Gabby berjalan ke luar ruangan. Dan dia langsung disambut oleh Kevin dan Rendi di luar sana. Dia kemudian menatap ke arah Rendi dengan tatapan tajam. Seolah Rendi baru melakukan kesalahan.
“Apa? Gimana keadaan di dalam? Ghiyas fokus, kan?” tanya Rendi.
“Golongan darah lo apa?” tanya Gabby.
“O Rh negatif?” Rendi langsung menjawab sambil mengernyitkan dahinya.
“Gue butuh darah lo. Naya butuh darah lo. Dia pendarahan hebat.” Gabby menatap Rendi.
Rendi langsung menggelengkan kepalanya. “Kenapa gue harus ngasih darah gue sama Naya?”
“Karena ini permintaan Ghiyas. Ghiyas butuh darah lo, buat pasien sekaligus istrinya. Jangan mandang Naya sebagai istri Ghiyas dulu sekarang. Pandang dia selayaknya pasien. Lo dokter, bukan? Kalau iya, harusnya lo mau melakukan apa pun demi pasien lo, kan?”
“Kalau itu bukan Naya, maka akan gue lakukan.”
“Termasuk ka
Ghiyas memandang Naya yang masih terbaring di ruang rawat. Dia belum kunjung bangun pasca operasi yang dia jalani tadi malam. Seharusnya Naya sudah bangun pagi ini. Namun, hingga siang hari, dia belum kunjung bangun dan masih berada di alam bawah sadarnya.Orang tua Naya sudah di sini juga. Membuat Ghiyas agak ragu menemui mereka. Lantaran dia sendiri merasa bersalah sekarang. Naya tanggung jawabnya. Walau memang, tanggung jawab orang tuanya juga yang mengizinkan Naya kembali ke sini dan tinggal seorang diri.“Agi, Naya kapan bangun? Orang tuanya Naya kayaknya cemas banget dari tadi,” ucap Ratih.“Harusnya pagi ini juga udah bangun. Kondisinya stabil, enggak ada masalah. Mungkin memang tubuhnya yang butuh istirahat,” jawab Ghiyas seadanya.“Kamu temui dulu orang tua Naya. Bagaimanapun, mereka ingin tahu keadaan putrinya. Ini bukan salah kamu, kok. Memang sudah takdirnya seperti ini,” ujar Farhan.Ghiyas menganggu
Naya kembali beristirahat dengan tenang setelah diberi obat penenang. Dia hanya akan menyakiti dirinya sendiri jika terus dibiarkan bangun. Dia memberontak dan bahkan berusaha melepaskan infusnya tadi. Membuat Edna menangis melihat kondisi putrinya yang alami depresi.“Sebaiknya terus diawasi. Agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Setelah mengetahui dirinya keguguran, pasti Naya merasa patah hati. Belum lagi, dia dalam tekanan selama kehamilannya. Yang dia butuhkan sekarang adalah orang-orang untuk berada terus di sekitarnya.“Gabby memasukkan tangannya ke saku sambil menatap Naya. Dia merasa kasihan pada Naya.“Dia menyalahkan dirinya sendiri karena dia berpikir kalau begitu anaknya mati, itu bukan anak Ghiyas dan dia ibu yang buruk. Ya, selama kehamilannya, dua hal itu mungkin jadi tekanan paling dalam untuknya.” Gabby terus menatap ke arah Naya.“Sewaktu itu, saya yang bilang begitu. Apa ini karena sa
“Weh, weh! Nikahin dulu, dong! Bestie gue ini!” Ghiyas langsung mendekati Kevin hendak menghajarnya, dia siap kapan saja jika Kevin berani main-main pada Gabby.“Bercanda, bercanda. Gue masih nabung buat biaya nikah. Lo jangan asal main hajar! Nanti tabungan gue habis dipakai biaya rumah sakit!” Kevin tampak bergidik takut pada Ghiyas.Rendi di sana hanya tertawa. Gabby juga tersenyum, lantaran kini Kevin telah bersamanya. Dia mengetahui perasaan Kevin dan Kevin tahu perasaannya. Sebuah mimpi yang menjadi nyata.Dengan Rendi dan Ghiyas yang bersikap seperti kakaknya sekarang, menjaganya dari Kevin yang dikenal playboy. Namun alasan Kevin seperti itu juga karena dia bingung harus mencurahkan segala perhatian yang dia ingin curahkan pada Gabby, sehingga mencari mangsa lain.Gabby melirik Naya yang tampak tersentak dalam tidurnya. Membuatnya segera menegur Ghiyas dan Kevin yang bermain gulat, dengan Ghiyas yang unggul ketimbang Kevin.
Sudah seminggu lebih, Naya dirawat di rumah sakit dan keadaannya berangsur pulih. Hari ini Naya akan pulang. Dan Ghiyas tersenyum senang, ada sesuatu yang dia sembunyikan dari Naya. Ghiyas mendorong kursi roda yang digunakan Naya menuju lobi. Mobil Ghiyas sudah menunggu di sana.“Naya!” Fely bergegas menemui Naya saat melihat Ghiyas membawa Naya yang akan pulang.Naya menoleh. Ghiyas juga berhenti dan membiarkan Fely mendekat. Fely tersenyum sambil memberikan minuman kesukaan Naya yang sengaja dia beli sebelumnya. Dan itu membuat Naya tersenyum sembari menerimanya.“Makasih!” seru Naya dengan senyumannya yang lebar.“Kayak ke siapa aja. Lekas sehat, ya! Yang lalu biarlah berlalu,” ujar Fely.Naya mengangguk. Dia masih jarang bicara, namun sudah bisa tersenyum dengan lebar lagi. Itu sebuah kemajuan. Dan ketika Ghiyas hendak membawa Naya pergi, dia tertahan saat melihat seorang gadis berjalan mendekat. Bahkan Naya
“Mas bilang enggak akan tinggalin Naya lagi. Mas bilang kita bakal sama-sama lagi. Mas bicara omong kosong? Kenapa? Mas mau balas Naya?”Naya masih menatap Ghiyas dengan tatapan hampa. Setelah melewati apartemen Ghiyas, itu berarti Ghiyas akan membawanya pulang ke rumah orang tuanya.Sementara Ghiyas sekarang melirik Naya yang tampak berkaca-kaca. Ghiyas kemudian tersenyum kecil di sana. Segera, dia meminggirkan mobilnya. Dan begitu mobil berhenti, Ghiyas mencondongkan tubuhnya pada Naya. Dia tak mengerti dengan pikirannya Naya.“Kamu lupa sesuatu kayaknya,” tebak Ghiyas sambil terus menatapi Naya.Naya meneteskan air matanya. Tangannya perlahan mengusap air mata di wajahnya dengan gemetar. Bahkan bahunya terlihat gemetar dan dia mulai menangis lagi.“Kita memang enggak akan pulang ke apartemen. Soalnya kita punya rumah. Kamu ingat, kalau Mas pernah bilang sama kamu, kalau rumah kita lagi dibangun? Sayangnya, sempat ma
Ghiyas mengeluarkan Naya dari mobil. Dia menggendongnya untuk masuk ke rumah. Dan Naya bisa melihat bagaimana bagian luar rumah barunya itu, yang cukup luas dengan taman kecil. Terlihat ada kolam ikan hias juga. Dengan gaya rumahnya yang modern. Ini seperti rumah impian.Ghiyas membawa Naya memasuki rumah. Di mana keluarga mereka sudah ada di sana, menyambut mereka. Orang tua mereka, Arin bahkan sosok pria yang tampak tak asing bagi Naya itu.Naya didudukkan di sebuah kursi meja makan. Dan Naya menatap ke arah keluarganya yang menyambutnya pulang di rumah baru. Ghiyas tersenyum memandang Naya. Sementara Naya terpaku menatap sosok laki-laki yang kini mendekat dan tersenyum manis padanya.“Ardan?!” Naya memekik seketika dan tangannya terentang ingin memeluknya.Sosok itu langsung membungkuk dan memeluk Naya. Ghiyas tersenyum memandangi mereka. Ardan adalah adik Naya. Mendengar kakaknya kecelakaan hingga keguguran tentu membuatnya ingin segera pu
Naya duduk di halaman depan. Menatapi ikan-ikan yang berenang dengan bebas. Sementara Ghiyas sedang menaburkan makanan ikan di atasnya. Naya kemudian melirik suaminya itu.“Mas enggak berangkat ke RS?” tanya Naya.“Nanti siang, Sayang. Fely katanya mau datang jam berapa? Mau ngobrol di depan aja?”“Iya, di sini aja. Tempatnya enak banget. Adem, mana pemandangannya bagus.” Naya tersenyum.“Kayaknya kamu suka banget sama tempat baru kita ini.” Ghiyas tersenyum menatapi Naya.“Iya, tapi sayang Naya belum bisa beres-beres.” Naya kemudian menatap ke arah kakinya sendiri.Ghiyas hanya tersenyum dan kemudian teringat akan keterangan yang Naya berikan saat di rumah sakit. Tentang kecelakaan yang terjadi padanya. Naya hanya mengatakan kalau dia berlari tanpa arah dan tak sadar lari ke arah jalanan. Rasanya dari yang dilihat dari CCTV jalanan, dia melihat lari Naya yang kencang, terkesan seda
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang