"Ngapain sih Papa bawa dia ke sini lagi?"
Kata-kata itu meluncur tajam dari bibir Erna, membelah keheningan. Matanya menyipit penuh kebencian, menatap sosok wanita yang berdiri di belakang ayahnya. Wanita yang selama tujuh belas tahun absen dari hidupnya, kini berdiri canggung di ambang pintu, seolah tak yakin apakah ia berhak berada di sana.
Erlangga menghela napas berat, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab putrinya. "Jangan begitu, Er," bisiknya lembut namun tegas. "Ibu datang karena mau ketemu kamu."
Erna mendengus, senyum sinis tersungging di bibirnya yang pucat. Matanya menyapu sosok Venina dari atas ke bawah, tatapannya penuh penghinaan. "Ke mana aja dia selama tujuh belas tahun ini? Kenapa baru datang sekarang?"
Kalimat itu menohok Venina tepat di jantungny
"Benar kamu sudah yakin dengan keputusan ini, Nina?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menusuk. Nadia menatap putrinya dengan sorot mata cemas, tangannya meremas-remas gugup sementara Venina sibuk memindahkan pakaian ke dalam koper."Benar kamu sudah yakin dengan keputusan ini, Nina?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menusuk. Nadia menatap putrinya dengan sorot mata cemas, tangannya meremas-remas gugup sementara Venina sibuk memindahkan pakaian ke dalam koper.Venina tersenyum pahit, tatapannya menerawang jauh ke masa lalu. "Apa yang Nina lakukan juga nggak ada bedanya dengan mereka, Bu," balasnya, matanya berkaca-kaca. "Nina jahat. Nina meninggalkan Erna begitu saja. Nina sudah menyia-nyiakannya."
"Mas Angga!"Suara itu meluncur dari bibir Venina, bercampur antara keterkejutan dan ketidakpercayaan. Matanya membelalak lebar, menatap sosok pria yang kini duduk di ruang tengah rumahnya, bermain dengan putranya, Alvero. Seketika, waktu seolah berhenti berputar.Erlangga mengalihkan pandangannya, seutas senyum hangat terukir di bibirnya. "Hai, Nina," sapanya lembut, seolah kehadirannya di sana adalah hal yang paling wajar di dunia."Ibu, coba liat." Suara riang Alvero memecah ketegangan. Bocah itu melangkah ke arah Venina, tangannya menggenggam sebuah mainan robot dengan penuh semangat. "Om Angga bawa ini untuk Al."Venina terdiam, matanya bergantian menatap mainan di tangan putranya dan wajah Erlangga. Dengan gerakan perlahan, ia mengambil mainan itu dan menyerahkanny
Angin semilir membelai lembut rerumputan di pemakaman, membawa aroma bunga-bunga yang ditaburkan di atas makam. Venina berdiri terpaku, matanya terpancang pada batu nisan di hadapannya. Nama yang terukir di sana seolah menertawakannya, mengejek ketidaktahuannya selama ini."Nathalia Soetanto1985 - 2015Istri dan Ibu yang Terkasih"Venina bersimpuh, jemarinya gemetar menyentuh ukiran nama itu. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya tumpah, membasahi pipinya yang pucat. "Mbak Lia..." bisiknya lirih, suaranya tercekat oleh isakan yang tak tertahankan."Maafkan aku, Mbak... Maafkan aku..."Di belakangnya, Erlangga berdiri dengan wajah sendu. Matanya yang berkaca-kaca men
"Ibu yakin Rio pasti mengerti, Nina. Dia begitu mencintaimu. Dia juga pasti tidak suka melihatmu sedih terus dan meratapinya."Kata-kata Nadia menusuk hati Venina, membuat wanita itu tersentak dari lamunannya. Dia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, tangannya secara refleks meremas jari-jemarinya sendiri, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya.Nadia menghela napas panjang, tangannya yang keriput menyentuh lembut pundak putrinya. Matanya memancarkan kekhawatiran sekaligus pengertian yang mendalam. "Sayang, sudah tiga tahun berlalu. Mungkin sudah waktunya kamu membuka hatimu lagi.""Tapi Bu, bagaimana bisa Nina..." Venina tak mampu melanjutkan kalimatnya. Matanya menerawang jauh ke luar jendela, menatap langit senja yang mulai memerah. Warna yang mengingatkannya pada senyum hangat Rio.
Venina berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya dalam balutan gaun pengantin sederhana. Tidak ada kemewahan, tidak ada pesta besar. Hanya sebuah acara pemberkatan sederhana yang akan dihadiri oleh orang-orang terdekat. Itulah yang ia inginkan, sebuah momen intim untuk memulai lembaran baru hidupnya bersama Erlangga."Kamu siap, sayang?" tanya Nadia, ibunya, sambil merapikan rambut Venina.Venina mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Nina siap, Bu.”Sementara itu, di ruangan lain, Erlangga berdiri gelisah. Matanya terus melirik ke arah pintu, berharap putrinya akan muncul. Percakapan mereka beberapa hari lalu masih terngiang jelas di telinganya."Papa ingin kamu hadir dan menyaksikan kebahagiaan kami," Erlangga menatap Erna dengan penuh permohonan.
Setelah upacara pernikahan yang sederhana namun penuh makna itu, Erlangga dan Venina memulai lembaran baru kehidupan mereka.Erlangga telah menyiapkan sebuah rumah baru yang nyaman untuk keluarga kecil mereka. Venina dan Alvero pindah ke rumah itu, memulai babak baru dalam hidup mereka.Awalnya, semua terasa seperti mimpi indah bagi Venina. Setiap pagi, ia terbangun dengan senyum di wajahnya, merasakan kehangatan Erlangga di sampingnya. Mereka sarapan bersama, Alvero berceloteh riang tentang sekolahnya, dan Erlangga tersenyum lembut mendengarkan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu kursi yang selalu kosong di meja makan mereka - kursi Erna.Erna masih belum bisa menerima kehadiran ibunya. Gadis itu memilih untuk tetap tinggal di rumah lamanya bersama Amita. Setiap kali Erlangga mengajaknya berkunjung, Er
Setiap hari, ulah Erna semakin menjadi-jadi. Semenjak mereka tinggal bersama, gadis itu seolah berusaha mendorong batas kesabaran keluarganya.Erna mulai pulang larut malam, kadang bahkan menjelang pagi, dengan pakaian yang membuat Venina mengernyitkan dahi. Rok mini, atasan ketat, dan make-up tebal menjadi pemandangan yang sering menyambutnya saat membukakan pintu untuk putrinya.Venina mencoba berbicara baik-baik dengan Erna, "Sayang, ini sudah lewat tengah malam. Ibu khawatir sama kamu."Namun Erna hanya mendengus, "Bukan urusan lo. Gue udah dewasa."Setiap kali Erlangga melakukan perjalanan bisnis, situasi menjadi semakin tidak terkendali. Hampir setiap hari Minggu, Erna membawa teman pria yang berbeda ke rumah. Venina hanya bisa menggigit bibir, menahan amarah
Selama beberapa minggu setelah insiden pelariannya, Erna menunjukkan perubahan sikap yang mengejutkan. Gadis itu seolah-olah telah bertransformasi menjadi sosok yang patuh dan penurut.Setiap hari, rutinitas Erna terlihat begitu teratur. Pagi hari dia berangkat kuliah, dan begitu selesai, dia langsung pulang ke rumah. Tak ada lagi keluyuran sampai larut malam atau pesta liar yang membuat orang tuanya cemas. Sebagian besar waktunya kini dihabiskan di kamar, entah itu belajar atau melakukan aktivitas lain yang tak diketahui keluarganya.Meski sikapnya terhadap Venina dan Alvero masih sedingin es di kutub, setidaknya Erna tidak lagi membuat keributan. Venina masih sering mendapati putrinya menatap dengan sorot mata penuh kebencian, namun ia berusaha untuk tetap sabar dan memberikan Erna ruang yang ia butuhkan.Selama b