Laura terbelalak tak percaya. Dia langsung mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar, sebelum kembali mengarahkan perhatian pada Delila. “Bunuh diri?” ulangnya.
Delila mengangguk. “Maafkan aku, Nyonya. Aku tidak bisa memberitahu Anda lebih dari itu.”
“Apa kau tahu apa yang Christian inginkan dariku? Apakah dia … semoga dia bukan psikopat yang ….” Laura tak sempat melanjutkan kata-katanya, berhubung terdengar suara panggilan di pintu depan.
“Permisi. Aku harus ke bawah dulu.” Delila mengangguk sopan, sebelum berlalu dari hadapan Laura yang masih diliputi rasa penasaran.
Penuturan Delila tadi, telah membuat Laura makin tak karuan dan tidak bisa berpikir jernih. Semua begitu buram baginya.
Sementara itu, Christian telah tiba di kediaman mewah miliknya, yang berada di kawasan pemukiman elite Kota London. Dia keluar dari kendaraan, setelah Wayne membukakan pintu. Christian melangkah gagah sambil menenteng jas yang tidak dia kenakan lagi. Walaupun ekspresi wajah pria tiga puluh lima tahun tersebut tampak kacau, tetapi dia masih terlihat seksi dan menggoda. Setidaknya, bagi wanita cantik bertubuh sintal yang sudah berdiri di ambang pintu.
“Kupikir, kau tidak akan pulang kemari,” ucap wanita cantik berambut cokelat tembaga tadi. Dia adalah Chelsea Wright, kekasih Christian.
“Sedang apa kau di sini?” Christian menanggapi dingin sambutan sang kekasih. Sekilas, pria tampan itu menoleh pada Alfred yang menghampirinya. “Kau boleh beristirahat.”
“Terima kasih, Tuan,” balas Alfred sopan. Dia mengangguk pada Chelsea, sebelum melanjutkan langkah masuk ke rumah.
Sepeninggal Alfred, Chelsea mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Christian. “Aku menunggumu selama dua jam dua puluh dua menit. Seperti inikah caramu memperlakukanku?” Wanita cantik berambut indah itu meraih tangan Christian, lalu membawanya masuk. Chelsea sudah seperti tuan rumah di sana. Hubungannya yang telah terjalin sekian lama dengan sang pengusaha muda tersebut, membuat wanita itu memiliki akses leluasa ke kediaman mewah milik Christian.
Saat mereka berjalan melewati koridor, Christian menarik tangan Chelsea hingga wanita itu masuk ke pelukannya. Christian menggiring mundur sang kekasih, sambil mencium penuh gairah. Setelah menyandarkan tubuh Chelsea ke dinding koridor, dia mulai menjamah bagian-bagian yang menjadi kesukaannya.
“Ah, Chris,” desah Chelsea pelan, sambil meremas tengkuk sang kekasih. Dia memejamkan mata, ketika Christian menciumi leher, lalu turun ke dada. “Bawa aku ke tempat tidurmu, Sayang," pintanya.
Tanpa memberikan jawaban, Christian langsung memangku Chelsea. Dia memegangi paha sang kekasih, sambil berjalan menuju kamar. Christian harus menuntaskan hasrat biologis, yang tadi sempat terbangkitkan saat dirinya berhadapan dengan Laura. Walaupun wanita itu tak menarik baginya, tetapi mereka sempat bersentuhan di tempat tidur.
Beberapa saat kemudian, adegan panas telah berlangsung di dalam kamar mewah milik Christian. Desahan manja berbaur dengan helaan napas berat memburu, mengiringi penyatuan penuh gairah dua sejoli tadi. Untuk kesekian kalinya, pasangan kekasih itu dapat mereguk kenikmatan surga dunia.
“Ah!” Christian meringis kecil, saat mengakhiri ritual melelahkan yang telah dilakoninya bersama Chelsea. Sesaat kemudian, dia melepas pengaman, lalu membungkusnya dengan selembar tisu. Barulah benda berbahan lateks itu dibuang ke tempat sampah di kamar mandi.
“Aku sudah menyiapkan air hangat. Mari berendam,” ajak Chelsea. Dia sudah tahu betul kebiasaan sang kekasih, setiap kali habis bercinta.
“Kau yang terbaik,” sanjung Christian diiringi senyum kecil, seraya membantu Chelsea masuk ke bathtub. Dia mendekap wanita cantik yang duduk di depannya. Sesekali, Christian mengecup lembut pundak sang kekasih, lalu menggodanya dengan menyentuh bagian-bagian tertentu.
Chelsea tertawa renyah menanggapi kenakalan Christian. Namun, tak lama kemudian tawa itu memudar. Chelsea yang bersandar di dada pengusaha muda tadi, mengarahkan pandangan pada pria tampan tersebut. “Bagaimana rencanamu? Apakah semua berjalan lancar?”
“Ya. Aku sudah menikah dengan Laura. Wanita itu juga telah kutempatkan di Cotswolds.” Tatapan Christian tertuju lurus ke depan. Bayangannya kembali tertuju pada apa yang sudah terjadi dalam seharian tadi.
“Astaga. Aku merasa begitu bodoh, saat mengizinkanmu menikahi wanita sialan itu,” keluh Chelsea penuh sesal.
“Kau sudah tahu seperti apa rencanaku sebelumnya,” ujar Christian. Dia mengambil air, lalu menyiramkan di pundak Chelsea, kemudian mengecupnya lembut.
Tawa renyah kembali meluncur dari bibir Chelsea. Entah apa yang lucu. Bisa jadi, wanita itu justru tengah menertawakan diri sendiri. “Kapan kau akan menceraikannya?”
“Maksudmu?” Christian memicingkan mata.
“Aku tidak suka kau terlalu lama bermain-main dengan wanita itu, Sayang. Bisakah kau percepat misi balas dendammu ini?” Chelsea memainkan air yang memenuhi bathtub.
“Ayolah. Aku baru mengawalinya.” Christian mulai tak nyaman dengan obrolan mereka. Dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan Chelsea.
Benar saja. Keluhan panjang meluncur dari bibir Chelsea. Namun, wanita cantik dengan rambut yang digulung asal-asalan tersebut tak mengatakan apa pun.
“Jangan berpikir macam-macam,” tegur Christian. “Aku tidak suka jika kau sudah berlebihan seperti ini.”
“Seberapa setia seseorang pada pasangannya, Christian? Siapa yang bisa mengukur hal itu? Segala hal bisa terjadi. Aku hanya takut bila suatu saat nanti kau justru terjebak dalam permainanmu. Bila dia bisa memikat para pria dengan sangat mudah, artinya bukan tak mungkin kau juga dapat ditaklukan tanpa ada kesulitan.”
“Omong kosong.” Christian tak suka dengan ucapan Chelsea. Dia mendorong pelan tubuh wanita cantik itu agar tak bersandar lagi padanya. Christian keluar dari bathtub. Dia masuk ke shower box untuk membilas tubuh.
Chelsea pun tak tinggal diam. Wanita cantik bertubuh sintal tersebut langsung mengikuti kekasihnya. Dia memeluk Christian dari belakang.
“Sejujurnya aku tak habis pikir, saat kau mengatakan hendak menikahi pelacur itu. Apakah tidak ada cara lain? Kau membuatku takut, Sayang.” Chelsea membenamkan wajah di pundak belakang Christian.
“Kau tahu bahwa ini hanya main-main,” ucap Christian sambil mengusap wajah dan rambut yang terkena guyuran air dari shower.
“Kenapa harus menjadikannya istri?” Chelsea seperti ingin melakukan protes keras. “Kau bisa berpura-pura hanya mengencani atau ….”
“Seorang kekasih tidak memiliki hak mutlak atas kekasihnya. Berbeda dengan ikatan suami-istri. Aku memiliki kekuasaan penuh atas diri Laura Pearson,” bantah Christian penuh penekanan.
Chelsea terdiam sejenak. Dia mengangkat wajah, membiarkan paras cantiknya tersiram deraian air yang mengalir deras. “Apakah itu artinya aku juga tidak memiliki hak mutlak atas dirimu, Chris?” Pertanyaan bernada kecewa, terlontar dari bibir wanita berambut cokelat tembaga tersebut.
“Hentikan, Chelsea!” sergah Christian cukup tegas. Dia makin terganggu dengan perbincangan itu.
“Pahamilah ketakutanku sebagai seorang wanita, Sayang. Kau sangat tampan dan kaya raya. Kau memiliki magnet yang teramat kuat, untuk menarik wanita manapun agar mendekat. Tak terkecuali pelacur itu.”
“Jangan gila, Chelsea! Kau pikir, aku akan bercinta dengan pembunuh adikku?”
Christian menyingkirkan tangan Chelsea yang melingkar di perutnya. Dia keluar dari shower box, lalu mengambil handuk. Pria itu tak memedulikan sang kekasih yang masih berada di kamar mandi. “Ck!” Chelsea berdecak kesal. Rasa hati ingin mengeluarkan unek-unek. Namun, dia tak bisa melakukan sesuatu yang lebih dari itu, saat berhadapan dengan Christian. Cinta dan ketertarikan yang terlalu besar terhadap pengusaha muda tersebut, membuatnya merasa lemah. Beberapa saat berlalu. Pasangan kekasih itu sudah kembali berpakaian. Pelayan memberitahukan bahwa makan malam telah siap. Seperti biasa. Setiap kali berkunjung ke kediaman Christian, Chelsea pasti menemani pria itu layaknya seorang istri. “Maafkan aku, Sayang,” ucap Chelsea, setelah selesai makan malam. “Apa kau akan menginap di sini?” tanya Christian. Dia tak menanggapi permintaan maaf kekasihnya. “Jika kau tak keberatan,” jawab Chelsea. Christian menatap wanita yang sudah dia kencani selama lebih dari satu tahun. Itu merupakan pre
Christian yang awalnya memasang ekspresi tak bersemangat, langsung mengubah mimik wajahnya. Pria tampan tiga puluh lima tahun tersebut menunjukkan raut penuh penasaran. “Apa rencanamu?” “Sebenarnya, aku tidak menyukai ide ini. Namun, aku juga ingin melihat pelacur itu benar-benar hancur,” ujar Chelsea seraya memainkan ujung telunjuk, di wajah serta dagu Christian yang dihiasi janggut tipis.“Lalu?” Christian menaikkan sebelah alisnya. Chelsea tersenyum kecil, lalu mengecup sekilas bibir sang kekasih yang menunggu penjelasan darinya. “Aku memang tidak terlalu lama mengenal Maria. Namun, dia sudah kuanggap seperti adik kandung. Aku mencintaimu dan segala hal yang kau miliki. Termasuk keluargamu.” Chelsea kembali tersenyum.“Tak dapat kubayangkan seberapa sakitnya dikhianati orang terkasih dalam hidup kita. Jika aku jadi Maria, aku akan memilih mengakhiri hidup setelah menghabisi jalang itu. Namun, kematian yang terlalu mudah, justru merupakan hukuman paling ringan untuk Laura si pelac
Chelsea langsung bangkit. Dia menatap tajam Christian yang seakan tak peduli, bahwa jawabannya telah membuat membangkitkan kembali rasa kesal seperti tadi. “Untuk apa kau melihat keadaan pelacur itu?” tanyanya bernada protes. Christian yang sudah lelah dan ingin segera tidur, kembali membuka mata. Dia menoleh pada Chelsea dengan sorot aneh. “Untuk apa? Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau sendiri yang memberikan saran, agar aku tidak menyiksa Laura secara fisik? Aku hanya mengikuti apa yang menjadi ide brilianmu. Kenapa kau harus protes?” Christian menarik selimut, lalu berbalik. Tidur menyamping sambil membelakangi Chelsea akan jauh lebih nyaman baginya. Lain halnya dengan Chelsea. Wanita berambut panjang itu hanya dapat menggerutu dalam hati. Dia harus kembali menahan kekesalan terhadap sikap Christian, yang sempat teralihkan oleh adegan panas menguras keringat. Tak ada yang bisa dirinya lakukan selain ikut tidur. Lagi pula, Christian sudah terlelap. Dengkuran halusnya terdeng
“Apa maksudmu?” tanya Christian sambil memicingkan mata. Tatapannya terfokus pada wanita cantik yang memiliki kemiripan identik dengan Laura. Emma tersenyum, seraya beranjak dari duduk. Dia mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang membuatnya tertarik. “Siapa wanita muda itu?” tanya saudara kembar Laura tersebut. Christian ikut mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang terpajang di dinding. Dia tahu siapa yang Emma maksud. Pria tampan itu kembali mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar. “Memangnya kenapa?” Pengusaha tampan itu balik bertanya. “Jawab saja,” sahut Emma enteng. “Aku pernah menemukan fotonya di kamar Laura. Kupikir, mereka adalah sahabat dekat,” terang wanita muda itu. Membuat Christian seketika memasang ekspresi serius. “Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa pun yang berkaitan dengan saudara kembarku. Namun, kurasa dia sangat beruntung karena dipersunting pria sepertimu.” Christian menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Emma. Akan tetapi, dia tak
“Sedang apa kau di sini?” tanya Laura seraya bergerak mundur perlahan, sambil memegangi gulungan handuk di dada.Sementara Christian justru terus maju. Tatapan serta bahasa tubuh pria tampan tersebut menunjukkan bahwa dialah sang penguasa, yang dapat mengintimidasi siapa pun lawannya. Christian terus menggiring Laura mundur, hingga punggung wanita itu menyentuh dinding.Laura yang hanya memakai handuk sebatas dada, terlihat was-was. Tangannya makin kencang memegangi gulungan handuk agar tidak terlepas. “Mundur, Christian.” Suara Laura terdengar pelan, tetapi penuh penekanan. Dia tidak akan membiarkan pria itu berbuat tak sopan lagi seperti kemarin-kemarin.Namun, Christian tak menerima perintah dari siapa pun. Pria tampan berambut gelap tadi tidak menggubris ucapan Laura. Pengusah
Christian menatap Laura dengan sorot tak bersahabat sama sekali. Namun, raut wajah pria tampan tersebut sudah tak terlalu tegang seperti tadi.“Tunggu sebentar. Aku harus berpakaian dulu.” Laura yang awalnya berdiri sambil menghadap pada Christian, segera membalikkan badan. Wanita muda dengan rambut yang digulung asal-asalan menggunakan jepitan plastik tersebut membuka lemari. Dia memilih baju tanpa berlama-lama, kemudian berjalan menuju pintu kamar mandi.“Mau ke mana?” tanya Christian dingin.Laura tertegun. “Aku harus berpakaian,” jawabnya tanpa menoleh.“Kenapa tidak di sini saja?”“Christian ….” Laura menoleh. Dia hendak mela
“Christian.” Suara Laura terdengar begitu lirih, saat menyebutkan nama pria yang telah menjadi suaminya. Seseorang yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi ancaman terbesar bagi wanita muda itu. “Kau sudah dibutakan oleh dendam sehingga tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Harus bagaimana lagi caraku menjelaskan ini padamu?” “Aku tak membutuhkan penjelasan apa pun darimu!” sentak Christian, sambil memukul pintu tepat di dekat kepala Laura. Wanita berambut pirang itu bahkan sampai tersentak dan memejamkan mata, akibat rasa terkejut yang luar biasa. “Kau tidak perlu menjelaskan apa pun lagi padaku!” Nada bicara Christian belum melunak. Dia seperti hendak menelan Laura hidup-hidup. “Dendammu salah sasaran, Christian.” Laura tetap membantah, meskipun suaranya mulai bergetar karena menahan tangis. “Tidak ada yang salah, Laura! Kau! Kau satu-satunya yang wajib dipersalahkan dalam hal ini! Kau harus mempertanggungjawabkan semua kekacauan yang sudah terjadi!” Christian me
Emma berdiri di depan pintu unit apartemen milik Jamie. Wanita muda berambut pirang itu memasang raut tegang, hingga sang pemilik tempat yang didatanginya mempersilakan masuk. Walaupun agak ragu saat melangkah ke dalam ruangan dengan desain modern minimalis itu, tetapi Emma berusaha terlihat tenang.“Apa kau ingin minum sesuatu?” tawar Jamie, seraya berjalan ke dekat lemari khusus tempat menyimpan minuman beralkohol.“Tidak usah. Aku tidak lama,” tolak Emma segera.“Kupikir tidak begitu,” ujar Jamie tenang. Dia tetap mengambil sebotol anggur, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas yang langsung dibawa ke hadapan Emma. Jamie memberikan satu pada saudara kembar Laura tersebut. “Bersantailah dulu,” ujarnya kalem. Pria tampan bermata abu-abu itu mengarahkan tang
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me