“Nandy, apa kau suka kentangnya?” Briella berkata dengan mata berbinar melihat si gemuk sehat Fernandez memegang potongan kentang—yang direbus dan iris memanjang—lalu dimasukkan ke dalam mulutnya dengan lahap. “Suka tutu,” cerocos Fernandez dengan mulut penuh.Briella mengangguk seraya mengelus kepala putranya. “Iya, Mom tahu Nandy suka potato.”Sejak usia Fernandez masuk bulan ke enam, Aster dan Briella memang sudah memberinya MPASI dengan metode BLW atau baby led weaning untuk melatih kemampuan Fernandez dalam mengunyah dan menelan makanan sendiri. Mereka selalu mengusahakan agar bisa menikmati makan bersama, dengan menu yang tidak jauh berbeda. Namun sesekali Aster membuatkan bubur khusus untuk Fernandez.Suasana hangat dan akrab terasa di ruang makan itu, dengan tawa Aster yang sesekali memenuhi ruangan. Fernandez, balita mungil yang penuh keceriaan, duduk di kursi tinggi, mengamati orang-orang di sekitarnya dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Di tengah makan siang, pintu d
Briella tiba di bandara dengan penuh harapan dan semangat. Dia tahu perjalanan ini penting untuk kariernya, dan dia siap menghadapi segala tantangan yang mungkin muncul. Setelah melewati semua prosedur keamanan, Briella menuju gerbang boarding, siap untuk terbang ke New York untuk menghadiri promosi filmnya.Saat tiba waktunya untuk boarding, seorang petugas pesawat dengan ramah menyapanya dan mengantarnya ke kursi first class. Briella terkejut, karena setahu dia, dirinya akan terbang dengan kelas bisnis.“Maaf, kurasa ada kesalahan? Aku seharusnya berada di kelas bisnis,” kata Briella kepada si petugas.Petugas itu tersenyum dan menjelaskan, “Seseorang telah upgrade kursi Anda ke first class, Nona. Selamat menikmati penerbangan Anda.”Briella merasa bingung, tetapi dia menduga ini ulah Hunter yang selalu peduli dan perhatian padanya. Meskipun sedikit ragu, Briella memutuskan untuk duduk di kursi yang disediakan. Kursi first class yang nyaman itu membuatnya merasa lebih tenang, dan di
Adrian terkejut dengan kekuatan perlawanan Briella, tapi dia hanya tertawa kecil. “Kau bisa melawan sekeras apa pun, Briella. Tapi kau tahu, aku tidak akan menyerah.”Briella menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian dan ketenangan. “Adrian, ini bukan tentang kau berhak atas diriku atau tidak. Ini tentang aku mengizinkanmu atau tidak. Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu padaku seperti ini. Lagi pula aku ingin kita bercerai.”Adrian berhenti sejenak, tatapannya tetap tajam tapi ada keraguan yang muncul. “Briella, aku tidak akan pernah menceraikanmu.”Adrian tak membiarkan Briella bernegosiasi lebih jauh. Dia mengangkat rok Briella dan merobek celana dalam yang dikenakan istrinya. Briella kian panik, dia berlari ke sisi lain selagi Adrian menurunkan celana untuk membebaskan kejantanannya.“Ini tidak boleh terjadi, Adrian. Kita sedang dalam pesawat. Jangan macam-macam!”Adrian sama sekali tidak kesulitan menyudutkan Briella. Setiap kursi first class ini dirancang sebaga
Setelah sampai di New York, Briella segera tenggelam dalam jadwal padat promo filmnya. Dari wawancara media hingga penampilan di berbagai acara talk show, kesibukannya mengalihkan pikirannya dari peristiwa yang terjadi di pesawat. Namun, Adrian tidak membiarkan sang istri melupakan kehadirannya.Setiap pagi, saat Briella keluar dari kamar hotelnya, dia selalu menemukan sesuatu yang dikirimkan Adrian untuknya. Pada hari pertama, dia menerima sekotak cokelat Belgia mewah dengan catatan kecil yang berbunyi, [Nikmati ini, Briella. –Adrian.]Briella meremas catatan itu dengan frustrasi. “Apa maksudnya ini? Kenapa dia tidak bisa membiarkanku sendiri?” gumamnya, melempar kotak cokelat itu ke meja.Hari berikutnya, sebuah buket bunga mawar merah besar menunggu di lobi hotel. [Untuk mempercantik harimu. –Adrian.] Briella menghela napas panjang, merasa risih dengan perhatian yang tidak diinginkannya.Selama makan siang dengan tim promosinya di restoran mewah, pelayan mengantarkan hidangan penut
Adrian sedang duduk di ruang kerjanya ketika Ben, pelayan setianya, datang membawa kabar yang mengejutkan. “Tuan Adrian,” kata Ben dengan nada serius, “saya punya kabar penting. Tuan Hunter, Nyonya Briella, dan anak Anda akan kembali tinggal di mansion ini.”Adrian mengangkat alis, rasa bingung tercermin di wajahnya. “Apa yang kau katakan, Ben? Kenapa mereka tiba-tiba ingin tinggal di sini?”Ben mengangguk pelan, berusaha menjelaskan situasinya. “Ada seseorang yang membocorkan fakta tentang pernikahan Anda dan Nyonya Briella ke media. Itu menyebabkan kehebohan besar. Tuan Hunter menyarankan agar mereka pindah ke sini untuk mengendalikan situasi.”Adrian terdiam sejenak, memproses informasi itu. Di dalam hatinya, dia merasakan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan. Briella dan Fernandez, putranya, akan kembali tinggal bersamanya. Ini adalah kesempatan yang dia tunggu-tunggu, meskipun dalam situasi yang tidak terduga.“Siapa yang membocorkan informasi itu?” tanya Adrian akhirnya.Ben
Adrian tidak ingin bertengkar dengan Briella. Dia sudah berusaha memberikan segala yang terbaik bagi anak dan istrinya, meskipun hubungannya dengan Briella memburuk. Meski sulit untuk mengatasinya, Adrian ingin tetap dekat dengan Fernandez. Namun, sekarang bukan saatnya untuk memaksa. Adrian menghela napas panjang sebelum berbicara.“Terserah kau percaya atau tidak, Briella,” kata Adrian dengan nada serius tapi tenang. “Tapi aku benar-benar tidak melakukan apa-apa. Aku bahkan baru tahu kau dan Fernandez akan pindah ke sini setelah berita itu menjadi viral.”Briella menatapnya dengan tatapan penuh kecurigaan, matanya menatap waspada. “Ya, aku tidak bisa mengatakan apa pun kalau kau bersikukuh berbohong begitu, intinya ... jauhi Fernandez.”Adrian merasa sakit mendengar tuduhan itu, tapi dia tetap berusaha tenang. “Aku mengerti perasaanmu, Briella. Aku tahu hubungan kita tidak berjalan dengan baik, tapi aku tidak akan mengakui apa pun yang tidak kulakukan.”Briella menghela napas dalam,
Briella mulai ketakutan. Bayangan saat Adrian marah dan terus bersikap kasar membuat traumanya kembali. Dia memeluk Fernandez lebih erat, seolah berusaha melindunginya dari bahaya yang tak terlihat. Mata Adrian berkilat tajam, tatapannya penuh kemarahan yang membara.“Briella, kau tidak bisa terus menguji kesabaranku!” Adrian berkata dengan nada dingin. “Fernandez adalah anakku, suka atau tidak suka. Kau tidak bisa menghalangiku.”Briella menggigil, tetapi berusaha tetap tegak. “Aku hanya ingin melindungi Nandy, Adrian. Kau ... kau tak ada bedanya dengan orang sinting yang temperamental dan tidak jelas!”Mendengar itu, Adrian tersinggung. Wajahnya memerah karena marah. “Apa katamu? Briella, jika kau terus menghalangi, aku akan mengambil jalur hukum! Aku akan memastikan kau kehilangan hak asuh!”Air mata mulai mengalir di pipi Briella. “Kau egois dan kejam, Adrian! Kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Adrian mendekat dengan marah, tangannya terulur seolah ingin menarik kasar tangan Br
Hunter dan Rosalie melaju kencang, adu cepat di atas kuda, menikmati pagi yang cerah.“Mom, apa tidak bosan cuma mengekoriku di belakang? Ayo susul aku!” Hunter tertawa mengejek.“Tunggu saja!” Rosalie memacu kudanya lebih cepat. Keduanya tertawa menikmati adrenalin yang membanjiri aliran darah.Setelah puas balapan beberapa putaran, Hunter dan Rosalie sama lelah dengan kudanya. Mereka menarik tali kekang agar laju kudanya melambat. Rosalie menyejajari Hunter.“Jadi, bagaimana kabar Fernandez?” tanya Hunter dengan nada ceria.“Apa kau sesibuk itu sampai tidak bisa pulang ke mansion?” Rosalie tertawa ringan.“Bukankah kau tahu, Mom, aku melakukan ini agar Adrian dan Briella bisa dekat.”“Bagus, ngomong-ngomong soal Fernandez, dia sangat menggemaskan! Dia semakin pintar.”Hunter tersenyum, mengarahkan kudanya sedikit lebih dekat. “Oh wow, ceritakan lebih banyak! Apa yang dia lakukan?”Rosalie melirik ke belakang dengan senyuman cerah. “Salah satu momen favoritku adalah saat dia menemuka
Satu tahun kemudian …Sesampainya di rumah sakit, Adrian merasakan detak jantungnya semakin cepat. Langkah-langkahnya yang biasanya mantap kini terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawa beban kekhawatiran yang tak terukur.Ruang bersalin berada di ujung koridor, tapi jarak yang harus ditempuhnya terasa seperti berpuluh-puluh mil. Cahaya lampu yang seharusnya menenangkan justru tampak suram di matanya. Dia tak bisa berpikir jernih—yang ada hanya ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di balik pintu ruang bersalin itu.Saat akhirnya Adrian tiba di depan pintu, dia menemukan Rosalie sedang duduk di kursi tunggu. Wajah wanita paruh baya itu tampak pucat meski dia berusaha menyembunyikan kecemasannya. Rosalie yang melihat Adrian mendekat, dia berdiri dan mencoba tersenyum, tapi kegelisahan tetap terpancar di matanya.“Bagaimana keadaannya?” tanya Adrian dengan nada cemas, suaranya bergetar meski dia berusaha terdengar tegar.Rosalie mendekatinya, menyentuh lengannya dengan lembut.
Senyum seringai Adrian terbentang begitu saja setelah mendengar ucapan istrinya. Dia menarik Briella mendekat, tangan Adrian yang kuat meluncur ke bawah punggungnya. Mencengkeram bokong Briella yang membulat.Tanpa keraguan Adrian menekan batangnya yang keras ke arah kewanitaan si istri. Briella tersentak senang saat Adrian menggesek miliknya. Pria tampan itu menangkup pipi Briella, menghadiahkan ciuman lapar sehingga bibir mereka terkunci dalam ciuman yang penuh nafsu.Briella melepaskan ciuman itu, terengah-engah. “Adrian,” bisiknya, matanya berkilauan karena hasrat. “Kumohon segeralah masuk. Aku membutuhkanmu.”“Aku juga membutuhkanmu, Sayang,” jawab Adrian serak.Ciuman penuh gairah mereka semakin dalam, dan tangan mereka menjelajahi tubuh masing-masing. Membelai setiap inci. Adrian menangkup payudara penuh Briella, menggoda putingnya yang mengeras dengan ibu jari.Briella mengerang, melengkungkan punggung ke arah Adrian. Dia mengusap dada suaminya, turun ke perut Adrian yang liat
Briella tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. “Jangan khawatir, ini air mata bahagia. Kau ... kau sering kali kasar, terburu-buru. Tapi sekarang, setiap sentuhanmu penuh cinta, penuh perhatian. Kau benar-benar telah berubah, Adrian.”Ini bukan pertama kali bagi Briella disentuh Adrian sejak mereka kembali bersatu. Sentuhan Adrian sekarang penuh dengan kelembutan dan penuh cinta. Berbeda dengan dulu yang penuh nafsu seakan dirinya adalah budak seks.Mata Adrian melembut, dia menarik Briella lebih dekat, mengecup dahinya dengan lembut. “Aku menyesali banyak hal, Briella. Dulu aku terlalu dibutakan oleh amarah dan dendam, tapi sekarang aku hanya ingin kau merasakan betapa aku mencintaimu, betapa berartinya dirimu bagiku. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi.”Kata-kata Adrian yang tulus itu menusuk hati Briella, membuatnya tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ini adalah air mata kebahagiaan, air mata yang berasal dari perasaan mendalam bahwa cinta sejati mereka
Malam itu, suasana ruang makan terasa tegang. Adrian duduk di ujung meja, tatapannya kosong dan mulutnya terkunci rapat. Briella yang duduk di sebelahnya mencoba tersenyum, tapi ketegangan Adrian begitu nyata hingga seluruh ruangan terasa sunyi. Hunter, yang duduk di seberang meja, langsung membaca situasi.“Nandy, bagaimana kalau sabtu besok kita pergi ke peternakan?” Hunter menawarkan dengan nada riang, mencoba mencairkan suasana. “Paman akan mengajarimu cara berkuda, dan kita bisa memerah susu sapi langsung dari sapinya. Bagaimana?”Mata Fernandez langsung bersinar mendengar tawaran Hunter. “Benarkah, Paman? Aku mau! Aku mau!” serunya dengan antusias, tapi dia segera menoleh pada Briella. “Tapi Mommy ikut juga, kan?”Hunter terkekeh pelan, lalu menggelengkan kepalanya. “Kali ini hanya kita, sesama pria yang pergi, Nandy. Mommy akan menunggu di sini.”Fernandez mengerutkan kening, tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi aku mau Mommy ikut bersama kita, Paman.”Adrian tampak sema
“Mommy, aku suka sup ini. Rasanya creamy.” Fernandez tampak senang dengan kehadiran kembali ibunya. Bocah itu selalu menempel pada Briella, dan bersikap manja. Sejak pulang sekolah, dia meminta Briella menyuapinya, padahal anak itu sebelumnya terbiasa mandiri dan makan sendiri.“Apa kau mau tambah lagi supnya, Nandy?” tanya Briella lembut, seraya menatap putranya dengan penuh kasih sayang.“Tidak, Mommy. Aku sudah kenyang. Apakah Mommy bersedia membantuku mengerjakan pekerjaan rumahku?” pinta Fernadez.Briella mengangguk dan tersenyum. “Tentu, Sayang.”Malam ini, sikap manja Fernandez tidak juga berakhir. Sehabis makan malam, dia meminta Briella membantunya mengenakan piama. Di kamar mereka yang luas dan nyaman, Adrian duduk di tepi tempat tidur, menatap Briella yang sedang membantu Fernandez mengenakan piyama. Briella tersenyum lembut, matanya penuh kasih sayang saat putra kecil mereka, duduk di pangkuannya, sudah siap untuk tidur.“Nandy, ayo tidur, Sayang.”“Mommy mau ke mana?”“Mo
Adrian dan Briella tersenyum hangat melihat Fernandez berlari-lari di tamn, bersama dengan pengasuh. Pasangan itu duduk di kursi taman bersama dengan Rosalie dan Hunter. Tampak semua orang bahagia melihat Fernadez yang bermain dengan riang penuh kegembiraan.“Aku sudah lama sekali tidak melihat Fernandez sebahagia ini,” ungkap Hunter jujur.Menghilangnya Briella, selalu membuat Fernandez menjadi muram. Tidak jarang Fernandez menangis setiap kali merindukan Briella. Tiga tahun Briella menghilang, bukan waktu yang sebentar. Bukan hanya Fernandez yang murung sejak Briella menghilang, tapi Adrian, Hunter, dan juga Rosalie sangat terpukul. Apalagi yang mereka tahu adalah Briella dibunuh Felix dengan kejam. Hal tersebut menjadi pukulan berat di keluarga Maven.“Aku akan pastikan Nandy terus merasa bahagia, Hunter. Aku akan selalu di sisi putraku,” ucap Briella tulus, dan penuh kehangatan.Adrian membelai rambut Briella. “Ya, Sayang. Nandy akan selalu merasa bahagia. Kau sudah kembali. Kebah
Hunter memanfaatkan jaringannya di kepolisian untuk mengusut tuntas masalah penculikan ini. Saat tahu anak wali kota diculik, polisi segera bergerak cepat menyelidiki. Semua bukti sudah jelas, anak buah Felix Jorell adalah dalang di balik penculikan anak wali kota Vienna.Hunter, yang duduk di seberang meja, tersenyum puas. “Polisi sudah melaporkan pada walikota kalau anaknya diculik,” katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi dengan riang, menunggu kabar selanjutnya.Adrian mengangguk. “Seorang wali kota tentu saja tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Felix sudah membuat langkah terburuk dalam hidupnya.”Hunter tertawa kecil, membayangkan akibat dari kekonyolan anak buah Felix. “Dia pikir dia bisa mengancam kita dengan menculik Fernandez, tapi lihat apa yang terjadi. Felix pasti sedang menggigit jarinya di penjara saat ini.”Hanya dalam waktu beberapa jam setelah polisi melaporkan penculikan putra sang walikota, dampaknya langsung terasa. Seorang wali kota tentu memilik
Briella duduk di ruang tamu yang megah, menikmati aroma manis pie apel yang baru saja dipotong. Ini adalah momen yang sangat langka dan berharga baginya. Setelah tiga tahun diculik dan ditawan oleh Felix, akhirnya dia bisa merasakan kebebasan. Dia kini dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya, Adrian, Fernandez, Hunter dan Rosalie.“Pie ini benar-benar enak, Mom. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bisa duduk santai seperti ini, bersama keluarga,” ucap Briella sambil tersenyum, mengambil potongan pie apel kedua.Rosalie, yang duduk di seberang meja, tersenyum hangat. “Kau pantas mendapatkan kebahagiaan ini, Briella. Setelah semua yang kau lalui, aku harap hidupmu akan terus dipenuhi cinta dan kedamaian,” balasnya sambil menyesap teh dari cangkir porselen.Briella mengangguk pelan, menikmati setiap kata Rosalie. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan kalau bukan karena kalian semua. Tiga tahun bersama Felix … itu seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.”“Kami semua
Ruangan interogasi terasa pengap dengan cahaya lampu terang yang menyilaukan langsung ke wajah Felix Jorell. Dua orang polisi duduk di depannya, satu dengan ekspresi datar, sementara yang lain mencatat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Di sudut ruangan, alat pendeteksi kebohongan dengan sensor-sensornya terpasang di tubuh Felix, mengukur detak jantung dan tekanan darah setiap kali dia berbicara.“Kapan tepatnya Anda mengenal Briella Maven?” Polisi pertama mulai membuka percakapan dengan suara rendah namun tegas.Felix menghela napas panjang seolah sedang mengingat. “Aku pertama kali bertemu dia di acara jumpa fans film Blind Devotion. Dia sangat ramah, manis, dan kami mulai sering bertukar pesan setelah itu.”Polisi pertama itu menatap Felix tanpa berkedip. “Dan apa yang terjadi setelah itu?”Felix tersenyum tipis, matanya tampak mencoba meyakinkan. “Aku sering mengirimkan hadiah padanya. Bunga, cokelat, bahkan perhiasan yang mahal. Aku sering mengajak keluar ke restoran. Briella