“Aku tahu ini tidak adil bagimu, Levana, tapi kau harus meyakinkan Rave agar dia bisa menerimamu menjadi istri kedua. Nasib keluarga kita ada di tanganmu!” Kalimat itu terlontar dari mulut sang ayah sebelum meninggalkan Levana seorang diri di sebuah restoran.
Kepergian sang ayah tidak langsung membuat Levana bangkit dari duduknya. Pertemuannya barusan dengan sang ayah dan ayahnya Rave yang sudah lebih dulu pergi tentu saja tidak berjalan dengan baik. Ditambah Rave yang juga tak kunjung datang membuatnya lebih memilih untuk menunggu sebentar kedatangan pria itu.
Tak lama, pintu ruangan VIP terbuka dan menampilkan sosok Rave yang datang tergesa-gesa. “Jadi, bagaimana keputusannya? Kau tentu saja menolak perjodohan ini kan, Levana?” tanya Rave dengan suara datar dan tatapan penuh harap agar Levana menolaknya.
“Maaf, Rave, tapi ... Aku tidak bisa melakukannya,” ucap Levana dengan raut wajah bersalah.
Mendengar ucapan Levana barusan membuat mata Rave menyiratkan kemarahan. “Aku sudah bilang kepadamu, Levana, aku tidak menginginkan pernikahan ini. Aku sudah menikah dengan Lilian. Kenapa kita masih harus mengulang kembali pembicaraan ini!”
Takut, tentu saja Levana Sullivan tidak pernah mendapati pria di hadapannya yang telah menjadi suami orang itu marah besar.
“Rave, kau... kau tahu jelas aku tidak punya pilihan selain menyetujuinya.” Gadis berambut pirang bergelombang itu mendadak tergagap. Namun, pantang menyerah sebelum dia meyakinkan Rave Maverick untuk menjadikan dirinya istri kedua.
Pria di hadapan Levana sudah cukup frustasi menghadapinya. “Tidak dengan menjual dirimu sendiri, Levana. Kau bukan hanya jadi istri kedua, tetapi kau juga akan dipaksa melahirkan seorang anak.”
Sejenak, Levana termenung. Mendengar omongan Rave, sebenarnya ia sedikit gentar.
Belum lagi, alasan-alasan lain yang sebenarnya pun ia kurang setuju untuk menjadi wanita kedua. Tidak lama, sebuah ide yang dirasa lebih menguntungkan keduanya terbersit di kepala Levana.
“Bagaimana kalau kita pura-pura menikah saja? Aku tahu kalau kau sangat menyayangi Lilian, bukan? Sudah pasti kau tidak mau menyakiti hati istrimu itu,” tawar Levana.
Rave berdecih. “Ayahku bukan tipikal orang yang bisa kau bodohi dengan mudah. Kau hanya diberi waktu selama tiga tahun untuk memiliki anak dariku.”
“Lalu apa yang terjadi padaku setelah tiga tahun?” Sejujurnya, Lavena tidak berpikir panjang. Yang terpenting untuknya saat ini adalah menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan.
Melihat Rave tetap terdiam, dan seolah enggan membahas masalah kontrak pernikahan yang ia tawarkan, Levana kembali memanggil pria itu, “Rave?”
“Kau hanya dimanfaatkan saja, Levana. Apa orang tuamu juga tidak memikirkan hidupmu nanti?” Rave yang sudah terlihat begitu frustrasi menghadap Levana. Ia kembali berteriak, “Begitu kau melahirkan seorang anak untukku, kau akan ditendang begitu saja.”
Levana sendiri memilih diam tak menjawab dan hanya memandangi pengunjung lain di resto tersebut. Tak ada yang bisa mendengar perdebatan di antara mereka karena saat ini keduanya berada di ruang VIP yang mana sengaja dibuat hanya untuk mereka yang biasa membicarakan bisnis.
“Biar kuperjelas lagi, Levana. Aku dan Lilian sudah menikah dan kau bisa melihat hidup kami sangat bahagia. Aku tidak mungkin menghancurkan pernikahanku sendiri walau aku membutuhkan keturunan. Jalan hidup kami masih panjang, walaupun untuk saat ini Lilian tidak mau memiliki seorang anak, aku bisa menunggu sampai dirinya siap.”
“Bagaimana jika Lilian sampai akhir tidak menginginkan seorang anak?” Levana mengulang pertanyaan yang ia dapatkan semula dari kedua orang tua Rave kala membujuknya tadi.
Kilat amarah kembali terlihat jelas di mata Rave. “Aku tidak peduli aku punya anak atau tidak. Aku juga tidak akan peduli dengan hidupmu yang dikorbankan hanya untuk jadi istri keduaku. Yang aku pedulikan hanya perasaan Lilian. Perasaan istriku.”
Levana tidak lagi merespon ucapan Rave. Terlalu banyak hal yang ada di pikirannya saat ini, masalah utang keluarga, dirinya yang merusak hubungan Rave dan Lilian dengan menjadi orang ketiga di antara mereka, dan yang terakhir memikirkan bagaimana nasib anaknya kelak seandainya ia memang mengandung anak dari Rave. Mereka berdua harus dipisahkan bahkan di umur sang anak masih bayi.
Air mata Levana tiba-tiba menetes tanpa ia sadari. Membayangkan terpisah dengan anak yang ia kandung selama sembilan bulan tentu saja sangat menyakitkan.
“Kau tak perlu mengorbankan hidupmu, Levana. Sungguh.” Suara Rave terdengar melembut, mungkin karena melihat Levana yang menangis dalam diam. “Kutekankan sekali lagi, aku sudah menikah dan hal ini sudah sangat salah dari awal.”
“Aku tahu ini salah. Dari awal aku sudah mengetahuinya dengan jelas. Aku sendiri pun tidak mau menyakiti perasaan wanita lain, aku tidak ingin menyakiti perasaan Lilian.” Ia mendongakkan wajahnya yang telah penuh air mata kepada pria itu. “Tapi Rave, aku benar-benar tidak ada pilihan lain selain melakukannya. Kedua orang tuaku membutuhkanku, dan aku rela hidupku hancur demi orang yang kusayang.”
Tangis Levana benar-benar pecah saat ini. Tidak ada lagi tangis dalam diam karena isakannya berhasil memenuhi ruangan kecil itu.
“Dengar, Levana. Aku sudah memperingatkan dan memberimu kesempatan untuk tidak menyetujui pernikahan ini. Jika kau benar-benar ingin melanjutkannya, terserah kau saja. Asal kau ingat satu hal...” Levana mendongak dan menangkap tatapan penuh emosi di mata Rave. “Aku tidak pernah bertanggung jawab untuk hidup yang kau tanggung ke depannya.”
“Kau tidak perlu mencemaskanku, Rave. Aku tau konsekuensinya,” balas Levana dengan suara yang masih bergetar karena tangisannya.
“Lakukan saja yang kau inginkan, aku tidak peduli,” ucap Rave yang bangkit dari duduknya dan hendak pergi meninggalkan Levana sendirian.
“Rave,” panggil Levana saat pria itu hendak membuka pintu. “Bolehkah aku bertemu dengan Lilian?”
Permintaan Levana berhasil membuat Rave mengerang. “Apa lagi yang kau inginkan, Levana? Apa yang sebenarnya tengah kau rencanakan?”
“Bukan begitu, aku hanya ingin—”
“Sekali lagi kutegaskan padamu, kau tidak perlu ikut campur masalahku dengan Lilian. Jalani saja hidupmu sendiri. Urus perusahaanmu itu.”
Tiba-tiba pintu yang berada tepat di belakang Rave terbanting begitu saja dari luar. Terlihat seorang wanita dengan tubuh tinggi dan ramping bagaikan seorang model masuk ke ruangan tersebut, membuat Levana dan Rave sangat terkejut melihat kedatangannya.
“Lilian? Apa yang kau lakukan di sini?” tegur Rave yang benar-benar tidak tahu apa tujuan sang istri datang ke restoran tersebut.
“Levana!”
Baru saja Levana hendak menyapa Lilian, justru dirinya mendapat teriakan dari seseorang. “Dasar wanita tidak tahu diri!”
***
“Lilian, apa yang kau lakukan!” Rave refleks berseru saat melihat Lilian menampar wajah Levana. Diraihnya tangan Lilian, tetapi pandangannya fokus ke arah Levana yang tertunduk, terluka baik secara fisik maupun emosional. “Bukan begini caranya! Kita bisa membicarakan ini dengan tenang tanpa kekerasan.”“Tenang? Kau pergi menemui wanita lain di belakangku, dan kau ingin aku bersikap tenang?” teriak Lilian dengan amarah yang memuncak. Tangannya pun langsung ditarik begitu saja hingga pegangan Rave terlepas.Levana yang semula terdiam pun kini mengusap pipinya pelan karena tamparan yang diberikan Lilian barusan. Dengan suara tegas, tetapi tetap terdengar lembut, Levana berkata, “Lilian, aku mengerti perasaanmu. Aku mohon jangan salah paham. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu.”“Apa yang ingin kau jelaskan pada istriku, Levana! Ayo kita pergi dari sini,” ajak Rave pada Lilian yang mana istrinya itu tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri. “Tapi, Rave. Lilian juga berhak tah
Tidak pernah terpikirkan oleh Levana sebelumnya jika pernikahannya akan diadakan dengan begitu mewah. Ia pikir pernikahannya akan diadakan secara tertutup, mengingat dirinya menikah dengan pria yang sudah beristri. Namun, pikirannya itu salah karena pesta tersebut bahkan mengundang media besar dan meliput pesta pernikahannya.“Sampai kapan aku harus menemui mereka semua, aku bahkan tidak mengenal satu orang pun di pesta ini,” bisik Levana saat Rave kembali menghampirinya.“Tentu saja sampai orang yang menjanjikan akan melunasi utang perusahaanmu puas,” balas Rave yang mana arah pandangnya ke arah ayah mertua Levana.“Tidak bisakah kau mencari alasan agar kita bisa pergi dari sini?” tanya Levana yang mana justru membuat sudut bibir Rave terangkat.“Aku punya banyak alasan untuk kabur dari pesta ini, Levana, tapi tidak dengan dirimu. Nikmati saja pesta malam ini dan biar kuberi kau satu tips,” bisik Rave yang kini lebih mendekat ke Levana. “Manfaatkan untuk mencari kenalan yang bisa men
“Kau tidak mau turun?”Tersadar dari lamunannya, Levana langsung memperhatikan area sekitar. Dirinya tiba di depan salah satu rumah sederhana yang biasa ditemui di London. Bangunan berwarna putih terlihat sangat nyaman dipadukan dengan teras berwarna coklat muda.“Di mana kita sekarang?” tanya Levana saat keluar dari dalam mobil.“Richmond,” jawab Rave singkat yang mana berhasil membuat Levana berlari mengikuti pria itu.“Richmond?” ulang Levana dan tidak mendapat balasan apa pun dari Rave yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah baru mereka.Berbeda dengan keadaan di luar yang tampak tenang dan indah, bagian dalam justru tampak kosong. Hanya ada satu kursi kayu di dalam sana yang mana langsung diduduki oleh Rave. Pria itu kini lebih fokus melihat ponselnya dibandingkan memberi informasi untuk Levana.“Aku akan tinggal di sini mulai sekarang?” tanya Levana yang berharap Rave akan mengatakan tidak kepadanya.“Ya.”Jawaban singkat Rave berhasil membuatnya mengembuskan napas panjang. R
Selama 30 tahun dirinya hidup, Levana tidak pernah merasa punya musuh sebelumnya. Dirinya selalu bersikap baik kepada siapa saja yang ditemuinya. Saat dirinya menjadi korban perundungan pun, ia tidak pernah sekalipun membalas. Dirinya hanya diam menerima semua perlakuan buruk yang ditujukan kepadanya.Lalu sekarang, di hari pertama dirinya menikah dengan Rave sudah ada yang mengirimkannya pesan ancaman. Tentu saja hal tersebut membuat Levana sedikit takut sekaligus penasaran siapa pengirimnya. Yang terlintas di pikirannya hanya Lilian karena mau bagaimanapun juga, Levana memang sudah menyakiti wanita itu, jadi menurutnya hal yang wajar jika memang benar Lilian si pengirim pesan ancaman tersebut.“Kau menikmati pernikahanmu dengan Rave, Levana? Bagaimana kalau aku memberi tahu Rave atau keluarga Maverick lainnya bahwa kau tidak bisa hamil?” ucap seseorang dari seberang telepon saat Levana menghubungi si pengirim pesan ancaman.Tubuhnya refleks bergetar saat mendengar suara pria di sebe
“Siapa yang meneleponmu?”Tubuh Levana bergetar hebat saat mendengar ancaman Rave pada seseorang di seberang telepon. Dirinya bahkan tidak bisa bangkit seandainya saja sang suami tidak membantunya untuk berdiri.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Levana kembali bertanya karena Rave tidak juga menjawab pertanyaannya.Bukannya menjawab, Rave lebih memilih untuk mengitari ruang kerja Levana dan memperhatikan area luar dari balik jendela. “Jam berapa kau biasa pulang kerja?” tanya Rave tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.“Enam atau tujuh malam. Tidak menentu,” jawab Levana yang masih terpikirkan kejadian sebelumnya.“Sebaiknya mulai sekarang kau tutup pukul lima saja,” saran Rave yang justru semakin membuat Levana bertanya-tanya.“Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau diam saja dan tidak menjawab pertanyaanku?” keluh Levana yang sudah mulai kesal dengan sikap Rave.“Karena itu bukan urusanmu, Levana!” teriak Rave yang berhasil membuat Levana semakin kesal dibuatnya.“Kalau
Baik Levana maupun Rave hanya bisa terdiam saat pemilik Maverick Group memasuki rumah baru mereka. Pandangannya seolah mengisyaratkan keduanya jika rumah tersebut sangat tidak cocok untuk seseorang yang menyandang status keluarga Maverick.“Ini yang kau sebut rumah, Rave?” Hinaan yang keluar dari mulut Francis Maverick berhasil membuat Rave langsung bersuara.“Untuk apa aku membeli rumah mewah jika hanya akan digunakan selama tiga tahun saja? Terlalu berlebihan,” seru Rave yang mana tetap berusaha santai menghadapi ayahnya.Berbeda dengan Rave yang tetap terlihat tenang, Levana yang duduk di samping suaminya itu semakin menundukkan kepalanya. Tangannya mencengkeram kuat celana bahan yang ia kenakan saat dirinya mendengar balasan Rave barusan. Ada rasa sedih yang seolah langsung menyadarkan statusnya.Senyum meremehkan masih terlihat jelas di wajah Francis. “Aku tidak peduli kau membeli rumah mewah sekalipun karena selama tiga tahun ini Levana wajib menjadi prioritasmu. Kau harus memper
Terakhir kali Levana bertemu dengan kedua orang tuanya di malam pesta pernikahan dirinya dan Rave. Sudah seminggu berlalu dan ia baru berniat untuk menemui orang tuanya. Walau mereka jarang bertemu saat tinggal bersama dulu, Levana tetap merindukan keduanya.“Kau baik-baik saja, sayang?” tanya sang ibu ketika membawakan segelas jus untuk putri satu-satunya.“Ya, Mom. Aku baik-baik saja. Maafkan aku baru sempat berkunjung sekarang,” balas Levana yang sedikit berseru. “Ke mana Dad? Bukankah seharusnya dia libur hari ini?”“Semenjak Maverick Group mengambil alih, ayahmu semakin jarang pulang ke rumah, Levana. Pekerjaannya di kantor semakin padat,” balas sang ibu memberi info.“Kuharap itu berita bagus karena kini banyak investor yang mulai menaruh perhatian lebih, tapi aku khawatir dengan kondisinya yang sekarang.” Levana teringat fisik sang ayah yang mendadak memburuk karena permasalahan utang tempo hari.“Levana, kau tidak perlu memikirkan hal itu. Justru Mom yang sangat khawatir denga
“Kau pria yang baik, Rave. Titip jaga Levana,” pesan sang ibu saat Levana dan Rave hendak pergi.Levana tidak pernah tahu apa tujuan sang ibu berpesan seperti itu pada Rave di saat ibunya tahu betul hubungan antar keduanya. Yang bisa dilakukan Levana kini hanya tersenyum dan bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan ibunya seorang diri di rumah.“Ke mana kita akan pergi?” tanya Levana membuka pembicaraan saat keduanya di dalam mobil.Rave tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya berbicara. “Apa maksud ucapan ibumu tadi? Dia tidak tahu kita.. ah lupakan.” Ucapan Rave dihentikannya begitu saja seolah tidak ingin membahas lebih lanjut.Levana sendiri paham maksud pertanyaan Rave, tetapi melihat pria itu tidak melanjutkan ucapannya, Levana juga memilih untuk tidak membahasnya. Lagi pula pesan tersebut memang seharusnya tidak mereka bahas.“Jadi, kau bilang ada hal penting yang harus kau bicarakan denganku, apa itu?” tanya Levana kembali dan mencoba untuk mengalihkan kecanggungan.M