Naya datang lagi ke rumah sakit. Dengan alasan akan makan siang bersama dengan Fely. Padahal dia datang untuk melihat Ghiyas lagi. Dia memikirkan apa yang bisa menarik perhatian Ghiyas.
Jika kopi lagi, mungkin Ghiyas tak akan menegurnya lagi. Sesuatu yang bisa membuat Ghiyas menegurnya selanjutnya. Dia bahkan mencari tahu di internet untuk itu. Dan dia menemukan soda, yang berisiko membuatnya melahirkan secara prematur. Toh, dia tak akan meminumnya.
Naya hanya memegangi kaleng minuman bersoda di kafetaria. Dan dia akhirnya melihat Ghiyas bersama dengan Rendi, mengobrol santai sambil lewat ke arahnya. Naya mencoba mencari perhatian dengan membuka kaleng soda tersebut.
Sayangnya, Ghiyas tak melihatnya dan justru menghampiri perawat yang kemarin. Mereka saling sapa dengan senyuman di wajah mereka dan kemudian pergi bersama.
Itu membuat Naya menggigit bibirnya dan menaruh minuman itu dengan perasaan kecewa.
***
Dan belakangan ini, Ghiyas memang
Naya mengerjapkan matanya beberapa kali. Dan lihatnya sosok Ghiyas yang kini duduk di dekatnya. Naya mencium aroma kayu putih, dan melihat tangan Ghiyas yang sedang memeganginya di dekat wajahnya. Naya melihat ke sekeliling, tempat yang asing baginya.Melihat Naya yang sadar, Ghiyas mengambilkan teh manis yang hangat, yang disediakan oleh para staf di sana. Ghiyas mendekatkan gelasnya mendekati Naya. Naya menatap Ghiyas sejenak sebelum dia meminumnya lewat sedotan.Tangan Ghiyas terulur untuk memegangi pipinya. Dan dia merasa pipi Naya sangat dingin saat itu.“Lain kali jangan keseringan bergadang! Kamu bisa kelelahan akut yang nanti berefek pada janinnya yang ikut melemah!” ujar Ghiyas sambil menaruh gelas berisi teh hangat.Setelah Naya merasa baikan, Ghiyas mengantarkan Naya untuk pulang. Naya tidak menggunakan mobil ke supermarket karena jaraknya cukup dekat dengan apartemennya.Ghiyas mengantarkan Naya dengan mobilnya, sekalian dia
Naya berjalan menuju ke perusahaan di mana dia diterima. Letaknya cukup jauh dari apartemennya hari itu. Dan Naya tampak sangat rapi untuk bekerja. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatannya.Begitu memasuki gedung yang dia tuju, Naya memperhatikan orang-orang di sekitarnya yang mulai menatap ke arahnya, mungkin karena dia asing bagi mereka. Dan Naya segera memasuki kantor atasannya untuk segera melapor.Dan tampak seorang pria dengan tubuh gempal menyambutnya di belakang meja. Dia tersenyum menatap Naya yang tampak agak ragu saat melihat senyumannya. Mengerikan sekali.“Selamat pagi, saya Naya, yang mendapatkan surel dari Anda—Tuan Gerry tadi malam,” sapa Naya.“Ah, iya. Kamu Naya itu. Kamu menyatakan jika kamu sedang mengandung sebagai kekurangan kamu. Tapi yang saya lihat, itu justru kelebihan kamu.” Pria itu terkekeh kecil sambil memperhatikan tubuh Naya yang memiliki postur tegap dengan perutnya yang tengah menonjol itu.
Fely tak pernah melihat Naya lagi di sekitar apartemen. Karena jaraknya hanya dua gedung berbeda, biasanya Fely lihat Naya. Dia seolah menghilang beberapa hari ini setelah mereka bertengkar.Biasanya dia akan bertemu Naya di pagi atau sore. Naya selalu menunggunya, mungkin karena kesepian. Kini, bahkan Naya tak muncul selama beberapa hari. Membuatnya agak khawatir namun tetap enggan menemui Naya langsung ke apartemen, lebih berharap berpapasan.Begitu pula yang dirasakan Ghiyas, Rendi, Kevin dan Gabby. Setidaknya mereka akan melihat Naya untuk bertemu dengan Fely atau duduk di taman seorang diri. Dia tak terlihat lagi.“Tumben enggak ada yang nguntit lo.” Rendi melirik ke arah Ghiyas.“Mungkin dia menyerah dan pulang ke rumah orang tuanya,” jawab Ghiyas agak santai.Gabby dan Kevin yang sedang berjalan ke arah mereka juga tampaknya ingin menanyakan tentang Naya. Membuat Ghiyas hendak menghindar, namun Gabby langsung menahann
Dipukuli dan ditendang, ini seolah benar-benar hukuman yang Tuhan berikan untuk Naya. Dan yang bisa Naya lakukan di sana hanya meringkuk kecil dengan meringkuk, berusaha melindungi perutnya. Dia tak ingin bayinya turut kenapa-napa. Hanya ini satu-satunya harapan dirinya kembali pada Ghiyas, walau membutuhkan waktu yang cukup lama.Dengan wajahnya yang bonyok, bengkak sana sini dengan darah di sekitar wajahnya, Naya berjalan dengan terseok-seok mencari apartemennya. Dia tak tahu itu di mana. Tempatnya seperti sangat jauh dari tempatnya berasal. Belum lagi pandangannya samar malam itu karena pening.Yang dia cari sekarang hanya satu, bantuan. Namun kelihatannya tak satu pun orang di trotoar hari itu. Dan tak ada yang mau memberikannya tumpangan untuk pulang. Hingga sebuah mobil polisi berhenti di dekatnya dan menatapi Naya yang kelihatan baru dirampok sekaligus dianiaya.Polisi itu membawa Naya ke rumah sakit dengan segera. Dan sialnya, rumah sakit itu tempat sahabatnya bekerja, tempat
Naya merapikan tempat tidurnya. Dia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Dan enggan jika harus bertemu dengan Ghiyas, barang kali Gabby tetap memberitahu keadaannya pada Ghiyas nanti. Walau sebenarnya dia juga ingin mendapatkan perhatian Ghiyas di saat seperti ini.Naya berjalan keluar sore itu. Bisa dibilang, dia kabur. Namun, begitu dia berbelok ke lorong lain, dia berpapasan dengan seorang dokter. Untungnya mereka tak bertabrakan. Meski Naya cukup siaga untuk langsung melindungi perutnya. Spontan tangannya melingkar di perutnya.Naya mendongkrak dan menatap dokter itu. Ghiyas. Dan Ghiyas juga cukup terkejut karena hampir menabrak Naya. Ghiyas melihat bagaimana wajah Naya yang bonyok. Dia kaget, melihat sesuatu telah terjadi menimpa Naya, entah kapan.Ghiyas melihat bagaimana Naya siaga dengan melindungi perutnya. Dan Naya kemudian menunduk sambil membiarkan sebagian rambutnya tergerai untuk menutup wajahnya. Dia mengambil jalur sebelah kiri dan berjalan den
Malam itu, Naya pergi dari apartemennya untuk membeli makan malam. Dia berjalan keluar apartemennya. Tanpa dia sadari jika tak lama kemudian Fely datang untuk menjenguknya sesuai permintaan Gabby. Naya mendekati salah satu restoran ayam terdekat dari apartemennya.Restoran itu agak masuk ke dalam gang. Biasanya ramai, namun malam itu tampak agak sepi. Dia memasuki restoran ayam itu dan mendekati tempat pemesanan makanan. Dia pun memesan sebuah paket yang sedang dia inginkan untuk makan malamnya. Keinginan bayinya.Setelah memesan dan membayar pesanannya, Naya menunggu sebentar hingga makanannya siap. Naya segera menerimanya dan hendak pulang untuk memakannya di apartemen. Namun, begitu dia keluar dari restoran ayam, Naya terdiam sambil menatap orang yang hendak masuk.“Naya?” Gerry, atasannya yang sudah mencarinya seharian ini karena tidak masuk kerja.“Dari mana saja kamu, sampai tidak masuk hari ini? Padahal saya menunggu kamu, loh.&rd
“Baik, saya ke sana sekarang.”Ghiyas mendapatkan panggilan jika seseorang mengalami kecelakaan dan membutuhkan operasi darurat segera. Membuat Ghiyas segera pergi ke rumah sakit sebelum pasiennya tiba di sana.Ghiyas berlari di koridor sambil menggunakan jas putihnya. Dia menuju ke UGD, hendak menyambut pasiennya daruratnya malam itu. Ghiyas kemudian melihat Gabby yang sudah ada di sana juga.“Lo enggak jadi menemui Naya malam ini dan tetap memilih ketemu sama seseorang itu?” tanya Gabby sambil melipat tangannya dan menatapi ambulans yang mulai mendekat.“Seseorang itu lebih penting. Gue bakal ketemu sama Naya segera, kok. Gue yakin sekarang, kalau anak yang dikandung Naya anak gue. Tapi untuk malam ini, gue bakal menjadi seorang dokter yang baik dulu, sebelum jadi suami yang baik,” ucap Ghiyas sambil tersenyum.“Tiba-tiba?” Gabby mengernyitkan dahinya.Ghiyas hanya tersenyum dan melihat ambul
Gabby berjalan ke luar ruangan. Dan dia langsung disambut oleh Kevin dan Rendi di luar sana. Dia kemudian menatap ke arah Rendi dengan tatapan tajam. Seolah Rendi baru melakukan kesalahan.“Apa? Gimana keadaan di dalam? Ghiyas fokus, kan?” tanya Rendi.“Golongan darah lo apa?” tanya Gabby.“O Rh negatif?” Rendi langsung menjawab sambil mengernyitkan dahinya.“Gue butuh darah lo. Naya butuh darah lo. Dia pendarahan hebat.” Gabby menatap Rendi.Rendi langsung menggelengkan kepalanya. “Kenapa gue harus ngasih darah gue sama Naya?”“Karena ini permintaan Ghiyas. Ghiyas butuh darah lo, buat pasien sekaligus istrinya. Jangan mandang Naya sebagai istri Ghiyas dulu sekarang. Pandang dia selayaknya pasien. Lo dokter, bukan? Kalau iya, harusnya lo mau melakukan apa pun demi pasien lo, kan?”“Kalau itu bukan Naya, maka akan gue lakukan.”“Termasuk ka