Share

Part 07; Pergulatan Jiwa

Baik Levana maupun Rave hanya bisa terdiam saat pemilik Maverick Group memasuki rumah baru mereka. Pandangannya seolah mengisyaratkan keduanya jika rumah tersebut sangat tidak cocok untuk seseorang yang menyandang status keluarga Maverick.

“Ini yang kau sebut rumah, Rave?” Hinaan yang keluar dari mulut Francis Maverick berhasil membuat Rave langsung bersuara.

“Untuk apa aku membeli rumah mewah jika hanya akan digunakan selama tiga tahun saja? Terlalu berlebihan,” seru Rave yang mana tetap berusaha santai menghadapi ayahnya.

Berbeda dengan Rave yang tetap terlihat tenang, Levana yang duduk di samping suaminya itu semakin menundukkan kepalanya. Tangannya mencengkeram kuat celana bahan yang ia kenakan saat dirinya mendengar balasan Rave barusan. Ada rasa sedih yang seolah langsung menyadarkan statusnya.

Senyum meremehkan masih terlihat jelas di wajah Francis. “Aku tidak peduli kau membeli rumah mewah sekalipun karena selama tiga tahun ini Levana wajib menjadi prioritasmu. Kau harus memperhatikannya sebaik mungkin karena ia wajib menghasilkan keturunan darimu.”

Dad!” tegur Rave tidak terima dengan ucapan sang ayah barusan.

“Kenapa? Kau tidak menyukainya? Hanya tiga tahun saja, Rave, dan kau akan seutuhnya terlepas dari dirinya.” Francis kini beralih fokus pada Levana. “Jangan pernah lupa akan janji yang kau buat, Levana!”

“Ya, Tuan, aku mengerti maksudmu,” balas Levana dengan suara yang terdengar sedikit serak.

Francis yang semula duduk kini bangkit berdiri dan menyentuh dinding rumah, seolah tengah mengecek sesuatu. “Pindahlah ke Belgravia. Jika kau tidak mau Levana tinggal satu rumah denganmu dan Lilian, beli rumah yang tak jauh dari tempat kau tinggal.”

“Bukankah keterlaluan membiarkan Levana tinggal bersama denganku dan Lilian,” protes Rave. “Lagi pula Levana akan baik-baik saja tinggal di sini.”

“Yang dikatakan Rave benar, Tuan. Aku tidak masalah tinggal di sini. Akan jadi masalah jika aku tinggal di lingkungan yang sama dengan Rave dan Lilian,” tolak Levana yang kini ikut bersuara.

“Dan aku tidak butuh pendapatmu, Levana,” potong Francis cepat.

Mendengar itu Levana mengembuskan napas beratnya sepelan mungkin. Ia bisa melihat Rave yang masih duduk di sampingnya mengepalkan telapak tangannya hingga urat di tangannya terlihat jelas.

“Hentikan, Dad! Berhenti mengontrol hidupku,” ucap Rave dengan penuh penekanan yang justru membuat Francis tertawa mendengarnya.

“Aku akan berhenti mengontrol hidupmu jika kau menjalani hidup yang benar, Rave. Kau masih beruntung kuberi izin untuk tetap menikahi Lilian.” Francis kini mengambil mantelnya yang tergantung dan segera mengenakannya. “Keturunan Maverick tidak boleh terhenti. Pastikan kau sudah membawa Levana pindah ke Belgravia minggu ini.”

Melihat Francis yang hendak pergi membuat Levana langsung mengikutinya dari belakang, membiarkan Rave tetap diam di tempatnya. Walau Levana sendiri merasa sakit hati dengan perlakuan Francis padanya, ia tetap menghormati pria itu karena bagaimanapun dia yang membantu hidup keluarga Levana.

“Hati-hati di jalan, Tuan Maverick. Sampai bertemu besok,” ucap Levana yang mana mendapat gelengan kepala dari Francis.

“Tidak perlu menemuiku. Kita akan bertemu lagi setelah kau pindah di Belgravia,” tolak Francis dan seketika mobil yang membawa ayah mertua Levana itu melaju cepat meninggalkan perkarangan rumah Levana.

“Kau baik-baik saja?” tegur Levana saat melihat Rave yang tengah bersandar dan memejamkan matanya.

“Aku pakai kamarmu sebentar,” ucap Rave yang kemudian menaiki tangga ke lantai dua.

Setelah mendengar pintu kamarnya tertutup, Levana kembali ke dapur untuk melanjutkan masakannya yang terhenti. Sulit bagi Levana untuk berkonsentrasi pada masakannya sekarang, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain tetap memasak.

Tidak butuh waktu lama bagi Levana memasak makan malam untuknya dan Rave. Setelah merapikan makanan di atas meja makan, Levana langsung pergi ke kamarnya untuk memanggil Rave agar mereka bisa segera makan bersama.

Levana menarik napas panjang sebelum akhirnya mengetuk pintu kamarnya sendiri. “Rave? Boleh aku masuk?”

Tak ada jawaban dari Rave hingga Levana berinisiatif membuka pintu kamarnya sendiri. Ia tidak mendapati Rave di atas ranjangnya dan membuat dirinya membuka pintu lebih lebar. Rave terlihat tengah berdiri tepat di depan jendela kamarnya yang juga menghadap ke halaman belakang.

“Kau baik-baik saja?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Levana.

Tatapan dingin terlihat jelas dari sorot mata Rave. Levana yang semula hendak melangkah mendekati suaminya itu memilih untuk berhenti, terlebih ketika dirinya mendengar embusan napas kasar milik sang suami.

“Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berakhir seperti ini. Terperangkap dalam pernikahan yang tidak pernah aku inginkan sebelumnya.” Kata-kata Rave terdengar sangat pahit.

“Lalu aku harus menerima semua konsekuensinya sekarang,” lanjut Rave dengan tawa getir saat mengatakannya.

Levana sendiri yang merasa sakit saat mendengar ucapan Rave, tetapi ia tetap berusaha terlihat tegar. “Aku tahu ini bukan yang kau inginkan, Rave, karena aku juga begitu. Namun, kita tidak punya pilihan lain. Aku juga tidak punya pilihan selain menerimanya.”

“Tapi kau menerimanya.” Suara Rave kini terdengar meninggi. “Kau memilih untuk berada di sini yang mana membuat semuanya semakin rumit. Kau tahu, Levana, setiap kali aku melihatmu hanya penyesalan saja yang datang menghampiriku.”

Kata-kata Rave barusan benar-benar berhasil membuat Levana tidak sanggup lagi membendung air matanya. “Aku mengerti perasaanmu, Rave. Jauh lebih mengerti dibandingkan orang lain.”

Levana benar-benar tidak sanggup menahan emosinya hingga dirinya berjalan dan mendekati ranjang miliknya. Ia berpegangan kuat pada ranjangnya tersebut seolah tengah mencari kekuatan untuk dirinya menghadapi ini semua.

“Kau pikir aku baik-baik saja saat menerima perjodohan ini? Tidak, Rave, karena aku juga terluka.” Tatapan Levana seolah memaksa Rave untuk balas menatapnya. “Kau pikir aku setuju menikah denganmu karena keinginan pribadi? Aku hanya mencoba untuk bertahan.”

Melihat Levana yang terlihat rapuh semakin membuat Rave memilih untuk mundur beberapa langkah. “Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapimu, Levana. Menikah denganmu hanya membuat diriku tersiksa.”

“Aku tidak pernah meminta lebih padamu, Rave. Yang kuinginkan darimu hanya melewati ini bersama-sama tanpa harus saling menyalahkan,” respon Levana dengan suaranya yang bergetar.

Mendengar itu justru membuat Rave tertawa sinis. “Melewatinya secara bersama? Aku bahkan tidak tahu bagaimana caraku harus menghadapimu, apa aku bisa bertahan dalam pernikahan ini atau tidak.”

“Berbeda denganmu, walau ragu aku akan tetap bertahan karena aku rela melakukan apa pun agar orang yang kusayang bisa hidup bahagia dan nyaman.” Levana tertunduk lesu saat mengatakannya.

Rave tidak merespon ucapan Levana dan lebih memilih memandangi gadis itu dengan tatapan sulit diartikan. Sebenarnya ia sangat tahu jika bukan hanya dirinya yang tersakiti, melainkan juga istri barunya itu, tetapi Rave lebih memilih mengabaikannya.

Tanpa pikir panjang Rave pun keluar dari kamar Levana yang mana langsung disusul oleh gadis itu dari belakang. Langkah kaki panjang Rave dengan mudah membawanya melangkah menuju ke ruang tamu yang berada di lantai bawah.

“Rave,” panggil Levana yang mana berhasil membuat langkah Rave terhenti.

Pria itu berbalik dan menatap Levana dalam diam tanpa berniat merespon apa pun. Setelahnya ia keluar dan meninggalkan Levana seorang diri di dalam rumah yang sepi dan dingin itu.

Tanpa keduanya sadari, bayangan seseorang yang tengah mengintai rumah Levana dari kejauhan, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka dengan mata yang penuh dengan niat jahat. Sesuatu yang berbahaya tengah menanti Levana, dan keduanya tidak ada yang menyadari ancaman tersebut.

“Senang melihatmu hanya seorang diri di rumah, Levana.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status