Rio dan Venina merayakan ulang tahun pertama Alvero dengan penuh keceriaan dan kemegahan. Dekorasi ruangan yang meriah, lengkap dengan balon warna-warni, banner besar bertuliskan "Selamat Ulang Tahun Alvero", dan hiasan-hiasan cantik memenuhi setiap sudut ruangan. Di tengah ruangan, sebuah kue ulang tahun bertingkat dengan hiasan karakter kartun favorit Alvero berdiri megah, siap untuk dipotong.
Venina berdiri di tengah ruangan, menatap dekorasi yang sudah tertata rapi. "Apa kita nggak terlalu berlebihan, Rio?" tanyanya dengan suara lembut, sedikit khawatir.
Rio, yang sedang menemani Alvero belajar melangkah, tersenyum lebar. "Selama dirayakannya cuma setahun sekali, aku rasa ini masih oke," jawabnya dengan nada santai. Dia memandang anaknya dengan penuh kasih sayang, mengikuti setiap langkah kecil yang diambil putranya.
Sore itu, Rio pulang lebih cepat dari biasanya dengan tampilan yang segar dan rapi, memancarkan aura kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan. Baru saja masuk ke dalam rumah, suara riang Alvero langsung menyambutnya."Ayah...!" seru Alvero, putra kecilnya yang berlari dengan antusias, langsung memeluk kaki Rio dengan penuh kegembiraan.Rio tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kasih sayang. Tanpa ragu, dia membungkuk dan mengangkat tubuh mungil Alvero, mendekapnya erat. "Halo jagoan ayah," ucapnya lembut, sembari mengecup pipi gembul Alvero yang mengundang tawa riang si kecil.Sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang tampak sepi, Rio bertanya dengan nada lembut, "Ibu di mana, Sayang?""Ibu lagi main ail," jawab Alvero dengan polos, menatap wajah ayahnya y
Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai lengang. Rio dan Venina duduk berdampingan, tangan mereka saling bertaut erat, seolah enggan terpisah. Senyum bahagia masih terlukis di wajah keduanya, pancaran kebahagiaan terpancar jelas dari mata mereka yang berbinar."Malam ini sempurna sekali," ucap Venina lembut, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.Rio mengangguk, matanya tetap fokus ke jalan namun ada kehangatan dalam suaranya saat menjawab, "Ya, aku harap bisa terus merayakan ulang tahun pernikahan kita sampai dua puluh tahun ke depan.""Sampai Al besar. Sampai kita bisa melihat dia tumbuh menjadi anak yang hebat seperti kamu," tambah Venina dengan wajah berseri, membayangkan masa depan cerah putra mereka."Dan sampai dia punya istri yang cantik
Venina berdiri dengan tubuh gemetar. Jemarinya menggenggam erat tangan ibunya, Nadia, seakan mencari kekuatan dari sentuhan itu. Matanya terpaku pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat, menanti kedatangan dokter dengan debar jantung yang semakin cepat.Ketika sosok berjas putih itu akhirnya muncul, Venina merasakan dunianya seolah berhenti berputar. Tatapan dokter itu sarat akan beban berat, dan tanpa perlu kata-kata, Venina seakan bisa membaca apa yang akan disampaikan. Namun, ia masih berharap, masih berdoa dalam hati agar takdir berkata lain."Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" Venina bertanya dengan suara bergetar, matanya memohon akan secercah harapan.Dokter itu menghela napas berat sebelum menjawab, "Rasanya sudah tidak ada waktu lagi, Bu. Tekanan darahnya terus menurun. Kalau Ibu ingin menemuinya, sekarang
Keheningan yang mencekam di ruang ICU tiba-tiba dipecahkan oleh suara lemah alat monitor jantung. Venina, yang sedari tadi tak melepaskan genggaman tangannya dari Rio, merasakan jemari suaminya bergerak perlahan. Jantungnya berdebar kencang, antara takut dan penuh harap."Rio?" bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan luapan emosi.Perlahan, sangat perlahan, kelopak mata Rio mulai bergerak. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia membuka matanya. Pandangannya sayu, namun ada kilatan kasih sayang yang terpancar saat matanya bertemu dengan mata istrinya.Venina merasakan air matanya mulai menggenang, namun ia berusaha menahannya. Ia tak ingin membuat Rio sedih di saat-saat seperti ini. Dengan lembut, ia mendekatkan wajahnya ke telinga suaminya."Sayang," bisiknya penuh
Satu tahun berlalu sejak kepergian Rio, dan Venina perlahan mulai menata kembali hidupnya yang sempat hancur berkeping-keping. Hari-harinya kini dipenuhi dengan rutinitas mengurus Alvero dan bekerja, sementara Nadia selalu siap membantu kapanpun dibutuhkan.Sore itu, langit Jakarta mulai menggelap ketika Venina tergesa-gesa memasuki area rumah sakit. Alvero, yang biasanya riang dan penuh energi, kini terkulai lemas dalam gendongannya, tubuhnya panas oleh demam yang tak kunjung turun."Sabar ya, sayang. Sebentar lagi kita ketemu dokter," bisik Venina lembut, mencium kening Alvero yang berkeringat.Namun takdir seolah punya rencana lain. Saat berbelok di koridor menuju ruang administrasi, Venina tak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Tas tangannya terjatuh, isinya berhamburan di lantai rumah sakit yang dingin
Sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamar rumah sakit, menyinari sosok mungil Alvero yang masih tertidur lelap. Venina, yang baru saja selesai merapikan selimut putranya, tersentak kaget mendengar ketukan pelan di pintu.Erlangga muncul dengan senyum hangat, tangannya penuh dengan kantong plastik berisi makanan dan buah-buahan. Tanpa basa-basi, ia meletakkan bawaannya di atas nakas samping ranjang Alvero."Tidak perlu repot-repot, Mas," ujar Venina datar, berusaha menjaga jarak.Erlangga tersenyum lembut, "Saya senang melakukannya, Nina. Ini sama sekali tidak merepotkan."Venina memalingkan wajah, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. Senyum itu, senyum yang dulu begitu ia puja, kini justru ingin ia hindari.
Suara denting sendok yang beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan di dapur rumah Venina. Nadia, yang sedari tadi mengamati putrinya, akhirnya membuka suara dengan nada cemas, "Ada apa, Nina? Kamu sakit?"Venina tersentak dari lamunannya, tangannya yang gemetar menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, seolah menjadi simbol kekacauan dalam hatinya.Dengan tergesa, Venina berlutut, berusaha mengumpulkan serpihan kaca. Tanpa disadari, ujung jarinya tergores, meninggalkan jejak merah di lantai putih."Tinggalkan saja, Nina. Nanti biar Tuti yang membersihkannya," ujar Nadia lembut, meraih tangan putrinya dan menghentikan pendarahan di jarinya.Sentuhan ibunya seakan membangunkan Venina dari trans. Tiba-tiba, firasat buruk menyelimuti hatin
"Ngapain sih Papa bawa dia ke sini lagi?"Kata-kata itu meluncur tajam dari bibir Erna, membelah keheningan. Matanya menyipit penuh kebencian, menatap sosok wanita yang berdiri di belakang ayahnya. Wanita yang selama tujuh belas tahun absen dari hidupnya, kini berdiri canggung di ambang pintu, seolah tak yakin apakah ia berhak berada di sana.Erlangga menghela napas berat, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab putrinya. "Jangan begitu, Er," bisiknya lembut namun tegas. "Ibu datang karena mau ketemu kamu."Erna mendengus, senyum sinis tersungging di bibirnya yang pucat. Matanya menyapu sosok Venina dari atas ke bawah, tatapannya penuh penghinaan. "Ke mana aja dia selama tujuh belas tahun ini? Kenapa baru datang sekarang?"Kalimat itu menohok Venina tepat di jantungny
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa