Dekorasi indah penuh bunga, menghiasi area pesta pernikahan bernuansa serba putih. Senada dengan gaun pengantin indah yang Laura kenakan siang itu. Namun, gadis cantik bermata biru tersebut tampak resah karena mempelai pria belum juga hadir di sana.
“Sudah kukatakan bahwa Christian Lynch adalah pria tua yang aneh. Dia pasti kesulitan berjalan sendiri menuju kemari,” bisik Emma pada Grace, sang ibu. Emma merupakan saudara kembar Laura.
“Jangan sampai ayahmu mendengar apa yang kau katakan barusan, Sayang,” balas Grace. Selama ini, dia lebih menyayangi Emma dibanding Laura. Alasannya, Emma menyimpan rahasia besar sang ibu yang tidak James ketahui. “Untung kau sudah memiliki kekasih. Jika tidak, dirimulah yang saat ini sedang berdiri bagai orang bodoh di sana.” Ekor mata Grace tertuju ke arah Laura berada.
“Aku tidak sebodoh dia, Bu. Kau sudah tahu itu,” balas Emma diiringi senyum puas. Namun, sikap serta ucapannya justru membuat sang ibu jadi tak nyaman.
“Apakah calon mempelai pria belum datang?” tanya pendeta yang akan memimpin acara pemberkatan pernikahan.
“Kita tunggu sebentar lagi, Bapak,” ucap James. Pria itu berusaha menyembunyikan keresahan, demi membuat Laura tetap tenang. “Tidak apa-apa, Nak. Christian pasti datang. Dia ….”
Belum sempat James menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara kendaran berhenti tak jauh dari tempat pesta pernikahan dilangsungkan. Sebuah SUV putih menjadi pusat perhatian beberapa tamu yang merupakan kerabat dekat James. Sesaat kemudian, pintu penumpang belakang terbuka. Seorang pria paruh baya muncul dari dalam SUV putih tadi.
“Astaga. Diakah calon adik iparku?” ejek Emma, kemudian mengulum senyumnya.
Namun, senyum penuh ejekan dari Emma tak berlangsung lama, ketika seorang pria berperawakan tegap dengan rentang usia tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun ikut turun dari kendaraan. Pria berambut gelap serta berpenampilan rapi dan sangat tampan. Sorot matanya tajam tertuju pada Laura, yang justru tak berani menoleh.
“Apa dia sudah datang, Ayah?” tanya Laura pelan, lalu tertunduk.
“Aku rasa begitu, Nak,” jawab James ragu. Pria itu menatap tak percaya, pada sosok muda nan gagah yang telah berdiri di sebelah salah satu dari putri kembarnya.
“Maaf terlambat. Bisa kita mulai sekarang acaranya?”
Suara berat pria yang tak lain adalah Christian Lynch, membuat Laura langsung mengangkat wajah. Dari balik veil, Laura menoleh dan menatap pria tampan itu untuk beberapa saat. Gadis cantik tersebut tak menyangka bahwa Christian ternyata masih muda dan sangat memesona. Bukan kakek-kakek seperti yang dirinya dan seluruh Keluarga Pearson duga. Oleh karena itu, mereka menunjukkan ekspresi tak percaya.
Beberapa saat kemudian, acara pemberkatan telah selesai. Laura dan Christian sudah sah menjadi pasangan suami-istri. Pendeta mempersilakan mempelai pria untuk mencium pengantinnya.
Laura menghadapkan tubuh pada Christian. Dia membiarkan pria tampan itu membuka veil yang menyamarkan kecantikannya. Saudara kembar Emma tersebut juga tak menolak, saat Christian menciumnya di hadapan semua orang.
Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah Laura serta James. Hanya Emma dan Grace yang tak suka melihat adegan tersebut. Mereka memalingkan wajah.
“Ayo,” ajak Christian seraya meraih pergelangan tangan Laura.
“Ke mana? Pestanya belum usai. Kita ....”
Christian tak membiarkan Laura menyelesaikan kalimatnya. Pria itu terus menuntun bahkan setengah menyeret wanita yang sudah menjadi istrinya ke dalam mobil.
Sikap Christian tadi, membuat James beserta para tamu menjadi heran. Ayahanda Laura tersebut langsung mengikuti. “Christian!” panggilnya, sebelum pria tampan tadi masuk ke SUV putih yang sudah siap berangkat.
Christian menoleh. Dia menatap tajam sang ayah mertua. Sorot matanya menyiratkan bahwa pria berambut gelap tersebut tidak menyukai panggilan tadi.
“Tuan Lynch.” James meralat panggilan yang diberikan kepada Christian. “Pesta ini belum selesai,” ucap pria paruh baya itu. Raut wajahnya terlihat tegang.
“Aku tidak peduli dengan pesta murahan yang kau selenggarakan, Tuan Pearson. Aku hanya membutuhkan putrimu. Sekarang, dia sudah menjadi istriku. Anda atau siapa pun tidak berhak mengusiknya.” Tenang tapi penuh penekanan, kata-kata yang meluncur dari bibir Christian. Tak ada senyum atau sikap hormat selayaknya menantu terhadap mertua. Christian justru terlihat dingin dan menunjukkan arogansi di hadapan James.
James terpaku menghadapi sikap serta ucapan pria yang baru mempersunting putrinya. Dia sadar betul, bahwa sesuatu yang tak baik akan segera berlangsung. Ayah dua putri kembar itu mengalihkan pandangan kepada Laura, yang sudah duduk dalam kendaraan.
“Apa yang kau inginkan dari putriku?” Sebisa mungkin, James menahan diri agar tak bertindak gegabah.
Christian tak segera menjawab. Pria dengan rambut serta iris mata gelap tersebut terus menatap tajam James, seakan ingin mengintimidasinya. Sesaat kemudian, Christian menyunggingkan senyum sinis. “Apa pun yang akan kulakukan terhadap Laura, itu bukan urusan Anda.”
Setelah berkata demikian, Christian membalikkan badan. Dia hendak masuk ke mobil. Namun, gerak pria itu kembali terjeda, saat James lagi-lagi menahannya.
James menarik lengan Christian sehingga pria muda terebut kembali berbalik. “Aku tidak akan membiarkanmu membawa Laura dari sini!” tegas James.
“Jaga sikap Anda, Tuan Pearson!” tunjuk Christian tak kalah tegas. Membuat suasana ramai menjadi hening seketika. Perhatian semua orang yang ada di sana tertuju pada kedua pria lintas usia tadi. “Anda sadar sedang berhadapan dengan siapa, Tuan Pearson?”
“Aku akan melunasi semuanya! Namun, kembalikan Laura!” James tak menurunkan tensi, saat menghadapi Christian.
Mendengar ucapan sang ayah mertua, Christian menyunggingkan senyum licik. “Sayang sekali, aku tidak peduli lagi dengan semua utangmu, Tuan Pearson. Bila Anda ingin melunasi semua pinjaman, sudah seharusnya seperti itu. Namun, jangan berharap aku akan mengembalikan Laura padamu.”
Christian makin mendekat kepada James yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Dia berbisik pada pria paruh baya itu. “Aku bisa melakukan apa pun terhadap putrimu. Jadi, tahan amarah. Semoga Anda bisa berpikir panjang. Silakan lakukan apa saja yang Anda inginkan. Namun, perhitungkan pula akibatnya.” Christian menyentuh lengan James, sebelum berbalik. Kali ini, pria tampan itu benar-benar masuk ke mobil, lalu menutup pintu.
Tak berselang lama, SUV putih tadi melaju meninggalkan area pesta diiringi tatapan James dan semua yang ada di sana.
Sementara itu, Laura duduk tegang di sebelah Christian. Dia tak mengenal pria yang menjadi suaminya. Laura bahkan baru bertemu dengan si pemilik rambut gelap tadi tepat di hari pernikahan. Gadis cantik bermata biru tersebut tak tahu maksud dan tujuan Christian menikahi dirinya.
“Apa yang kau inginkan, Christian?” tanya Laura dengan bibir bergetar menahan tangis.
Christian menoleh. Dia menatap tajam Laura. “Aku akan memberimu kejutan, Laura Pearson. Maaf, jika sedikit menyakitkan. Namun, itulah yang pantas kau terima.”
“Apa maksudmu?” Laura kembali bertanya. Dia yang awalnya tak banyak bicara atau membantah, kali ini memperlihatkan reaksi berbeda. Terlebih, setelah dirinya menyaksikan perselisihan antara Christian dengan James. “Kau sudah bersikap sangat buruk pada ayahku.” “Tidak akan terjadi andai ayahmu tak banyak bicara,” sanggah Christian dingin, seraya mengalihkan pandangan ke depan. Pria tampan itu mengembuskan napas berat, lalu melepas dasi kupu-kupu yang menghiasi lehernya.“Apa kita akan mampir ke kediaman Anda, Tuan?” tanya Alfred, seraya menoleh pada sang majikan. Dia duduk di jok depan. Alfred merupakan orang kepercayaan Christian. Selama ini, dialah yang disangka akan menikahi Laura karena Christian tak pernah menampakkan diri secara langsung, di hadapan James serta keluarganya.“Tidak. Langsung saja ke Cotswolds,” sahut Christian datar. “Kau dengar itu, Wayne?” Alfred menoleh pada sang sopir, yang sepertinya memiliki rentang usia sama seperti Christian. “Baik, Tuan,” balas Wayne di
“Jadi, kau akan meninggalkanku di sini?” Laura menatap tak percaya pada suaminya. “Aku adalah istrimu. Bagaimana bisa kau melakukan itu padaku?” “Aku bisa melakukan apa pun, Laura!” balas Christian. Suaranya tiba-tiba meninggi. Membuat Laura seketika mundur beberapa langkah. “Kau tidak kuberi wewenang untuk melayangkan protes! Bukankah dirimu sudah tahu siapa Christian Lynch? Akulah bosnya, Nona Pearson,” ucap si pemilik rambut gelap itu penuh penekanan. “Tapi, aku adalah wanita yang telah kau ikat dengan sumpah di hadapan Tuhan, Christian!” Laura terus melayangkan protes. “Wanita sepertimu tidak pantas menyebut nama Tuhan!” balas Christian. “Sudahlah. Aku tidak mau terlalu banyak membuang waktu di sini.” Christian membuka pintu. Sebelum keluar dari kamar, dia kembali menatap Laura. “Ingat satu hal. Jangan pernah berpikir bahwa kau bisa melarikan diri dari sini. Bila kau berulah macam-macam, aku akan langsung bertindak. Tuan James Pearson ada dalam genggamanku saat ini. Aku bisa me
Laura terbelalak tak percaya. Dia langsung mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar, sebelum kembali mengarahkan perhatian pada Delila. “Bunuh diri?” ulangnya. Delila mengangguk. “Maafkan aku, Nyonya. Aku tidak bisa memberitahu Anda lebih dari itu.” “Apa kau tahu apa yang Christian inginkan dariku? Apakah dia … semoga dia bukan psikopat yang ….” Laura tak sempat melanjutkan kata-katanya, berhubung terdengar suara panggilan di pintu depan. “Permisi. Aku harus ke bawah dulu.” Delila mengangguk sopan, sebelum berlalu dari hadapan Laura yang masih diliputi rasa penasaran. Penuturan Delila tadi, telah membuat Laura makin tak karuan dan tidak bisa berpikir jernih. Semua begitu buram baginya. Sementara itu, Christian telah tiba di kediaman mewah miliknya, yang berada di kawasan pemukiman elite Kota London. Dia keluar dari kendaraan, setelah Wayne membukakan pintu. Christian melangkah gagah sambil menenteng jas yang tidak dia kenakan lagi. Walaupun ekspresi wajah pria tiga puluh lima
Christian menyingkirkan tangan Chelsea yang melingkar di perutnya. Dia keluar dari shower box, lalu mengambil handuk. Pria itu tak memedulikan sang kekasih yang masih berada di kamar mandi. “Ck!” Chelsea berdecak kesal. Rasa hati ingin mengeluarkan unek-unek. Namun, dia tak bisa melakukan sesuatu yang lebih dari itu, saat berhadapan dengan Christian. Cinta dan ketertarikan yang terlalu besar terhadap pengusaha muda tersebut, membuatnya merasa lemah. Beberapa saat berlalu. Pasangan kekasih itu sudah kembali berpakaian. Pelayan memberitahukan bahwa makan malam telah siap. Seperti biasa. Setiap kali berkunjung ke kediaman Christian, Chelsea pasti menemani pria itu layaknya seorang istri. “Maafkan aku, Sayang,” ucap Chelsea, setelah selesai makan malam. “Apa kau akan menginap di sini?” tanya Christian. Dia tak menanggapi permintaan maaf kekasihnya. “Jika kau tak keberatan,” jawab Chelsea. Christian menatap wanita yang sudah dia kencani selama lebih dari satu tahun. Itu merupakan pre
Christian yang awalnya memasang ekspresi tak bersemangat, langsung mengubah mimik wajahnya. Pria tampan tiga puluh lima tahun tersebut menunjukkan raut penuh penasaran. “Apa rencanamu?” “Sebenarnya, aku tidak menyukai ide ini. Namun, aku juga ingin melihat pelacur itu benar-benar hancur,” ujar Chelsea seraya memainkan ujung telunjuk, di wajah serta dagu Christian yang dihiasi janggut tipis.“Lalu?” Christian menaikkan sebelah alisnya. Chelsea tersenyum kecil, lalu mengecup sekilas bibir sang kekasih yang menunggu penjelasan darinya. “Aku memang tidak terlalu lama mengenal Maria. Namun, dia sudah kuanggap seperti adik kandung. Aku mencintaimu dan segala hal yang kau miliki. Termasuk keluargamu.” Chelsea kembali tersenyum.“Tak dapat kubayangkan seberapa sakitnya dikhianati orang terkasih dalam hidup kita. Jika aku jadi Maria, aku akan memilih mengakhiri hidup setelah menghabisi jalang itu. Namun, kematian yang terlalu mudah, justru merupakan hukuman paling ringan untuk Laura si pelac
Chelsea langsung bangkit. Dia menatap tajam Christian yang seakan tak peduli, bahwa jawabannya telah membuat membangkitkan kembali rasa kesal seperti tadi. “Untuk apa kau melihat keadaan pelacur itu?” tanyanya bernada protes. Christian yang sudah lelah dan ingin segera tidur, kembali membuka mata. Dia menoleh pada Chelsea dengan sorot aneh. “Untuk apa? Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau sendiri yang memberikan saran, agar aku tidak menyiksa Laura secara fisik? Aku hanya mengikuti apa yang menjadi ide brilianmu. Kenapa kau harus protes?” Christian menarik selimut, lalu berbalik. Tidur menyamping sambil membelakangi Chelsea akan jauh lebih nyaman baginya. Lain halnya dengan Chelsea. Wanita berambut panjang itu hanya dapat menggerutu dalam hati. Dia harus kembali menahan kekesalan terhadap sikap Christian, yang sempat teralihkan oleh adegan panas menguras keringat. Tak ada yang bisa dirinya lakukan selain ikut tidur. Lagi pula, Christian sudah terlelap. Dengkuran halusnya terdeng
“Apa maksudmu?” tanya Christian sambil memicingkan mata. Tatapannya terfokus pada wanita cantik yang memiliki kemiripan identik dengan Laura. Emma tersenyum, seraya beranjak dari duduk. Dia mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang membuatnya tertarik. “Siapa wanita muda itu?” tanya saudara kembar Laura tersebut. Christian ikut mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang terpajang di dinding. Dia tahu siapa yang Emma maksud. Pria tampan itu kembali mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar. “Memangnya kenapa?” Pengusaha tampan itu balik bertanya. “Jawab saja,” sahut Emma enteng. “Aku pernah menemukan fotonya di kamar Laura. Kupikir, mereka adalah sahabat dekat,” terang wanita muda itu. Membuat Christian seketika memasang ekspresi serius. “Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa pun yang berkaitan dengan saudara kembarku. Namun, kurasa dia sangat beruntung karena dipersunting pria sepertimu.” Christian menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Emma. Akan tetapi, dia tak
“Sedang apa kau di sini?” tanya Laura seraya bergerak mundur perlahan, sambil memegangi gulungan handuk di dada.Sementara Christian justru terus maju. Tatapan serta bahasa tubuh pria tampan tersebut menunjukkan bahwa dialah sang penguasa, yang dapat mengintimidasi siapa pun lawannya. Christian terus menggiring Laura mundur, hingga punggung wanita itu menyentuh dinding.Laura yang hanya memakai handuk sebatas dada, terlihat was-was. Tangannya makin kencang memegangi gulungan handuk agar tidak terlepas. “Mundur, Christian.” Suara Laura terdengar pelan, tetapi penuh penekanan. Dia tidak akan membiarkan pria itu berbuat tak sopan lagi seperti kemarin-kemarin.Namun, Christian tak menerima perintah dari siapa pun. Pria tampan berambut gelap tadi tidak menggubris ucapan Laura. Pengusah
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me