Sore itu, Rio pulang lebih cepat dari biasanya dengan tampilan yang segar dan rapi, memancarkan aura kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan. Baru saja masuk ke dalam rumah, suara riang Alvero langsung menyambutnya.
"Ayah...!" seru Alvero, putra kecilnya yang berlari dengan antusias, langsung memeluk kaki Rio dengan penuh kegembiraan.
Rio tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kasih sayang. Tanpa ragu, dia membungkuk dan mengangkat tubuh mungil Alvero, mendekapnya erat. "Halo jagoan ayah," ucapnya lembut, sembari mengecup pipi gembul Alvero yang mengundang tawa riang si kecil.
Sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang tampak sepi, Rio bertanya dengan nada lembut, "Ibu di mana, Sayang?"
"Ibu lagi main ail," jawab Alvero dengan polos, menatap wajah ayahnya y
Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai lengang. Rio dan Venina duduk berdampingan, tangan mereka saling bertaut erat, seolah enggan terpisah. Senyum bahagia masih terlukis di wajah keduanya, pancaran kebahagiaan terpancar jelas dari mata mereka yang berbinar."Malam ini sempurna sekali," ucap Venina lembut, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.Rio mengangguk, matanya tetap fokus ke jalan namun ada kehangatan dalam suaranya saat menjawab, "Ya, aku harap bisa terus merayakan ulang tahun pernikahan kita sampai dua puluh tahun ke depan.""Sampai Al besar. Sampai kita bisa melihat dia tumbuh menjadi anak yang hebat seperti kamu," tambah Venina dengan wajah berseri, membayangkan masa depan cerah putra mereka."Dan sampai dia punya istri yang cantik
Venina berdiri dengan tubuh gemetar. Jemarinya menggenggam erat tangan ibunya, Nadia, seakan mencari kekuatan dari sentuhan itu. Matanya terpaku pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat, menanti kedatangan dokter dengan debar jantung yang semakin cepat.Ketika sosok berjas putih itu akhirnya muncul, Venina merasakan dunianya seolah berhenti berputar. Tatapan dokter itu sarat akan beban berat, dan tanpa perlu kata-kata, Venina seakan bisa membaca apa yang akan disampaikan. Namun, ia masih berharap, masih berdoa dalam hati agar takdir berkata lain."Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" Venina bertanya dengan suara bergetar, matanya memohon akan secercah harapan.Dokter itu menghela napas berat sebelum menjawab, "Rasanya sudah tidak ada waktu lagi, Bu. Tekanan darahnya terus menurun. Kalau Ibu ingin menemuinya, sekarang
Keheningan yang mencekam di ruang ICU tiba-tiba dipecahkan oleh suara lemah alat monitor jantung. Venina, yang sedari tadi tak melepaskan genggaman tangannya dari Rio, merasakan jemari suaminya bergerak perlahan. Jantungnya berdebar kencang, antara takut dan penuh harap."Rio?" bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan luapan emosi.Perlahan, sangat perlahan, kelopak mata Rio mulai bergerak. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia membuka matanya. Pandangannya sayu, namun ada kilatan kasih sayang yang terpancar saat matanya bertemu dengan mata istrinya.Venina merasakan air matanya mulai menggenang, namun ia berusaha menahannya. Ia tak ingin membuat Rio sedih di saat-saat seperti ini. Dengan lembut, ia mendekatkan wajahnya ke telinga suaminya."Sayang," bisiknya penuh
Satu tahun berlalu sejak kepergian Rio, dan Venina perlahan mulai menata kembali hidupnya yang sempat hancur berkeping-keping. Hari-harinya kini dipenuhi dengan rutinitas mengurus Alvero dan bekerja, sementara Nadia selalu siap membantu kapanpun dibutuhkan.Sore itu, langit Jakarta mulai menggelap ketika Venina tergesa-gesa memasuki area rumah sakit. Alvero, yang biasanya riang dan penuh energi, kini terkulai lemas dalam gendongannya, tubuhnya panas oleh demam yang tak kunjung turun."Sabar ya, sayang. Sebentar lagi kita ketemu dokter," bisik Venina lembut, mencium kening Alvero yang berkeringat.Namun takdir seolah punya rencana lain. Saat berbelok di koridor menuju ruang administrasi, Venina tak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Tas tangannya terjatuh, isinya berhamburan di lantai rumah sakit yang dingin
Sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamar rumah sakit, menyinari sosok mungil Alvero yang masih tertidur lelap. Venina, yang baru saja selesai merapikan selimut putranya, tersentak kaget mendengar ketukan pelan di pintu.Erlangga muncul dengan senyum hangat, tangannya penuh dengan kantong plastik berisi makanan dan buah-buahan. Tanpa basa-basi, ia meletakkan bawaannya di atas nakas samping ranjang Alvero."Tidak perlu repot-repot, Mas," ujar Venina datar, berusaha menjaga jarak.Erlangga tersenyum lembut, "Saya senang melakukannya, Nina. Ini sama sekali tidak merepotkan."Venina memalingkan wajah, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. Senyum itu, senyum yang dulu begitu ia puja, kini justru ingin ia hindari.
Suara denting sendok yang beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan di dapur rumah Venina. Nadia, yang sedari tadi mengamati putrinya, akhirnya membuka suara dengan nada cemas, "Ada apa, Nina? Kamu sakit?"Venina tersentak dari lamunannya, tangannya yang gemetar menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, seolah menjadi simbol kekacauan dalam hatinya.Dengan tergesa, Venina berlutut, berusaha mengumpulkan serpihan kaca. Tanpa disadari, ujung jarinya tergores, meninggalkan jejak merah di lantai putih."Tinggalkan saja, Nina. Nanti biar Tuti yang membersihkannya," ujar Nadia lembut, meraih tangan putrinya dan menghentikan pendarahan di jarinya.Sentuhan ibunya seakan membangunkan Venina dari trans. Tiba-tiba, firasat buruk menyelimuti hatin
"Ngapain sih Papa bawa dia ke sini lagi?"Kata-kata itu meluncur tajam dari bibir Erna, membelah keheningan. Matanya menyipit penuh kebencian, menatap sosok wanita yang berdiri di belakang ayahnya. Wanita yang selama tujuh belas tahun absen dari hidupnya, kini berdiri canggung di ambang pintu, seolah tak yakin apakah ia berhak berada di sana.Erlangga menghela napas berat, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab putrinya. "Jangan begitu, Er," bisiknya lembut namun tegas. "Ibu datang karena mau ketemu kamu."Erna mendengus, senyum sinis tersungging di bibirnya yang pucat. Matanya menyapu sosok Venina dari atas ke bawah, tatapannya penuh penghinaan. "Ke mana aja dia selama tujuh belas tahun ini? Kenapa baru datang sekarang?"Kalimat itu menohok Venina tepat di jantungny
"Benar kamu sudah yakin dengan keputusan ini, Nina?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menusuk. Nadia menatap putrinya dengan sorot mata cemas, tangannya meremas-remas gugup sementara Venina sibuk memindahkan pakaian ke dalam koper."Benar kamu sudah yakin dengan keputusan ini, Nina?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menusuk. Nadia menatap putrinya dengan sorot mata cemas, tangannya meremas-remas gugup sementara Venina sibuk memindahkan pakaian ke dalam koper.Venina tersenyum pahit, tatapannya menerawang jauh ke masa lalu. "Apa yang Nina lakukan juga nggak ada bedanya dengan mereka, Bu," balasnya, matanya berkaca-kaca. "Nina jahat. Nina meninggalkan Erna begitu saja. Nina sudah menyia-nyiakannya."