Rasti mengandung cucuku ..." Rita dengan begitu bahagia dan bangga menghampiri Hanum lantas memeluknya erat, menggoyangkan tubuh menantu pertamanya itu ke kiri dan ke kanan. Menggambarkan betapa senangnya diri mendapati istri kedua putranya itu berbadan dua.
Tak mengapa hati Hanum merasa teriris, menyaksikan kedua mertuanya yang sebulan lalu dengan tegas menolak dan mengutuk keingan sang putra menikah lagi, kini malah menampilkan kebahagiaan tiada tara. Sangat bertolak belakang dengan sikapnya kemaren."Alhamdulillah, Ma. Hanum turut senang." "Iya, sayang. Akhirnya sebentar lagi terdengar juga tangisan bayi di rumah ini. Sudah lama sekali Mama menanti momen ini, tak disangka kabar ini Mama dapat dari Rasti yang baru saja menikah." Sangking bahagianya menantu kedua hamil, Rita sampai lupa jika kalimatnya tersebut menyakiti perasaan menantunya yang lain. "Mama bahagia sekali, nak," ujarnya lagi. Hanum mengangguk dengan menahan pedih."Selamat ya, Rasti. Semoga ibu dan janinnya selalu diberi kesehatan," ucap Hanum tulus setelah mendekat."Iya, terimakasih ya, mbak Hanum. Nggak nyangka banget aku bisa hamil secepat ini, ternyata benar kata ibuku, aku ini tipe yang disenggol dikit langsung tekdung," kekehnya yang disambut gelak tawa oleh yang lain, terkecuali Arman. Entah dimana letak lucunya?Sedang Hanum yang mendengarnya? Hufffft ... entahlah, tak bisa dilukiskan bagaimana nyeri hati mendengarnya."Syukurlah kalau begitu, jadi kamu tidak harus menunggu lama sepertiku. Dijaga baik-baik ya kandunganya." Hanum melirik sekilas kearah Arash yang juga tengah menatap kearahnya."kalau begitu aku permisi dulu," pamit Hanum dan bersiap melangkah. Namun, pergerakkannya seketika terhenti saat menyadari dia tengah membawa kantong berisi gudeg buatan Henna. Itu makanan kesukaan Rita, setiap kali Hanum pulang ke Yogyakarta, pasti istri pertama Arash itu akan membawakannya untuk sang mertua."Ah, iya. Aku sampai lupa. Ini, Ma ada titipan dari bunda." Hanum memberikan kantong berwarna putih berisi makanan khas Yogyakarta ke wanita yang telah melahirkan suaminya itu. Lalu memanggil bik Ijah yang tengah berada di dapur agar mengambil kantong satunya lagi yang berisi rendang agar dimasukkan kedalam kulkas. Kantong yang Hanum serahkan ke Rita tadi tak hanya berisi gudeg, ada rendang juga didalamnya."Waaaah ... ini pasti gudeg kan, Num?" Rita menerimanya dengan wajah semringah yang dibalas anggukan oleh Hanum."Sampaikan terimakasih Mama ke bunda dan ayahmu, ya. Oh, ya, bagaimana kondisi ayahmu, Num?""Kamu pulang ke Yogya? Kenapa tidak izin sama mas dulu?!" Arash menyambar dengan nada yang cukup menyentak, membuat Hanum terkesiap."Ponsel mas kan tidak aktif, lalu bagaimana Hanum meminta izin. Lagian Hanum sudah minta izin mama dan papa, alhamdulillah mereka mengizinkan," balas Hanum dengan malas. Sebenarnya ingin sekali Hanum mengatakan suka-suka dia mau pergi kemana, toh suaminya itu saja tidak perduli dengannya, terbukti dengan tidak memberi kabar padanya hampir sebulan lamanya. Namun, tidak mungkin Hanum berani mengatakannya mengingat di sana ada sang mertua, dan yang bisa wanita cantik itu lakukan hanyalah mendengus dalam hati."Betul, Ras. Istrimu sudah minta izin dengan kami. Lagian tidak ada salahnya juga Hanum menjenguk orang tuanya." Arman menimpali.Arash terdiam, menyadari dirinya juga bersalah karena mengabaikan Hanum. Dia terlalu fokus dengan bulan madunya hingga lupa dengan keberadan istri pertama."Hmm, ma, pa, Hanum ke kamar dulu, ya. Badan rasanya pengel banget." Untuk kedua kalinya wanita itu berpamitan."Pegel? Kayak yang hamil aja, orang naik pesawat juga bukan jalan kali," gumam Rasti yang hanya didengar oleh dirinya sendiri. Entah mengapa wanita itu sangat tidak menyukai keberadaan Hanum."Iya, nak," kompak Rita dan Arman menjawab. Dengan langkah gontai Hanum berjalan menuju lift, menanti pintu besi itu terbuka."Sayang kamu kepengen makan sesuatu, nggak? Biasanya hamil muda gini suka kepengen makan apa gitu?" Rita menawarkan madunya Hanum."Hmm ... sejauh ini belum ada kepengen makan apa-apa sih, ma. Cuma kalau boleh Rasti meminta, Rasti pengen tinggal di sini bareng mbak Hanum."Hanum menarik kembali kaki kanannya yang akan masuk kedalam lift. Mendengar permintaan istri kedua suaminya itu benar-benar membuat emosinya tersulut, agaknya Rasti sengaja menggunakan kehamilannya untuk menginjak kepala Hanum."Kalau begitu tanya saja kepada mbakmu itu, mumpung dia belum naik ke lantai 3," sahut Rita dengan antusias. "Num, tunggu sebentar, nak. Boleh ya Rasti tinggal di sini bersamamu, biarkan dia tidur diruang tamu di lantai 2," lanjut Rita.Baiklah, kali ini aku mengalah."Boleh, ma. Silahkan pilih kamar mana saja yang Rasti inginkan." Hanum berbalik, memandang wajah Rita sekilas, lalu kembali berbalik bersiap memasuki lift."Aku maunya kamar yang ditempati mbak Hanum.""What ...?""Apa?" Bukan Hanum yang bersuara, melainkan Arman. Pria setengah baya itu murka mendengar permintaan menantu keduanya. Kekesalan Arman itu sangat kontras dengan perasaan Hanum."Jaga batasanmu, Rasti! Berpikir dulu sebelum meminta, apa kau pikir permintaanmu itu masuk akal? Kau seorang wanita seharusnya paham jika keinginan yang barusan kau sebutkan itu melukai perasaan Hanum. Jangan mentang-mentang kau hamil kau bisa bertingkah sesukamu! Jangan mentang-mentang kau mengandung cucuku, lantas bebas berkehendak!"Arman menatap tajam istri kedua putranya tersebut, membuat Rasti seketika menundukkan wajahnya sembari meremas ujung kerudungnya. Wanita itu mati ketakutan."Ya, nggak apa-apa lah, Pa. Mungkin itu permintaan janinnya. Lagian apa salahnya Rasti tidur di kamarnya Hanum." Rita malah membela."Iya kan, Nak? Nggak apa-apa kan Rasti pakai kamar kamu? Boleh, ya, ini demi cucu Mama."Hanum terdiam, bingung harus memberikan respon seperti apa. Bingung pula dengan pola pikir sang mertu
"Nggak apa-apa. Silahkan lanjutkan kembali aktivitasnya, maaf aku mengganggu. Lain kali pastikan pintunya terkunci rapat, cukup kalian berdua saja yang tahu apa yang terjadi didalam kamar," ucap Hanum datar. Sebelum beranjak wanita itu melirik sekilas kearah sang suami yang terlihat salah tingkah."Tunggu, Num ....""Mas, mau kemana? Jangan kemana-mana, di sini aja temenin aku tidur. Nih anak kamu pengennya di kelon," rengek Rasti sambil mencekal pergelangan tangan suaminya, menghentikan pergerakan Arash yang akan mengejar sang istri pertama. Lagi-lagi wanita itu menggunakan kata 'anak' untuk mewujudkan keinginannya."Aku ingin menemui Hanum sebentar, sudah hampir satu bulan ini aku tidak berjumpa dengan dia. Kamu istirahat sendiri dulu, ya.""Ih, ngapain juga nengokin dia. Dia kan nggak kayak aku yang lagi ngandung anak kamu, nggak perlu diperhatiin dia nya, udah biarin aja, nggak usah dipikirin, kayak anak-anak aja. Mending ... nengokin si adek, udah dua minggu lho kamu nggak ngapa-
"Ngapain mas ke sini? Udah di bilang jangan tinggalin aku juga, ini masih aja pergi," omel Rasti. "Aku ini lagi hamil anak kamu lho, mas, jadi harus kamu jaga dan perhatikan. Bukan mas tinggalin dan malah datangin istri kamu yang mandul ini!""Rasti!!!" Arash mengeram menahan amarah, wajahnya memerah mendengar istri keduanya itu merendahkan wanita yang lebih dulu menemani tidurnya, Hanum. Sedang Hanum sendiri terlihat santai, toh apa yang wanita itu tuduhkan tidak benar, pikir wanita cantik berambut panjang yang tengah menikmati kunyahannya tersebut, sungguh wanita itu tak terganggu dengan penghinaan yang madunya itu berikan. Jelas, karena sama halnya dengan Rasti, Hanum pun tengah mengandung."Jaga ucapanmu! Hanum tidak mandul!" Kali ini pria rupawan itu merasa wanita yang belum lama dia nikahi itu telah melewati batas. "Dimana tutur bahasamu yang lemah lembut dan tidak pernah berkata kasar dulu? Dimana?! Mengapa setelah kita menikah sikapmu berubah begini? Aku sampai tak mengenali p
"Aku tidak pernah berhubungan dengan hal-hal begituan, tidak pernah terpikirkan juga. Lagian tidak ada manfaatnya bagiku.""Jelas ada, karena dengan begitu kamu bisa merebut mas Arash dariku," ujarnya tajam, menatap nyalang kearah wanita yang dia pikir telah merenggut kebahagiaannya, padahal dia lah pelakunya."Hei! Sadar dengan ucapanmu itu? Siapa yang merebut siapa pula yang tertuduh? Harusnya aku yang berkata demikian. Kamu lah si perebut itu. Aneh! Lagian aku heran melihat kalian berdua, katanya saling mencintai, tapi yang kulihat malah sebaliknya. Aku jadi sangsi sendiri. Kamu bisa lihat kan, bagaimana suamimu itu menghiba padaku, dia takut kehilanganku. Aku jadi berpikiran buruk, jangan-jangan kamulah yang main dukun!"Agghhhhhhhh ...."Perutku, sakit ...." Hanum kaget melihat madunya itu tiba-tiba saja mengerang kesakitan sembari memegang perutnya, padahal barusan saja wanita dihadapannya itu dalam kondisi sehat, tidak ada tanda-tanda sakit, tak terlihat pucat pada wajahnya."As
"Bagaimana, Dok? Bagaimana keadaan cucu dan menantu saya? Apakah telah terjadi sesuatu?" cecar Rita dengan begitu panik.Sama halnya dengan Rasti, wanita hamil yang tengah diperiksa oleh Dokter senior di rumah sakit ternama itu pun diliputi rasa panik. Panik karena kebohongannya sebentar lagi bakal terbongkar. Dokter Amina menggode perawat yang stand by di ruangannya agar membantu Rasti bangun dari tempat pemeriksaan. Sebelum beranjak dari posisinya, dokter lawas itu tersenyum penuh arti kearah Rasti. Rasti yang paham akan makan senyuman tersebut hanya mampu menunduk dengan hati gusar."Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja. Baik Ibu dan calon bayinya dalam keadaan sehat, tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan," jelas dokter Amina dengan begitu tenang.Arash dan Hanum yang juga ikut masuk kedalam ruangan itu bernafas lega mendengar penjelasan dari dokter Amina barusan. Terutama Hanum, wanita itu takut disalahkan jika terjadi sesuatu pada janin madunya, mengingat bagaimana sang ma
"Astaghfirullah! Dijaga ucapannya bu Rasti, jangan sampai tuduhan ibu ini malah menjadi bumerang bagi ibu sendiri. Bu Hanum tidak mandul, saya jamin itu, sebab Hanum dulu pernah mendatangi saya untuk melakukan tes kesuburan, dan hasilnya baik." Dokter yang menggunakan jilbab lebar itu menggeleng-gelengkan kepalanya."Tidak apa-apa, dok. Saya sudah biasa mendapatkan tuduhan seperti itu," sahut Hanum berusaha tegar. "Beruntung lah laki-laki yang menikahimu, Nak, dan celakalah laki-laki yang menyia-nyiakanmu." Telak, kalimat dokter Amina mampu menghunus sanubari Arash. Pria itu seketika mematung, Arash bener-bener tersindir. Sebenarnya jauh di dalam hatinya, Arash menyesal atas tindakannya menikahi Rasti.Cinta yang kerap dia gaung-gaungkan selama ini, nyatanya tak membuat pernikahan yang dia jalani dengan wanita itu berjalan indah, yang ada hanyalah rasa penyesalan tak bertepi. Tapi apa mau di kata? Nasi sudah menjadi bubur, sudah kadung terjadi."Kalau begitu silahkan keluar, ya. Pem
"Papa ...." Hanum syok bukan main saat ayahnya tepat berada di depan matanya.Marwan menatap satu persatu wajah yang menghiasi meja makan milik sahabatnya tersebut."Siapa dia?" tanya ayahnya Hanum tanpa berbasa-basi, dagunya menunjuk kearah Rasti yang tengah menatap kearahnya juga.Hening, tak ada satupun yang berani memberikan jawaban. Hanya derap langkah kaki Hanum, Arman dan Arash yang terdengar sedang melangkah kearahnya."Ayah," sebut Hanum dengan begitu pelan. Wanita cantik itu mengulurkan tangannya bermaksud menyalami punggung tangan cinta pertamanya tersebut. Namun sayang, uluran tangan wanita cantik itu diabaikan. "Mas ..." bisik Henna sambil mengelus punggung sang suami. Meminta suaminya untuk tenang, sebab begitu terasa tubuh suaminya itu bergetar seperti tengah menahan amarah."Tadi Ayah mendengar jika wanita yang tengah berdiri disamping Mama mertuamu itu menyebut dirinya sebagai istri kedua suamimu, apakah itu benar, Num?" Marwan menatap netra indah Putri semata wayang
"Bagaimana kondisi Ayahmu, mbak? Apakah dia meninggal?" Hanum yang berada di dapur guna membasahi kerongkongannya yang kering, sontak tersulut emosi kala mendengar pertanyaan dari sang madu. Plak!Akkhhhhhh ....Rasti terpekik saat Hanum mendaratkan satu tamparan keras di pipi mulusnya. Wanita itu kaget hingga mulutnya terbuka lebar. Tak menyangka mendapatkan reaksi demikian."Jaga mulutmu, Rasti! Apa maksud perkataanmu barusan? Bertanya atau justru mendo'akan Ayahku agar cepat menemui ajalnya?" sentak Hanum dengan wajah sepenuhnya memerah."Mengapa mbak menamparku? Aku hanya bertanya, mengapa berlebihan seperti ini?""Apa kau bilang? Berlebihan? Sekarang aku tanya balik, seandainya Ibumu sakit dan aku bertanya apakah Ibumu meninggal. Kira-kira bagaimana reaksimu? Apa kau senang atau malah mengamini ucapanku?" Rasti tertunduk sambil memegang pipinya yang terasa panas, tamparan yang Hanum berikan tadi sangatlah kuat. "Tolong, tunjukkan empatimu!" Hanum beranjak dari posisinya. Namun
"Bagaimana kondisi Ayahmu, mbak? Apakah dia meninggal?" Hanum yang berada di dapur guna membasahi kerongkongannya yang kering, sontak tersulut emosi kala mendengar pertanyaan dari sang madu. Plak!Akkhhhhhh ....Rasti terpekik saat Hanum mendaratkan satu tamparan keras di pipi mulusnya. Wanita itu kaget hingga mulutnya terbuka lebar. Tak menyangka mendapatkan reaksi demikian."Jaga mulutmu, Rasti! Apa maksud perkataanmu barusan? Bertanya atau justru mendo'akan Ayahku agar cepat menemui ajalnya?" sentak Hanum dengan wajah sepenuhnya memerah."Mengapa mbak menamparku? Aku hanya bertanya, mengapa berlebihan seperti ini?""Apa kau bilang? Berlebihan? Sekarang aku tanya balik, seandainya Ibumu sakit dan aku bertanya apakah Ibumu meninggal. Kira-kira bagaimana reaksimu? Apa kau senang atau malah mengamini ucapanku?" Rasti tertunduk sambil memegang pipinya yang terasa panas, tamparan yang Hanum berikan tadi sangatlah kuat. "Tolong, tunjukkan empatimu!" Hanum beranjak dari posisinya. Namun
"Papa ...." Hanum syok bukan main saat ayahnya tepat berada di depan matanya.Marwan menatap satu persatu wajah yang menghiasi meja makan milik sahabatnya tersebut."Siapa dia?" tanya ayahnya Hanum tanpa berbasa-basi, dagunya menunjuk kearah Rasti yang tengah menatap kearahnya juga.Hening, tak ada satupun yang berani memberikan jawaban. Hanya derap langkah kaki Hanum, Arman dan Arash yang terdengar sedang melangkah kearahnya."Ayah," sebut Hanum dengan begitu pelan. Wanita cantik itu mengulurkan tangannya bermaksud menyalami punggung tangan cinta pertamanya tersebut. Namun sayang, uluran tangan wanita cantik itu diabaikan. "Mas ..." bisik Henna sambil mengelus punggung sang suami. Meminta suaminya untuk tenang, sebab begitu terasa tubuh suaminya itu bergetar seperti tengah menahan amarah."Tadi Ayah mendengar jika wanita yang tengah berdiri disamping Mama mertuamu itu menyebut dirinya sebagai istri kedua suamimu, apakah itu benar, Num?" Marwan menatap netra indah Putri semata wayang
"Astaghfirullah! Dijaga ucapannya bu Rasti, jangan sampai tuduhan ibu ini malah menjadi bumerang bagi ibu sendiri. Bu Hanum tidak mandul, saya jamin itu, sebab Hanum dulu pernah mendatangi saya untuk melakukan tes kesuburan, dan hasilnya baik." Dokter yang menggunakan jilbab lebar itu menggeleng-gelengkan kepalanya."Tidak apa-apa, dok. Saya sudah biasa mendapatkan tuduhan seperti itu," sahut Hanum berusaha tegar. "Beruntung lah laki-laki yang menikahimu, Nak, dan celakalah laki-laki yang menyia-nyiakanmu." Telak, kalimat dokter Amina mampu menghunus sanubari Arash. Pria itu seketika mematung, Arash bener-bener tersindir. Sebenarnya jauh di dalam hatinya, Arash menyesal atas tindakannya menikahi Rasti.Cinta yang kerap dia gaung-gaungkan selama ini, nyatanya tak membuat pernikahan yang dia jalani dengan wanita itu berjalan indah, yang ada hanyalah rasa penyesalan tak bertepi. Tapi apa mau di kata? Nasi sudah menjadi bubur, sudah kadung terjadi."Kalau begitu silahkan keluar, ya. Pem
"Bagaimana, Dok? Bagaimana keadaan cucu dan menantu saya? Apakah telah terjadi sesuatu?" cecar Rita dengan begitu panik.Sama halnya dengan Rasti, wanita hamil yang tengah diperiksa oleh Dokter senior di rumah sakit ternama itu pun diliputi rasa panik. Panik karena kebohongannya sebentar lagi bakal terbongkar. Dokter Amina menggode perawat yang stand by di ruangannya agar membantu Rasti bangun dari tempat pemeriksaan. Sebelum beranjak dari posisinya, dokter lawas itu tersenyum penuh arti kearah Rasti. Rasti yang paham akan makan senyuman tersebut hanya mampu menunduk dengan hati gusar."Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja. Baik Ibu dan calon bayinya dalam keadaan sehat, tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan," jelas dokter Amina dengan begitu tenang.Arash dan Hanum yang juga ikut masuk kedalam ruangan itu bernafas lega mendengar penjelasan dari dokter Amina barusan. Terutama Hanum, wanita itu takut disalahkan jika terjadi sesuatu pada janin madunya, mengingat bagaimana sang ma
"Aku tidak pernah berhubungan dengan hal-hal begituan, tidak pernah terpikirkan juga. Lagian tidak ada manfaatnya bagiku.""Jelas ada, karena dengan begitu kamu bisa merebut mas Arash dariku," ujarnya tajam, menatap nyalang kearah wanita yang dia pikir telah merenggut kebahagiaannya, padahal dia lah pelakunya."Hei! Sadar dengan ucapanmu itu? Siapa yang merebut siapa pula yang tertuduh? Harusnya aku yang berkata demikian. Kamu lah si perebut itu. Aneh! Lagian aku heran melihat kalian berdua, katanya saling mencintai, tapi yang kulihat malah sebaliknya. Aku jadi sangsi sendiri. Kamu bisa lihat kan, bagaimana suamimu itu menghiba padaku, dia takut kehilanganku. Aku jadi berpikiran buruk, jangan-jangan kamulah yang main dukun!"Agghhhhhhhh ...."Perutku, sakit ...." Hanum kaget melihat madunya itu tiba-tiba saja mengerang kesakitan sembari memegang perutnya, padahal barusan saja wanita dihadapannya itu dalam kondisi sehat, tidak ada tanda-tanda sakit, tak terlihat pucat pada wajahnya."As
"Ngapain mas ke sini? Udah di bilang jangan tinggalin aku juga, ini masih aja pergi," omel Rasti. "Aku ini lagi hamil anak kamu lho, mas, jadi harus kamu jaga dan perhatikan. Bukan mas tinggalin dan malah datangin istri kamu yang mandul ini!""Rasti!!!" Arash mengeram menahan amarah, wajahnya memerah mendengar istri keduanya itu merendahkan wanita yang lebih dulu menemani tidurnya, Hanum. Sedang Hanum sendiri terlihat santai, toh apa yang wanita itu tuduhkan tidak benar, pikir wanita cantik berambut panjang yang tengah menikmati kunyahannya tersebut, sungguh wanita itu tak terganggu dengan penghinaan yang madunya itu berikan. Jelas, karena sama halnya dengan Rasti, Hanum pun tengah mengandung."Jaga ucapanmu! Hanum tidak mandul!" Kali ini pria rupawan itu merasa wanita yang belum lama dia nikahi itu telah melewati batas. "Dimana tutur bahasamu yang lemah lembut dan tidak pernah berkata kasar dulu? Dimana?! Mengapa setelah kita menikah sikapmu berubah begini? Aku sampai tak mengenali p
"Nggak apa-apa. Silahkan lanjutkan kembali aktivitasnya, maaf aku mengganggu. Lain kali pastikan pintunya terkunci rapat, cukup kalian berdua saja yang tahu apa yang terjadi didalam kamar," ucap Hanum datar. Sebelum beranjak wanita itu melirik sekilas kearah sang suami yang terlihat salah tingkah."Tunggu, Num ....""Mas, mau kemana? Jangan kemana-mana, di sini aja temenin aku tidur. Nih anak kamu pengennya di kelon," rengek Rasti sambil mencekal pergelangan tangan suaminya, menghentikan pergerakan Arash yang akan mengejar sang istri pertama. Lagi-lagi wanita itu menggunakan kata 'anak' untuk mewujudkan keinginannya."Aku ingin menemui Hanum sebentar, sudah hampir satu bulan ini aku tidak berjumpa dengan dia. Kamu istirahat sendiri dulu, ya.""Ih, ngapain juga nengokin dia. Dia kan nggak kayak aku yang lagi ngandung anak kamu, nggak perlu diperhatiin dia nya, udah biarin aja, nggak usah dipikirin, kayak anak-anak aja. Mending ... nengokin si adek, udah dua minggu lho kamu nggak ngapa-
"Apa?" Bukan Hanum yang bersuara, melainkan Arman. Pria setengah baya itu murka mendengar permintaan menantu keduanya. Kekesalan Arman itu sangat kontras dengan perasaan Hanum."Jaga batasanmu, Rasti! Berpikir dulu sebelum meminta, apa kau pikir permintaanmu itu masuk akal? Kau seorang wanita seharusnya paham jika keinginan yang barusan kau sebutkan itu melukai perasaan Hanum. Jangan mentang-mentang kau hamil kau bisa bertingkah sesukamu! Jangan mentang-mentang kau mengandung cucuku, lantas bebas berkehendak!"Arman menatap tajam istri kedua putranya tersebut, membuat Rasti seketika menundukkan wajahnya sembari meremas ujung kerudungnya. Wanita itu mati ketakutan."Ya, nggak apa-apa lah, Pa. Mungkin itu permintaan janinnya. Lagian apa salahnya Rasti tidur di kamarnya Hanum." Rita malah membela."Iya kan, Nak? Nggak apa-apa kan Rasti pakai kamar kamu? Boleh, ya, ini demi cucu Mama."Hanum terdiam, bingung harus memberikan respon seperti apa. Bingung pula dengan pola pikir sang mertu
Rasti mengandung cucuku ..." Rita dengan begitu bahagia dan bangga menghampiri Hanum lantas memeluknya erat, menggoyangkan tubuh menantu pertamanya itu ke kiri dan ke kanan. Menggambarkan betapa senangnya diri mendapati istri kedua putranya itu berbadan dua.Tak mengapa hati Hanum merasa teriris, menyaksikan kedua mertuanya yang sebulan lalu dengan tegas menolak dan mengutuk keingan sang putra menikah lagi, kini malah menampilkan kebahagiaan tiada tara. Sangat bertolak belakang dengan sikapnya kemaren."Alhamdulillah, Ma. Hanum turut senang." "Iya, sayang. Akhirnya sebentar lagi terdengar juga tangisan bayi di rumah ini. Sudah lama sekali Mama menanti momen ini, tak disangka kabar ini Mama dapat dari Rasti yang baru saja menikah." Sangking bahagianya menantu kedua hamil, Rita sampai lupa jika kalimatnya tersebut menyakiti perasaan menantunya yang lain. "Mama bahagia sekali, nak," ujarnya lagi. Hanum mengangguk dengan menahan pedih."Selamat ya, Rasti. Semoga ibu dan janinnya selalu d