Christian menyingkirkan tangan Chelsea yang melingkar di perutnya. Dia keluar dari shower box, lalu mengambil handuk. Pria itu tak memedulikan sang kekasih yang masih berada di kamar mandi.
“Ck!” Chelsea berdecak kesal. Rasa hati ingin mengeluarkan unek-unek. Namun, dia tak bisa melakukan sesuatu yang lebih dari itu, saat berhadapan dengan Christian. Cinta dan ketertarikan yang terlalu besar terhadap pengusaha muda tersebut, membuatnya merasa lemah.
Beberapa saat berlalu. Pasangan kekasih itu sudah kembali berpakaian. Pelayan memberitahukan bahwa makan malam telah siap. Seperti biasa. Setiap kali berkunjung ke kediaman Christian, Chelsea pasti menemani pria itu layaknya seorang istri.
“Maafkan aku, Sayang,” ucap Chelsea, setelah selesai makan malam.
“Apa kau akan menginap di sini?” tanya Christian. Dia tak menanggapi permintaan maaf kekasihnya.
“Jika kau tak keberatan,” jawab Chelsea.
Christian menatap wanita yang sudah dia kencani selama lebih dari satu tahun. Itu merupakan prestasi besar. Selama ini, dirinya tak pernah bertahan lama dengan seorang wanita. “Kemarilah.” Dia merengkuh pundak Chelsea, membawanya dalam dekapan. Christian mengecup lembut kening sang kekasih.
“Aku mencintaimu, Christian,” ucap Chelsea pelan.
Christian tak membalas dengan ucapan. Dia kembali mengecup kening Chelsea, lalu mencium punggung tangan wanita itu. Tepat saat dirinya akan menikmati bibir Chelsea, Alfred datang menghadap.
“Maaf mengganggu, Tuan,” ucap Alfred tak enak.
“Ada apa?” tanya Christian yang langsung mengubah sikap duduk. Dia melepaskan dekapannya dari Chelsea.
“James Pearson memaksa ingin bicara dengan Anda,” lapor Alfred sopan.
“Malam-malam begini? Tidak sopan.” Christian setengah menggerutu, seraya mengalihkan perhatian pada sang kekasih. “Pergilah ke kamar. Aku akan segera menyusulmu.”
Sebenarnya, Chelsea ingin tetap berada di sana. Namun, dia tak berani membantah ucapan Christian. Wanita bermata hazel itu beranjak dari kursi, kemudian berlalu meninggalkan ruang kerja sang pengusaha muda.
Sepeninggal Chelsea, Christian langsung menerima telepon dari James. “Selamat malam, Tuan Pearson."
“Selamat malam, Tuan Lynch. Aku hanya ingin mengetahui kabar Laura. Izinkan kami bicara sebentar saja,” pinta James tanpa basa-basi. Dia berusaha tetap terdengar tenang, meskipun dadanya bergemuruh hebat mengingat sikap Christian tadi siang.
“Tidak bisa. Laura sudah tidur. Istriku sangat kelelahan,” tolak Christian segera.
“Bagaimana jika besok aku datang ke sana?” James memberikan penawaran. Dia begitu mencemaskan kondisi putrinya.
“Datang saja. Namun, aku tidak ada di rumah.” Christian tersenyum samar. Tampaknya, dia merasa puas karena telah membuat James seperti orang bodoh. “Apakah Anda lupa dengan yang kukatakan tadi siang?”
“Aku akan segera melunasi semua utangku. Setelah itu, ceraikan Laura dan kembalikan dia. Aku tidak rela Laura diperistri pria sepertimu. Kau pasti memperlakukan putriku dengan buruk,” tuding James mulai terpancing.
Mendengar ucapan ayah mertuanya, Christian hanya tersenyum sinis. Dia merasa bahwa dirinya jauh lebih kuat dan berkuasa bila dibandingkan James Pearson, yang hanya seorang pengusaha biasa. Tentu saja, James tak akan sanggup berhadapan langsung dengan Christian.
“Lakukan apa pun yang anda inginkan, Tuan Pearson. Satu yang pasti, utang-piutang dan Laura merupakan dua hal yang berbeda. Aku tidak suka menyangkut-pautkan masalah bisnis dengan urusan pribadi. Seharusnya, anda sudah paham akan hal itu.” Christian tetap bersikap tenang. Namun, ucapannya barusan sudah berhasil membuat James terdiam hingga beberapa saat.
“Apa yang sebenarnya anda inginkan sebenarnya, Tuan Lynch?” tanya James setelah terdiam cukup lama.
“Aku menginginkan Laura, Tuan Pearson,” jawab Christian lugas.
“Putriku adalah gadis yang baik. Tolong jangan sakiti dia,” pinta James tulus.
“Kenapa anda berpikir bahwa aku akan menyakitinya? Bila putrimu merupakan gadis baik-baik, seharusnya tak ada apa pun yang perlu dikhawatirkan. Bukankah begitu?”
James kembali terdiam. Dia tak mengatakan apa-apa lagi, hingga Christian memutuskan sambungan telepon, lalu mengembalikan alat komunikasi tadi kepada Alfred yang setia menunggu.
“Apa ada kabar dari Delila?” tanya Christian.
“Sejauh ini belum ada, Tuan,” jawab Alfred sopan.
Christian mengangguk, lalu berdiri. “Bila dalam dua hari Delila tidak menghubungimu, datanglah ke sana. Pastikan wanita itu baik-baik saja,” titahnya sebelum berlalu dari hadapan Alfred, yang langsung mengangguk.
Christian melangkah gagah menuju kamar, di mana Chelsea sudah menunggunya. Saat melewati koridor cukup panjang, pria itu tertegun sejenak. Dia menoleh ke sebuah pintu, yang merupakan kamar bekas Maria. Christian mengalihkan niatnya. Pengusaha tampan tersebut masuk ke kamar itu.
Beberapa bulan telah berlalu. Kamar mendiang sang adik dibiarkan kosong. Namun, kebersihannya tetap terjaga. Begitu pula dengan foto-foto yang terpajang di dinding. Di antara beberapa foto cantik Maria, terdapat fotonya yang tengah mengenakan gaun pengantin bersama sang suami.
“Sudah kukatakan bahwa aku akan melakukan apa pun untukmu. Tak masalah bila harus berbuat dosa, asalkan rasa sakit yang selama ini kau alami terbayar lunas, Maria. Akan kubuat wanita itu merasakan semua penderitaan yang membuatmu harus mengakhiri hidup.”
Christian mengepalkan tangan. Seluruh amarah terkumpul di sana, tetapi tak dapat dia lampiaskan. Rasa sayang terhadap sang adik begitu besar sehingga membuat dirinya merasa bersalah. Dia tak bisa menjadi pelindung yang baik. Christian telah melanggar janji terhadap kedua orang tuanya.
Sesaat kemudian, pria itu melangkah ke dekat bufet dengan laci di kiri dan kanan. Christian membuka salah satunya. Dari sana, dia mengambil sebuah buku catatan yang ditulis langsung oleh Maria. Di dalam lembaran buku tadi, terdapat foto yang sudah lusuh. Dalam foto itu, ada sepasang pria dan wanita yang tengah berciuman. Foto tersebut diambil dari jarak yang cukup jauh. Christian membalik foto tadi. Di belakangnya terdapat tulisan ‘Laura Pearson’.
Gemuruh dalam dada sang pengusaha muda tersebut kian menggebu. Tak ingin makin dikuasai amarah, dia meletakkan kembali foto itu dalam lembaran buku. Setelah menyimpan ke dalam laci, Christian memutuskan keluar, melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Di sana, Chelsea sudah menunggu dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Wanita cantik bertubuh sintal tersebut langsung menyambut kehadiran sang kekasih. “Bagaimana, Sayang?” tanyanya, seraya mengajak Christian ke tempat tidur. Dia mendudukkan pria itu, kemudian membelai wajah, dada, serta perut kekasihnya.
“Tidak ada yang penting,” jawab Christian.
“Kau terlihat kesal,” ucap Chelsea, yang sudah memahami setiap ekspresi serta bahasa tubuh sang pujaan hati.
Christian menoleh sekilas pada wanita cantik di sebelahnya, sebelum mengarahkan pandangan lurus ke depan. Christian memilih diam.
Melihat sang kekasih tidak bergairah, Chelsea hanya tersenyum. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Wanita berusia dua puluh lima tahun tersebut naik ke tubuh Christian, lalu duduk di pangkuannya. “Laura Pearson telah membuatmu sangat marah. Aku akan memberikan saran jitu yang pasti berhasil” ucapnya diiringi senyum nakal.
Christian yang awalnya memasang ekspresi tak bersemangat, langsung mengubah mimik wajahnya. Pria tampan tiga puluh lima tahun tersebut menunjukkan raut penuh penasaran. “Apa rencanamu?” “Sebenarnya, aku tidak menyukai ide ini. Namun, aku juga ingin melihat pelacur itu benar-benar hancur,” ujar Chelsea seraya memainkan ujung telunjuk, di wajah serta dagu Christian yang dihiasi janggut tipis.“Lalu?” Christian menaikkan sebelah alisnya. Chelsea tersenyum kecil, lalu mengecup sekilas bibir sang kekasih yang menunggu penjelasan darinya. “Aku memang tidak terlalu lama mengenal Maria. Namun, dia sudah kuanggap seperti adik kandung. Aku mencintaimu dan segala hal yang kau miliki. Termasuk keluargamu.” Chelsea kembali tersenyum.“Tak dapat kubayangkan seberapa sakitnya dikhianati orang terkasih dalam hidup kita. Jika aku jadi Maria, aku akan memilih mengakhiri hidup setelah menghabisi jalang itu. Namun, kematian yang terlalu mudah, justru merupakan hukuman paling ringan untuk Laura si pelac
Chelsea langsung bangkit. Dia menatap tajam Christian yang seakan tak peduli, bahwa jawabannya telah membuat membangkitkan kembali rasa kesal seperti tadi. “Untuk apa kau melihat keadaan pelacur itu?” tanyanya bernada protes. Christian yang sudah lelah dan ingin segera tidur, kembali membuka mata. Dia menoleh pada Chelsea dengan sorot aneh. “Untuk apa? Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau sendiri yang memberikan saran, agar aku tidak menyiksa Laura secara fisik? Aku hanya mengikuti apa yang menjadi ide brilianmu. Kenapa kau harus protes?” Christian menarik selimut, lalu berbalik. Tidur menyamping sambil membelakangi Chelsea akan jauh lebih nyaman baginya. Lain halnya dengan Chelsea. Wanita berambut panjang itu hanya dapat menggerutu dalam hati. Dia harus kembali menahan kekesalan terhadap sikap Christian, yang sempat teralihkan oleh adegan panas menguras keringat. Tak ada yang bisa dirinya lakukan selain ikut tidur. Lagi pula, Christian sudah terlelap. Dengkuran halusnya terdeng
“Apa maksudmu?” tanya Christian sambil memicingkan mata. Tatapannya terfokus pada wanita cantik yang memiliki kemiripan identik dengan Laura. Emma tersenyum, seraya beranjak dari duduk. Dia mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang membuatnya tertarik. “Siapa wanita muda itu?” tanya saudara kembar Laura tersebut. Christian ikut mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang terpajang di dinding. Dia tahu siapa yang Emma maksud. Pria tampan itu kembali mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar. “Memangnya kenapa?” Pengusaha tampan itu balik bertanya. “Jawab saja,” sahut Emma enteng. “Aku pernah menemukan fotonya di kamar Laura. Kupikir, mereka adalah sahabat dekat,” terang wanita muda itu. Membuat Christian seketika memasang ekspresi serius. “Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa pun yang berkaitan dengan saudara kembarku. Namun, kurasa dia sangat beruntung karena dipersunting pria sepertimu.” Christian menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Emma. Akan tetapi, dia tak
“Sedang apa kau di sini?” tanya Laura seraya bergerak mundur perlahan, sambil memegangi gulungan handuk di dada.Sementara Christian justru terus maju. Tatapan serta bahasa tubuh pria tampan tersebut menunjukkan bahwa dialah sang penguasa, yang dapat mengintimidasi siapa pun lawannya. Christian terus menggiring Laura mundur, hingga punggung wanita itu menyentuh dinding.Laura yang hanya memakai handuk sebatas dada, terlihat was-was. Tangannya makin kencang memegangi gulungan handuk agar tidak terlepas. “Mundur, Christian.” Suara Laura terdengar pelan, tetapi penuh penekanan. Dia tidak akan membiarkan pria itu berbuat tak sopan lagi seperti kemarin-kemarin.Namun, Christian tak menerima perintah dari siapa pun. Pria tampan berambut gelap tadi tidak menggubris ucapan Laura. Pengusah
Christian menatap Laura dengan sorot tak bersahabat sama sekali. Namun, raut wajah pria tampan tersebut sudah tak terlalu tegang seperti tadi.“Tunggu sebentar. Aku harus berpakaian dulu.” Laura yang awalnya berdiri sambil menghadap pada Christian, segera membalikkan badan. Wanita muda dengan rambut yang digulung asal-asalan menggunakan jepitan plastik tersebut membuka lemari. Dia memilih baju tanpa berlama-lama, kemudian berjalan menuju pintu kamar mandi.“Mau ke mana?” tanya Christian dingin.Laura tertegun. “Aku harus berpakaian,” jawabnya tanpa menoleh.“Kenapa tidak di sini saja?”“Christian ….” Laura menoleh. Dia hendak mela
“Christian.” Suara Laura terdengar begitu lirih, saat menyebutkan nama pria yang telah menjadi suaminya. Seseorang yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi ancaman terbesar bagi wanita muda itu. “Kau sudah dibutakan oleh dendam sehingga tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Harus bagaimana lagi caraku menjelaskan ini padamu?” “Aku tak membutuhkan penjelasan apa pun darimu!” sentak Christian, sambil memukul pintu tepat di dekat kepala Laura. Wanita berambut pirang itu bahkan sampai tersentak dan memejamkan mata, akibat rasa terkejut yang luar biasa. “Kau tidak perlu menjelaskan apa pun lagi padaku!” Nada bicara Christian belum melunak. Dia seperti hendak menelan Laura hidup-hidup. “Dendammu salah sasaran, Christian.” Laura tetap membantah, meskipun suaranya mulai bergetar karena menahan tangis. “Tidak ada yang salah, Laura! Kau! Kau satu-satunya yang wajib dipersalahkan dalam hal ini! Kau harus mempertanggungjawabkan semua kekacauan yang sudah terjadi!” Christian me
Emma berdiri di depan pintu unit apartemen milik Jamie. Wanita muda berambut pirang itu memasang raut tegang, hingga sang pemilik tempat yang didatanginya mempersilakan masuk. Walaupun agak ragu saat melangkah ke dalam ruangan dengan desain modern minimalis itu, tetapi Emma berusaha terlihat tenang.“Apa kau ingin minum sesuatu?” tawar Jamie, seraya berjalan ke dekat lemari khusus tempat menyimpan minuman beralkohol.“Tidak usah. Aku tidak lama,” tolak Emma segera.“Kupikir tidak begitu,” ujar Jamie tenang. Dia tetap mengambil sebotol anggur, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas yang langsung dibawa ke hadapan Emma. Jamie memberikan satu pada saudara kembar Laura tersebut. “Bersantailah dulu,” ujarnya kalem. Pria tampan bermata abu-abu itu mengarahkan tang
“Ada apa denganmu? Kenapa kau … astaga. Kau ….” Emma tak dapat berkata-kata, mendapati pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya dalam kondisi seperti itu.Namun, pria yang tak lain adalah Henry, seperti tak mau ambil pusing. Dia terlihat sangat lahap, saat kembali menyantap sisa makanannya. Henry tak memedulikan keberadaan Emma, yang masih berdiri sambil memperhatikan dengan ekspresi tak percaya.“Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar Henry Thompson,” ucap Emma yang terus berusaha meyakinkan diri. “Apa-apaan ini?” Nada bicara wanita muda itu terdengar cukup tegas dan penuh penekanan.Sementara Henry yang tengah menikmati sisa sandwichnya, terpaksa kembali mendongak. “Apa masalahmu, Nona Pearson?” tanyanya sinis.
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me