Chelsea langsung bangkit. Dia menatap tajam Christian yang seakan tak peduli, bahwa jawabannya telah membuat membangkitkan kembali rasa kesal seperti tadi. “Untuk apa kau melihat keadaan pelacur itu?” tanyanya bernada protes.
Christian yang sudah lelah dan ingin segera tidur, kembali membuka mata. Dia menoleh pada Chelsea dengan sorot aneh. “Untuk apa? Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau sendiri yang memberikan saran, agar aku tidak menyiksa Laura secara fisik? Aku hanya mengikuti apa yang menjadi ide brilianmu. Kenapa kau harus protes?” Christian menarik selimut, lalu berbalik. Tidur menyamping sambil membelakangi Chelsea akan jauh lebih nyaman baginya.
Lain halnya dengan Chelsea. Wanita berambut panjang itu hanya dapat menggerutu dalam hati. Dia harus kembali menahan kekesalan terhadap sikap Christian, yang sempat teralihkan oleh adegan panas menguras keringat. Tak ada yang bisa dirinya lakukan selain ikut tidur. Lagi pula, Christian sudah terlelap. Dengkuran halusnya terdengar jelas di dalam kamar dengan suasana temaram itu.
**********
Christian tengah memeriksa beberapa berkas penting di ruang kerja, ketika terdengar ketukan dari luar. Sang pengusaha muda itu menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu menoleh ke pintu. Dia sempat melihat jam tangan mahal di pergelangan kiri. “Masuk!” Suara Christian tidak terlalu nyaring, tetapi terdengar ke luar ruang kerja.
Tak berselang lama, pintu ruangan bernuansa merah hati dengan lantai kayu Tiger Wood itu terbuka sedikit. Alfred menyembulkan kepala dari baliknya. “Selamat siang, Tuan. Apa Anda sedang sibuk?” tanya pria paruh baya tersebut.
“Ada apa?” Christian mengarahkan perhatian sepenuhnya, pada sang ajudan kepercayaan yang sudah berdiri di depan meja kerja.
“Penjaga pintu gerbang mengatakan bahwa ada tamu yang bersikeras ingin bertemu dengan Anda,” lapor Alfred sopan.
“Siapa?” tanya Christian. Pria itu menatap serius sang ajudan.
“James Pearson dan salah satu putri kembarnya,” jawab Alfred. “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda bersedia menerima mereka?”
Christian tidak segera memberikan jawaban. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu.
“Aku bisa membuatkan alasan untuk Anda bila ….”
“Suruh mereka masuk,” sela Christian. Keputusannya membuat Alfred terpaku sejenak. “Sebagai menantu yang baik, aku harus menyambut keluarga istriku dengan penuh sukacita.” Pengusaha tampan dengan kemeja putih itu tersenyum aneh. Hanya dia yang tahu dengan makna dari senyuman tadi.
Alfred ikut tersenyum, meskipun dia tak dapat menerka permainan apa yang akan dilakukan sang majikan. Pria paruh baya tersebut mengangguk sopan, sebelum beranjak keluar dari ruang kerja. Alfred menghubungi penjaga pintu gerbang. Dia memerintahkan agar sang penjaga mengizinkan James dan putrinya masuk. Setelah itu, suami Delila tersebut berjalan ke teras. Dari sana, Alfred melihat ada sedan hitam memasuki halaman luas kediaman milik Christian.
“Selamat datang, Tuan Pearson,” sambut Alfred sopan. “Bila selama ini Anda mengira bahwa aku adalah Tuan Christian Lynch ….” Alfred terdiam sejenak. “Namaku Alfred Spencer. Aku adalah ajudan kepercayaan Tuan Lynch.”
James mengangguk, menanggapi keramahan Alfred dalam menyambutnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Christian. “Terima kasih, Tuan Spencer. Apakah Tuan Lynch ada di tempat?”
“Dia sudah menunggu Anda. Silakan.” Alfred memberi isyarat agar James dan Emma mengikutinya masuk. “Tuan Lynch menunggu Anda di ruang kerjanya,” ucap Alfred sambil terus berjalan memandu James dan Emma, menyusuri koridor cukup panjang dengan desain dan ornamen yang sangat unik serta mewah.
James kembali mengangguk sopan menanggapi ucapan Alfred. Lain halnya dengan Emma yang sibuk mengedarkan pandangan. Wanita muda yang memiliki kemiripan identik dengan Laura tersebut mengamati segala hal yang dirinya lihat, meskipun hanya sekilas. Dia merasa takjub akan kemewahan yang dimiliki Christian. Pria itu tak hanya tampan, tetapi juga kaya raya.
“Silakan masuk.” Alfred mengetuk pintu sebelum membukanya. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, dia langsung mempersilakan James dan Emma memasuki ruang kerja Christian yang tak kalah mewah.
“Terima kasih, Tuan Spencer,” ucap James sopan dan segera berbalas anggukan dari Alfred.
Sepeninggal Alfred, James dan Emma berdiri beberapa saat di dalam ruang kerja bernuansa merah hati tadi.
Emma kembali mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Di antara segala hal yang membuat saudara kembar Laura itu kagum, ada sesuatu yang membuat dirinya terusik. Emma mengunci pandangan pada foto keluarga berukuran besar dengan bingkai berlapis emas. Wanita muda tadi menatap satu per satu wajah yang ada di dalamnya, yaitu Christian, mendiang kedua orang tuanya, serta seorang wanita muda yang tak lain adalah Maria.
“Oh, kalian sudah datang.” Suara Christian tiba-tiba terdengar di ruangan itu. Dia baru muncul dari kamar kecil. “Selamat siang, Tuan dan Nona Pearson,” sambutnya, seraya mengarahkan tangan kanan ke sofa.
“Selamat siang, Tuan Lynch,” balas James. “Aku tahu bahwa Anda sangat sibuk. Jadi, aku tidak akan terlalu lama di sini. Lagi pula, aku harus mengantarkan Emma,” ucap ayahanda Laura tersebut setelah duduk.
“Baiklah.” Christian menyilangkan kaki, menunjukkan seberapa besar rasa percaya diri yang dia miliki. Begitu juga dengan tatapannya yang penuh intimidasi, seakan ingin membuat James sadar dengan siapa pria itu berhadapan.
“Anda tahu sendiri apa maksud kedatanganku kemari,” ucap James. Dia berusaha mengabaikan bahasa tubuh Christian yang terlihat sangat arogan. “Aku ingin bertemu dengan Laura.”
“Laura?” ulang Christian tenang. “Sayang sekali karena dia tidak ada di sini,” ucapnya tanpa beban.
James menautkan alis mendengar ucapan sang menantu. Dia menoleh sekilas kepada Emma, yang sedari tadi tak mengalihkan perhatian dari Christian.
“Apa maksudnya tidak di sini?” tanya James tak mengerti.
“Seperti yang Anda dengar tadi. Laura tidak ada di rumah ini. Dia sedang menikmati liburan di tempat yang sangat indah.” Christian menyunggingkan senyum samar, setelah berkata demikian.
Pikiran James mulai tak menentu. Rasa khawatir akan keselamatan Laura, membuatnya gelisah. “Katakan di mana putriku saat ini?” Nada bicara James tiba-tiba meninggi. Dia bahkan sampai berdiri, sambil menatap tajam Christian. “Jika kau berani melakukan sesuatu yang buruk terhadap Laura, aku tak segan untuk menghabisimu dengan tanganku!” ancam James tegas.
“Jika terjadi sesuatu padaku, Anda akan menjadi orang pertama yang dicari polisi,” balas Christian tenang. “Lagi pula, kenapa Anda berpikir aku akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Laura? Dia adalah istriku.”
“Aku tidak percaya padamu, setelah apa yang kau lakukan di pesta!” James belum menurunkan tensi.
Namun, Christian hanya menanggapi dengan senyum kalem. Dia berdiri, lalu mengarahkan tangan ke pintu. “Aku tidak suka keributan. Jadi, silakan keluar,” usirnya tenang.
Mendengar ucapan Christian, James langsung beranjak dari ruangan itu. Berbeda dengan Emma yang masih duduk. “Baiklah, Tuan Lynch. Sepertinya, aku tahu alasanmu menikahi Laura.”
“Apa maksudmu?” tanya Christian sambil memicingkan mata. Tatapannya terfokus pada wanita cantik yang memiliki kemiripan identik dengan Laura. Emma tersenyum, seraya beranjak dari duduk. Dia mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang membuatnya tertarik. “Siapa wanita muda itu?” tanya saudara kembar Laura tersebut. Christian ikut mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang terpajang di dinding. Dia tahu siapa yang Emma maksud. Pria tampan itu kembali mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar. “Memangnya kenapa?” Pengusaha tampan itu balik bertanya. “Jawab saja,” sahut Emma enteng. “Aku pernah menemukan fotonya di kamar Laura. Kupikir, mereka adalah sahabat dekat,” terang wanita muda itu. Membuat Christian seketika memasang ekspresi serius. “Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa pun yang berkaitan dengan saudara kembarku. Namun, kurasa dia sangat beruntung karena dipersunting pria sepertimu.” Christian menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Emma. Akan tetapi, dia tak
“Sedang apa kau di sini?” tanya Laura seraya bergerak mundur perlahan, sambil memegangi gulungan handuk di dada.Sementara Christian justru terus maju. Tatapan serta bahasa tubuh pria tampan tersebut menunjukkan bahwa dialah sang penguasa, yang dapat mengintimidasi siapa pun lawannya. Christian terus menggiring Laura mundur, hingga punggung wanita itu menyentuh dinding.Laura yang hanya memakai handuk sebatas dada, terlihat was-was. Tangannya makin kencang memegangi gulungan handuk agar tidak terlepas. “Mundur, Christian.” Suara Laura terdengar pelan, tetapi penuh penekanan. Dia tidak akan membiarkan pria itu berbuat tak sopan lagi seperti kemarin-kemarin.Namun, Christian tak menerima perintah dari siapa pun. Pria tampan berambut gelap tadi tidak menggubris ucapan Laura. Pengusah
Christian menatap Laura dengan sorot tak bersahabat sama sekali. Namun, raut wajah pria tampan tersebut sudah tak terlalu tegang seperti tadi.“Tunggu sebentar. Aku harus berpakaian dulu.” Laura yang awalnya berdiri sambil menghadap pada Christian, segera membalikkan badan. Wanita muda dengan rambut yang digulung asal-asalan menggunakan jepitan plastik tersebut membuka lemari. Dia memilih baju tanpa berlama-lama, kemudian berjalan menuju pintu kamar mandi.“Mau ke mana?” tanya Christian dingin.Laura tertegun. “Aku harus berpakaian,” jawabnya tanpa menoleh.“Kenapa tidak di sini saja?”“Christian ….” Laura menoleh. Dia hendak mela
“Christian.” Suara Laura terdengar begitu lirih, saat menyebutkan nama pria yang telah menjadi suaminya. Seseorang yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi ancaman terbesar bagi wanita muda itu. “Kau sudah dibutakan oleh dendam sehingga tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Harus bagaimana lagi caraku menjelaskan ini padamu?” “Aku tak membutuhkan penjelasan apa pun darimu!” sentak Christian, sambil memukul pintu tepat di dekat kepala Laura. Wanita berambut pirang itu bahkan sampai tersentak dan memejamkan mata, akibat rasa terkejut yang luar biasa. “Kau tidak perlu menjelaskan apa pun lagi padaku!” Nada bicara Christian belum melunak. Dia seperti hendak menelan Laura hidup-hidup. “Dendammu salah sasaran, Christian.” Laura tetap membantah, meskipun suaranya mulai bergetar karena menahan tangis. “Tidak ada yang salah, Laura! Kau! Kau satu-satunya yang wajib dipersalahkan dalam hal ini! Kau harus mempertanggungjawabkan semua kekacauan yang sudah terjadi!” Christian me
Emma berdiri di depan pintu unit apartemen milik Jamie. Wanita muda berambut pirang itu memasang raut tegang, hingga sang pemilik tempat yang didatanginya mempersilakan masuk. Walaupun agak ragu saat melangkah ke dalam ruangan dengan desain modern minimalis itu, tetapi Emma berusaha terlihat tenang.“Apa kau ingin minum sesuatu?” tawar Jamie, seraya berjalan ke dekat lemari khusus tempat menyimpan minuman beralkohol.“Tidak usah. Aku tidak lama,” tolak Emma segera.“Kupikir tidak begitu,” ujar Jamie tenang. Dia tetap mengambil sebotol anggur, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas yang langsung dibawa ke hadapan Emma. Jamie memberikan satu pada saudara kembar Laura tersebut. “Bersantailah dulu,” ujarnya kalem. Pria tampan bermata abu-abu itu mengarahkan tang
“Ada apa denganmu? Kenapa kau … astaga. Kau ….” Emma tak dapat berkata-kata, mendapati pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya dalam kondisi seperti itu.Namun, pria yang tak lain adalah Henry, seperti tak mau ambil pusing. Dia terlihat sangat lahap, saat kembali menyantap sisa makanannya. Henry tak memedulikan keberadaan Emma, yang masih berdiri sambil memperhatikan dengan ekspresi tak percaya.“Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar Henry Thompson,” ucap Emma yang terus berusaha meyakinkan diri. “Apa-apaan ini?” Nada bicara wanita muda itu terdengar cukup tegas dan penuh penekanan.Sementara Henry yang tengah menikmati sisa sandwichnya, terpaksa kembali mendongak. “Apa masalahmu, Nona Pearson?” tanyanya sinis.
SUV milik Christian sudah tiba di kawasan pemukiman yang dihuni oleh Delila. Dia sengaja menyuruh sang sopir, agar berhenti tidak di depan rumah yang menjadi tempat dirinya mengurung Laura. Kendaraan itu diparkir beberapa meter dari rumah tersebut.Christian berjalan menyusuri pinggiran jalan beraspal. Dia terlihat sangat gagah dengan kemeja putih, yang dilipat bagian lengannya hingga tiga per empat. Berhubung hari masih siang, Christian meninggalkan trench coat miliknya di mobil. Setelah tiba di depan halaman rumah, sang pemilik Lynch Company tersebut menghentikan langkah.Tatapan Christian tertuju pada Laura, yang tengah duduk dekat jendela sambil membaca buku. Sesekali, wanit
Christian menatap heran sang sopir pribadi. “Masalah?” ulangnya tak mengerti.“Ya, Tuan. Sejak kemarin memang ada sedikit masalah dengan mobil Anda. Tadinya, hari ini aku akan melakukan pengecekan ulang. Namun, Anda mengajak kemari. Jadi ….”“Di mana mobilku sekarang?” sela Christian.“Aku sudah menghubungi mekanik dari tempat langganan Anda. Mereka sedang memeriksa kondisi mobil di tempat tadi, Tuan. Apa Anda ingin melihat ke sana?” tawar Wayne seraya menyodorkan trench coat milik sang majikan.Christian menerima mantel berwarna hitam itu sambil berdecak pelan. Tanpa memberikan jawaban, pengusaha muda tersebut langsung beranjak keluar dari rumah. Dia melangkah gagah menuju ke tempat