"Selamat. Kamu hamil, Num!" "Hanum tak langsung menjawab, wanita itu terdiam seperkian detik. Matanya berkaca-kaca, bibirnya pun sedikit terbuka. Dia benar-benar syok, meski telah mengetahui jika dirinya tengah berbadan dua dari hasil tespack yang dia lakukan tadi pagi, tetap saja mendengar penjelasan dari sahabatnya barusan, Hanum antara percaya dan tidak."A-apa, Ran? A-aku hamil? Aku beneran hamil?" tanyanya memastikan."He'um ... alhamdulillah, ada janin yang berkembang dalam rahim kamu. Ini, lihatlah. Titik hitam ini merupakan calon anakmu." Dokter muda itu menggerakkan kursor, menunjukkan calon buah cintanya."Terimakasih Ya Allah, terimakasih ...." Hanum mengucap syukur. Kehamilannya ini akan menjadi kado ulangtahun terindah untuk suaminya-- Arash.Tadi pagi Hanum iseng melakukan tespack, wanita itu sudah telat selama 3 minggu. Wanita berparas teduh itu tidak terlalu berharap, sebab hal serupa sering terjadi. Setahun yang lalu bahkan Hanum pernah telat hingga dua bulan lamanya
"Shhhhtt ...." Hanum meletakkan telunjuknya kedepan mulut, lalu menarik pelan lengan wanita yang telah 20 tahun mengabdikan dirinya kepada keluarga Armawijaya ke balik tembok. Wanita setengah baya yang sudah dianggap seperti saudara oleh keluarga suaminya."Lho? Ken--" Hanum langsung membungkam mulut mbok Yem menggunakan telapak tangannya. Itu Hanum lakukan karena sang suami berjalan tepat melewati tempok tempat keduanya berdiri."Hehehe, maaf ya mbok Yem," kekeh Hanum sambil melepaskan telapak tangannya perlahan. Tentunya setelah Arash menjauh."Ada apa toh, non? Kenapa Bibik pake acara dibekap segala, dan ngapain non berdiri disana tadi? Kenapa tidak bergabung saja?" Untung mbok Yem memiliki suara yang super lembut, hingga tak membuat Mertua Hanum yang sedang berdebat di ruang keluarga mengetahui keberadaan mereka."Ini lho, mbok. Hanum mau ngasih kejutan buat mas Arash." Dia menunjukkan kotak yang telah dia bingkai begitu cantiknya. "Rencananya mau minta tolong Papa dan Mama buat k
"Tapi, bisakah mas menunda pernikahan itu terlebih dahulu? Ehm ... setidaknya tunggu sampai pengadilan memutuskan jika kita bukan lagi pasangan suami istri." Bibir Hanum bergetar mengatakannya."Astaghfirullah, Num! Siapa yang akan menceraikan kamu! Tidak sedikit pun ada niatan untuk meninggalkanmu. Mas hanya meminta izinmu saja, tidak ada yang lain.""Mana bisa begitu, mas? Neraka jenis apa yang akan mas ciptakan untukku? Apa mas pikir hatiku siap menerima madu? Tidak, mas. Hanum tidak akan sanggup berada di atap yang sama dengan wanita itu, tidak akan sanggup. Hanya wanita berhati mulia yang mau menerimanya. Ceraikan saja, Hanum." Wanita itu menunduk, mengusap air matanya yang menganak sungai. Hatinya perih, bagai luka yang tersiram tetesan asam. Apa maksud dan tujuan Arash ingin menikah lagi, tapi tidak ingin melepaskan dirinya? Bukankah laki-laki itu sangat egois?"Kamulah wanita itu, Num. Aku tahu kamu memiliki hati yang sangat mulia, kamu wanita berhati lembut. Aku yakin kamu
"Mau kemana, Num?" Suara merdu Arash menghentikan pergerakkan wanita yang tengah berbadan dua tersebut.Hanum tersenyum getir saat melihat air yang menitik dari rambut tebal sang suami, tentu saja wanita itu paham apa yang telah terjadi hingga pria dihadapannya itu berkeramas ditengah malam."Mau mengambil pesanan," jawabnya lantas berbalik badan."Pesanan? Memangnya apa yang kamu pesan dijam segini?""Makanan.""Kamu lapar? Ehm ... bukannya banyak makanan yang tersisa sehabis acaraku tadi.""Aku menginginkan menu yang lain." Hanum merasa risih saat pria itu membuntutinya. "Kenapa mas malah mengikuti? Pergilah ke kamar istri barumu, nikmati malam pertama kalian." Kalimat Hanum membuat Arash mati kutu, langkahnya terpaksa berhenti."Ini benar no Hanum yang memesan?" tanya mang Ujang, penjaga rumah, dengan pandangan tak percaya. Pasalnya selama 3 tahun dirinya mengenal istri majikannya itu, baru kali ini lah pria berkulit cokelat itu mendapati sang majikan memesan makan di luar. Di ruma
"M-mas Arash lagi dinas ke luar kota, Bun ...." Hanum menggigit bibir bawahnya."Owh, begitu. Ya, sudah, Bunda akhiri dulu ya, nak. Jaga kesehatan, Bunda dan Ayah menyayangimu selalu. Assalamualaikum ....""Wa'alaikumsalam ...."Tut ... Tut ... TutPanggilan pun berakhir.Hanum diam sesaat, dia jadi teringat akan Bundanya-- Henna, wanita yang barusan menelpon. Wanita yang sangat menyayanginya, bahkan kasih sayang yang dia dapatkan dari wanita setengah baya itu lebih besar dari wanita yang melahirkannya.Ya, Henna merupakan ibu tiri, istri pertama dari ayahanda tercinta. Marwan menikahi mamanya Hanum bukan karena wanita itu adalah wanita yang dia cinta, seperti kasus sang suami. Bukan. Bukan karena itu, melainkan paksaan dari Henna sendiri.Henna memiliki masalah dengan kesuburannya, hingga membuat dia tak bisa melahirkan penerus keluarga. Dulu, Hanum tidak menyukai istri kesayangan ayahnya tersebut, sebab Marwan selalu mencurahkan kasih sayangnya hanya untuk Henna, bahkan setelah mam
Rasti mengandung cucuku ..." Rita dengan begitu bahagia dan bangga menghampiri Hanum lantas memeluknya erat, menggoyangkan tubuh menantu pertamanya itu ke kiri dan ke kanan. Menggambarkan betapa senangnya diri mendapati istri kedua putranya itu berbadan dua.Tak mengapa hati Hanum merasa teriris, menyaksikan kedua mertuanya yang sebulan lalu dengan tegas menolak dan mengutuk keingan sang putra menikah lagi, kini malah menampilkan kebahagiaan tiada tara. Sangat bertolak belakang dengan sikapnya kemaren."Alhamdulillah, Ma. Hanum turut senang." "Iya, sayang. Akhirnya sebentar lagi terdengar juga tangisan bayi di rumah ini. Sudah lama sekali Mama menanti momen ini, tak disangka kabar ini Mama dapat dari Rasti yang baru saja menikah." Sangking bahagianya menantu kedua hamil, Rita sampai lupa jika kalimatnya tersebut menyakiti perasaan menantunya yang lain. "Mama bahagia sekali, nak," ujarnya lagi. Hanum mengangguk dengan menahan pedih."Selamat ya, Rasti. Semoga ibu dan janinnya selalu d
"Apa?" Bukan Hanum yang bersuara, melainkan Arman. Pria setengah baya itu murka mendengar permintaan menantu keduanya. Kekesalan Arman itu sangat kontras dengan perasaan Hanum."Jaga batasanmu, Rasti! Berpikir dulu sebelum meminta, apa kau pikir permintaanmu itu masuk akal? Kau seorang wanita seharusnya paham jika keinginan yang barusan kau sebutkan itu melukai perasaan Hanum. Jangan mentang-mentang kau hamil kau bisa bertingkah sesukamu! Jangan mentang-mentang kau mengandung cucuku, lantas bebas berkehendak!"Arman menatap tajam istri kedua putranya tersebut, membuat Rasti seketika menundukkan wajahnya sembari meremas ujung kerudungnya. Wanita itu mati ketakutan."Ya, nggak apa-apa lah, Pa. Mungkin itu permintaan janinnya. Lagian apa salahnya Rasti tidur di kamarnya Hanum." Rita malah membela."Iya kan, Nak? Nggak apa-apa kan Rasti pakai kamar kamu? Boleh, ya, ini demi cucu Mama."Hanum terdiam, bingung harus memberikan respon seperti apa. Bingung pula dengan pola pikir sang mertu
"Nggak apa-apa. Silahkan lanjutkan kembali aktivitasnya, maaf aku mengganggu. Lain kali pastikan pintunya terkunci rapat, cukup kalian berdua saja yang tahu apa yang terjadi didalam kamar," ucap Hanum datar. Sebelum beranjak wanita itu melirik sekilas kearah sang suami yang terlihat salah tingkah."Tunggu, Num ....""Mas, mau kemana? Jangan kemana-mana, di sini aja temenin aku tidur. Nih anak kamu pengennya di kelon," rengek Rasti sambil mencekal pergelangan tangan suaminya, menghentikan pergerakan Arash yang akan mengejar sang istri pertama. Lagi-lagi wanita itu menggunakan kata 'anak' untuk mewujudkan keinginannya."Aku ingin menemui Hanum sebentar, sudah hampir satu bulan ini aku tidak berjumpa dengan dia. Kamu istirahat sendiri dulu, ya.""Ih, ngapain juga nengokin dia. Dia kan nggak kayak aku yang lagi ngandung anak kamu, nggak perlu diperhatiin dia nya, udah biarin aja, nggak usah dipikirin, kayak anak-anak aja. Mending ... nengokin si adek, udah dua minggu lho kamu nggak ngapa-
"Bagaimana kondisi Ayahmu, mbak? Apakah dia meninggal?" Hanum yang berada di dapur guna membasahi kerongkongannya yang kering, sontak tersulut emosi kala mendengar pertanyaan dari sang madu. Plak!Akkhhhhhh ....Rasti terpekik saat Hanum mendaratkan satu tamparan keras di pipi mulusnya. Wanita itu kaget hingga mulutnya terbuka lebar. Tak menyangka mendapatkan reaksi demikian."Jaga mulutmu, Rasti! Apa maksud perkataanmu barusan? Bertanya atau justru mendo'akan Ayahku agar cepat menemui ajalnya?" sentak Hanum dengan wajah sepenuhnya memerah."Mengapa mbak menamparku? Aku hanya bertanya, mengapa berlebihan seperti ini?""Apa kau bilang? Berlebihan? Sekarang aku tanya balik, seandainya Ibumu sakit dan aku bertanya apakah Ibumu meninggal. Kira-kira bagaimana reaksimu? Apa kau senang atau malah mengamini ucapanku?" Rasti tertunduk sambil memegang pipinya yang terasa panas, tamparan yang Hanum berikan tadi sangatlah kuat. "Tolong, tunjukkan empatimu!" Hanum beranjak dari posisinya. Namun
"Papa ...." Hanum syok bukan main saat ayahnya tepat berada di depan matanya.Marwan menatap satu persatu wajah yang menghiasi meja makan milik sahabatnya tersebut."Siapa dia?" tanya ayahnya Hanum tanpa berbasa-basi, dagunya menunjuk kearah Rasti yang tengah menatap kearahnya juga.Hening, tak ada satupun yang berani memberikan jawaban. Hanya derap langkah kaki Hanum, Arman dan Arash yang terdengar sedang melangkah kearahnya."Ayah," sebut Hanum dengan begitu pelan. Wanita cantik itu mengulurkan tangannya bermaksud menyalami punggung tangan cinta pertamanya tersebut. Namun sayang, uluran tangan wanita cantik itu diabaikan. "Mas ..." bisik Henna sambil mengelus punggung sang suami. Meminta suaminya untuk tenang, sebab begitu terasa tubuh suaminya itu bergetar seperti tengah menahan amarah."Tadi Ayah mendengar jika wanita yang tengah berdiri disamping Mama mertuamu itu menyebut dirinya sebagai istri kedua suamimu, apakah itu benar, Num?" Marwan menatap netra indah Putri semata wayang
"Astaghfirullah! Dijaga ucapannya bu Rasti, jangan sampai tuduhan ibu ini malah menjadi bumerang bagi ibu sendiri. Bu Hanum tidak mandul, saya jamin itu, sebab Hanum dulu pernah mendatangi saya untuk melakukan tes kesuburan, dan hasilnya baik." Dokter yang menggunakan jilbab lebar itu menggeleng-gelengkan kepalanya."Tidak apa-apa, dok. Saya sudah biasa mendapatkan tuduhan seperti itu," sahut Hanum berusaha tegar. "Beruntung lah laki-laki yang menikahimu, Nak, dan celakalah laki-laki yang menyia-nyiakanmu." Telak, kalimat dokter Amina mampu menghunus sanubari Arash. Pria itu seketika mematung, Arash bener-bener tersindir. Sebenarnya jauh di dalam hatinya, Arash menyesal atas tindakannya menikahi Rasti.Cinta yang kerap dia gaung-gaungkan selama ini, nyatanya tak membuat pernikahan yang dia jalani dengan wanita itu berjalan indah, yang ada hanyalah rasa penyesalan tak bertepi. Tapi apa mau di kata? Nasi sudah menjadi bubur, sudah kadung terjadi."Kalau begitu silahkan keluar, ya. Pem
"Bagaimana, Dok? Bagaimana keadaan cucu dan menantu saya? Apakah telah terjadi sesuatu?" cecar Rita dengan begitu panik.Sama halnya dengan Rasti, wanita hamil yang tengah diperiksa oleh Dokter senior di rumah sakit ternama itu pun diliputi rasa panik. Panik karena kebohongannya sebentar lagi bakal terbongkar. Dokter Amina menggode perawat yang stand by di ruangannya agar membantu Rasti bangun dari tempat pemeriksaan. Sebelum beranjak dari posisinya, dokter lawas itu tersenyum penuh arti kearah Rasti. Rasti yang paham akan makan senyuman tersebut hanya mampu menunduk dengan hati gusar."Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja. Baik Ibu dan calon bayinya dalam keadaan sehat, tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan," jelas dokter Amina dengan begitu tenang.Arash dan Hanum yang juga ikut masuk kedalam ruangan itu bernafas lega mendengar penjelasan dari dokter Amina barusan. Terutama Hanum, wanita itu takut disalahkan jika terjadi sesuatu pada janin madunya, mengingat bagaimana sang ma
"Aku tidak pernah berhubungan dengan hal-hal begituan, tidak pernah terpikirkan juga. Lagian tidak ada manfaatnya bagiku.""Jelas ada, karena dengan begitu kamu bisa merebut mas Arash dariku," ujarnya tajam, menatap nyalang kearah wanita yang dia pikir telah merenggut kebahagiaannya, padahal dia lah pelakunya."Hei! Sadar dengan ucapanmu itu? Siapa yang merebut siapa pula yang tertuduh? Harusnya aku yang berkata demikian. Kamu lah si perebut itu. Aneh! Lagian aku heran melihat kalian berdua, katanya saling mencintai, tapi yang kulihat malah sebaliknya. Aku jadi sangsi sendiri. Kamu bisa lihat kan, bagaimana suamimu itu menghiba padaku, dia takut kehilanganku. Aku jadi berpikiran buruk, jangan-jangan kamulah yang main dukun!"Agghhhhhhhh ...."Perutku, sakit ...." Hanum kaget melihat madunya itu tiba-tiba saja mengerang kesakitan sembari memegang perutnya, padahal barusan saja wanita dihadapannya itu dalam kondisi sehat, tidak ada tanda-tanda sakit, tak terlihat pucat pada wajahnya."As
"Ngapain mas ke sini? Udah di bilang jangan tinggalin aku juga, ini masih aja pergi," omel Rasti. "Aku ini lagi hamil anak kamu lho, mas, jadi harus kamu jaga dan perhatikan. Bukan mas tinggalin dan malah datangin istri kamu yang mandul ini!""Rasti!!!" Arash mengeram menahan amarah, wajahnya memerah mendengar istri keduanya itu merendahkan wanita yang lebih dulu menemani tidurnya, Hanum. Sedang Hanum sendiri terlihat santai, toh apa yang wanita itu tuduhkan tidak benar, pikir wanita cantik berambut panjang yang tengah menikmati kunyahannya tersebut, sungguh wanita itu tak terganggu dengan penghinaan yang madunya itu berikan. Jelas, karena sama halnya dengan Rasti, Hanum pun tengah mengandung."Jaga ucapanmu! Hanum tidak mandul!" Kali ini pria rupawan itu merasa wanita yang belum lama dia nikahi itu telah melewati batas. "Dimana tutur bahasamu yang lemah lembut dan tidak pernah berkata kasar dulu? Dimana?! Mengapa setelah kita menikah sikapmu berubah begini? Aku sampai tak mengenali p
"Nggak apa-apa. Silahkan lanjutkan kembali aktivitasnya, maaf aku mengganggu. Lain kali pastikan pintunya terkunci rapat, cukup kalian berdua saja yang tahu apa yang terjadi didalam kamar," ucap Hanum datar. Sebelum beranjak wanita itu melirik sekilas kearah sang suami yang terlihat salah tingkah."Tunggu, Num ....""Mas, mau kemana? Jangan kemana-mana, di sini aja temenin aku tidur. Nih anak kamu pengennya di kelon," rengek Rasti sambil mencekal pergelangan tangan suaminya, menghentikan pergerakan Arash yang akan mengejar sang istri pertama. Lagi-lagi wanita itu menggunakan kata 'anak' untuk mewujudkan keinginannya."Aku ingin menemui Hanum sebentar, sudah hampir satu bulan ini aku tidak berjumpa dengan dia. Kamu istirahat sendiri dulu, ya.""Ih, ngapain juga nengokin dia. Dia kan nggak kayak aku yang lagi ngandung anak kamu, nggak perlu diperhatiin dia nya, udah biarin aja, nggak usah dipikirin, kayak anak-anak aja. Mending ... nengokin si adek, udah dua minggu lho kamu nggak ngapa-
"Apa?" Bukan Hanum yang bersuara, melainkan Arman. Pria setengah baya itu murka mendengar permintaan menantu keduanya. Kekesalan Arman itu sangat kontras dengan perasaan Hanum."Jaga batasanmu, Rasti! Berpikir dulu sebelum meminta, apa kau pikir permintaanmu itu masuk akal? Kau seorang wanita seharusnya paham jika keinginan yang barusan kau sebutkan itu melukai perasaan Hanum. Jangan mentang-mentang kau hamil kau bisa bertingkah sesukamu! Jangan mentang-mentang kau mengandung cucuku, lantas bebas berkehendak!"Arman menatap tajam istri kedua putranya tersebut, membuat Rasti seketika menundukkan wajahnya sembari meremas ujung kerudungnya. Wanita itu mati ketakutan."Ya, nggak apa-apa lah, Pa. Mungkin itu permintaan janinnya. Lagian apa salahnya Rasti tidur di kamarnya Hanum." Rita malah membela."Iya kan, Nak? Nggak apa-apa kan Rasti pakai kamar kamu? Boleh, ya, ini demi cucu Mama."Hanum terdiam, bingung harus memberikan respon seperti apa. Bingung pula dengan pola pikir sang mertu
Rasti mengandung cucuku ..." Rita dengan begitu bahagia dan bangga menghampiri Hanum lantas memeluknya erat, menggoyangkan tubuh menantu pertamanya itu ke kiri dan ke kanan. Menggambarkan betapa senangnya diri mendapati istri kedua putranya itu berbadan dua.Tak mengapa hati Hanum merasa teriris, menyaksikan kedua mertuanya yang sebulan lalu dengan tegas menolak dan mengutuk keingan sang putra menikah lagi, kini malah menampilkan kebahagiaan tiada tara. Sangat bertolak belakang dengan sikapnya kemaren."Alhamdulillah, Ma. Hanum turut senang." "Iya, sayang. Akhirnya sebentar lagi terdengar juga tangisan bayi di rumah ini. Sudah lama sekali Mama menanti momen ini, tak disangka kabar ini Mama dapat dari Rasti yang baru saja menikah." Sangking bahagianya menantu kedua hamil, Rita sampai lupa jika kalimatnya tersebut menyakiti perasaan menantunya yang lain. "Mama bahagia sekali, nak," ujarnya lagi. Hanum mengangguk dengan menahan pedih."Selamat ya, Rasti. Semoga ibu dan janinnya selalu d