Christian yang awalnya memasang ekspresi tak bersemangat, langsung mengubah mimik wajahnya. Pria tampan tiga puluh lima tahun tersebut menunjukkan raut penuh penasaran. “Apa rencanamu?”
“Sebenarnya, aku tidak menyukai ide ini. Namun, aku juga ingin melihat pelacur itu benar-benar hancur,” ujar Chelsea seraya memainkan ujung telunjuk, di wajah serta dagu Christian yang dihiasi janggut tipis.
“Lalu?” Christian menaikkan sebelah alisnya.
Chelsea tersenyum kecil, lalu mengecup sekilas bibir sang kekasih yang menunggu penjelasan darinya. “Aku memang tidak terlalu lama mengenal Maria. Namun, dia sudah kuanggap seperti adik kandung. Aku mencintaimu dan segala hal yang kau miliki. Termasuk keluargamu.” Chelsea kembali tersenyum.
“Tak dapat kubayangkan seberapa sakitnya dikhianati orang terkasih dalam hidup kita. Jika aku jadi Maria, aku akan memilih mengakhiri hidup setelah menghabisi jalang itu. Namun, kematian yang terlalu mudah, justru merupakan hukuman paling ringan untuk Laura si pelacur. Kau paham maksudku, Sayang?”
Christian tak menyahut. Dia menatap lekat Chelsea. Pria itu mencoba mencerna perkataan wanita dua puluh lima tahun tersebut.
“Jangan sakiti Laura secara fisik. Goresan di tangan mungkin akan meninggalkan bekas. Namun, rasa sakitnya pasti menghilang saat luka menganga itu kembali tertutup rapat. Berbeda dengan luka dalam hati. Seumur hidup, memori kita akan terus memutar dan memutar lagi, seolah tak akan berhenti sebelum kita menjadi gila.” Nada bicara Chelsea terdengar aneh.
“Ada banyak orang yang divonis mengalami depresi. Hidup dalam trauma masa lalu yang teramat kelam dan menakutkan sehingga membuat mereka enggan melanjutkan hidup, tetapi tak dapat mengakhirinya. Aku tidak tahu seberapa berat beban seperti itu. Namun, menurutku sangat pantas diterima oleh orang-orang seperti Laura Pearson.”
“Kau yakin, Chelsea?” Christian memicingkan mata.
Chelsea tersenyum manis. “Aku ingin kau segera membuat perhitungan dengan wanita murahan itu. Makin cepat dirimu menyelesaikan misi balas dendam ini, makin baik pula untukku. Aku tak suka melihatmu berdekatan dengan wanita manapun. Kau adalah milikku, Christian Lynch. Aku sangat mencintaimu. Namun, kali ini kuberikan kau izin untuk bermain-main dengan si jalang pirang itu. Akan tetapi, dengan satu catatan.”
“Apa?”
“Jangan sampai kau libatkan perasaan dalam misi balas dendam ini.”
Christian tersenyum sinis sembari menggeleng lambat. “Jangan berpikir terlalu jauh. Bagaimana mungkin aku akan melibatkan perasaan terhadap wanita seperti dia,” ucapnya sambil mengusap-usap lembut paha, kemudian berpindah pada pinggul Chelsea. Christian meremasnya pelan.
“Aku hanya takut. Perasaan yang sangat wajar, kan?” Chelsea membalas perlakuan Christian dengan membelai mesra rambut gelap sang kekasih.
Christian menggeleng. “Aku sedang menghadapi banyak urusan penting. Untuk saat ini, hanya bercinta denganmu sudah cukup. Aku juga harus menemukan Henry. Bajingan itu tiba-tiba lenyap entah ke mana.” Christian menggerutu pelan, diakhiri hembusan napas berat.
“Bukankah kau sudah menyewa detektif swasta untuk mencarinya?”
Christian mengangguk samar. “Ah, sudahlah. Kepalaku pusing. Aku ….” Belum sempat pria itu menyelesaikan kata-katanya, terdengar dering pesan di ponsel sang pengusaha muda tersebut. Nama Delila muncul di layar.
“Dari siapa?” tanya Chelsea.
“Delila,” jawab Christian singkat, seraya membuka pesan yang dikirimkan istri Alfred Spencer tersebut. Christian terlihat sangat serius, saat menatap layar ponselnya.
Sikap yang ditunjukkan Christian membuat Chelsea menjadi penasaran. Dia turun dari pangkuan kekasihnya, lalu berpindah tempat ke sebelah. Chelsea ikut membaca isi pesan yang Delila kirimkan.
“Hentikan, Chelsea. Aku tidak suka kau berbuat begitu.” Christian menoleh sekilas pada kekasihnya dengan sorot tak suka.
“Aku hanya ingin tahu apa yang Delila katakan padamu.” Chelsea menggeser tubuhnya sedikit menjauh. Sikap Christian yang seperti menyembunyikan sesuatu, membuat wanita cantik bermata hazel tadi sedikit tersinggung. Padahal, dia sudah mengenal seperti apa karakter kekasihnya yang kadang tak ramah. Wajah Chelsea merengut. Sebisa mungkin, dia menahan perasaan kesal. Terlebih, saat melihat Christian lebih fokus membalas pesan dari Delila.
Chelsea menunggu beberapa saat, hingga Christian selesai dengan telepon genggamnya. Wanita cantik dua puluh lima tahun tersebut tak mengatakan apa pun. Dia langsung menarik selimut, bermaksud hendak tidur.
“Kau kenapa?” tanya Christian heran.
“Kau sangat menyebalkan,” sahut Chelsea, yang sudah berbaring dengan posisi membelakangi.
“Apa kau sedang PMS? Aneh sekali.” Christian ikut berbaring. Baru saja dia memejamkan mata, pria tampan berambut gelap itu kembali terjaga, saat merasakan sentuhan lembut di bawah perutnya. “Ayolah, Chelsea. Aku lelah,” tolak Christian malas.
“Sekali saja, Sayang,” bujuk Chelsea setengah merayu. Dia merapatkan tubuhnya yang hanya ditutupi pakaian dalam. Chelsea kembali naik ke tubuh Christian. Wanita itu sengaja menggesek-gesekkan bagian vitalnya secara perlahan. Si pemilik mata hazel tersebut sudah paham bahwa Christian mudah sekali terangsang.
Benar saja. Tak berselang lama, Christian bergerak cepat membalikkan posisi. Kali ini, tubuh indah Chelsea sudah berada dalam kungkungannya. Christian menatap penuh hasrat pada sang kekasih, yang tersenyum nakal sehingga membuat berahinya kian memuncak.
“Ayo, Sayang,” rayu Chelsea setengah berbisik. Tangan berjemari lentik wanita itu bergerak perlahan, menaikkan bagian bawah T-Shirt round neck yang Christian kenakan. “Lakukan.” Tatapan Chelsea kian menggoda.
Inilah kelemahan seorang Christian Lynch. Dia tak kuasa mengendalikan nafsu berahi, setiap kali dihadapkan pada godaan tubuh mulus yang pasti mengasyikan untuk dinikmati. Tanpa membuang waktu, pria itu langsung turun dari tempat tidur. Christian mengambil pengaman dari dalam laci. Dilemparkannya benda yang masih dibungkus rapi itu ke perut Chelsea.
Mendapat hadiah kecil dari sang kekasih, membuat Chelsea tersenyum lebar. Wanita cantik bertubuh sintal tersebut langsung bangkit, kemudian duduk bersimpuh di tepian kasur sambil menghadap pada Christian. Sedikit pemanasan, akan membuat penyatuan mereka nanti kian membara.
Beberapa saat kemudian. Permainan panas di ranjang sang pengusaha muda telah berlangsung. Chelsea begitu bahagia menjadi kuda tunggangan sang kekasih, yang terus memacunya menuju puncak kenikmatan. Wanita itu berkali-kali tersenyum puas, atas siksaan memabukan yang membuatnya menjadi kecanduan. Bagi Chelsea, Christian tak hanya tampan dan kaya raya. Pria itu juga sungguh piawai dalam urusan ranjang.
“Kau yakin hanya ingin sekali?” tanya Chelsea, setelah Christian melepas pengaman, lalu membungkus dengan tisu dan membuangnya.
“Besok aku harus bangun pagi,” sahut Christian seraya mengenakan kembali celana tidurnya, lalu merebahkan tubuh di sebelah sang kekasih.
Sementara itu, Chelsea terus memperhatikan dengan tatapan penuh kekaguman. “Bisakah kau menemaniku ke acara reuni?” tanyanya.
“Kapan?”
“Lusa."
“Tidak bisa.” Christian mengembuskan napas pelan, sebelum memejamkan mata. Dia tak peduli dengan raut kecewa di wajah Chelsea.
“Kenapa? Apa kau ada pekerjaan penting?” tanya Chelsea lagi. Wanita itu berusaha menahan rasa kecewa.
“Tidak ada. Aku harus ke Cotswolds untuk melihat keadaan Laura."
Chelsea langsung bangkit. Dia menatap tajam Christian yang seakan tak peduli, bahwa jawabannya telah membuat membangkitkan kembali rasa kesal seperti tadi. “Untuk apa kau melihat keadaan pelacur itu?” tanyanya bernada protes. Christian yang sudah lelah dan ingin segera tidur, kembali membuka mata. Dia menoleh pada Chelsea dengan sorot aneh. “Untuk apa? Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau sendiri yang memberikan saran, agar aku tidak menyiksa Laura secara fisik? Aku hanya mengikuti apa yang menjadi ide brilianmu. Kenapa kau harus protes?” Christian menarik selimut, lalu berbalik. Tidur menyamping sambil membelakangi Chelsea akan jauh lebih nyaman baginya. Lain halnya dengan Chelsea. Wanita berambut panjang itu hanya dapat menggerutu dalam hati. Dia harus kembali menahan kekesalan terhadap sikap Christian, yang sempat teralihkan oleh adegan panas menguras keringat. Tak ada yang bisa dirinya lakukan selain ikut tidur. Lagi pula, Christian sudah terlelap. Dengkuran halusnya terdeng
“Apa maksudmu?” tanya Christian sambil memicingkan mata. Tatapannya terfokus pada wanita cantik yang memiliki kemiripan identik dengan Laura. Emma tersenyum, seraya beranjak dari duduk. Dia mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang membuatnya tertarik. “Siapa wanita muda itu?” tanya saudara kembar Laura tersebut. Christian ikut mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang terpajang di dinding. Dia tahu siapa yang Emma maksud. Pria tampan itu kembali mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar. “Memangnya kenapa?” Pengusaha tampan itu balik bertanya. “Jawab saja,” sahut Emma enteng. “Aku pernah menemukan fotonya di kamar Laura. Kupikir, mereka adalah sahabat dekat,” terang wanita muda itu. Membuat Christian seketika memasang ekspresi serius. “Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa pun yang berkaitan dengan saudara kembarku. Namun, kurasa dia sangat beruntung karena dipersunting pria sepertimu.” Christian menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Emma. Akan tetapi, dia tak
“Sedang apa kau di sini?” tanya Laura seraya bergerak mundur perlahan, sambil memegangi gulungan handuk di dada.Sementara Christian justru terus maju. Tatapan serta bahasa tubuh pria tampan tersebut menunjukkan bahwa dialah sang penguasa, yang dapat mengintimidasi siapa pun lawannya. Christian terus menggiring Laura mundur, hingga punggung wanita itu menyentuh dinding.Laura yang hanya memakai handuk sebatas dada, terlihat was-was. Tangannya makin kencang memegangi gulungan handuk agar tidak terlepas. “Mundur, Christian.” Suara Laura terdengar pelan, tetapi penuh penekanan. Dia tidak akan membiarkan pria itu berbuat tak sopan lagi seperti kemarin-kemarin.Namun, Christian tak menerima perintah dari siapa pun. Pria tampan berambut gelap tadi tidak menggubris ucapan Laura. Pengusah
Christian menatap Laura dengan sorot tak bersahabat sama sekali. Namun, raut wajah pria tampan tersebut sudah tak terlalu tegang seperti tadi.“Tunggu sebentar. Aku harus berpakaian dulu.” Laura yang awalnya berdiri sambil menghadap pada Christian, segera membalikkan badan. Wanita muda dengan rambut yang digulung asal-asalan menggunakan jepitan plastik tersebut membuka lemari. Dia memilih baju tanpa berlama-lama, kemudian berjalan menuju pintu kamar mandi.“Mau ke mana?” tanya Christian dingin.Laura tertegun. “Aku harus berpakaian,” jawabnya tanpa menoleh.“Kenapa tidak di sini saja?”“Christian ….” Laura menoleh. Dia hendak mela
“Christian.” Suara Laura terdengar begitu lirih, saat menyebutkan nama pria yang telah menjadi suaminya. Seseorang yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi ancaman terbesar bagi wanita muda itu. “Kau sudah dibutakan oleh dendam sehingga tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Harus bagaimana lagi caraku menjelaskan ini padamu?” “Aku tak membutuhkan penjelasan apa pun darimu!” sentak Christian, sambil memukul pintu tepat di dekat kepala Laura. Wanita berambut pirang itu bahkan sampai tersentak dan memejamkan mata, akibat rasa terkejut yang luar biasa. “Kau tidak perlu menjelaskan apa pun lagi padaku!” Nada bicara Christian belum melunak. Dia seperti hendak menelan Laura hidup-hidup. “Dendammu salah sasaran, Christian.” Laura tetap membantah, meskipun suaranya mulai bergetar karena menahan tangis. “Tidak ada yang salah, Laura! Kau! Kau satu-satunya yang wajib dipersalahkan dalam hal ini! Kau harus mempertanggungjawabkan semua kekacauan yang sudah terjadi!” Christian me
Emma berdiri di depan pintu unit apartemen milik Jamie. Wanita muda berambut pirang itu memasang raut tegang, hingga sang pemilik tempat yang didatanginya mempersilakan masuk. Walaupun agak ragu saat melangkah ke dalam ruangan dengan desain modern minimalis itu, tetapi Emma berusaha terlihat tenang.“Apa kau ingin minum sesuatu?” tawar Jamie, seraya berjalan ke dekat lemari khusus tempat menyimpan minuman beralkohol.“Tidak usah. Aku tidak lama,” tolak Emma segera.“Kupikir tidak begitu,” ujar Jamie tenang. Dia tetap mengambil sebotol anggur, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas yang langsung dibawa ke hadapan Emma. Jamie memberikan satu pada saudara kembar Laura tersebut. “Bersantailah dulu,” ujarnya kalem. Pria tampan bermata abu-abu itu mengarahkan tang
“Ada apa denganmu? Kenapa kau … astaga. Kau ….” Emma tak dapat berkata-kata, mendapati pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya dalam kondisi seperti itu.Namun, pria yang tak lain adalah Henry, seperti tak mau ambil pusing. Dia terlihat sangat lahap, saat kembali menyantap sisa makanannya. Henry tak memedulikan keberadaan Emma, yang masih berdiri sambil memperhatikan dengan ekspresi tak percaya.“Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar Henry Thompson,” ucap Emma yang terus berusaha meyakinkan diri. “Apa-apaan ini?” Nada bicara wanita muda itu terdengar cukup tegas dan penuh penekanan.Sementara Henry yang tengah menikmati sisa sandwichnya, terpaksa kembali mendongak. “Apa masalahmu, Nona Pearson?” tanyanya sinis.
SUV milik Christian sudah tiba di kawasan pemukiman yang dihuni oleh Delila. Dia sengaja menyuruh sang sopir, agar berhenti tidak di depan rumah yang menjadi tempat dirinya mengurung Laura. Kendaraan itu diparkir beberapa meter dari rumah tersebut.Christian berjalan menyusuri pinggiran jalan beraspal. Dia terlihat sangat gagah dengan kemeja putih, yang dilipat bagian lengannya hingga tiga per empat. Berhubung hari masih siang, Christian meninggalkan trench coat miliknya di mobil. Setelah tiba di depan halaman rumah, sang pemilik Lynch Company tersebut menghentikan langkah.Tatapan Christian tertuju pada Laura, yang tengah duduk dekat jendela sambil membaca buku. Sesekali, wanit