Selama 30 tahun dirinya hidup, Levana tidak pernah merasa punya musuh sebelumnya. Dirinya selalu bersikap baik kepada siapa saja yang ditemuinya. Saat dirinya menjadi korban perundungan pun, ia tidak pernah sekalipun membalas. Dirinya hanya diam menerima semua perlakuan buruk yang ditujukan kepadanya.
Lalu sekarang, di hari pertama dirinya menikah dengan Rave sudah ada yang mengirimkannya pesan ancaman. Tentu saja hal tersebut membuat Levana sedikit takut sekaligus penasaran siapa pengirimnya. Yang terlintas di pikirannya hanya Lilian karena mau bagaimanapun juga, Levana memang sudah menyakiti wanita itu, jadi menurutnya hal yang wajar jika memang benar Lilian si pengirim pesan ancaman tersebut.
“Kau menikmati pernikahanmu dengan Rave, Levana? Bagaimana kalau aku memberi tahu Rave atau keluarga Maverick lainnya bahwa kau tidak bisa hamil?” ucap seseorang dari seberang telepon saat Levana menghubungi si pengirim pesan ancaman.
Tubuhnya refleks bergetar saat mendengar suara pria di seberang telepon. Dugaan awalnya yang menganggap Lilian di balik semua ini ternyata salah. Ada rasa bersalah bercampur takut yang kini menghampiri dirinya.
“Siapa ini?” tanya Levana dengan suara yang bergetar.
“Kenapa kau ingin tahu, Levana? Apa kau takut rahasiamu terbongkar?” Terdengar nada suara yang sedikit mengancam Levana membuat gadis itu berusaha keras untuk tetap tenang.
“Rahasia apa yang kau bicarakan? Aku bahkan tidak pernah menyimpan rahasia di dalam hidupku,” balas Levana yang sudah pasti berbohong karena faktanya ia menyimpan banyak rahasia dalam hidupnya.
“Ah, ternyata kau mau main-main denganku, Levana? Bagaimana ya nasib perusahaan orang tuamu saat Tuan Maverick tahu kalau kau tidak bisa hamil? Oh sepertinya Rave juga akan marah besar karena dirinya juga merasa dipermainkan olehmu.” Suara dari seberang telepon kembali mengancam Levana.
“Siapa kau sebenarnya? Ada masalah apa kau denganku?” gertak Levana yang sudah tidak tahan mendengar semua ancaman dari pria itu.
“Sudah ya, Levana. Aku masih punya banyak kerjaan,” potong pria di seberang telepon. “Ngomong-ngomong, rumahmu di Richmond bagus. Sederhana, tetapi terlihat nyaman untuk ditinggali.”
Setelah mendengar kalimat terakhir dari seseorang yang mengancamnya, panggilan telepon tersebut dimatikan secara sepihak. Levana pun refleks berlari mendekati jendela dan memperhatikan area sekitar rumah barunya. Tidak ada tanda-tanda orang yang tengah mengintai. Jangankan untuk mengintai, ia bahkan tidak melihat orang yang berlalu-lalang beraktivitas di sana.
“Jangan khawatir karena aku tidak akan menyakitimu sekarang. Nikmati saja hari-harimu sebagai pengantin baru,” gumam Levana ketika dirinya membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya.
Untuk sementara Levana mencoba untuk mengabaikan ancaman yang ia terima sebelumnya. Masih banyak yang harus dibereskannya, termasuk membeli berbagai perlengkapan baru untuk rumah yang akan ditinggalinya mulai sekarang. Entah sampai kapan dirinya akan tinggal di rumah tersebut.
Tiga hari sudah berlalu semenjak dirinya menikah dengan Rave dan semuanya perlahan kembali normal. Perusahaan sang ayah kembali berjalan dan kini mendapat tawaran untuk memuat majalah khusus tentang olahraga. Levana juga tidak perlu mengkhawatirkan hidupnya semenjak menikah karena tidak ada yang berubah walau ia menikah dengan Rave. Pria itu punya kehidupannya sendiri. Kehidupan dengan istri pertamanya.
“Mrs. Maverick,” panggil salah seorang karyawan Levana dari balik pintu ruangannya.
“Oh, Nora. Sudah kukatakan panggil aku Levana saja. Dulu kau memanggilku dengan panggilan Levana, lalu kenapa sekarang kau bersikap formal sekali,” protes Levana yang mana kurang menyukai perubahan sikap karyawannya semenjak dirinya menikah.
Kepala karyawannya menggeleng cepat. “Aku tidak bisa melakukan itu, apalagi sekarang,” balasnya yang membuat Levana mendadak bingung. “Suami Anda datang, haruskah aku membawanya ke ruangan ini atau Anda sendiri yang akan keluar?”
Ucapan dari karyawan Levana berhasil membuatnya bangkit berdiri. Belum sempat Levana hendak mengatakan bahwa dirinya yang akan keluar menemui Rave, pria itu tiba-tiba datang sendiri ke ruangannya.
“Aku.. permisi dulu,” pamit karyawannya secepat mungkin dan berlalu dari hadapan Levana dan Rave.
Fokus Levana kini pada pria yang tiga hari lalu menikahinya. Dirinya tahu pasti ada yang tidak beres sampai sang suami datang langsung ke klinik tempatnya bekerja, tetapi dirinya tidak bisa berbohong jika sang suami terlihat sangat tampan saat ini. Apakah efek ini muncul dengan sendirinya setelah menikah?
“Duduklah,” ajak Levana yang mempersilakan Rave duduk di sofa yang ada di ruangannya. “Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Levana langsung karena dirinya khawatir ada yang tidak beres saat ini.
“Kau baik-baik saja?” Sebuah pertanyaan yang tak pernah Levana duga sebelumnya keluar dari mulut Rave.
Levana yang kebingungan hanya menganggukkan kepalanya pelan. “Ya, aku baik-baik saja. Ada apa denganmu, kenapa terlihat begitu khawatir? Apa terjadi sesuatu?”
Hanya embusan napas panjang terdengar di dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu. Kepala Rave disandarkannya pada sofa yang tengah didudukinya, sedangkan matanya tiba-tiba terpejam seolah tengah memikirkan sesuatu yang cukup berat.
Melihat Rave yang bertingkah aneh membuat Levana semakin khawatir dibuatnya. “Kau baik-baik saja? Jangan hanya diam saja, kau tidak mungkin datang jauh-jauh menemuiku hanya untuk bertanya apa aku baik-baik saja,” keluh Levana yang berhasil membuat Rave meliriknya tajam.
“Diam, Levana. Kau tahu kepalaku hampir pecah memikirkan apa kau baik-baik saja tinggal di Richmond sendirian,” teriak Rave yang kini dibalas senyuman tipis oleh Levana.
“Aku baik-baik saja, kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Lagi pula apa yang kau takutkan aku tinggal sendirian di Richmond, di sana sangat aman, kau pasti tahu betul akan hal itu. Kau tidak mungkin ingin tinggal di daerah yang tidak aman, bukan?”
Raut wajah khawatir Rave perlahan mulai hilang. Sebenarnya Levana tidak bisa tenang saat ini, entah kenapa dirinya merasa ada yang coba disembunyikan oleh Rave karena pria itu tidak mungkin khawatir dengan dirinya. Rave tidak akan pernah peduli dengan hidup Levana, lantas kenapa dia terlihat begitu khawatir jika tidak terjadi sesuatu.
“Aku sedang mempertimbangkan kau tinggal di lingkungan yang sama denganku. Bagaimana menurutmu?” tanya Rave tiba-tiba yang berhasil membuat Levana terkejut.
“Kenapa?”
“Tidak ada alasan khusus. Aku hanya khawatir ayahku tahu kau tinggal jauh dari tempatku,” jawab Rave yang semakin membuat Levana bertambah bingung.
“Kau tidak memberi tahu ayahmu di mana aku tinggal?” tanya Levana yang berbalik tanya pada Rave.
“Dengar, terlalu banyak yang harus kuurus, aku bahkan tidak sempat bertemu dengannya di kantor,” keluh Rave yang kini sibuk dengan ponselnya.
“Kalau begitu diamkan saja, tidak usah memberi tahunya jika dia tidak bertanya.” Levana terlihat menarik napasnya cukup panjang. “Dan maafkan aku, sepertinya aku mulai nyaman tinggal di Richmond sendirian. Hal itu juga bagus untuk hubungan kau dan Lilian. Aku tidak mau menambah masalah lagi di hidup kalian berdua.”
Rave terlihat hendak menjawab ucapan yang Levana lontarkan, tetapi dirinya teralihkan pada panggilan masuk ke ponselnya. Raut wajahnya juga kini berubah saat melihat layar di ponselnya itu.
“Jangan pernah main-main denganku. Sedikit saja kau menyentuh Levana, maka aku sendiri yang akan memastikan nyawamu menjadi taruhannya!” tantang Rave yang mana membuat Levana jatuh terduduk saat mendengar ucapan suaminya itu.
***
“Siapa yang meneleponmu?”Tubuh Levana bergetar hebat saat mendengar ancaman Rave pada seseorang di seberang telepon. Dirinya bahkan tidak bisa bangkit seandainya saja sang suami tidak membantunya untuk berdiri.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Levana kembali bertanya karena Rave tidak juga menjawab pertanyaannya.Bukannya menjawab, Rave lebih memilih untuk mengitari ruang kerja Levana dan memperhatikan area luar dari balik jendela. “Jam berapa kau biasa pulang kerja?” tanya Rave tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.“Enam atau tujuh malam. Tidak menentu,” jawab Levana yang masih terpikirkan kejadian sebelumnya.“Sebaiknya mulai sekarang kau tutup pukul lima saja,” saran Rave yang justru semakin membuat Levana bertanya-tanya.“Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau diam saja dan tidak menjawab pertanyaanku?” keluh Levana yang sudah mulai kesal dengan sikap Rave.“Karena itu bukan urusanmu, Levana!” teriak Rave yang berhasil membuat Levana semakin kesal dibuatnya.“Kalau
Baik Levana maupun Rave hanya bisa terdiam saat pemilik Maverick Group memasuki rumah baru mereka. Pandangannya seolah mengisyaratkan keduanya jika rumah tersebut sangat tidak cocok untuk seseorang yang menyandang status keluarga Maverick.“Ini yang kau sebut rumah, Rave?” Hinaan yang keluar dari mulut Francis Maverick berhasil membuat Rave langsung bersuara.“Untuk apa aku membeli rumah mewah jika hanya akan digunakan selama tiga tahun saja? Terlalu berlebihan,” seru Rave yang mana tetap berusaha santai menghadapi ayahnya.Berbeda dengan Rave yang tetap terlihat tenang, Levana yang duduk di samping suaminya itu semakin menundukkan kepalanya. Tangannya mencengkeram kuat celana bahan yang ia kenakan saat dirinya mendengar balasan Rave barusan. Ada rasa sedih yang seolah langsung menyadarkan statusnya.Senyum meremehkan masih terlihat jelas di wajah Francis. “Aku tidak peduli kau membeli rumah mewah sekalipun karena selama tiga tahun ini Levana wajib menjadi prioritasmu. Kau harus memper
Terakhir kali Levana bertemu dengan kedua orang tuanya di malam pesta pernikahan dirinya dan Rave. Sudah seminggu berlalu dan ia baru berniat untuk menemui orang tuanya. Walau mereka jarang bertemu saat tinggal bersama dulu, Levana tetap merindukan keduanya.“Kau baik-baik saja, sayang?” tanya sang ibu ketika membawakan segelas jus untuk putri satu-satunya.“Ya, Mom. Aku baik-baik saja. Maafkan aku baru sempat berkunjung sekarang,” balas Levana yang sedikit berseru. “Ke mana Dad? Bukankah seharusnya dia libur hari ini?”“Semenjak Maverick Group mengambil alih, ayahmu semakin jarang pulang ke rumah, Levana. Pekerjaannya di kantor semakin padat,” balas sang ibu memberi info.“Kuharap itu berita bagus karena kini banyak investor yang mulai menaruh perhatian lebih, tapi aku khawatir dengan kondisinya yang sekarang.” Levana teringat fisik sang ayah yang mendadak memburuk karena permasalahan utang tempo hari.“Levana, kau tidak perlu memikirkan hal itu. Justru Mom yang sangat khawatir denga
“Kau pria yang baik, Rave. Titip jaga Levana,” pesan sang ibu saat Levana dan Rave hendak pergi.Levana tidak pernah tahu apa tujuan sang ibu berpesan seperti itu pada Rave di saat ibunya tahu betul hubungan antar keduanya. Yang bisa dilakukan Levana kini hanya tersenyum dan bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan ibunya seorang diri di rumah.“Ke mana kita akan pergi?” tanya Levana membuka pembicaraan saat keduanya di dalam mobil.Rave tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya berbicara. “Apa maksud ucapan ibumu tadi? Dia tidak tahu kita.. ah lupakan.” Ucapan Rave dihentikannya begitu saja seolah tidak ingin membahas lebih lanjut.Levana sendiri paham maksud pertanyaan Rave, tetapi melihat pria itu tidak melanjutkan ucapannya, Levana juga memilih untuk tidak membahasnya. Lagi pula pesan tersebut memang seharusnya tidak mereka bahas.“Jadi, kau bilang ada hal penting yang harus kau bicarakan denganku, apa itu?” tanya Levana kembali dan mencoba untuk mengalihkan kecanggungan.M
“Apa kau sudah gila?” teriak seorang pria yang sudah cukup tua keluar dari Audi hitam yang Rave tabrak.Sadar telah salah sasaran, Rave pun langsung keluar untuk meminta maaf dan membicarakannya secara kekeluargaan. Sedangkan Levana memilih untuk tetap diam di dalam mobil sembari menetralkan jantung dan pikirannya yang cukup terguncang karena kejadian barusan.Tiba-tiba ponselnya bergetar dan terlihat nomor asing kembali menghubunginya. Tanpa pikir panjang, Levana segera mengangkat panggilan telepon tersebut dan terdengar suara tawa yang cukup keras dari sambungan telepon.“Menarik sekali melihat suamimu sepertinya sangat khawatir terjadi sesuatu padamu,” seru si penelepon yang berhasil membuat kepala Levana semakin berdenyut.“Kau mengancam Rave?” tanya Levana seolah tidak percaya mendengar pernyataan pria tersebut.“Tidakkah kau bertanya-tanya kenapa akhir-akhir ini dia sepertinya sangat mengkhawatirkanmu, bahkan meminta kau pindah ke rumah utamanya, Levana Sullivan.”“Sebenarnya ap
Pada dasarnya tubuh Levana masih sangat lemas untuk digerakkan, tetapi dirinya menolak bantuan perawat yang hendak membantunya. Ia lebih memikirkan pekerjaan si perawat yang akan terbengkalai jika membantu dirinya.Dengan tangan yang masih gemetar saat memegang sendok, Levana berusaha keras untuk menyendokkan bubur ke mulutnya. Walau cukup sulit, setidaknya ia masih bisa melakukannya seorang diri.Tak lama derit pintu kembali terdengar, dan kali ini suaranya jauh lebih keras seolah seseorang yang membuka pintu sengaja melakukannya. Mata Levana pun terbuka sempurna saat mengetahui siapa gerangan yang datang.“Lilian? Apa yang kau lakukan di sini?” Pertanyaan yang refleks keluar begitu saja dari mulut Levana.“Seharusnya aku yang menanyakannya padamu. Apa yang kau lakukan di sini?” Lilian berbalik tanya yang membuat kening Levana berkerut.“Apa maksudmu, Lilian?” tanya Levana yang benar-benar tidak paham maksud wanita yang berdiri tepat di samping ranjangnya.Tawa sinis Lilian mendadak
“Keluar!”Teriakan Rave berhasil menghentikan langkah Lilian hendak melukai Levana lebih lanjut. Levana sendiri sudah tidak mampu untuk bersuara karena terlalu shock dan kondisi fisiknya yang sudah sangat lemas.“Ingat, Levana, kau akan membayar semua ini,” ancam Lilian yang mana langsung pergi dari ruang rawat inap Levana.Raut wajah Rave terlihat begitu khawatir saat mendapati kondisi Levana. “Bersabarlah sebentar, aku akan memanggil dokter yang berjaga.”Langkah Rave terhenti ketika Levana menahannya. “Jangan..” Yang mana setelahnya Levana tidak lagi mengingat apa yang terjadi.Saat Levana membuka matanya, hal pertama yang dilihatnya adalah sinar yang cukup menyilaukan mata. Dirinya berusaha mengerjap dan mendapati tengah dirawat di ruang yang berbeda.Selang infus masih terpasang, tetapi bukan di punggung tangan kirinya, melainkan dipindah di punggung tangan kanan. Ia juga merasakan ada yang mengganjal di wajahnya dan baru menyadari jika dirinya dibantu dengan alat bantu pernapasa
Satu minggu dirawat di rumah sakit membuat Levana sangat merindukan udara segar di rumahnya. Walau selama di rumah sakit ia tetap bisa merasakan udara segar ketika berjalan di taman, rasanya tentu saja berbeda.Bunyi sandi yang dimasukkan membuat Levana langsung terduduk dan menatap waspada ke arah pintu yang tengah dibuka. Dirinya baru saja pulang dari rumah sakit dan belum siap mendapatkan ancaman dari seseorang. “Kenapa kau di sini? Bukankah belum waktunya kau pulang?”Levana merasa lega ketika yang datang adalah Rave bukan orang asing yang mencoba masuk ke rumahnya. “Aku sudah pulih, jadi kenapa aku harus tetap tinggal di rumah sakit?” Levana berbalik tanya pada Rave.“Kenapa aku tidak mendapatkan kabar dari rumah sakit jika kau sudah boleh pulang? Seharusnya mereka memberitahuku lebih dulu,” keluh Rave yang masih kesal saat tahu Levana sudah kembali dari rumah sakit.“Aku yang meminta mereka, lagi pula kau tidak harus melakukan apa pun karena aku bisa mengurusnya sendiri,” jawa