Satu tahun berlalu sejak kepergian Rio, dan Venina perlahan mulai menata kembali hidupnya yang sempat hancur berkeping-keping. Hari-harinya kini dipenuhi dengan rutinitas mengurus Alvero dan bekerja, sementara Nadia selalu siap membantu kapanpun dibutuhkan.
Sore itu, langit Jakarta mulai menggelap ketika Venina tergesa-gesa memasuki area rumah sakit. Alvero, yang biasanya riang dan penuh energi, kini terkulai lemas dalam gendongannya, tubuhnya panas oleh demam yang tak kunjung turun.
"Sabar ya, sayang. Sebentar lagi kita ketemu dokter," bisik Venina lembut, mencium kening Alvero yang berkeringat.
Namun takdir seolah punya rencana lain. Saat berbelok di koridor menuju ruang administrasi, Venina tak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Tas tangannya terjatuh, isinya berhamburan di lantai rumah sakit yang dingin
Sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamar rumah sakit, menyinari sosok mungil Alvero yang masih tertidur lelap. Venina, yang baru saja selesai merapikan selimut putranya, tersentak kaget mendengar ketukan pelan di pintu.Erlangga muncul dengan senyum hangat, tangannya penuh dengan kantong plastik berisi makanan dan buah-buahan. Tanpa basa-basi, ia meletakkan bawaannya di atas nakas samping ranjang Alvero."Tidak perlu repot-repot, Mas," ujar Venina datar, berusaha menjaga jarak.Erlangga tersenyum lembut, "Saya senang melakukannya, Nina. Ini sama sekali tidak merepotkan."Venina memalingkan wajah, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. Senyum itu, senyum yang dulu begitu ia puja, kini justru ingin ia hindari.
Suara denting sendok yang beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan di dapur rumah Venina. Nadia, yang sedari tadi mengamati putrinya, akhirnya membuka suara dengan nada cemas, "Ada apa, Nina? Kamu sakit?"Venina tersentak dari lamunannya, tangannya yang gemetar menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, seolah menjadi simbol kekacauan dalam hatinya.Dengan tergesa, Venina berlutut, berusaha mengumpulkan serpihan kaca. Tanpa disadari, ujung jarinya tergores, meninggalkan jejak merah di lantai putih."Tinggalkan saja, Nina. Nanti biar Tuti yang membersihkannya," ujar Nadia lembut, meraih tangan putrinya dan menghentikan pendarahan di jarinya.Sentuhan ibunya seakan membangunkan Venina dari trans. Tiba-tiba, firasat buruk menyelimuti hatin
"Ngapain sih Papa bawa dia ke sini lagi?"Kata-kata itu meluncur tajam dari bibir Erna, membelah keheningan. Matanya menyipit penuh kebencian, menatap sosok wanita yang berdiri di belakang ayahnya. Wanita yang selama tujuh belas tahun absen dari hidupnya, kini berdiri canggung di ambang pintu, seolah tak yakin apakah ia berhak berada di sana.Erlangga menghela napas berat, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab putrinya. "Jangan begitu, Er," bisiknya lembut namun tegas. "Ibu datang karena mau ketemu kamu."Erna mendengus, senyum sinis tersungging di bibirnya yang pucat. Matanya menyapu sosok Venina dari atas ke bawah, tatapannya penuh penghinaan. "Ke mana aja dia selama tujuh belas tahun ini? Kenapa baru datang sekarang?"Kalimat itu menohok Venina tepat di jantungny
"Benar kamu sudah yakin dengan keputusan ini, Nina?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menusuk. Nadia menatap putrinya dengan sorot mata cemas, tangannya meremas-remas gugup sementara Venina sibuk memindahkan pakaian ke dalam koper."Benar kamu sudah yakin dengan keputusan ini, Nina?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menusuk. Nadia menatap putrinya dengan sorot mata cemas, tangannya meremas-remas gugup sementara Venina sibuk memindahkan pakaian ke dalam koper.Venina tersenyum pahit, tatapannya menerawang jauh ke masa lalu. "Apa yang Nina lakukan juga nggak ada bedanya dengan mereka, Bu," balasnya, matanya berkaca-kaca. "Nina jahat. Nina meninggalkan Erna begitu saja. Nina sudah menyia-nyiakannya."
"Mas Angga!"Suara itu meluncur dari bibir Venina, bercampur antara keterkejutan dan ketidakpercayaan. Matanya membelalak lebar, menatap sosok pria yang kini duduk di ruang tengah rumahnya, bermain dengan putranya, Alvero. Seketika, waktu seolah berhenti berputar.Erlangga mengalihkan pandangannya, seutas senyum hangat terukir di bibirnya. "Hai, Nina," sapanya lembut, seolah kehadirannya di sana adalah hal yang paling wajar di dunia."Ibu, coba liat." Suara riang Alvero memecah ketegangan. Bocah itu melangkah ke arah Venina, tangannya menggenggam sebuah mainan robot dengan penuh semangat. "Om Angga bawa ini untuk Al."Venina terdiam, matanya bergantian menatap mainan di tangan putranya dan wajah Erlangga. Dengan gerakan perlahan, ia mengambil mainan itu dan menyerahkanny
Angin semilir membelai lembut rerumputan di pemakaman, membawa aroma bunga-bunga yang ditaburkan di atas makam. Venina berdiri terpaku, matanya terpancang pada batu nisan di hadapannya. Nama yang terukir di sana seolah menertawakannya, mengejek ketidaktahuannya selama ini."Nathalia Soetanto1985 - 2015Istri dan Ibu yang Terkasih"Venina bersimpuh, jemarinya gemetar menyentuh ukiran nama itu. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya tumpah, membasahi pipinya yang pucat. "Mbak Lia..." bisiknya lirih, suaranya tercekat oleh isakan yang tak tertahankan."Maafkan aku, Mbak... Maafkan aku..."Di belakangnya, Erlangga berdiri dengan wajah sendu. Matanya yang berkaca-kaca men
"Ibu yakin Rio pasti mengerti, Nina. Dia begitu mencintaimu. Dia juga pasti tidak suka melihatmu sedih terus dan meratapinya."Kata-kata Nadia menusuk hati Venina, membuat wanita itu tersentak dari lamunannya. Dia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, tangannya secara refleks meremas jari-jemarinya sendiri, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya.Nadia menghela napas panjang, tangannya yang keriput menyentuh lembut pundak putrinya. Matanya memancarkan kekhawatiran sekaligus pengertian yang mendalam. "Sayang, sudah tiga tahun berlalu. Mungkin sudah waktunya kamu membuka hatimu lagi.""Tapi Bu, bagaimana bisa Nina..." Venina tak mampu melanjutkan kalimatnya. Matanya menerawang jauh ke luar jendela, menatap langit senja yang mulai memerah. Warna yang mengingatkannya pada senyum hangat Rio.
Venina berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya dalam balutan gaun pengantin sederhana. Tidak ada kemewahan, tidak ada pesta besar. Hanya sebuah acara pemberkatan sederhana yang akan dihadiri oleh orang-orang terdekat. Itulah yang ia inginkan, sebuah momen intim untuk memulai lembaran baru hidupnya bersama Erlangga."Kamu siap, sayang?" tanya Nadia, ibunya, sambil merapikan rambut Venina.Venina mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Nina siap, Bu.”Sementara itu, di ruangan lain, Erlangga berdiri gelisah. Matanya terus melirik ke arah pintu, berharap putrinya akan muncul. Percakapan mereka beberapa hari lalu masih terngiang jelas di telinganya."Papa ingin kamu hadir dan menyaksikan kebahagiaan kami," Erlangga menatap Erna dengan penuh permohonan.