Blam!
Pintu kamar mandi dibanting tertutup oleh Kevin. Meninggalkan Serena sendirian di sana dengan ekspresi pucat yang sulit dideskripsikan. Usai kepergian Kevin dari sana, Lina Hui yang awalnya menunggu di luar bergegas masuk. "Apakah terjadi sesuatu?" tanyanya seraya mendekat. Ia sedikit terkejut saat mendapati bahwa wanita cantik di depannya tampak berantakan. Pakaian yang dikenakan Serena terlihat tidak rapi dengan kancing teratasnya terbuka. Memperlihatkan kulit mulus yang terdapat tanda kemerahan serupa tanda ciuman. Serena mengangkat kepalanya yang tadi merunduk. Ia menatap balik pada sepasang mata khawatir itu. "Tidak, tidak ada yang terjadi," Lalu seolah keadaannya bukanlah apa-apa, ia berbalik menghadap cermin, mulai merapikan pakaiannya, mengancingkan kembali kancing yang dilepas dan kemudian, ia berbalik, berjalan melewati Lina tanpa sepatah kata. "Apakah karena direktur...." Lina tidak lanjut mengucapkannya karena merasa bahwa itu percuma. Selain sang direktur yang bisa masuk ke ruangan ini, tidak ada yang diizinkan masuk sembarangan ke ruangan pribadi direkturnya tersebut. Yang itu artinya, keadaan Serena yang tampak berantakan kemungkinan besar adalah ulah bosnya. Serena berjalan ke luar dari Lounge, dan Kevin yang tadi meninggalkannya kini tengah berdiri di samping jendela Perancis, menatap pemandangan di luar dari gedung kantornya yang tinggi. Karena posisinya, ia tidak bisa melihat ekspresi macam apa yang ditunjukkan Kevin sekarang. Walaupun begitu, karena ia diminta untuk datang, ia tidak bisa pergi begitu saja sebelum tahu maksud panggilannya yang tak biasa. "Silakan duduk dulu." Lina muncul dari belakang Serena dan menyuruh agar wanita yang berdiri itu supaya duduk. Serena mengikuti Lina yang kini membawakan ke sofa yang ada di tengah ruangan. Ia duduk di salah satu sofa seraya menunggu langkah selanjutnya. Lina mengambil sebuah berkas dari atas meja dan memberikannya pada Serena. "Ini adalah surat perjanjian." "Surat perjanjian apa?" "Surat perjanjian kerja," Lina melirik ke arah Kevin yang belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Setelah Anda menandatanganinya, mulai besok Anda akan bekerja di kantor ini." "Hah?" "Sebagai cleaning servis," Lanjut Lina dengan suara mencicit tak nyaman. Serena tertegun. Tidak mengerti mengapa ia harus bekerja sebagai cleaning servis, padahal ia sudah memiliki pekerjaan sendiri. Tanpa melihat ke arah surat perjanjian di atas meja, Serena berkata dengan tegas, "Saya menolak. Saya pikir, saya tidak punya alasan harus menerima tawaran ini. Saya... Saya memiliki pekerjaan sendiri." Mendengar penolakan itu, Kevin berbalik. Ia memicingkan matanya saat menatap sisi profil wajah Serena yang kini duduk tegak di sofa. "Kau menolaknya?" Tanpa menjawab desis kemarahan dari arah sampingnya, Serena pun berdiri. Ia menghadap Kevin, dan dua pasang mata pun bertemu. "Apa jika aku menerima tawaranmu ini, kau akan menghentikan tindakanmu mengacaukan perusahaan keluarga Ruhi?" "Mimpi!" "Aku terpaksa menuruti keinginanmu tak lebih adalah demi sahabatku. Jadi katakan, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu melepaskan keluarga Ruhi sepenuhnya?" tanya Serena seraya menunggu dengan sabar jawaban. Namun tak ada tanda-tanda bahwa Kevin mau bicara balik padanya. "Tentu saja aku akan bersedia untuk menjadi pembantumu di sini, asal, kau harus berjanji padaku untuk jangan mengganggu keluarga Ruhi lagi. Bagaimana?" "Kau pikir kau siapa?!" Kevin berjalan mendekat dengan ekspresi mengeras marah. "Aku juga tidak tahu aku ini siapa. Aku juga bingung, mengapa, kau yang memiliki kekuasaan penuh di tanganmu, mau berurusan dengan orang sepertiku yang biasa-biasa ini." Serena tidak gentar meski ekspresi wajah Kevin yang kini telah berdiri di hadapannya tampak ingin mencabik-cabiknya. "Katakan padaku Kevin, untuk apa? Jangan bilang hanya karena ingin melihatku terus menerus kau melakukan ini padaku?" "Serena!" Lina bolak-balik memandang dua orang yang kini bertengkar itu. Ia belum pernah melihat sang direktur yang biasanya tenang, akan semudah ini tersulut emosinya. Dan hal ini terjadi karena wanita cantik ini. "Ayo kita buat kesepakatan," "Kau belum melihat isi kontrak itu, dan langsung menolaknya?" "Ya," "Uang yang bisa kau dapatkan tiga kali lipat lebih besar dari tempatmu bekerja, kau masih ingin menolak?" Serena benar-benar tidak tahu, mengapa Kevin harus sampai seperti ini. Benarkah karena tidak mau berpisah dengannya? "Apa kau menginginkan aku tinggal di sini?" Kevin terdiam beberapa detik. Padahal hanya ada kata tidak dan iya untuk dikeluarkan, namun kedua kata tersebut tampaknya sama-sama mampu membuat harga dirinya terkoyak. Kenapa aku harus melakukannya sejauh ini? Untuk apa? Dan ingatan tentang percakapannya bersama Yuda terngiang-ngiang. Balas dendam. Ia ingin menghancurkan Serena dan membuat wanita ini hancur berkeping-keping sama seperti yang ia alami dulu. Dan untuk hal itu... Ia perlu membuat Serena berada di sisinya. Kenapa Serena mengira bahwa aku masih mencintainya? Apakah... Jika benar Serena masih mencintainya, ia bisa memanfaatkan perasaan itu untuk membuat mantan pacarnya yang jalang ini menderita dan sekarat sampai ingin mati! Dan seolah ingin mendapatkan jawaban itu, Kevin mengubah sedikit nada suaranya menjadi lebih lembut, "Bagaimana kalau aku memang ingin kau di sini?" Kali ini, Serena lah yang dibuat terdiam dengan jantungnya berdebar keras. Seolah mendengar suara lembut yang telah lama tidak di dengarnya membuat ia mengingat masa lalu mereka yang masih baik-baik saja.Di jam istirahat, atap sekolah merupakan tempat dimana para siswa yang tidak memiliki circle pertemanan setara, untuk melarikan diri. Di sana, seseorang dapat melakukan apa saja tanpa perlu resah dan gelisah diintai oleh banyak pasang mata. Salah satu siswa itu tak lain adalah Serena. Baru sebulan pindah ke sekolah elit, ia telah di-bully oleh beberapa siswi yang tak suka padanya sebab terlalu cantik dan diincar banyak para pemuda. "Kau sering sekali kulihat datang kemari."Serena yang baru saya menyelesaikan makan siangnya menoleh ke arah sumber suara. Ia melepas Airpods di telinga, dan suara musik yang tadi mengalun kini menghilang. Ia dapat mendengar dengan jelas suara seorang pemuda tampan dan jangkung yang bicara padanya. "Ah, pantas saja saat aku memanggil dirimu, kau tidak menyahut. Jadi karena ini." Kevin sedikit membungkuk demi mengambil Airpods di tangan Serena. "Kau mencariku?" Serena bertanya bingung karena selalu bertemu dengan Kevin di atap sekolah. Entah apakah itu
"Serena, ini sudah tahun ke lima kau bekerja di sini. Bapak sejujurnya senang dengan keuletan dan semangatmu selama bekerja." ucap Pak Wawan berbasa-basi.Serena merasa risih karena tiba-tiba membicarakan tentangnya. Apalagi di ruangan ini bukan cuma ada mereka berdua saja, melainkan juga ada Kevin dan kaki tangannya duduk mendengarkan. Apa tidak bisa kedua pria itu disuruh pergi dulu?"Ya, Pak, benar," jawab Serena membenarkan. Meski tak tahu mengapa Pak Wawan mengungkit hal ini, dalam benaknya ia merasakan firasat buruk yang samar."Karena sudah lima tahun, kau pun pasti tahu bahwa pinjamanmu pada perusahaan perlu dilunasi."Begitu kata hutang dibahas di sini, ekspresi Serena langsung berubah. Seketika itu ia menyela demi menghentikan manajernya ini merembet kemana-mana. "Pak Wawan, untuk masalah ini, bisakah tolong kita bicarakan berdua saja? Saya akan datang menemui bapak lagi, setelah bapak selesai dengan urusan bapak dengan tamu penting ini."Usai mengatakan itu, Serena berdiri
Serena tidak tahu dimana letak kesalahannya hingga dia harus mendapatkan penghinaan ini. 10 juta untuk setiap kali dia tidur dengan Kevin? Apakah menurutnya, aku telah menjadi sehina itu? Walaupun hatinya terasa sakit, seperti terkoyak dan hancur berkeping-keping, namun Serena tidak menampakkan kelemahannya untuk diketahui oleh Kevin yang teramat membencinya. Seolah penawaran tentang tubuhnya bukanlah apa-apa, Serena menunjukkan senyum mengejek ke arah Kevin yang tengah menunggu. "Untuk orang sekelas direktur sepertimu, menawarkan 10 juta setiap kali tidur denganku, apakah tidak terlalu murah? Tidakkah hal itu akan membuat hati nuranimu bersalah?"Kevin hanya terkekeh, dan dengan sepasang mata birunya yang dingin, ia pun membalas dengan hinaan yang lebih besar, "Kau harus sadar dengan nilai dirimu, Serena. Kau yang hanya wanita bekas pria lain, apakah masih bisa diberi harga tinggi selain 10 juta itu? Harga yang aku tawarkan, adalah harga yang paling masuk akal. Oh, tapi tentu saja
Kevin menatap Serena dengan intens, matanya yang biru menyala penuh keinginan. Jemarinya menyusuri garis rahang wanita itu, mempermainkan ujung dagunya sebelum kembali menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menekan bibir Serena, kali ini lebih dalam, lebih menuntut.Serena tersentak, tapi bukan karena ketakutan—lebih kepada ketidaktahuannya bagaimana harus merespons. Kevin bukan pria yang sabar ketika menginginkan sesuatu, dan Serena bisa merasakannya dari cara bibir pria itu bergerak di atas miliknya.Tangannya terangkat, secara naluriah menyentuh dada Kevin yang bidang di balik kemeja tipisnya. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, detak jantung yang keras seakan menunjukkan betapa ia menikmati momen ini dengan penuh semangat. Kevin menarik napas di sela ciuman mereka, membiarkan hidungnya bersentuhan dengan hidung Serena. "Kau terlalu kaku. Tidak bisakah kau rileks?" gumamnya rendah, suaranya serak dan bergetar bercampur gairah. Serena tidak bisa menjawab. Ia hampir lupa
Serena duduk di kursi kayu di depan kamar kosnya. Udara malam cukup sejuk, membelai kulitnya yang lelah setelah seharian bekerja di pabrik. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang sudah mulai mendingin, sementara tatapannya kosong, mengarah ke langit yang dipenuhi bintang."Tumben sekali bintang kelihatan dengan jelas malam ini." Ia bergumam lirih seraya menyeruput kopi di tangan. Kesunyian menyelimuti gang sempit tempat kos Serena berada. Sesekali terdengar suara kendaraan dari jalan raya di kejauhan, tapi selebihnya hanya ada desiran angin dan suara televisi dari kamar sebelah. Serena menarik napas panjang, membiarkan dadanya naik turun dengan berat.Lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.Ia memeluk dirinya sendiri, merasakan kedinginan yang bukan hanya berasal dari udara malam, tetapi juga dari kesepian yang semakin menggigit.Di pabrik tadi, Ayu menatapnya dengan kekhawatiran yang nyata. Terus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak bisa m
Kevin mendorong tubuh Serena kasar ke sofa bewarna abu berbentuk L di ruang kamarnya. "Mmmh!" Erangan sakit terdengar lirih, Serena menyentuh dahinya yang memar karena benturan barusan di pegangan sofa. Kepalanya berputar dan visinya menjadi gelap sesaat. Baru saja Serena akan mengangkat tubuhnya bangun, namun terhenti saat tekanan berat dari belakangnya menekannya kembali.Serena berontak panik, dan berusaha kabur menjauh dari jangkauan tangan Kevin yang memegangnya erat dan intim. "Berhenti... Tidak, Kevin!"Kevin mengabaikan rengekan Serena di bawahnya, tangannya mencengkram kedua tangan Serena di atas kepala, dan menggunakan tangan satunya menarik paksa kemeja Serena, merobeknya kasar sampai meninggalkan jejak goresan dari serat kain di kulit putih pucatnya.Serena terkesiap, merasa kedinginan dari pendingin ruangan yang kini menampar punggung telanjangnya hingga membuat dia menggigil. Kevin tidak main-main saat dia berkata ingin mengurungnya dan menyetubuhinya sampai dia tidak
"A-apa yang sebenarnya kau inginkan?"Tawa Kevin langsung terdengar di luar ruangan itu, merasa lucu. Wanita ini sama sekali tidak berubah, masih memiliki rasa kepedulian yang membuatnya muak. Dan itulah kelemahan fatal yang dimiliki Serena. Memikirkannya kembali, wajah Kevin penuh kemenangan, bibirnya sedikit bengkok saat dia berkata dengan suara penuh penekanan, "Berlututlah!"Berlututlah!Sekejam itu Kevin padanya. Mati-matian Serena menahan tangis. Lidahnya dia gigit sangat kuat, menyalurkan sakit hatinya yang meraung penuh sesak.Melihat keterdiaman Serena yang seperti tidak mau. kevin kembali berkata dingin dan acuh tak acuh "Kenapa? Kau tidak mau?"Meraih teh hangat di atas meja dan menyesapnya dengan santai, dia kembali melanjutkan bicara, "Yah ... Itu terserah padamu. Aku hanya perlu melakukan satu panggilan untuk menghancurkan orang yang kau hargai itu."Kevin mengutak-atik ponsel di tangannya seakan-akan ingin melakukan sebuah panggilan saat itu juga, dan kata-kata itu buk
Malam harinya, setibanya Serena di tempat kos, ia mendapati sebuah mobil berwarna merah yang tak asing baginya terparkir di halaman. Itu mobil Ruhi, batinnya seraya menaikkan pandangan untuk melihat siluet sang sahabat, tapi tidak ditemukannya di mana pun.Rupanya, tak jauh dari kompleks kontrakan itu, Ruhi yang dicari oleh Serena sedang berada di restoran sederhana yang lokasinya tak jauh dari situ. Wanita berpakaian elegan, memiliki perawakan 164 sentimeter, wajah cantik dan berkulit putih sedang duduk di kursi plastik demi menunggu pesanannya.Bibi pemilik restoran yang telah akrab dengan wanita berambut panjang itu lalu menyerahkan bungkusan plastik yang dalamnya berisikan mie kwetiau basah pedas dua porsi."Ruhi, ada sate telur di dalamnya, kalian bisa makan bersama nanti." kata bibi paruh baya itu sambil tersenyum."Gratis lagi?" pekik Ruhi tertawa senang. Bibi itu pun menganggukkan kepalanya seraya ikut tertawa."Kalian sudah lama tidak datang kemari. Pasti sibuk bukan? Makan y
Serena duduk di kursi kayu di depan kamar kosnya. Udara malam cukup sejuk, membelai kulitnya yang lelah setelah seharian bekerja di pabrik. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang sudah mulai mendingin, sementara tatapannya kosong, mengarah ke langit yang dipenuhi bintang."Tumben sekali bintang kelihatan dengan jelas malam ini." Ia bergumam lirih seraya menyeruput kopi di tangan. Kesunyian menyelimuti gang sempit tempat kos Serena berada. Sesekali terdengar suara kendaraan dari jalan raya di kejauhan, tapi selebihnya hanya ada desiran angin dan suara televisi dari kamar sebelah. Serena menarik napas panjang, membiarkan dadanya naik turun dengan berat.Lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.Ia memeluk dirinya sendiri, merasakan kedinginan yang bukan hanya berasal dari udara malam, tetapi juga dari kesepian yang semakin menggigit.Di pabrik tadi, Ayu menatapnya dengan kekhawatiran yang nyata. Terus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak bisa m
Kevin menatap Serena dengan intens, matanya yang biru menyala penuh keinginan. Jemarinya menyusuri garis rahang wanita itu, mempermainkan ujung dagunya sebelum kembali menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menekan bibir Serena, kali ini lebih dalam, lebih menuntut.Serena tersentak, tapi bukan karena ketakutan—lebih kepada ketidaktahuannya bagaimana harus merespons. Kevin bukan pria yang sabar ketika menginginkan sesuatu, dan Serena bisa merasakannya dari cara bibir pria itu bergerak di atas miliknya.Tangannya terangkat, secara naluriah menyentuh dada Kevin yang bidang di balik kemeja tipisnya. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, detak jantung yang keras seakan menunjukkan betapa ia menikmati momen ini dengan penuh semangat. Kevin menarik napas di sela ciuman mereka, membiarkan hidungnya bersentuhan dengan hidung Serena. "Kau terlalu kaku. Tidak bisakah kau rileks?" gumamnya rendah, suaranya serak dan bergetar bercampur gairah. Serena tidak bisa menjawab. Ia hampir lupa
Serena tidak tahu dimana letak kesalahannya hingga dia harus mendapatkan penghinaan ini. 10 juta untuk setiap kali dia tidur dengan Kevin? Apakah menurutnya, aku telah menjadi sehina itu? Walaupun hatinya terasa sakit, seperti terkoyak dan hancur berkeping-keping, namun Serena tidak menampakkan kelemahannya untuk diketahui oleh Kevin yang teramat membencinya. Seolah penawaran tentang tubuhnya bukanlah apa-apa, Serena menunjukkan senyum mengejek ke arah Kevin yang tengah menunggu. "Untuk orang sekelas direktur sepertimu, menawarkan 10 juta setiap kali tidur denganku, apakah tidak terlalu murah? Tidakkah hal itu akan membuat hati nuranimu bersalah?"Kevin hanya terkekeh, dan dengan sepasang mata birunya yang dingin, ia pun membalas dengan hinaan yang lebih besar, "Kau harus sadar dengan nilai dirimu, Serena. Kau yang hanya wanita bekas pria lain, apakah masih bisa diberi harga tinggi selain 10 juta itu? Harga yang aku tawarkan, adalah harga yang paling masuk akal. Oh, tapi tentu saja
"Serena, ini sudah tahun ke lima kau bekerja di sini. Bapak sejujurnya senang dengan keuletan dan semangatmu selama bekerja." ucap Pak Wawan berbasa-basi.Serena merasa risih karena tiba-tiba membicarakan tentangnya. Apalagi di ruangan ini bukan cuma ada mereka berdua saja, melainkan juga ada Kevin dan kaki tangannya duduk mendengarkan. Apa tidak bisa kedua pria itu disuruh pergi dulu?"Ya, Pak, benar," jawab Serena membenarkan. Meski tak tahu mengapa Pak Wawan mengungkit hal ini, dalam benaknya ia merasakan firasat buruk yang samar."Karena sudah lima tahun, kau pun pasti tahu bahwa pinjamanmu pada perusahaan perlu dilunasi."Begitu kata hutang dibahas di sini, ekspresi Serena langsung berubah. Seketika itu ia menyela demi menghentikan manajernya ini merembet kemana-mana. "Pak Wawan, untuk masalah ini, bisakah tolong kita bicarakan berdua saja? Saya akan datang menemui bapak lagi, setelah bapak selesai dengan urusan bapak dengan tamu penting ini."Usai mengatakan itu, Serena berdiri
Di jam istirahat, atap sekolah merupakan tempat dimana para siswa yang tidak memiliki circle pertemanan setara, untuk melarikan diri. Di sana, seseorang dapat melakukan apa saja tanpa perlu resah dan gelisah diintai oleh banyak pasang mata. Salah satu siswa itu tak lain adalah Serena. Baru sebulan pindah ke sekolah elit, ia telah di-bully oleh beberapa siswi yang tak suka padanya sebab terlalu cantik dan diincar banyak para pemuda. "Kau sering sekali kulihat datang kemari."Serena yang baru saya menyelesaikan makan siangnya menoleh ke arah sumber suara. Ia melepas Airpods di telinga, dan suara musik yang tadi mengalun kini menghilang. Ia dapat mendengar dengan jelas suara seorang pemuda tampan dan jangkung yang bicara padanya. "Ah, pantas saja saat aku memanggil dirimu, kau tidak menyahut. Jadi karena ini." Kevin sedikit membungkuk demi mengambil Airpods di tangan Serena. "Kau mencariku?" Serena bertanya bingung karena selalu bertemu dengan Kevin di atap sekolah. Entah apakah itu
Blam! Pintu kamar mandi dibanting tertutup oleh Kevin. Meninggalkan Serena sendirian di sana dengan ekspresi pucat yang sulit dideskripsikan. Usai kepergian Kevin dari sana, Lina Hui yang awalnya menunggu di luar bergegas masuk. "Apakah terjadi sesuatu?" tanyanya seraya mendekat. Ia sedikit terkejut saat mendapati bahwa wanita cantik di depannya tampak berantakan. Pakaian yang dikenakan Serena terlihat tidak rapi dengan kancing teratasnya terbuka. Memperlihatkan kulit mulus yang terdapat tanda kemerahan serupa tanda ciuman. Serena mengangkat kepalanya yang tadi merunduk. Ia menatap balik pada sepasang mata khawatir itu. "Tidak, tidak ada yang terjadi," Lalu seolah keadaannya bukanlah apa-apa, ia berbalik menghadap cermin, mulai merapikan pakaiannya, mengancingkan kembali kancing yang dilepas dan kemudian, ia berbalik, berjalan melewati Lina tanpa sepatah kata. "Apakah karena direktur...." Lina tidak lanjut mengucapkannya karena merasa bahwa itu percuma. Selain sang direktur yang
"Lalu kau maunya aku harus bagaimana?" Serena bertanya balik dengan berani, "Aku tahu kau sangat membenciku sekarang. Tetapi, kau pun tidak berhak menuduhku dengan sembarangan, Kevin! "Menuduh kau bilang? Aku tidak menuduhmu!" Kevin mencengkram kedua bahu Serena kuat, membuat wanita itu mengambil langkah mundur hingga punggungnya menabrak keramik wastafel, "Jangan bilang kalau kau lupa, waktu itu kau dan keluargamu yang hina itu telah berani memeras keluargaku!" "Bukankah kau tidak ada bedanya dengan ibumu? Sangat menyukai uang hingga rela melakukan segala cara untuk mendapatkannya." Kevin mendekatkan wajahnya ke telinga Serena, lalu berbisik dengan nada penuh kebencian, "Benar-benar seperti pelacur rendahan!" Walaupun kalimat yang terlontar dari mulut Kevin begitu menyakitkan, Serena terdiam tanpa mampu membantah. Karena memang, apa yang dikatakan oleh Kevin benar. Atas nama hubungan mereka yang salah di masa lalu, ibunya tanpa tahu malu telah meminta uang yang sangat besar pada k
Kevin melirik kekacauan yang terjadi di hadapannya. Melihat Serena yang terduduk menyedihkan di atas lantai marmer dingin itu, ia hanya mengerutkan kening tapi tidak repot-repot untuk membantu wanita itu berdiri. "Pergi bawa dia ke ruanganku." suruhnya pada Lina Hui dengan suara dinginnya. Lina Hui yang belum puas dengan bentakan Yuda, hanya dapat menelan kembali kekesalannya demi mematuhi perintah tuan mudanya untuk membawa Serena pergi dari sana. "Berdirilah, aku akan membawamu ke ruangan lain." ucapnya seraya meraih lengan Serena, membantu wanita itu bangun. Selepas kepergian Serena dan Lina Hui, Kevin melirik ke samping. "Sudah merasa tenang?" "Bagaimana menurutmu?!" tanya Yuda masih emosi. "Apa yang kau lakukan, Kevin?! Menemui wanita itu lagi yang jelas-jelas jadi penyebab dirimu seperti itu? Apa kau sudah lupa akan perbuatannya dahulu padamu? Bila ya, apa perlu aku ingatkan kembali?!" "Mana mungkin aku lupa?" Dengkus Kevin dengan raut wajah mengeras. "Aku tidak akan pern
Keesokan harinya, Serena yang memiliki pekerjaan di shift Siang dengan terpaksa menelepon ketua kelompoknya. Memberitahu pada Anez, kalau dia kemungkinan akan telat datang dan minta agar jadwal pekerjaannya di alihkan menjadi shift malam. Beruntung sekali permintaannya langsung dikabulkan dan Anez sendiri yang akan bertukar shift dengannya. "Terima kasih, Nez. Maaf merepotkan." "Tidak masalah. Aku malah senang karena tidak harus begadang dan pulang pagi." Terdengar suara tawa dari seberang panggilan. Tiba saatnya jam makan Siang, Serena lantas bersiap pergi. Ia sudah menerima alamat perusahaan Kevin yang dikirimkan oleh Lina tadi malam. Jaraknya lumayan jauh dari tempatnya tinggal. Di cek dari gugel map, membutuhkan setengah jam perjalanan menggunakan taxi untuk sampai ke perusahaan Kevin. Dia terbiasa berhemat, dan untuk bertemu dengan Kevin dia telah mengeluarkan uang lebih hanya untuk menaiki kendaraan umum saja. Taxi yang telah dipesannya sudah menunggu di lantai bawah. Sebel