Keesokan harinya, Serena yang memiliki pekerjaan di shift Siang dengan terpaksa menelepon ketua kelompoknya. Memberitahu pada Anez, kalau dia kemungkinan akan telat datang dan minta agar jadwal pekerjaannya di alihkan menjadi shift malam.
Beruntung sekali permintaannya langsung dikabulkan dan Anez sendiri yang akan bertukar shift dengannya. "Terima kasih, Nez. Maaf merepotkan." "Tidak masalah. Aku malah senang karena tidak harus begadang dan pulang pagi." Terdengar suara tawa dari seberang panggilan. Tiba saatnya jam makan Siang, Serena lantas bersiap pergi. Ia sudah menerima alamat perusahaan Kevin yang dikirimkan oleh Lina tadi malam. Jaraknya lumayan jauh dari tempatnya tinggal. Di cek dari gugel map, membutuhkan setengah jam perjalanan menggunakan taxi untuk sampai ke perusahaan Kevin. Dia terbiasa berhemat, dan untuk bertemu dengan Kevin dia telah mengeluarkan uang lebih hanya untuk menaiki kendaraan umum saja. Taxi yang telah dipesannya sudah menunggu di lantai bawah. Sebelum pergi, Serena mematut dirinya di depan cermin rias. Kemeja abu-abu dengan gambar boneka di bagian saku, serta celana pensil warna biru muda. Tak lupa flat shoes warna hitam juga dipakainya. Sebelum pergi Serena mengunci pintu kamarnya. Kemudian turun menemui sang sopir taxi. Ia memberitahukan sebuah alamat yang akan membawanya ke perusahaan Kevin. Setengah jam kemudian, taxi tiba di depan perusahaan Wiranata Group Internasional. Perusahaan besar di kota Batam yang bergerak di bidang usaha Pariwisata. Cabang bisnisnya termasuk dalam berbagai bidang yang dikategorikan menjadi bisnis perhotelan, biro perjalanan, restoran kafe, kapal pesiar, dan penerbangan. Serena menatap pada plakat emas, tampak elegan yang menunjukkan kekuasaan itu sendiri. Masih menganga takjub karena kembali diingatkan dengan identitas sesungguhnya dari seorang Kevin Dominic Wiranata, sang mantan kekasih di masa sekolahnya serta laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. "Saya lihat Anda berdiri lama di sana, Mbak. Apa ada yang bisa di bantu?" Seorang satpam yang tadi berkeliling di luar gedung perusahaan menyapa Serena. "Saya ada janji temu dengan orang dalam. Nama saya Serena. Bisakah Anda membantu saya memberitahu pihak resepsionis mengenai kedatangan saya? Miss Lina Hui yang mengundang saya kemari." Mendengar nama asisten direkturnya disebut, tentu saja satpam itu memperlakukan Serena dengan lebih ramah. "Kalau Anda memang sudah memiliki janji dengan Miss Lina, Anda bisa langsung masuk ke dalam. Beritahukan saja pada resepsionis agar dia membantu Anda." Satpam menggiring Serena agar masuk. Pria tinggi dan berbadan kekar itu bahkan mengantar Serena ke meja resepsionis dan menyatakan maksud kedatangan Serena ke perusahaan. "Tunggu sebentar, saya akan hubungi Miss Lina terlebih dulu." beritahu wanita di meja resepsionis dengan senyum ramahnya. "Saya tinggal dulu bertugas kembali." Kata satpam baik hati itu pada kedua wanita di dekatnya. "Terima kasih atas bantuannya." ujar Serena merasa terbantu. Tak lama kemudian, seorang pria keluar dari dalam lift. Ia disuruh oleh Miss Lina agar membawa Serena ke lantai atas. Serena ikut saja ke mana pun dia dibawa. Tidak ada rasa takut, karena dia tahu mustahil Kevin berbuat aneh-aneh di perusahaannya. "Ini adalah lantai departemen sekretaris direktur. Anda berjalan lurus saja, di ruangan ketiga, Miss Lina telah menunggu. Beliau tidak bisa datang menjemput Anda langsung karena baru saja selesai rapat. Tidak keberatan apabila saya tinggal?" Serena menggelengkan kepalanya, merasa tak enak hati karena telah mengganggu orang-orang sibuk di perusahaan. "Terima kasih, saya bisa sendiri dari sini." Pria itu mengangguk. Dia pergi dari sana dengan banyak pertanyaan terlintas dalam kepalanya. Seolah bertanya-tanya, siapa kiranya wanita cantik yang memiliki tampilan tak modis itu. Datang ke perusahaan ternama dan paling terkenal di seluruh Indonesia, tapi hanya mengenakan pakaian kasual. Pasti seseorang yang ingin mengemis pekerjaan melalui jalur belakang, pikir pria itu sinis. Serena yang tidak tahu kehadirannya telah menjadi perbincangan gosip di kalangan karyawan, mengikuti instruksi pria tadi untuk bertemu dengan Lina Hui. "Ruangan ketiga." gumamnya terus saat berjalan melewati setiap ruangan tertutup. Dikarenakan seluruh ruangan memiliki kaca transparan, sosoknya yang tak biasa mendapat lirikan dari beberapa orang yang melihatnya. "Siapa itu?" "Apa mungkin karyawan baru?" "Bodoh, kau tak lihat penampilannya?" "Mungkin kerabat direktur." Orang lain yang punya pikiran positif memiliki pendapat berbeda. Sontak saja beberapa rekannya melihatnya dengan pandangan menghina. Sesampainya Serena di ruangan yang dimaksud, ia mengetuk pintu lebih dulu. Tak lama kemudian, pintu itu dibuka. Dan sosok yang tak diharapkan itu adalah orang yang menyambut kedatangannya. "Kau?!" Serena tak kalah terkejutnya dengan orang itu. Ia bahkan tanpa sadar mengambil langkah mundur karena tak menyangka orang ini kembali ditemuinya. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Yuda yang terkejut, bertanya marah mendapati Serena, seseorang yang dia benci dan tak mau dilihat sosoknya tiba-tiba muncul di perusahaan. Perusahaan sepupunya pula. Serena yang tidak mengharapkan pertemuan itu kembali, berdiri agak gemetar. Ia merapatkan bibirnya, tidak menjawab walau ekspresi di hadapannya telah berubah menakutkan. "T-tidak ada hubungannya denganmu," jawabnya singkat dengan tatapan menghindar. Ia tidak mau berlama-lama tinggal di sana, dan memutuskan untuk kembali melanjutkan langkah, namun sebelum dia dapat mengambil satu langkah ke depan, sebuah tangan terulur dan lehernya dicekik hingga membuatnya terdorong ke belakang, membentur dinding. "Apa peringatanku yang dulu belum cukup membuatmu takut?!" Yuda menekan kuat leher rapuh dalam genggamannya di mana wajah Serena berubah merah serta kesusahan menarik napas. Jari-jari Serena bergerak liar, mencakar pergelangan tangan Yuda yang kuat berotot agar melonggarkan cengkraman mematikannya pada lehernya. Kebencian di antara mereka berdua memang sudah mencapai puncaknya. Hubungan yang rusak sedari awal, begitu sulit untuk disembuhkan kembali meski hanya dengan obrolan singkat saja. "Yuda?!" Lina yang mendengar suara keributan di luar, berinisiatif keluar untuk melihat. Tak disangka begitu dia keluar dari ruangan, ia mendapati pemandangan mengerikan di depan matanya sendiri. Buru-buru ia mengambil langkah panjang, lalu memeluk pinggang Yuda dan menariknya menjauh dari Serena. Uhuk uhuk uhuk! Setelah cengkraman di lehernya telah lepas, oksigen seketika itu terisi kembali ke dalam paru-paru. Serena terbatuk-batuk hebat seraya memegangi lehernya yang luar biasa menyakitkan. Ketakutan karena lagi-lagi di cekik lehernya oleh orang yang sama membuat kedua kakinya jadi lemas tak bertenaga. Sepasang mata berwarna cokelat jernih itu berkaca-kaca. Bibirnya kembali di gigit kuat demi menenangkan tubuhnya yang bergetar keras. "Apa kau gila?!" Lina berkata marah. Ingin rasanya ia memberikan tamparan di muka Yuda ketika dilihatnya tidak ada rasa bersalah dan hanya ada tatapan dingin serta tak peduli di sana. "Bagaimana bisa kau melakukan itu padanya?! Di perusahaan?!" "Kenapa aku tidak bisa melakukan itu padanya?!" Yuda menyahut sama marahnya. "Wanita murahan sepertinya terlalu menjijikkan berada di hadapanku!" "Lina Hui, biarkan aku bertanya padamu. Kenapa dia ada di sini? Untuk apa? Apakah Kevin tahu soal ini? Jika iya, apa yang kalian berdua lakukan?!" "Semua yang dilakukan oleh Tuan Muda, tidak ada hubungannya denganmu! Mengapa pula kau repot-repot ingin tahu segala?! Dari pada kau ikut campur urusan Tuan Muda, lebih baik kau urus saja masalahmu sendiri!" Lina menjawab sama kerasnya. "Dia adalah sepupuku! Apa kau pikir aku akan membiarkan dirinya kembali bersama dengan perempuan ular ini?! Setelah apa yang dia lakukan pada Kevin di masa lalu?! Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya sampai-sampai mau menerima kehadiran wanita busuk ini lagi!" Seru Yuda berkata lantang. Bersamaan dengan suara kemarahannya, muncul Kevin dari ruangannya. Pria itu hanya mengenakan vest dan kemeja, serta celana kain berbahan lembut dan suara sepatu kulitnya yang mahal menimbulkan gema.Kevin melirik kekacauan yang terjadi di hadapannya. Melihat Serena yang terduduk menyedihkan di atas lantai marmer dingin itu, ia hanya mengerutkan kening tapi tidak repot-repot untuk membantu wanita itu berdiri. "Pergi bawa dia ke ruanganku." suruhnya pada Lina Hui dengan suara dinginnya. Lina Hui yang belum puas dengan bentakan Yuda, hanya dapat menelan kembali kekesalannya demi mematuhi perintah tuan mudanya untuk membawa Serena pergi dari sana. "Berdirilah, aku akan membawamu ke ruangan lain." ucapnya seraya meraih lengan Serena, membantu wanita itu bangun. Selepas kepergian Serena dan Lina Hui, Kevin melirik ke samping. "Sudah merasa tenang?" "Bagaimana menurutmu?!" tanya Yuda masih emosi. "Apa yang kau lakukan, Kevin?! Menemui wanita itu lagi yang jelas-jelas jadi penyebab dirimu seperti itu? Apa kau sudah lupa akan perbuatannya dahulu padamu? Bila ya, apa perlu aku ingatkan kembali?!" "Mana mungkin aku lupa?" Dengkus Kevin dengan raut wajah mengeras. "Aku tidak akan pern
"Lalu kau maunya aku harus bagaimana?" Serena bertanya balik dengan berani, "Aku tahu kau sangat membenciku sekarang. Tetapi, kau pun tidak berhak menuduhku dengan sembarangan, Kevin! "Menuduh kau bilang? Aku tidak menuduhmu!" Kevin mencengkram kedua bahu Serena kuat, membuat wanita itu mengambil langkah mundur hingga punggungnya menabrak keramik wastafel, "Jangan bilang kalau kau lupa, waktu itu kau dan keluargamu yang hina itu telah berani memeras keluargaku!" "Bukankah kau tidak ada bedanya dengan ibumu? Sangat menyukai uang hingga rela melakukan segala cara untuk mendapatkannya." Kevin mendekatkan wajahnya ke telinga Serena, lalu berbisik dengan nada penuh kebencian, "Benar-benar seperti pelacur rendahan!" Walaupun kalimat yang terlontar dari mulut Kevin begitu menyakitkan, Serena terdiam tanpa mampu membantah. Karena memang, apa yang dikatakan oleh Kevin benar. Atas nama hubungan mereka yang salah di masa lalu, ibunya tanpa tahu malu telah meminta uang yang sangat besar pada k
Blam! Pintu kamar mandi dibanting tertutup oleh Kevin. Meninggalkan Serena sendirian di sana dengan ekspresi pucat yang sulit dideskripsikan. Usai kepergian Kevin dari sana, Lina Hui yang awalnya menunggu di luar bergegas masuk. "Apakah terjadi sesuatu?" tanyanya seraya mendekat. Ia sedikit terkejut saat mendapati bahwa wanita cantik di depannya tampak berantakan. Pakaian yang dikenakan Serena terlihat tidak rapi dengan kancing teratasnya terbuka. Memperlihatkan kulit mulus yang terdapat tanda kemerahan serupa tanda ciuman. Serena mengangkat kepalanya yang tadi merunduk. Ia menatap balik pada sepasang mata khawatir itu. "Tidak, tidak ada yang terjadi," Lalu seolah keadaannya bukanlah apa-apa, ia berbalik menghadap cermin, mulai merapikan pakaiannya, mengancingkan kembali kancing yang dilepas dan kemudian, ia berbalik, berjalan melewati Lina tanpa sepatah kata. "Apakah karena direktur...." Lina tidak lanjut mengucapkannya karena merasa bahwa itu percuma. Selain sang direktur yang
Di jam istirahat, atap sekolah merupakan tempat dimana para siswa yang tidak memiliki circle pertemanan setara, untuk melarikan diri. Di sana, seseorang dapat melakukan apa saja tanpa perlu resah dan gelisah diintai oleh banyak pasang mata. Salah satu siswa itu tak lain adalah Serena. Baru sebulan pindah ke sekolah elit, ia telah di-bully oleh beberapa siswi yang tak suka padanya sebab terlalu cantik dan diincar banyak para pemuda. "Kau sering sekali kulihat datang kemari."Serena yang baru saya menyelesaikan makan siangnya menoleh ke arah sumber suara. Ia melepas Airpods di telinga, dan suara musik yang tadi mengalun kini menghilang. Ia dapat mendengar dengan jelas suara seorang pemuda tampan dan jangkung yang bicara padanya. "Ah, pantas saja saat aku memanggil dirimu, kau tidak menyahut. Jadi karena ini." Kevin sedikit membungkuk demi mengambil Airpods di tangan Serena. "Kau mencariku?" Serena bertanya bingung karena selalu bertemu dengan Kevin di atap sekolah. Entah apakah itu
"Serena, ini sudah tahun ke lima kau bekerja di sini. Bapak sejujurnya senang dengan keuletan dan semangatmu selama bekerja." ucap Pak Wawan berbasa-basi.Serena merasa risih karena tiba-tiba membicarakan tentangnya. Apalagi di ruangan ini bukan cuma ada mereka berdua saja, melainkan juga ada Kevin dan kaki tangannya duduk mendengarkan. Apa tidak bisa kedua pria itu disuruh pergi dulu?"Ya, Pak, benar," jawab Serena membenarkan. Meski tak tahu mengapa Pak Wawan mengungkit hal ini, dalam benaknya ia merasakan firasat buruk yang samar."Karena sudah lima tahun, kau pun pasti tahu bahwa pinjamanmu pada perusahaan perlu dilunasi."Begitu kata hutang dibahas di sini, ekspresi Serena langsung berubah. Seketika itu ia menyela demi menghentikan manajernya ini merembet kemana-mana. "Pak Wawan, untuk masalah ini, bisakah tolong kita bicarakan berdua saja? Saya akan datang menemui bapak lagi, setelah bapak selesai dengan urusan bapak dengan tamu penting ini."Usai mengatakan itu, Serena berdiri
Serena tidak tahu dimana letak kesalahannya hingga dia harus mendapatkan penghinaan ini. 10 juta untuk setiap kali dia tidur dengan Kevin? Apakah menurutnya, aku telah menjadi sehina itu? Walaupun hatinya terasa sakit, seperti terkoyak dan hancur berkeping-keping, namun Serena tidak menampakkan kelemahannya untuk diketahui oleh Kevin yang teramat membencinya. Seolah penawaran tentang tubuhnya bukanlah apa-apa, Serena menunjukkan senyum mengejek ke arah Kevin yang tengah menunggu. "Untuk orang sekelas direktur sepertimu, menawarkan 10 juta setiap kali tidur denganku, apakah tidak terlalu murah? Tidakkah hal itu akan membuat hati nuranimu bersalah?"Kevin hanya terkekeh, dan dengan sepasang mata birunya yang dingin, ia pun membalas dengan hinaan yang lebih besar, "Kau harus sadar dengan nilai dirimu, Serena. Kau yang hanya wanita bekas pria lain, apakah masih bisa diberi harga tinggi selain 10 juta itu? Harga yang aku tawarkan, adalah harga yang paling masuk akal. Oh, tapi tentu saja
Kevin menatap Serena dengan intens, matanya yang biru menyala penuh keinginan. Jemarinya menyusuri garis rahang wanita itu, mempermainkan ujung dagunya sebelum kembali menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menekan bibir Serena, kali ini lebih dalam, lebih menuntut.Serena tersentak, tapi bukan karena ketakutan—lebih kepada ketidaktahuannya bagaimana harus merespons. Kevin bukan pria yang sabar ketika menginginkan sesuatu, dan Serena bisa merasakannya dari cara bibir pria itu bergerak di atas miliknya.Tangannya terangkat, secara naluriah menyentuh dada Kevin yang bidang di balik kemeja tipisnya. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, detak jantung yang keras seakan menunjukkan betapa ia menikmati momen ini dengan penuh semangat. Kevin menarik napas di sela ciuman mereka, membiarkan hidungnya bersentuhan dengan hidung Serena. "Kau terlalu kaku. Tidak bisakah kau rileks?" gumamnya rendah, suaranya serak dan bergetar bercampur gairah. Serena tidak bisa menjawab. Ia hampir lupa
Serena duduk di kursi kayu di depan kamar kosnya. Udara malam cukup sejuk, membelai kulitnya yang lelah setelah seharian bekerja di pabrik. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang sudah mulai mendingin, sementara tatapannya kosong, mengarah ke langit yang dipenuhi bintang."Tumben sekali bintang kelihatan dengan jelas malam ini." Ia bergumam lirih seraya menyeruput kopi di tangan. Kesunyian menyelimuti gang sempit tempat kos Serena berada. Sesekali terdengar suara kendaraan dari jalan raya di kejauhan, tapi selebihnya hanya ada desiran angin dan suara televisi dari kamar sebelah. Serena menarik napas panjang, membiarkan dadanya naik turun dengan berat.Lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.Ia memeluk dirinya sendiri, merasakan kedinginan yang bukan hanya berasal dari udara malam, tetapi juga dari kesepian yang semakin menggigit.Di pabrik tadi, Ayu menatapnya dengan kekhawatiran yang nyata. Terus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak bisa m
Serena duduk di kursi kayu di depan kamar kosnya. Udara malam cukup sejuk, membelai kulitnya yang lelah setelah seharian bekerja di pabrik. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang sudah mulai mendingin, sementara tatapannya kosong, mengarah ke langit yang dipenuhi bintang."Tumben sekali bintang kelihatan dengan jelas malam ini." Ia bergumam lirih seraya menyeruput kopi di tangan. Kesunyian menyelimuti gang sempit tempat kos Serena berada. Sesekali terdengar suara kendaraan dari jalan raya di kejauhan, tapi selebihnya hanya ada desiran angin dan suara televisi dari kamar sebelah. Serena menarik napas panjang, membiarkan dadanya naik turun dengan berat.Lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.Ia memeluk dirinya sendiri, merasakan kedinginan yang bukan hanya berasal dari udara malam, tetapi juga dari kesepian yang semakin menggigit.Di pabrik tadi, Ayu menatapnya dengan kekhawatiran yang nyata. Terus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak bisa m
Kevin menatap Serena dengan intens, matanya yang biru menyala penuh keinginan. Jemarinya menyusuri garis rahang wanita itu, mempermainkan ujung dagunya sebelum kembali menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menekan bibir Serena, kali ini lebih dalam, lebih menuntut.Serena tersentak, tapi bukan karena ketakutan—lebih kepada ketidaktahuannya bagaimana harus merespons. Kevin bukan pria yang sabar ketika menginginkan sesuatu, dan Serena bisa merasakannya dari cara bibir pria itu bergerak di atas miliknya.Tangannya terangkat, secara naluriah menyentuh dada Kevin yang bidang di balik kemeja tipisnya. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, detak jantung yang keras seakan menunjukkan betapa ia menikmati momen ini dengan penuh semangat. Kevin menarik napas di sela ciuman mereka, membiarkan hidungnya bersentuhan dengan hidung Serena. "Kau terlalu kaku. Tidak bisakah kau rileks?" gumamnya rendah, suaranya serak dan bergetar bercampur gairah. Serena tidak bisa menjawab. Ia hampir lupa
Serena tidak tahu dimana letak kesalahannya hingga dia harus mendapatkan penghinaan ini. 10 juta untuk setiap kali dia tidur dengan Kevin? Apakah menurutnya, aku telah menjadi sehina itu? Walaupun hatinya terasa sakit, seperti terkoyak dan hancur berkeping-keping, namun Serena tidak menampakkan kelemahannya untuk diketahui oleh Kevin yang teramat membencinya. Seolah penawaran tentang tubuhnya bukanlah apa-apa, Serena menunjukkan senyum mengejek ke arah Kevin yang tengah menunggu. "Untuk orang sekelas direktur sepertimu, menawarkan 10 juta setiap kali tidur denganku, apakah tidak terlalu murah? Tidakkah hal itu akan membuat hati nuranimu bersalah?"Kevin hanya terkekeh, dan dengan sepasang mata birunya yang dingin, ia pun membalas dengan hinaan yang lebih besar, "Kau harus sadar dengan nilai dirimu, Serena. Kau yang hanya wanita bekas pria lain, apakah masih bisa diberi harga tinggi selain 10 juta itu? Harga yang aku tawarkan, adalah harga yang paling masuk akal. Oh, tapi tentu saja
"Serena, ini sudah tahun ke lima kau bekerja di sini. Bapak sejujurnya senang dengan keuletan dan semangatmu selama bekerja." ucap Pak Wawan berbasa-basi.Serena merasa risih karena tiba-tiba membicarakan tentangnya. Apalagi di ruangan ini bukan cuma ada mereka berdua saja, melainkan juga ada Kevin dan kaki tangannya duduk mendengarkan. Apa tidak bisa kedua pria itu disuruh pergi dulu?"Ya, Pak, benar," jawab Serena membenarkan. Meski tak tahu mengapa Pak Wawan mengungkit hal ini, dalam benaknya ia merasakan firasat buruk yang samar."Karena sudah lima tahun, kau pun pasti tahu bahwa pinjamanmu pada perusahaan perlu dilunasi."Begitu kata hutang dibahas di sini, ekspresi Serena langsung berubah. Seketika itu ia menyela demi menghentikan manajernya ini merembet kemana-mana. "Pak Wawan, untuk masalah ini, bisakah tolong kita bicarakan berdua saja? Saya akan datang menemui bapak lagi, setelah bapak selesai dengan urusan bapak dengan tamu penting ini."Usai mengatakan itu, Serena berdiri
Di jam istirahat, atap sekolah merupakan tempat dimana para siswa yang tidak memiliki circle pertemanan setara, untuk melarikan diri. Di sana, seseorang dapat melakukan apa saja tanpa perlu resah dan gelisah diintai oleh banyak pasang mata. Salah satu siswa itu tak lain adalah Serena. Baru sebulan pindah ke sekolah elit, ia telah di-bully oleh beberapa siswi yang tak suka padanya sebab terlalu cantik dan diincar banyak para pemuda. "Kau sering sekali kulihat datang kemari."Serena yang baru saya menyelesaikan makan siangnya menoleh ke arah sumber suara. Ia melepas Airpods di telinga, dan suara musik yang tadi mengalun kini menghilang. Ia dapat mendengar dengan jelas suara seorang pemuda tampan dan jangkung yang bicara padanya. "Ah, pantas saja saat aku memanggil dirimu, kau tidak menyahut. Jadi karena ini." Kevin sedikit membungkuk demi mengambil Airpods di tangan Serena. "Kau mencariku?" Serena bertanya bingung karena selalu bertemu dengan Kevin di atap sekolah. Entah apakah itu
Blam! Pintu kamar mandi dibanting tertutup oleh Kevin. Meninggalkan Serena sendirian di sana dengan ekspresi pucat yang sulit dideskripsikan. Usai kepergian Kevin dari sana, Lina Hui yang awalnya menunggu di luar bergegas masuk. "Apakah terjadi sesuatu?" tanyanya seraya mendekat. Ia sedikit terkejut saat mendapati bahwa wanita cantik di depannya tampak berantakan. Pakaian yang dikenakan Serena terlihat tidak rapi dengan kancing teratasnya terbuka. Memperlihatkan kulit mulus yang terdapat tanda kemerahan serupa tanda ciuman. Serena mengangkat kepalanya yang tadi merunduk. Ia menatap balik pada sepasang mata khawatir itu. "Tidak, tidak ada yang terjadi," Lalu seolah keadaannya bukanlah apa-apa, ia berbalik menghadap cermin, mulai merapikan pakaiannya, mengancingkan kembali kancing yang dilepas dan kemudian, ia berbalik, berjalan melewati Lina tanpa sepatah kata. "Apakah karena direktur...." Lina tidak lanjut mengucapkannya karena merasa bahwa itu percuma. Selain sang direktur yang
"Lalu kau maunya aku harus bagaimana?" Serena bertanya balik dengan berani, "Aku tahu kau sangat membenciku sekarang. Tetapi, kau pun tidak berhak menuduhku dengan sembarangan, Kevin! "Menuduh kau bilang? Aku tidak menuduhmu!" Kevin mencengkram kedua bahu Serena kuat, membuat wanita itu mengambil langkah mundur hingga punggungnya menabrak keramik wastafel, "Jangan bilang kalau kau lupa, waktu itu kau dan keluargamu yang hina itu telah berani memeras keluargaku!" "Bukankah kau tidak ada bedanya dengan ibumu? Sangat menyukai uang hingga rela melakukan segala cara untuk mendapatkannya." Kevin mendekatkan wajahnya ke telinga Serena, lalu berbisik dengan nada penuh kebencian, "Benar-benar seperti pelacur rendahan!" Walaupun kalimat yang terlontar dari mulut Kevin begitu menyakitkan, Serena terdiam tanpa mampu membantah. Karena memang, apa yang dikatakan oleh Kevin benar. Atas nama hubungan mereka yang salah di masa lalu, ibunya tanpa tahu malu telah meminta uang yang sangat besar pada k
Kevin melirik kekacauan yang terjadi di hadapannya. Melihat Serena yang terduduk menyedihkan di atas lantai marmer dingin itu, ia hanya mengerutkan kening tapi tidak repot-repot untuk membantu wanita itu berdiri. "Pergi bawa dia ke ruanganku." suruhnya pada Lina Hui dengan suara dinginnya. Lina Hui yang belum puas dengan bentakan Yuda, hanya dapat menelan kembali kekesalannya demi mematuhi perintah tuan mudanya untuk membawa Serena pergi dari sana. "Berdirilah, aku akan membawamu ke ruangan lain." ucapnya seraya meraih lengan Serena, membantu wanita itu bangun. Selepas kepergian Serena dan Lina Hui, Kevin melirik ke samping. "Sudah merasa tenang?" "Bagaimana menurutmu?!" tanya Yuda masih emosi. "Apa yang kau lakukan, Kevin?! Menemui wanita itu lagi yang jelas-jelas jadi penyebab dirimu seperti itu? Apa kau sudah lupa akan perbuatannya dahulu padamu? Bila ya, apa perlu aku ingatkan kembali?!" "Mana mungkin aku lupa?" Dengkus Kevin dengan raut wajah mengeras. "Aku tidak akan pern
Keesokan harinya, Serena yang memiliki pekerjaan di shift Siang dengan terpaksa menelepon ketua kelompoknya. Memberitahu pada Anez, kalau dia kemungkinan akan telat datang dan minta agar jadwal pekerjaannya di alihkan menjadi shift malam. Beruntung sekali permintaannya langsung dikabulkan dan Anez sendiri yang akan bertukar shift dengannya. "Terima kasih, Nez. Maaf merepotkan." "Tidak masalah. Aku malah senang karena tidak harus begadang dan pulang pagi." Terdengar suara tawa dari seberang panggilan. Tiba saatnya jam makan Siang, Serena lantas bersiap pergi. Ia sudah menerima alamat perusahaan Kevin yang dikirimkan oleh Lina tadi malam. Jaraknya lumayan jauh dari tempatnya tinggal. Di cek dari gugel map, membutuhkan setengah jam perjalanan menggunakan taxi untuk sampai ke perusahaan Kevin. Dia terbiasa berhemat, dan untuk bertemu dengan Kevin dia telah mengeluarkan uang lebih hanya untuk menaiki kendaraan umum saja. Taxi yang telah dipesannya sudah menunggu di lantai bawah. Sebel