yang harus kau bicarakan denganku, apa itu?” tanya Levana kembali dan mencoba untuk mengalihkan kecanggungan.M
“Apa kau sudah gila?” teriak seorang pria yang sudah cukup tua keluar dari Audi hitam yang Rave tabrak.Sadar telah salah sasaran, Rave pun langsung keluar untuk meminta maaf dan membicarakannya secara kekeluargaan. Sedangkan Levana memilih untuk tetap diam di dalam mobil sembari menetralkan jantung dan pikirannya yang cukup terguncang karena kejadian barusan.Tiba-tiba ponselnya bergetar dan terlihat nomor asing kembali menghubunginya. Tanpa pikir panjang, Levana segera mengangkat panggilan telepon tersebut dan terdengar suara tawa yang cukup keras dari sambungan telepon.“Menarik sekali melihat suamimu sepertinya sangat khawatir terjadi sesuatu padamu,” seru si penelepon yang berhasil membuat kepala Levana semakin berdenyut.“Kau mengancam Rave?” tanya Levana seolah tidak percaya mendengar pernyataan pria tersebut.“Tidakkah kau bertanya-tanya kenapa akhir-akhir ini dia sepertinya sangat mengkhawatirkanmu, bahkan meminta kau pindah ke rumah utamanya, Levana Sullivan.”“Sebenarnya ap
Pada dasarnya tubuh Levana masih sangat lemas untuk digerakkan, tetapi dirinya menolak bantuan perawat yang hendak membantunya. Ia lebih memikirkan pekerjaan si perawat yang akan terbengkalai jika membantu dirinya.Dengan tangan yang masih gemetar saat memegang sendok, Levana berusaha keras untuk menyendokkan bubur ke mulutnya. Walau cukup sulit, setidaknya ia masih bisa melakukannya seorang diri.Tak lama derit pintu kembali terdengar, dan kali ini suaranya jauh lebih keras seolah seseorang yang membuka pintu sengaja melakukannya. Mata Levana pun terbuka sempurna saat mengetahui siapa gerangan yang datang.“Lilian? Apa yang kau lakukan di sini?” Pertanyaan yang refleks keluar begitu saja dari mulut Levana.“Seharusnya aku yang menanyakannya padamu. Apa yang kau lakukan di sini?” Lilian berbalik tanya yang membuat kening Levana berkerut.“Apa maksudmu, Lilian?” tanya Levana yang benar-benar tidak paham maksud wanita yang berdiri tepat di samping ranjangnya.Tawa sinis Lilian mendadak
“Keluar!”Teriakan Rave berhasil menghentikan langkah Lilian hendak melukai Levana lebih lanjut. Levana sendiri sudah tidak mampu untuk bersuara karena terlalu shock dan kondisi fisiknya yang sudah sangat lemas.“Ingat, Levana, kau akan membayar semua ini,” ancam Lilian yang mana langsung pergi dari ruang rawat inap Levana.Raut wajah Rave terlihat begitu khawatir saat mendapati kondisi Levana. “Bersabarlah sebentar, aku akan memanggil dokter yang berjaga.”Langkah Rave terhenti ketika Levana menahannya. “Jangan..” Yang mana setelahnya Levana tidak lagi mengingat apa yang terjadi.Saat Levana membuka matanya, hal pertama yang dilihatnya adalah sinar yang cukup menyilaukan mata. Dirinya berusaha mengerjap dan mendapati tengah dirawat di ruang yang berbeda.Selang infus masih terpasang, tetapi bukan di punggung tangan kirinya, melainkan dipindah di punggung tangan kanan. Ia juga merasakan ada yang mengganjal di wajahnya dan baru menyadari jika dirinya dibantu dengan alat bantu pernapasa
Satu minggu dirawat di rumah sakit membuat Levana sangat merindukan udara segar di rumahnya. Walau selama di rumah sakit ia tetap bisa merasakan udara segar ketika berjalan di taman, rasanya tentu saja berbeda.Bunyi sandi yang dimasukkan membuat Levana langsung terduduk dan menatap waspada ke arah pintu yang tengah dibuka. Dirinya baru saja pulang dari rumah sakit dan belum siap mendapatkan ancaman dari seseorang. “Kenapa kau di sini? Bukankah belum waktunya kau pulang?”Levana merasa lega ketika yang datang adalah Rave bukan orang asing yang mencoba masuk ke rumahnya. “Aku sudah pulih, jadi kenapa aku harus tetap tinggal di rumah sakit?” Levana berbalik tanya pada Rave.“Kenapa aku tidak mendapatkan kabar dari rumah sakit jika kau sudah boleh pulang? Seharusnya mereka memberitahuku lebih dulu,” keluh Rave yang masih kesal saat tahu Levana sudah kembali dari rumah sakit.“Aku yang meminta mereka, lagi pula kau tidak harus melakukan apa pun karena aku bisa mengurusnya sendiri,” jawa
Menghadiri pesta pernikahan yang diadakan pebisnis besar cukup merepotkan. Bukannya Levana tidak pernah menghadiri pesta sebelumnya, ia sudah sering kali hadir, tetapi kali ini rasanya berbeda. Sejak makan siang berakhir, dirinya sudah harus berada di salon kecantikan.“Wajahmu lembut sekali, Nyonya. Mode rambut apa pun yang kau pilih pasti sangat cocok untukmu,” puji penata rambut yang kini sedang menyisir lembut rambut Levana. “Yang mana yang kau pilih, Nyonya?”“Bisa kau berikan penjepit kecil di rambutku? Aku ingin mengurainya saja,” respon Levana sembari menyentuh rambutnya sendiri.“Bukankah terlalu biasa? Kau bisa menunjukkan pada semua orang jika kau memiliki leher jenjang yang sangat cantik,” usul si penata rambut yang mana ditolak oleh Levana.“Aku tidak banyak mengenal orang di pesta ini, jadi untuk menutupi kegugupanku aku bisa menggunakan rambutku nantinya,” bisik Levana sembari tertawa kecil membuat sang penata rambut juga ikut tertawa.“Benar sekali, Nyonya. Tak banyak o
“Freya datang!” tegur Dana yang mana kini fokus mereka pada seorang wanita yang memakai gaun hitam dan terlihat sangat mewah malam itu.“Kenapa kau memakai gaun berwarna putih?” tegur wanita bernama Freya sembari memeluk erat sang sahabat.“Gunakan matamu baik-baik, ini warna krem, bukan putih!” Dana terlihat tidak terima.Fokus Freya pun beralih pada Levana. “Kau manis sekali, Levana! Gaunmu cocok dengan kepribadianmu,” seru Freya yang kini langsung memeluk erat Levana. Levana bisa merasakan Rave melirik ke arahnya.“Terima kasih, dan kau terlihat sangat mewah,” puji Levana yang mana membuat Freya senang mendengarnya.“Rave, aku menyukai istrimu yang ini, sungguh!” seru Freya yang mendadak membuat Levana merasa tak nyaman, apalagi melihat reaksi Rave barusan.“Pertanyaannya siapa yang menyukai Lilian? Hanya Rave yang begitu bodoh saja yang menyukai adikku itu,” tambah Dana yang semakin membuat Levana tidak nyaman.“Kau terlihat begitu santai, apa karena yang menemanimu istri keduamu