Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, pertemuan demi pertemuan antara Erna dan Arya Wibowo mulai mengubah dinamika rencana awal gadis itu.Awalnya, Erna hanya berniat memanfaatkan koneksi dan pengaruh Arya untuk memenuhi ambisinya. Namun, takdir seolah memiliki rencana lain.
Setiap kali mereka bertemu, Erna merasakan getaran aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Arya, dengan kedewasaan dan karisma yang terpancar dari setiap gerak-geriknya, mulai mengisi ruang kosong dalam hati Erna yang selama ini hanya dipenuhi kebencian dan dendam.
Suatu sore, Erna melangkah masuk ke ruang kerja Arya. Aroma maskulin bercampur wangi tembakau menyambut indera penciumannya. Matanya terpaku pada sosok pria yang tengah menghisap rokok, asapnya membumbung membentuk pola abstrak di udara. Seketika, jantung Erna berdebar tak karuan. Sensasi ini asing baginya, memb
Kilatan lampu studio memenuhi ruangan, memantul dari perhiasan yang menghiasi leher jenjang Erna. Gaun merah menyala membalut tubuhnya dengan sempurna, mempertegas lekuk indahnya yang masih muda dan segar. Di hadapan kamera, Erna berpose dengan penuh percaya diri, seolah-olah dia telah terlahir untuk momen ini."Bagus, Erna! Tahan posemu," seru sang fotografer dengan antusias. "Angkat dagumu sedikit. Ya, sempurna!"Di sudut ruangan, Arya berdiri kaku, matanya tak lepas dari sosok gadis yang kini telah menjelma menjadi wanita dewasa.Erna berpose dengan anggun, setiap gerakan tubuhnya seolah menyiratkan undangan tersembunyi. Dia mencuri pandang ke arah Arya, berharap pria itu menangkap sinyal yang dia kirimkan. Jantungnya berdebar kencang setiap kali mata mereka bertemu, dan dia bisa merasakan wajahnya memanas meski
Suara detak jantung Erna seolah berlomba dengan langkah kakinya yang tergesa-gesa menyusuri lorong hotel. Gaun tidur sutra yang dia kenakan berkibar lembut, mengikuti irama langkahnya yang penuh tekad. Matanya terpaku pada satu pintu di ujung lorong - kamar Om Arya.Tepat saat Arya hendak menutup pintu kamarnya, Erna menyelinap masuk dengan gerakan cepat yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. Aroma maskulin cologne pria itu langsung menyeruak, membuat kepala Erna sedikit pusing.Arya terperanjat, matanya melebar melihat sosok Erna yang berdiri di hadapannya. Gaun tidur Erna yang tipis dan mengekspos bahu mulusnya membuat Arya menelan ludah dengan susah payah."E-Erna?" Arya tergagap, matanya melebar dalam keterkejutan dan... sesuatu yang lain. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Kenapa Om nggak mau liat aku sebagai wanita? Apa kurangnya aku?""Kamu nggak kurang apa-apa, Erna. Tapi hubungan kita nggak mungkin lebih dari ini," jawab Arya tegas."Om Arya jahat! Om udah bikin aku berharap selama ini! Om pembohong!"Arya merasakan hatinya seperti diremas. Dia ingin memeluk Erna, menghapus air matanya, tapi dia tahu itu akan membuat segalanya lebih rumit. "Erna, dengar. Kamu masih muda, masih punya banyak kesempatan. Suatu hari nanti, kamu akan ketemu cowok yang lebih baik, yang bisa...""Aku nggak mau cowok lain!" Erna berteriak, amarahnya meledak. "Aku cuma mau Om! Kenapa Om nggak bisa liat itu?!"Arya terdiam, matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. "Maafin Om, Erna. Tapi ini nggak bisa."
Erna terbangun dengan kepala berdenyut hebat, seolah ribuan palu tengah menghantam otaknya tanpa henti. Tubuhnya terasa remuk, setiap gerakan kecil membuatnya meringis kesakitan. Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya saat matanya menangkap sosok pria yang terbaring di sampingnya.Om Arya...Nama itu terucap lembut dalam hatinya, membuat jantungnya berdebar kencang. Erna mencoba bangkit, namun kepalanya terasa begitu berat. Ia memegangi pelipisnya, berusaha keras mengingat kejadian semalam. Namun yang muncul hanyalah potongan-potongan gambar kabur - dirinya di sebuah bar, minuman-minuman keras, dan percakapan terakhirnya dengan Om Arya."Apa yang terjadi semalam?" gumamnya pelan, masih berusaha merangkai kepingan ingatan yang tercecer.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m