Bab 7. Suamiku?

"Apa?"

Bukan Hanum yang bersuara, melainkan Arman. Pria setengah baya itu murka mendengar permintaan menantu keduanya. Kekesalan Arman itu sangat kontras dengan perasaan Hanum.

"Jaga batasanmu, Rasti! Berpikir dulu sebelum meminta, apa kau pikir permintaanmu itu masuk akal? Kau seorang wanita seharusnya paham jika keinginan yang barusan kau sebutkan itu melukai perasaan Hanum. Jangan mentang-mentang kau hamil kau bisa bertingkah sesukamu! Jangan mentang-mentang kau mengandung cucuku, lantas bebas berkehendak!"

Arman menatap tajam istri kedua putranya tersebut, membuat Rasti seketika menundukkan wajahnya sembari meremas ujung kerudungnya. Wanita itu mati ketakutan.

"Ya, nggak apa-apa lah, Pa. Mungkin itu permintaan janinnya. Lagian apa salahnya Rasti tidur di kamarnya Hanum." Rita malah membela.

"Iya kan, Nak? Nggak apa-apa kan Rasti pakai kamar kamu? Boleh, ya, ini demi cucu Mama."

Hanum terdiam, bingung harus memberikan respon seperti apa. Bingung pula dengan pola pikir sang mertua.

"Tidak boleh, Rasti tidak boleh menempati kamar Hanum, itu area privasinya!" larang Arman. "Dan kamu Rasti, bersyukurlah Hanum memperbolehkan kamu tinggal di sini, jangan meminta lebih, atau saya sendiri yang akan mengusir kamu!"

"Papa!" pekik Arash dan Rita bersamaan.

Arman mengabaikan istri dan anaknya yang tidak suka mendengar ucapannya barusan.

"Beristirahatlah, Nak. Jangan pikirkan permintaan istri kedua suamimu itu," pinta Arman pada Hanum yang tengah mematung di depan lift. "Jika kemaren Papa gagal menghentikan suamimu menikah lagi, maka kali ini Papa tidak akan gagal melindungi hakmu sebagai istri pertama. Pergilah ke kamarmu, Nak." Arman mendatangi menantu pertamanya itu yang berjarak beberapa beberapa meter dari posisinya berdiri, mengusap kepala anak sang sahabatnya itu penuh sayang. Hanum sudah dia anggap seperti Putri kandungnya sendiri.

"Tabahkan hatimu, Num, semoga ini semua menjadi ladang pahala bagimu," ujarnya lagi yang membuat hati Hanum menghangat, sedikit lengkungan terbit dari bibir indahnya.

"Terimakasih, Pa," lirih Hanum dengan nada bergetar. Istri pertama Arash itu segera memasuki lift.

Arman memandangi putra pertama dan satu-satunya itu dengan gurat penuh kekecewaan, dia menyesali sang putra yang tak bisa bersikap tegas. Lalu beralih memandangi sang istri dan menantu keduanya dengan menggeleng-gelengkan kepala.

"Jika kamu tidak bisa bersikap adil, pulangkan saja Hanum kepada ayahnya, jangan membuat bebanku bertambah dengan sikap dan perhatianmu yang berat sebelah." Setelah mengatakan itu, Arman pergi menuju kediamannya yang letaknya bersebelahan dengan rumah sang putra, dengan melewati pintu penghubung maka kakinya telah sampai di rumah mewahnya.

"Maafkan Rasti, Ma. Andai Rasti tak mengatakan apa yang Rasti mau, pasti papa tidak akan semarah itu."

"Sayang ... kamu tidak bersalah. Namanya juga orang ngidam." Rita membingkai wajah perempuan yang tengah mengandung janin yang sudah sangat lama dinanti kehadirannya.

"Kan itu buka kemauan kamu, sayang ... keinginan cucu Mama," tambahnya dengan mengusap perut Rasti yang masih terlihat datar. "Lain kali jika kamu menginginkan sesuatu katakan saja pada Mama dan suamimu, jangan beritahu di depan papa mertuamu, ya." Rasti mengangguk patuh.

'CK! Ternyata tua Bangka itu tidak menyukaiku, sialan!', batin Rasti.

"Aduuuh ... Mama seneng banget, akhirnya yang ditunggu hadir juga, terimakasih ya sayang, Mama bahagia sekali. Kamu tahukan, cuma Arash anak Mama satu-satunya, jadi Mama sangat mengharapkan sekali keturunan dari dia. Sebenarnya Mama sempat takut dengan Hanum yang tak kunjung hamil, mengingat dia juga anak satu-satunya. Takut jika dia tak memberi Mama cucu. Bersyukur kamu bisa mewujudkan keinganan Mama ini. Sehat-sehat terus, ya, Nak. Mulai sekarang Mama akan selalu menjagamu." Rita memeluk tubuh Rasti sembari mengusap-usap punggungnya.

"Ya, sudah, Ras. Gih bawa istri kamu ke kamar yang dia mau," pinta Rita. "Kalian baru saja pulang dari perjalanan jauh, pasti terasa letih. Ibu hamil tidak boleh kecapekan, terlebih hamil muda gini, rawan."

Arash lantas mengajak sang istri kedua beristirahat.

***

"Kamu tenang saja, Nak. Mama akan selalu menjagamu, kita akan membuat orang di rumah ini terkejut dengan kelahiranmu kelak. Mama akan membuat kamu menjadi anak dan cucu kesayangan. Meski sekarang kita tidak mendapatkan perhatian dari papamu, setidaknya kakek Arman menyayangi kita. Mama akan kuat untukmu, Nak. Sehat-sehat kita berdua ya, sayang." Hanum mengelus perutnya yang terlihat sedikit menonjol, dia mematut tubuhnya di depan cermin. Menatap perutnya dengan senyuman sempurna.

Setelah membersihkan diri, Hanum menjumpai ranjang empuknya, mengistirahatkan tubuh dan jiwanya di sana.

Kurang lebih 3 jam tertidur, wanita itu pun terbangun. Bukan karena kantuk dan lelahnya telah hilang, bukan. Melainkan karena perutnya meronta minta diisi.

"Sepertinya mulai besok Mama harus nyetok makana di kamar, deh," kekeh Hanum sembari mengelus perutnya.

Bergegas wanita berparas cantik itu keluar kamar.

"Masss ... pelan-pelan dong. Kasihan anak kita, nanti keget lho dia." Hanum menautkan alisnya saat mendengar kalimat manja dari sang madu.

"Mas, ih. Geli tahu." Hanum memejamkan mata mendengar lanjutan kalimat Rasti.

Hanum menghela nafas kasar saat mata indahnya tak sengaja melihat adegan yang ada didalam sana, tepat disebelah kamarnya. Bukan karena dirinya mencari keberadaan suara madunya tadi, bukan. Melainkan karena dirinya melewati kamar itu saat akan menuju lantai 1, sialnya netra indahnya menangkap aktivitas didalam sana.

"Eh, ada mbak Hanum. Maaf ya, mbak, suamiku lupa ngunci pintunya. Maklum, namanya juga pengantin baru, suka nggak sabaran."

Suamiku?