Home / Pernikahan / Hati Wanita yang Tersakiti / Part 06; Sentuhan Pribadi

Share

Part 06; Sentuhan Pribadi

“Siapa yang meneleponmu?”

Tubuh Levana bergetar hebat saat mendengar ancaman Rave pada seseorang di seberang telepon. Dirinya bahkan tidak bisa bangkit seandainya saja sang suami tidak membantunya untuk berdiri.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Levana kembali bertanya karena Rave tidak juga menjawab pertanyaannya.

Bukannya menjawab, Rave lebih memilih untuk mengitari ruang kerja Levana dan memperhatikan area luar dari balik jendela. “Jam berapa kau biasa pulang kerja?” tanya Rave tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.

“Enam atau tujuh malam. Tidak menentu,” jawab Levana yang masih terpikirkan kejadian sebelumnya.

“Sebaiknya mulai sekarang kau tutup pukul lima saja,” saran Rave yang justru semakin membuat Levana bertanya-tanya.

“Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau diam saja dan tidak menjawab pertanyaanku?” keluh Levana yang sudah mulai kesal dengan sikap Rave.

“Karena itu bukan urusanmu, Levana!” teriak Rave yang berhasil membuat Levana semakin kesal dibuatnya.

“Kalau begitu sebaiknya kau pergi,” usir Levana yang tiba-tiba bangkit dan membukakan pintu untuk Rave. “Kedatangan kau ke sini juga tidak ada gunanya.”

Tawa sinis Rave kini membuat Levana sedikit gugup. “Kau mengusirku, Levana? Setelah apa yang kulakukan untuk menyelamatkan hidupmu?”

“Masalahnya kau saja tidak mau menjelaskan maksud kedatanganmu itu,” respon Levana yang berusaha mengontrol emosinya.

Cukup lama Rave memandangi Levana dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Entah apa yang tengah diperiksa pria itu membuat Levana merasa sedikit tidak nyaman.

“Rave?” panggil Levana yang mana langsung membuat pria itu menggelengkan kepalanya.

“Bereskan barangmu dan tutup klinik lebih cepat. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah.” Rave pun langsung keluar dari ruang kerja Levana dan menghilang dari balik pintu.

Tidak tahu arah jalan pikiran suaminya itu, Levana pun segera membereskan barang-barangnya dan menyusul Rave. Tak lupa ia memberi instruksi pada pegawainya untuk menutup klinik lebih cepat, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Rave yang sudah cukup lama menunggu.

Di sepanjang perjalanan tidak ada satu pun yang bersuara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Aston Martin berwarna abu gelap pun terparkir rapi tepat di depan halaman rumah yang Levana tinggali di Richmond. Keduanya segera keluar dari dalam mobil dan langsung masuk ke rumah tersebut.

“Berapa kodenya?” tanya Rave tiba-tiba yang mana berhasil membuat Levana terlonjak kaget.

“Apa?” ulang Levana.

“Kunci pintu,” tambah Rave yang kini menutup pintu di belakangnya dari dalam rumah.

Seolah paham maksud Rave, Levana pun langsung berseru. “1095,” jawab Levana santai yang kemudian langsung pergi ke dapur.

“1095? Kenapa tidak menggunakan pin yang lebih mudah untuk diingat? Ulang tahunmu, ulang tahunku atau tanggal pernikahan kita?” tanya Rave yang kini mengikuti Levana ke dapur.

Levana yang semula sedang mencuci tangannya pun tiba-tiba berhenti. Entah kenapa ada perasaan haru saat dirinya mendengar ucapan Rave barusan.

Rave sendiri langsung membungkam mulutnya saat menyadari perkataannya barusan seakan memberi harapan untuk pernikahan mereka. “Maksudku kenapa kau memilih pin yang berbeda. Biasanya orang lain lebih memilih yang berhubungan dengan tanggal lahir mereka.”

Ada rasa sedikit senang saat Levana mendengarnya, itu berarti Rave mengingat tanggal kelahiran dirinya. “Aku rasa sekarang orang jarang menggunakan tanggal lahir mereka untuk sesuatu yang penting seperti kunci pintu. Bukankah bahaya jika ada orang lain yang menyusup masuk ke rumah ini jika aku menggunakan tanggal kelahiranku?”

Anggukan setuju terlihat di wajah Rave saat Levana memberinya segelas jus jeruk. Rave kemudian berjalan mengitari seluruh penjuru rumah untuk melihat semua perlengkapan rumah yang baru diisi oleh Levana. Diam-diam dirinya menyukai selera sang istri yang memilih konsep alami, membuat nuansa rumah tersebut terkihat tenang dan nyaman.

“Lalu, 1095, apa maksudnya?” Rave kembali bertanya saat mendudukkan dirinya di ruang keluarga.

Levana terlihat ragu bagaimana hendak menjawabnya. “Jumlah hari dalam tiga tahun,” jawab Levana dengan suara yang sedikit berbisik.

Rave yang semula tampak senang kini mendadak diam tak bersuara. Dirinya lebih memilih untuk memperhatikan halaman belakang rumah yang tampak masih berantakan.

Tentu saja Levana belum ada kesempatan untuk merapikan taman belakang tersebut sesuai selera gadis itu. Tapi Rave yakin, seiring berjalannya waktu taman belakang akan terisi penuh dengan tanaman, sama seperti kediaman keluarga Sullivan yang penuh dengan aneka bunga.

“Oh ya, seperti yang kau katakan aku tidak mengisi ruangan yang akan kau pakai. Kau ingin mengisinya sekarang? Selagi kau punya waktu datang ke sini,” ujar Levana memberi usul pada Rave.

Kepala Rave menggeleng pelan. “Kau bisa memilihkannya untukku nanti.”

“Apa.. tidak masalah?” tanya Levana ragu. “Kau menyukai seleraku?”

“Tidak juga, seleramu dan seleraku jelas sangat berbeda. Aku menyukai nuansa yang gelap, tetapi ini juga tidak buruk.” Rave kemudian mengeluarkan kartu dari dalam dompetnya dan melemparkan ke atas meja di hadapan Levana. “Aku lupa memberi kartuku padamu. Kau bisa menggunakannya untuk bertahan hidup, dan kirimkan rekeningmu agar aku bisa mengganti uang yang kau gunakan untuk mengisi perlengkapan rumah ini.”

Dengan cepat Levana menggelengkan kepalanya dan mendorong kembali kartu yang ada di meja. “Tidak perlu, kau tidak perlu menggantinya dan memberiku uang. Aku masih bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri,” tolak Levana.

Embusan napas Rave kini terdengar. “Walaupun aku menikahimu karena terpaksa, tetap saja aku punya kewajiban untuk menafkahimu. Gunakan saja uang itu untuk membeli kebutuhanmu.”

“Tapi..”

“Tidak ada penolakan, Levana. Dan biarkan aku beristirahat seorang diri. Kau pergi dan kerjakan saja apa yang ingin kau lakukan,” potong Rave cepat sembari mengusir Levana.

“Baiklah.” Levana pun meraih kartu berwarna hitam dengan ukiran nama Rave Maverick di atasnya. “Kau ingin makan malam bersama sebelum pergi?” tanya Levana yang mana membuat kedua mata Rave kembali terbuka.

Rave sendiri juga bingung apakah ia harus pergi atau menginap di sana malam ini. Ia belum memutuskan. “Boleh.”

“Tidurlah, aku akan membangunkanmu begitu selesai masak,” seru Levana dengan senyuman mengembang di wajahnya. “Atau kau ingin beristirahat di kamarku? Aku tidak masalah.”

“Tidak, aku akan menunggu di sini saja,” tolak Rave yang mana dibalas anggukan kepala oleh Levana.

Sebenarnya Levana terbiasa tinggal sendiri karena orang tuanya lebih sering bepergian. Sang ibu yang seorang peneliti lebih senang menghabiskan waktunya di dalam lab, sedangkan sang ayah lebih sering menghabiskan waktu di percetakan. Namun, Levana akan sangat senang jika ada yang menemaninya saat berada di rumah walau hanya berdua saja.

Baru saja Levana hendak mulai memasak, tiba-tiba ketukan pintu terdengar dari luar. Dirinya sedikit khawatir siapa yang datang ke rumahnya. Rave pun terlihat sama karena pria itu sudah lebih dulu keluar untuk membukakan pintu.

“Richmond, Rave? Kau benar-benar sudah gila membelikannya rumah di Richmond!” seru seseorang dari balik pintu hingga berhasil membuat Rave terdiam melihat kedatangannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status