Bab 3. Pernikahan Kedua Suamiku

"Tapi, bisakah mas menunda pernikahan itu terlebih dahulu? Ehm ... setidaknya tunggu sampai pengadilan memutuskan jika kita bukan lagi pasangan suami istri." Bibir Hanum bergetar mengatakannya.

"Astaghfirullah, Num! Siapa yang akan menceraikan kamu! Tidak sedikit pun ada niatan untuk meninggalkanmu. Mas hanya meminta izinmu saja, tidak ada yang lain."

"Mana bisa begitu, mas? Neraka jenis apa yang akan mas ciptakan untukku? Apa mas pikir hatiku siap menerima madu? Tidak, mas. Hanum tidak akan sanggup berada di atap yang sama dengan wanita itu, tidak akan sanggup. Hanya wanita berhati mulia yang mau menerimanya. Ceraikan saja, Hanum." Wanita itu menunduk, mengusap air matanya yang menganak sungai.

Hatinya perih, bagai luka yang tersiram tetesan asam. Apa maksud dan tujuan Arash ingin menikah lagi, tapi tidak ingin melepaskan dirinya?

Bukankah laki-laki itu sangat egois?

"Kamulah wanita itu, Num. Aku tahu kamu memiliki hati yang sangat mulia, kamu wanita berhati lembut. Aku yakin kamu bisa menerima dengan baik pernikahan keduaku ini. Kamu tenang saja, aku akan berlaku adil. Rasti akan tinggal di rumah Mama, kalian tinggal terpisah."

'Tetap saja berada dilingkungan yang sama.'

"Hanum tidak sehebat itu, mas. Hanum tidak siap dimadu, tinggalkan saja Hanum. Toh, Hanum juga tidak membuat mas Arah bahagia kan. Sekarang, raihlah bahagia mas. Hanum bisa mengurus diri Hanum sendiri, bila perlu jatuh kan talak sekarang juga," lirihnya dengan pandangan tertunduk.

"Tidak. Sampai kapanpun mas tidak akan pernah menceraikan kamu, tidak akan pernah. Mama dan Papa akan melaknatku jika itu sampai terjadi."

"Jangan pikirkan, itu. Biar Hanum yang mengurusnya, Hanum jamin mama dan papa tidak akan marah. Kalau memang masalahnya hanya di kedua orang tua, mas."

"Lalu, bagaimana dengan ayahmu? Apa kamu tidak kasihan dengan ayahmu, Num. Beliau baru saja keluar dari rumah sakit pasca operasi jantungnya. Apa kamu ingin membuat beliau drop lagi? Kamu tidak memikirkan itu?"

"Ayah ...." Ucap Hanum lirih dengan air mata berjatuhan.

Benar apa yang dikatakan Arash, jika sang ayahanda mengetahui perceraiannya. Bisa-bisa ayahnya berakhir dengan terbaring lemas di bangsal rumah sakit. Atau, bahkan nyawanya tak akan tertolong.

Sedang hanya pria setengah baya itulah tempat dirinya mengadu, dia satu-satunya orang tua kandung Hanum yang tersisa.

Baru sebulan lalu ayah tercinta keluar dari rumah sakit, keadaan pria tua itu sangat rentan. Tidak bisa diajak berfikir keras pun mendapatkan berita mengejutkan.

Apalagi pernikahan antara Hanum dan Arash, adalah hasil perjodohan darinya. Ayahnya Hanum--Marwan lah, yang meminta papanya Arash--Arman untuk menjadikan Hanum menantu dikeluarga sahabatnya tersebut.

Dari sikap Arash yang satun, cerdas dan penyayang, membuat Marwan yakin anak satu-satunya akan bahagia berada ditangan lelaki itu.

Namun, apa yang lelaki tua itu harapkan. Tak sesuai dengan realita. Lelaki yang dia gadang-gadang mampu menciptakan surga untuk putrinya, nyatanya malah menorehkan luka tak bertepi.

Jika saja Marwan mengetahui fakta ini, tentu saja sangat membahayakan kondisi kesehatannya. Hanum pastinya tidak ingin hal mengerikan itu terjadi.

"Baiklah. Dari pada Hanum kehilangan ayah, lebih baik Hanum mengorbankan diri. Nikahilah wanita yang mas cintai itu, tapi ... jangan sekali-kali dia menjejalkan kakinya di rumah ini." Senyum penuh kemenangan Arash tampilkan, lelaki tampan itu benar-benar bahagia.

Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Arash lantas bangkit dari duduknya. Sebelum benar-benar beranjak, dia mendekatkan bibirnya ke arah kening wanita yang telah melewati lebih dari seribu malam denganya. Namun, wanita itu menghindar. Hanum reflek menjauhkan wajahnya, dan berpaling.

Arash tak memaksa, lelaki itu paham jika mood wanitanya tengah berantakan.

"Tunggu ...." Langkah Arash langsung terhenti, tangannya tengah memegang gagang pintu.

"Aku ingin mengajukan satu syarat, jika mas mengabulkannya. Maka aku tidak akan pernah mengusik pernikahan kalian, bahkan aku memperbolehkan wanita itu untuk singgah ke rumah ini. Hanya bertamu, bukan untuk menginap," tutur Hanum sasaat suaminya berbalik badan.

"Ya, sebutkan saja." Arash tergelitik dengan ucapan Hanum barusan, bukan karena permintaan. melainkan sang istri menyebut dirinya dengan 'aku,' bukan 'Hanum'.

"Aku ingin mas membebaskan kemana pun aku ingin pergi, tanpa harus meminta izin dari mas terlebih dahulu."

Arash, ingin sekali menolak permintaan istrinya tersebut. Arash paling tidak suka Hanum keluar tanpa berpamitan, selama pernikahan mereka, lelaki itu sangat membatasi ruang gerak sang istri.

Makanya Hanum memilih bekerja dari rumah, mendesain permintaan client diruang pribadinya. Hanum diperbolehkan bekerja, itupun setelah melewati perdebatan panjang, ada campur tangan mertuanya hingga wanita itu bisa kembali menitik karir. Arash tidak suka istrinya bekerja, tapi apa mau dikata. Keinginan Hanum terlalu kuat. Pada akhirnya lelaki tampan itu menyerah, tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

"Baiklah, mas setuju."

***

"Nak ...." Mamanya Arash--Rita, memeluk bahu Hanum dengan tubuh bergetar hebat. Tak hanya Rita, para pekerja dirumah pun ikut bersedih, setelah kata 'Sah' terucap dari bibir kedua saksi.

Hanya Hanum dan satu pasangan yang baru saja sah menjadi suami istri yang tak menangis diruangan tersebut, bahkan Arman terlihat berkaca-kaca. Pria setengah baya itu merasa gagal menjaga amanah sang sahabat, yang notabenenya adalah ayah Hanum, Marwan.

Jika Hanum tak mengeluarkan air mata, sebab air matanya telah mengering. Maka tidak berlaku dengan kedua insan yang tengah saling menatap dengan binar cinta, keduanya tentu saja tidak akan menangis, sebab kedua insan itu tengah berada dipuncak kebahagiaan.

"Selamat." Hanum mengulurkan tangan kanannya kearah wanita yang memiliki nama yang sama denganya, Rasti.

"Alhamdulillah, terimakasih ya, mbak. Semoga kedepannya kita bisa akur, aku yakin kita bisa menjadi sahabat dan bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anakku kelak," jawabnya dengan panjang lebar.

Anakku? Kenapa harus mengatakan Anakku? Kenapa tidak anak kita? Seolah wanita yang tengah berbahagia itu menganggap Hanum tak akan mampu memberi keturunan.

Bukankah perkataan istri kedua suaminya itu terdengar begitu menyakitkan?

Mungkin karena dirinya tak kunjung mengandung setelah menginjak pernikahan ke-3 tahun, membuat wanita itu mengira Hanum mandul.

Andai dia tahu ada sebuah janin yang tengah berkembang didalam rahim, Hanum. Apakah wanita itu masih bisa berlagak congak?

"Aamiin," sahut Hanum dengan memaksakan senyuman.

"Selamat ya, mas. Semoga pernikahan keduamu ini membuatmu benar-benar bahagia." Hanum menatap wajah rupawan Arash dengan mata memanas, meski semalaman suntuk memproduksi air mata, entah kenapa masih saja ada yang tersisa.

Arash tak menjawab, lelaki itu hanya menatap wajah ayu sang istri. Wajah yang semalaman dibanjiri oleh air mata. Dapat dengan jelas lelaki itu melihat luka mendalam dari sorot netra ke coklatan istinya.

Tapi, mau bagaimana? Lelaki itu tak bisa menghapus cintanya untuk wanita yang baru saja dia nikahi. Cintanya sangat besar untuk Rasti.

Apakah benar selama ini Hanum tak membuat dirinya bahagia? Entahlah.

Karena tangannya tak kunjung disambut, Hanum lantas menariknya. Wanita itu berbalik arah, meninggalkan ruangan menuju kamar. Balkon adalah tujuannya.

Melamun, meratapi nasib hingga semburat jingga berubah warna menjadi hitam pekat.

"Astaghfirullah, sudah malam?" Dia bangkit dari duduknya, dan bergegas masuk kamar.

Entah sudah berapa jam wanita cantik itu menghabiskan waktu disana, yang jelas tubuhnya terasa begitu dingin. Perutnya pun mulai terasa lapar, suara keroncongan terdengar.

"Maaf, maafkan Mama ya, nak. Pasti kamu sangat kelaparan," ucapnya sembari mengelus perutnya yang masih rata. Jelas saja, sebab usia kandungan wanita itu baru memasuki usia 4 minggu.

Hanum kaget bukan main saat melihat jam yang menempel di dinding kamarnya, pukul 02. 00? Benarkah ini?

Kriuk ... kriuk

Hanum memejamkan mata saat perutnya kembali berbunyi. Kali ini terasa melilit, hingga dirinya sedikit meringis.

Senyum Hanum terkembang saat melihat berbagai macam lauk, dan buah-buahan kesukaannya tersaji dimeja kecil samping kamarnya.

"Pasti bik Ijah yang menaruhnya," gumam Hanum dengan menerbitkan senyuman.

Namun, anehnya Hanum malah tak berselera, padahal makanan yang disediakan oleh asisten rumahtangganya itu merupakan makanan kesukaan. Wanita itu malah menginginkan steik sapi. Makanan yang tidak terlalu disukainya. Makanan yang merupakan makanan favorit sang suami.

"Kalian memiliki selera yang sama." Hanum tersenyum getir sembari mengusap perutnya.

Akhirnya Hanum memutuskan memesan makanan yang membuat air liurnya menitik melalui aplikasi online.

Satu jam berlalu, pesanan itu pun sampai. Cukup lama memang, sebab jarak restoran yang lumayan jauh. Tapi tak apa, asal bisa makan steik sapi, Hanum rela menunggunya.

"Mau kemana, Num?"