Bab 6 - Apakah Cinta?

"Lalu kau maunya aku harus bagaimana?" Serena bertanya balik dengan berani, "Aku tahu kau sangat membenciku sekarang. Tetapi, kau pun tidak berhak menuduhku dengan sembarangan, Kevin!

"Menuduh kau bilang? Aku tidak menuduhmu!" Kevin mencengkram kedua bahu Serena kuat, membuat wanita itu mengambil langkah mundur hingga punggungnya menabrak keramik wastafel, "Jangan bilang kalau kau lupa, waktu itu kau dan keluargamu yang hina itu telah berani memeras keluargaku!"

"Bukankah kau tidak ada bedanya dengan ibumu? Sangat menyukai uang hingga rela melakukan segala cara untuk mendapatkannya." Kevin mendekatkan wajahnya ke telinga Serena, lalu berbisik dengan nada penuh kebencian, "Benar-benar seperti pelacur rendahan!"

Walaupun kalimat yang terlontar dari mulut Kevin begitu menyakitkan, Serena terdiam tanpa mampu membantah. Karena memang, apa yang dikatakan oleh Kevin benar. Atas nama hubungan mereka yang salah di masa lalu, ibunya tanpa tahu malu telah meminta uang yang sangat besar pada keluarga Kevin.

"Lihat, kau diam tanpa bisa membantah."

Sebenarnya, Serena dalam dilema. Ia ingin sekali memberitahu bahwa Kevin telah salah paham padanya, bahwa ada alasan dibalik mengapa ibunya seperti itu. Tapi....

Serena menatap sepasang mata biru yang kini berkilat tajam dan penuh benci. Tidak perduli alasan apa pun yang ia utarakan sekarang pada situasi ini, ia skeptis Kevin akan percaya padanya. Ia malah takut, lelaki ini akan menganggap dirinya sebagai wanita berpura-pura menyedihkan demi menarik simpatinya. Dan ia tidak mau, dianggap begitu oleh Kevin.

"Terserah kau mau bilang apa, aku tidak peduli lagi. Kau menggangapku sebagai pelacur yang mencintai uang? Yah, baik. Begitulah aku sekarang." Serena mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda iya atas tuduhan Kevin.

Kevin tersenyum sinis. Sedetik kemudian, kedua tangannya yang tadinya mencengkram bahu kini berpindah menelusuri lekuk tubuh Serena yang molek. Wanita ini memiliki pinggang yang kecil, payudara penuh terbungkus pakaiannya, dan bokong semok yang tiap kali ia remas, begitu kenyal. Sejak dulu, Serena memang terkenal memiliki tubuh indah dan juga wajah cantik tiada tara.

Sepuluh tahun telah berlalu, namun kecantikan dan kemolekannya tidaklah luntur. Justru, itu semakin membangkitkan gairahnya meski kebencian dalam dadanya begitu besar pula.

Serena dapat merasakan hembusan napas panas Kevin di leher jenjangnya. Bibir pria itu mengendus, mencium dengan lembut seolah mencium kekasihnya yang mana membuat Serena membiarkannya melakukannya. Ia menerima perlakuan tak biasa itu karena kerinduannya terhadap pria ini. Seorang pria yang katanya sangat membencinya.

Ia tidak mengerti bagaimana bisa Kevin memiliki sifat yang berubah-ubah. Semenit lalu mengatainya sebagai pelacur rendahan, dan sedetik kemudian menyentuhnya dengan lembut seolah ia masih mencintainya. Tapi ia yakin akan satu hal, bahwa kebencian yang ditunjukkan itu adalah nyata.

Apakah mungkin, kau masih mencintaiku?

Walau itu hanya dugaan, namun dirinya tidak bisa berhenti berharap. Ia berharap Kevin masih memiliki perasaan padanya. Tidak apa-apa jika benci dan cinta terjalin bersama. Karena ia bersedia menerimanya, daripada menghadapi ketidakpedulian Kevin terhadap dirinya.

"Aku sungguh ingin tahu, apakah itu hanya dugaanku saja atau bukan. Dan karena itu... Aku akan mencari tahu, Kevin." ucap Serena berjanji dalam hatinya.

Kevin yang tidak tahu akan isi hati wanita yang kini tengah dilecehkannya, terus terbuai dengan harum tubuh Serena yang terasa memabukkan baginya. Ia tidak menyadari perilaku anehnya yang mirip orang mabuk kepayang, dan terus menerus mencumbu kulit halus yang dilihatnya.

Saat Serena merasakan tangan besar yang kini berada di pahanya semakin naik ke atas, ia memegang tangan besar itu untuk menghentikannya, "Bukannya kau bilang kau membenciku?" tanyanya tiba-tiba. Dengan sepasang mata teguh dan tak kenal takut, ia menatap balik tatapan Kevin yang kini terkejut.

"Menggerayangi tubuhku dan bahkan menciumku, orang yang kau benci, apakah itu menjadi hobimu sekarang?"

"Apa?" Kevin menjadi sadar sepenuhnya dan saat ia melihat dirinya di cermin di belakang punggung Serena, ia membeku. Tatapan panas dan aneh itu, bagaimana mungkin, tatapan itu adalah dirinya?

"Ini adalah yang kedua kalinya kau melakukan ini padaku. Yang pertama kau menciumku, dan sekarang kau melecehkan aku. Kevin, bukannya kau bilang kau membenciku? Atau jangan bilang...." Serena sengaja menunda dan tampak menikmati ekspresi marah Kevin di depannya, "... Apa kau masih mencintaiku?"

"Mencintaimu?"

Serena mengangguk. Ia melepaskan tangan Kevin yang tadi digenggamnya.

Tangannya yang bebas lantas menyentuh dada bidang yang terasa keras dan kokoh. "Katakan, kau pasti masih mencintaiku, kan? Kau tidak benar-benar membenciku, kan?"

Cinta?

Mencintai Serena?

Tidak, itu tidak mungkin!