Bab 2. Apa arti pernikahan ini, mas?

"Shhhhtt ...." Hanum meletakkan telunjuknya kedepan mulut, lalu menarik pelan lengan wanita yang telah 20 tahun mengabdikan dirinya kepada keluarga Armawijaya ke balik tembok. Wanita setengah baya yang sudah dianggap seperti saudara oleh keluarga suaminya.

"Lho? Ken--" Hanum langsung membungkam mulut mbok Yem menggunakan telapak tangannya. Itu Hanum lakukan karena sang suami berjalan tepat melewati tempok tempat keduanya berdiri.

"Hehehe, maaf ya mbok Yem," kekeh Hanum sambil melepaskan telapak tangannya perlahan. Tentunya setelah Arash menjauh.

"Ada apa toh, non? Kenapa Bibik pake acara dibekap segala, dan ngapain non berdiri disana tadi? Kenapa tidak bergabung saja?" Untung mbok Yem memiliki suara yang super lembut, hingga tak membuat Mertua Hanum yang sedang berdebat di ruang keluarga mengetahui keberadaan mereka.

"Ini lho, mbok. Hanum mau ngasih kejutan buat mas Arash." Dia menunjukkan kotak yang telah dia bingkai begitu cantiknya. "Rencananya mau minta tolong Papa dan Mama buat kejutan kecil-kecilan. Eh, tahunya ada mas Arash disini, bilangnya kemaren pulang dini hari, tahunya jam segini udah pulang aja. Jadi, kayaknya Hanum batalin aja deh, ya. Hanum buat kejutan sendiri, supaya setelah selesai membuat kejutannya, aku dan mas Arash bisa langsung ...." Hanum menaik turunkan sebelah alisnya.

Wanita itu terlalu pandai menutupi suasana hatinya. Disaat perasaannya tengah gamang, wanita itu masih bisa menampakkan jika dirinya baik-baik saja. Ya, begitulah Hanum.

Mbok Hanum pun reflek memukul lengan manantu kesayangan di rumah majikannya tersebut, wanita tua itu terkekeh geli saat mengetahui arah pembahasan Hanum.

"Ya, sudah mbok. Hanum pulang dulu, ya. Oh, ya. Mbok sudah makan belum?" tanyanya sesaat sebelum beranjak.

"Alhamdulillah sudah, non. Barusan aja," jawabnya sembari mengelus perutnya yang sedikit membuncit. "Non Hanum sendiri sudah makan?"

"Sudah," balasnya singkat dengan menampilkan senyuman, "Hanum jalan dulu ya mbok, takut keduluan sama mas Arash." Mbok Yem mengangguk cepat.

"Non Hanum memang wanita yang baik, beruntung den Arash memiliki istri seperti dia. Semoga saja Allah segera menitipkan makhluk kecil didalam rahim non Hanum. Aamiin ..." gumam mbok Yem sambil melihat punggung Hanum yang telah menghilang dibalik pintu penghubung, wanita tua itupun ikut beranjak dari posisinya.

***

Hanum meletakkan kotak yang berisi hasil USG dan tespack itu kedalam laci meja kerjanya, menguncinya rapat-rapat.

"Maaf, Mama tidak bisa memberitahu keberadaanmu kepada Papa, nak. Maafkan Mama, ya, tumbuh dan berkembang lah dengan baik dan sehat ya sayang." Hanum mengelus perut ratanya dengan ditemani buliran air mata memenuhi wajah ayunya.

"Haaaaaaah ...." Wanita itu menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan, memejamkan mata menghalau perasaan yang begitu menyesakkan.

"Mengapa rasanya begitu sakit? Sakit sekali ...." Pada akhirnya wanita itu memecahkan tangisnya, dia menangis sesegukkan dengan tubuh bergetar hebat.

Ruang kerjanya yang didesain menggunakan peredam suara, membuat Hanum leluasa mengeluarkan jeritannya.

Tring ... tring ... tring

Dua jam lamanya Hanum mengurung diri diruangan yang dipenuhi oleh lembaran sketsa yang akan dieksekusi para pekerjanya, hingga suara deringan telpon membuyarkan lamunannya.

Ya, Hanum merupakan seorang desainer. Bukan perancang ternama, tetapi rancangannya selalu banyak diminati, bahkan wanita itu telah memiliki pelanggan tetap.

"Iya, bik. Sebentar lagi Hanum keluar ya," sahut Hanum seperti biasa dengan penuh kelembutan.

Bik Ijah menghubunginya bukan karena Hanum dicari oleh Arash, bukan. Melainkan karena wanita cantik itu selalu berpesan kepada asisten rumah tangganya jika sang suami pulang kerja atau pulang dari perjalanan keluar kota, untuk memberikan kabar padanya.

Aktivitasnya diruang kerja, kerap membuat Hanum lupa waktu. Sedang sebagai seorang istri, Hanum ingin memberi pelayanan terbaiknya.

Selama ini Hanum pikir kehadirannya membuat hidup Arash berwarna, nyatanya Hanum salah besar. Lelaki itu justru merasa kelabu.

"Tuan Arash berada dikamar, non," ucap bik Ijah yang disambut Hanum dengan anggukan.

Dengan menaiki lift, Hanum menuju lantai 3 dimana kamar mereka berada. Kamar yang menjadi saksi bisu betapa dua insan menghabiskan malam-malam syahdu.

"Mas sudah pulang?" tanyanya dengan menampilkan senyuman tulus, meski hatinya luka. Hanum tetap memberikan senyuman manis.

Arash tak menyahuti perkataan wanita yang telah membersamainya selama 3 tahun ini. Lelaki tampan itu menatap wajah Hanum lekat, hal yang tak biasa lelaki itu lakukan sebelumnya.

Jika biasanya Hanum akan langsung menghampiri sang suami dengan bermanja-manja, maka tidak untuk sekarang. Wanita itu sibuk memunguti jas serta sepatu yang suaminya letakkan kesembarang arah.

Hanum belum siap duduk berdekatan dengan sang suami. Suami yang hatinya dimiliki oleh wanita lain.

"Num ...." Setelah hampir sepuluh menit sibuk membersihkan tempat tidur yang padahal sudah rapi, terdengar suara barington Arash menyebut namanya.

"He'um ..." sahut Hanum tanpa menoleh ke sumber suara, wanita itu sibuk menata bantal dan guling.

"Kemarilah, Num. Ada yang ingin mas bicarakan." Hanum memejamkan matanya, tahu apa yang akan dibahas. Meski sudah tahu, tetap saja wanita itu belum siap mendengarnya. Namun, mau mengelak pun tak bisa. Cepat atau lambat Arash pasti akan membahas hal itu.

"Iya, mas. Tunggu sebentar, ya, ini akan selesai," balasnya dengan menepuk-nepuk bantal empuk yang biasa mereka gunakan.

"Tinggalkan saja itu, Num. Untuk apa kamu membersihkan tempat yang sudah rapi dan bersih." Arash mulai kesal.

"Hanum hanya memastikan jika kasur ini benar-benar bersih. Hanum ingin mas istirahat dengan nyaman disini," sahut Hanum lembut lalu menghentikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati sang suami yang sedang duduk di sofa.

"Tidak biasa-biasanya kamu bertingkah seperti itu." Hanum tak lagi menanggapi.

"Ada apa, mas? Apa yang akan mas bicarakan?"

"Kamu belum menyalamiku, Num." Arash mengangkat tangannya agar wanita cantik disebelahnya itu mencium punggung tangannya.

Dahi Arash mengernyit saat Hanum menghindarinya, lelaki itu ingin membenamkan ciuman pada kening wanitanya.

"Mengapa kamu menghindar?"

"Hanum sedang kedatangan tamu bulanan, mas. Jadi ya itu ... mood Hanum lagi berantakan." Dia terpaksa berbohong.

Arash pun memahami. Setiap kedatang periodnya, mood Hanum memang suka berubah-ubah.

"Num ...."

"Iya, mas."

"Aku ingin menikah lagi."

Deg!

Hatinya seketika berdesir, pun jantungnya terasa seperti diremas kuat dari dalam setelah mendengar kalimat yang terlontar dari mulut lelaki yang berhasil membuat dirinya jatuh cinta sedalam-dalamnya. Lelaki yang berhasil membuat dirinya tak bisa sedetik pun tak membayangkan wajah rupawan Arash.

"Apa, arti Hanum bagi mas selama ini ?" Wanita itu menatap Arash dengan air mata yang siap membanjiri pipi mulusnya.

Lelaki itu tak lantas langsung menjawab, dia menatap manik Hanum dalam, lalu detik berikutnya memindahkan pandangannya dengan menatap lurus kedepan.

"Entahlah, Num. Yang jelas kehadiranmu tak mengubah perasaanku pada wanita yang kucintai."

Tes ....

Air mata Hanya tumpah lagi. Dalam hati wanita itu tertawa getir. Dari kalimat suaminya barusan, jelas lelaki itu tidak mencintai dirinya.

"Lalu, apa makna bagimu pernikahan kita selama ini, mas?" Arash tak menjawab, diam seribu bahasa.

Hanum mengartikan dengan diamnya sang suami adalah sebagai bentuk ketidakbahagiaan.

"Baiklah, silahkan menikah lagi. Tapi ...."