"Ibu yakin Rio pasti mengerti, Nina. Dia begitu mencintaimu. Dia juga pasti tidak suka melihatmu sedih terus dan meratapinya."
Kata-kata Nadia menusuk hati Venina, membuat wanita itu tersentak dari lamunannya. Dia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, tangannya secara refleks meremas jari-jemarinya sendiri, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya.
Nadia menghela napas panjang, tangannya yang keriput menyentuh lembut pundak putrinya. Matanya memancarkan kekhawatiran sekaligus pengertian yang mendalam. "Sayang, sudah tiga tahun berlalu. Mungkin sudah waktunya kamu membuka hatimu lagi."
"Tapi Bu, bagaimana bisa Nina..." Venina tak mampu melanjutkan kalimatnya. Matanya menerawang jauh ke luar jendela, menatap langit senja yang mulai memerah. Warna yang mengingatkannya pada senyum hangat Rio.
Venina berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya dalam balutan gaun pengantin sederhana. Tidak ada kemewahan, tidak ada pesta besar. Hanya sebuah acara pemberkatan sederhana yang akan dihadiri oleh orang-orang terdekat. Itulah yang ia inginkan, sebuah momen intim untuk memulai lembaran baru hidupnya bersama Erlangga."Kamu siap, sayang?" tanya Nadia, ibunya, sambil merapikan rambut Venina.Venina mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Nina siap, Bu.”Sementara itu, di ruangan lain, Erlangga berdiri gelisah. Matanya terus melirik ke arah pintu, berharap putrinya akan muncul. Percakapan mereka beberapa hari lalu masih terngiang jelas di telinganya."Papa ingin kamu hadir dan menyaksikan kebahagiaan kami," Erlangga menatap Erna dengan penuh permohonan.
Setelah upacara pernikahan yang sederhana namun penuh makna itu, Erlangga dan Venina memulai lembaran baru kehidupan mereka.Erlangga telah menyiapkan sebuah rumah baru yang nyaman untuk keluarga kecil mereka. Venina dan Alvero pindah ke rumah itu, memulai babak baru dalam hidup mereka.Awalnya, semua terasa seperti mimpi indah bagi Venina. Setiap pagi, ia terbangun dengan senyum di wajahnya, merasakan kehangatan Erlangga di sampingnya. Mereka sarapan bersama, Alvero berceloteh riang tentang sekolahnya, dan Erlangga tersenyum lembut mendengarkan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu kursi yang selalu kosong di meja makan mereka - kursi Erna.Erna masih belum bisa menerima kehadiran ibunya. Gadis itu memilih untuk tetap tinggal di rumah lamanya bersama Amita. Setiap kali Erlangga mengajaknya berkunjung, Er
Setiap hari, ulah Erna semakin menjadi-jadi. Semenjak mereka tinggal bersama, gadis itu seolah berusaha mendorong batas kesabaran keluarganya.Erna mulai pulang larut malam, kadang bahkan menjelang pagi, dengan pakaian yang membuat Venina mengernyitkan dahi. Rok mini, atasan ketat, dan make-up tebal menjadi pemandangan yang sering menyambutnya saat membukakan pintu untuk putrinya.Venina mencoba berbicara baik-baik dengan Erna, "Sayang, ini sudah lewat tengah malam. Ibu khawatir sama kamu."Namun Erna hanya mendengus, "Bukan urusan lo. Gue udah dewasa."Setiap kali Erlangga melakukan perjalanan bisnis, situasi menjadi semakin tidak terkendali. Hampir setiap hari Minggu, Erna membawa teman pria yang berbeda ke rumah. Venina hanya bisa menggigit bibir, menahan amarah
Selama beberapa minggu setelah insiden pelariannya, Erna menunjukkan perubahan sikap yang mengejutkan. Gadis itu seolah-olah telah bertransformasi menjadi sosok yang patuh dan penurut.Setiap hari, rutinitas Erna terlihat begitu teratur. Pagi hari dia berangkat kuliah, dan begitu selesai, dia langsung pulang ke rumah. Tak ada lagi keluyuran sampai larut malam atau pesta liar yang membuat orang tuanya cemas. Sebagian besar waktunya kini dihabiskan di kamar, entah itu belajar atau melakukan aktivitas lain yang tak diketahui keluarganya.Meski sikapnya terhadap Venina dan Alvero masih sedingin es di kutub, setidaknya Erna tidak lagi membuat keributan. Venina masih sering mendapati putrinya menatap dengan sorot mata penuh kebencian, namun ia berusaha untuk tetap sabar dan memberikan Erna ruang yang ia butuhkan.Selama b
Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, pertemuan demi pertemuan antara Erna dan Arya Wibowo mulai mengubah dinamika rencana awal gadis itu.Awalnya, Erna hanya berniat memanfaatkan koneksi dan pengaruh Arya untuk memenuhi ambisinya. Namun, takdir seolah memiliki rencana lain.Setiap kali mereka bertemu, Erna merasakan getaran aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Arya, dengan kedewasaan dan karisma yang terpancar dari setiap gerak-geriknya, mulai mengisi ruang kosong dalam hati Erna yang selama ini hanya dipenuhi kebencian dan dendam.Suatu sore, Erna melangkah masuk ke ruang kerja Arya. Aroma maskulin bercampur wangi tembakau menyambut indera penciumannya. Matanya terpaku pada sosok pria yang tengah menghisap rokok, asapnya membumbung membentuk pola abstrak di udara. Seketika, jantung Erna berdebar tak karuan. Sensasi ini asing baginya, memb
Kilatan lampu studio memenuhi ruangan, memantul dari perhiasan yang menghiasi leher jenjang Erna. Gaun merah menyala membalut tubuhnya dengan sempurna, mempertegas lekuk indahnya yang masih muda dan segar. Di hadapan kamera, Erna berpose dengan penuh percaya diri, seolah-olah dia telah terlahir untuk momen ini."Bagus, Erna! Tahan posemu," seru sang fotografer dengan antusias. "Angkat dagumu sedikit. Ya, sempurna!"Di sudut ruangan, Arya berdiri kaku, matanya tak lepas dari sosok gadis yang kini telah menjelma menjadi wanita dewasa.Erna berpose dengan anggun, setiap gerakan tubuhnya seolah menyiratkan undangan tersembunyi. Dia mencuri pandang ke arah Arya, berharap pria itu menangkap sinyal yang dia kirimkan. Jantungnya berdebar kencang setiap kali mata mereka bertemu, dan dia bisa merasakan wajahnya memanas meski
Suara detak jantung Erna seolah berlomba dengan langkah kakinya yang tergesa-gesa menyusuri lorong hotel. Gaun tidur sutra yang dia kenakan berkibar lembut, mengikuti irama langkahnya yang penuh tekad. Matanya terpaku pada satu pintu di ujung lorong - kamar Om Arya.Tepat saat Arya hendak menutup pintu kamarnya, Erna menyelinap masuk dengan gerakan cepat yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. Aroma maskulin cologne pria itu langsung menyeruak, membuat kepala Erna sedikit pusing.Arya terperanjat, matanya melebar melihat sosok Erna yang berdiri di hadapannya. Gaun tidur Erna yang tipis dan mengekspos bahu mulusnya membuat Arya menelan ludah dengan susah payah."E-Erna?" Arya tergagap, matanya melebar dalam keterkejutan dan... sesuatu yang lain. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Kenapa Om nggak mau liat aku sebagai wanita? Apa kurangnya aku?""Kamu nggak kurang apa-apa, Erna. Tapi hubungan kita nggak mungkin lebih dari ini," jawab Arya tegas."Om Arya jahat! Om udah bikin aku berharap selama ini! Om pembohong!"Arya merasakan hatinya seperti diremas. Dia ingin memeluk Erna, menghapus air matanya, tapi dia tahu itu akan membuat segalanya lebih rumit. "Erna, dengar. Kamu masih muda, masih punya banyak kesempatan. Suatu hari nanti, kamu akan ketemu cowok yang lebih baik, yang bisa...""Aku nggak mau cowok lain!" Erna berteriak, amarahnya meledak. "Aku cuma mau Om! Kenapa Om nggak bisa liat itu?!"Arya terdiam, matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. "Maafin Om, Erna. Tapi ini nggak bisa."