"Apa? Aku harus menikah dengan om Leo?"
"Begitulah isi surat wasiat yang mama dan papamu tinggalkan, Nona.""Tidak. Ini tidak mungkin. Anda pasti salah baca."Seluruh otot wajah Alana menegang. Matanya yang bening dan bulat semakin membola setelah mendengar isi surat wasiat yang dibacakan oleh pengacara kepercayaan orangtuanya. Bahkan gadis berumur 20 tahun itu sampai bangkit dari duduknya dan sedikit membungkuk ke arah pria setengah baya menunjukkan gestur tidak percaya dan menentang."Alana."Seorang pria dewasa memiliki wajah tampan yang sejak tadi duduk di sampingnya mengulurkan tangan dengan tenang meraih pergelangan tangan Alana. Dia adalah Leo, pria yang namanya juga disebut dalam surat wasiat."Duduklah dan kita bicarakan dengan tenang!" sambung Leo meminta Alana kembali duduk.Alana segera memutar poros lehernya menghadap Leo dan memberinya tatapan tajam melekat. Dari sorot matanya menunjukkan rasa jengkel dan marah. Wajahnya semakin memerah setelah beberapa saat pandangnya beradu dengan Leo yang masih saja duduk dengan tenang. Alana semakin kesal melihat Leo bergeming."Om, kenapa kamu masih saja bisa tenang?" kesal Alana memutar posisi tubuh menghadap Leo. "Bicara, dong!" Alana menghentakkan kaki mengekspresikan kekesalannya."Duduklah!" minta Leo dengan sabar menarik kembali tangan Alana untuk duduk.Masih belum bisa menerima apa yang dia dengar, Alana terpaksa menuruti permintaan Leo dan duduk kembali di samping pria itu. Wajahnya masih marah dan kesal. Sungguh dia ingin memberontak dan membantah lagi, tapi lagi-lagi Leo memintanya tenang dan mendengarkan sampai pengacara orangtuanya selesai membacakan surat wasiat yang mereka tinggalkan."Om, kamu juga tidak percaya, kan?" Alana memberi tatapan penuh harap pada Leo. Dia ingin pria yang duduk di sampingnya itu juga tidak mempercayai isi surat wasiat itu atau paling tidak membantah sepertinya."Aku percaya," jawab Leo membalas sorot mata Alana."Om!" Alana membentak marah."Alana."Leo kembali meraih tangan Alana dan berusaha menggenggamnya, namun gadis itu segera menepis."Aku tidak percaya. Pasti ada yang salah dengan surat itu," bantah Alana."Nona, semua isi surat ini ditulis langsung oleh tuan Charles menggunakan tangan agar kamu percaya," ucap pengacara setelah selesai membacakan isi surat wasiat. Dia mengatakan hal itu karena Alana masih belum bisa percaya kalau surat itu dibuat oleh orangtuanya. "Silakan kamu periksa keasliannya!" sambung pengacara menyodorkan surat itu pada Alana.Alana terdiam untuk beberapa saat sembari menatap lekat pengacara itu, meski pada akhirnya surat itu diambil juga. Alana melihat dan mengamati. Meski hanya sekilas, tapi dia tidak pernah lupa bagaimana bentuk dan tulisan ayahnya."Ini memang tulisan papa," ucapnya lirih.Air matanya jatuh melihat tulisan yang terangkai rapi membentuk sebuah kata hingga menjadi susunan kalimat. Meski tulisan itu tegak bersambung, tapi dapat dibaca dengan jelas. Bahkan di lembar terakhir dibubuhkan tanda tangan dan nama ayahnya, Charles Wijaya Jingga."Papa." Alana menangis.Tiba-tiba Alana merasakan kerinduan terhadap kedua orangtuanya. Namun, dalam kerinduan itu terselip kemarahan karena mereka meninggalkan wasiat yang tidak bisa diterimanya dengan mudah. Bahkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya."Alana." Leo mengusap air mata Alana dan membelai lembut rambutnya.Alana mengangkat wajah, menatap Leo dengan matanya yang basah."Om, ini hanya mimpi, kan? Kita tidak mungkin menikah, bukan?" ucapnya menahan isak tangis.Pedih hati Leo melihat gadis kecilnya yang dulu selalu ceria kini tumbuh dewasa dan menangis di depannya. Leo merengkuh pundak dan membawa kepala Alana bersandar dalam dekapannya dan membiarkan gadis itu menumpahkan kemarahannya lewat tangis."Kita tidak akan menikah, kan, Om?" Kembali Alana mengulang pertanyaan itu setelah beberapa saat dalam dekapan Leo.Alana mengangkat wajah dan menjauhkan dari dada Leo setelah beberapa saat tidak mendapat respon. Matanya masih basah menilik manik mata Leo mencari jawaban atas pertanyaannya. Dia ingin mendengar pendapat Leo dan berharap Leo pun tidak menyetujui surat wasiat orangtuanya."Om?" Alana merajuk."Alana, papamu menulis surat seperti itu pasti memiliki tujuan dan maksud," jawab Leo dengan suara lembut."Jadi, Om setuju?" Alana semakin memberi jarak antara mereka. Matanya kembali membola dan kemarahannya kembali tergambar pada wajahnya yang telah basah oleh air mata."Tidak ada alasan untuk tidak setuju."Alana tercengang dan terdiam membeku mendengar jawaban Leo. Jawaban itu meleset jauh dari yang diharapkan. Bahkan pria yang selama ini menemaninya, menggantikan sosok orangtua untuknya, masih terlihat tenang."Om, kita ini keluarga," seru Alana."Nona, kamu dan tuan Leo-"Leo mengangkat tangan menghentikan perkataan pengacara."Alana, kita tidak bisa membantah surat wasiat papamu," ucap Leo.Tatapan Alana semakin garang dan marah. Dia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Leo. Pria yang selama 15 tahun menjaga dan membesarkan, bahkan menjadi orangtua pengganti itu tiba-tiba menjadi sosok orang lain yang tidak dia kenal.Leo telah menjadi sosok yang tidak berperasaan. Bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda ada di pihaknya, bersama-sama membantah surat wasiat yang ditinggalkan papanya."Alana, sebenarnya aku juga tidak bisa menerima semua ini, tapi aku yakin mereka melakukan ini pasti mempunyai tujuan dan maksud yang belum kita ketahui," ucap Leo kembali mencoba memberi pengertian.Sebenarnya bukan hanya Alana yang tidak bisa menerima permintaan orangtua Alana agar mereka menikah, Leo pun kaget dan tidak bisa menerima dengan mudah. Meski sebelumnya Charles pernah membahas tentang Alana dan masa depannya, tapi dia sama sekali tidak menyangka bila Charles menulis surat wasiat seperti itu, yang mengharuskan mereka menikah setelah Alana berusia 20 tahun."Apa pun alasannya, aku tetap tidak setuju kita menikah," ujar Alana.Alana memutar tubuh dan berlalu begitu saja dari hadapan Leo dan pengacara itu. Langkah kakinya cepat, bahkan berlari kecil menuju kamar. Alana segera membuka pintu kamar dan menutupnya kembali dengan cara membanting.Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang kecuali menghempaskan tubuh rampingnya di atas kasur empuk, lalu menangis terisak. Dunianya seakan langsung kelabu. Masa mudanya suram."Tuan-""Dia pasti shock," gumam Leo masih menatap lekat pintu kamar Alana."Ya, aku tau," sahut pengacara setuju dengan perkataan Leo. "Tapi pernikahan ini harus tetap terlaksana," sambungnya.Leo menarik perhatiannya, lalu mengalihkan pada pengacara itu."Apa tidak bisa ditunda? Umur Alana masih belum genap dua puluh tahun.""Tidak bisa. Saat genap dua puluh tahun, kalian harus sudah menikah. Itu baru aman."Leo kembali terdiam.Sejujurnya bukan hanya Alana yang menolak pernikahan itu, dia juga. Leo telah menganggap Alana seperti keluarganya sendiri, keponakannya. Sejak berumur 5 tahun, dialah yang merawat, membesarkan, bahkan mengasuh Alana hingga sekarang ini. Bahkan sebagian waktu hidupnya dicurahkan untuk Alana. Sekarang dia harus menikah dengan bocah kecil yang tumbuh di sampingnya? Ini tidak mudah."Tapi aku-""Tuan, aku tidak percaya Anda tidak mengetahui alasan tuan Charles menulis surat wasiat seperti ini," ucap pengacara menatap lekat Leo."Alana, kita harus bicara," ucap Leo saat melihat Alana keluar dari kamar hendak pergi.Sejak pengacara membacakan isi surat wasiat Charles, orangtunya, Alana sering mengurung diri, bahkan sama sekali tidak mau bicara dengan Leo. Dia sering menghindar dan lebih suka berada di luar rumah dengan alasan banyak tugas di kampus."Alana, aku bicara denganmu," seru Leo ketika Alana kembali melanjutkan langkah tanpa melihatnya.Alana kembali menghentikan langkah. Masih dengan wajah yang sama, marah, kesal dan jutek, Alana memutar tubuh untuk melihat Leo. Tatapannya tajam nan bengis penuh kemarahan. Bahkan ada sirat kebencian di dalam manik matanya yang bulat."Kemari dan duduk!" perintah Leo. Kali ini suaranya terdengar tegas.Alana masih bergeming."Alana!" Kembali Leo memintanya datang.Meski kesal, marah dan benci, Alana akhirnya melangkahkan kaki mendekati Leo."Duduk dan sarapan! Setelah itu aku akan mengantarmu," ucap Leo. Kali ini suaranya lebih lunak dan lembut.Melihat Alana datang p
"Maafin Alana, ya, Om," ucap Alana berwajah sedih.Leo tersenyum mendengar kata maaf dari Alana. Gadis kecilnya itu akan mengucap kata maaf bila dia merasa bersalah.Leo kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang menghadap Alana."Tidurlah, sudah malam!" Leo menepuk punggung tangan Alana.Sekali lagi pria itu merapikan selimut Alana. Meski merasa sedih melihat wajah Alana, tapi bibirnya tetap tersenyum."Selamat malam, Om," ucap Alana ketika Leo di ambang pintu."Selamat malam, Honey," balas Leo, lalu menutup pintu dan meninggalkan Alana.Setelah kepergian Leo, Alana belum juga bisa memejamkan mata. Apa yang tidak sengaja dia dengar membuat hatinya gelisah dan tidak tenang.Selama ini Leo telah berkorban banyak untuknya, bahkan berkorban setengah dari kehidupannya. Apa sekarang saatnya giliran Alana yang berkorban untuk Leo?"Pa, kenapa aku harus menikah dengan om Leo? Kenapa tidak dengan cara lain saja?" lirih Alana. Pandangnya lurus ke langit-langit kamar dengan penerangan redup.Ke
"Masih ada waktu lima belas menit," ucap Leo melirik benda pipih di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran," sambungnya mengalihkan pandang pada Alana.Alana terdiam. Hanya sorot mata bening miliknya yang membalas tatapan Leo dan merespon sosok om yang beberapa menit lagi akan berubah status menjadi suaminya.Leo tersenyum tipis melihat wajah cantik Alana dihiasi dengan mimik cemberut. Wajah yang terpoles sederhana, tapi sedih itu seharusnya tidak terlihat oleh matanya dan seharusnya pernikahan membuat sebagian orang bahagia. Sayangnya tidak untuk Leo dan Alana, pernikahan yang akan mereka langsungkan adalah pernikahan di luar rencana kehidupan mereka."Jawablah!" Leo melirik benda pipih yang sejak tadi ada di genggaman Alana karena ponsel milik gadis itu berdering."Nanti saja," jawab Alana. Jemari lentiknya menekan tombol tolak sehingga dering ponselnya berhenti.Sejak tadi, meski tubuh Alana duduk diam, tapi jemarinya sibuk menekan tombol-tombol aja
"Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?" Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca."Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban."Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan k
"Alana, aku jawab telepon sebentar," ucap Barca, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.Alana tidak menjawab perkataan Barca. Dia hanya mengangguk sembari terus menikmati makanannya."Hiks ... hiks ... hiks ...," tangis Alana pecah.Setelah kepergian Barca, Alana menangis. Tangisan yang sejak tadi ditahan dan telah membuat dadanya terasa ingin meledak, akhirnya pecah juga. Dia merasa pernikahannya dengan Leo telah menghianati cinta yang telah dirajut bersama Barca."Nona, Anda butuh tisu?" Seorang perempuan yang baru datang dan bermaksud duduk bersebelahan meja dengannya menyodorkan tisu.Alana mendongak melihat wajah wanita itu sekilas, lalu menerima pemberiannya dan menggunakan tisu itu untuk mengelap ingus yang keluar dari hidung mancungnya."Terima kasih," ucapnya dengan sisa tangis."Sama-sama," balas wanita itu sembari tersenyum. "Nona, apakah pria tadi kekasihmu?" sambung wanita itu setelah melihat Alana tidak menangis lagi.Alana mengarahkan mata basahnya
"Kamu lelah?" Leo melontarkan pertanyaan lain pada Alana."Em." Alana mengangguk.Rasanya malam ini dia sangat enggan untuk melakukan apa pun, termasuk berbicara dengan Leo. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya kesal, marah dan lelah. Namun, Alana merasa tidak berdaya. Kehidupan sepertinya sedang mempermainkannya."Kalau begitu tidurlah!" ucap Leo tersenyum sembari mengusap-usap pucuk kepala Alana. "Nanti kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," sambungnya.Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, Alana langsung memejamkan mata. Sesungguhnya dia belum mengantuk. Hanya saja tidak ingin melakukan apa-apa. Jalan satu-satunya menghindari obrolan dengan Leo adalah dengan tidur atau memejamkan mata berpura-pura tidur.Melihat Alana terpejam dan patuh membuat Leo mengulas senyum. Kembali tangannya mengusap-usap pucuk kepala Alana, sedangkan tangan lainnya mengendalikan lingkaran setir. Leo melakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang."Alana!" panggil Leo dengan suara lirih.Meski aw
"Barca, aku sudah sampai," ucap Alana menghubungi Barca via phone."Ya. Tunggu di sana! Aku dalam perjalanan," balas Barca.Malam ini Barca mengajak Alana bertemu di sebuah cafe. Sebenarnya Alana enggan pergi. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Bahkan dua hari ini tidak pergi ke kampus. Dia juga tidak memberitahu hal ini pada Leo.Karena tidak mau membuat Barca kecewa, dia terpaksa setuju dan pergi, meski sebenarnya sangat malas dan enggan."Mbak!" panggil Alana sembari mengangkat tangan pada pelayanan cafe. "Tolong tambahkan capucino lagi!" mintanya setelah pelayan menghampiri.Alana menunggu kedatangan Barca dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, tapi Barca belum juga datang. Alana juga sudah menghabiskan dua gelas cappucino dan satu botol air mineral."Barca, kamu di mana? Aku sudah lama menunggu." Alana mengirim pesan pada nomor Barca karena beberapa kali melakukan panggilan pria itu tidak menjawab. Pesan chat yang dikirim pun tidak ada respon, tidak dibaca oleh keka
"Om Leo!" teriak Alana.Alana sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dua pria yang sedang bergulat."Om, cukup, Om!" Alana berusaha menghentikan amukan Leo pada Barca."Lepaskan, Alana! Biar aku bunuh pria brengsek ini!" Leo menepis tangan Alana dari lengannya dan kembali melayangkan tinju pada wajah Barca.Melihat Barca menjadi bulan-bulanan Leo dan teman-temannya hanya bisa diam menyaksikan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena Damaian telah mengunci mereka. Sedangkan Eris, wanita yang dipilih Barca dibanding Alana hanya terdiam memberi jarak dengan menatap ngeri."Cukup, Om!"Alana tidak bisa menahan dan menurunkan kemarahan Leo hanya dengan berteriak, menangis dan memohon. Karena Leo telah naik hitam, jalan satu-satunya hanya dengan memeluk erat. Alana melakukan hal itu. Dia memeluk erat tubuh Leo dari belakang sembari menangis dan memohon agar Leo menghentikan kebrutalnya. Alana sama sekali tidak memikirkan bahaya yang datang padanya. Bisa saja Leo hilang kendali seh
"Sudah, Bear. Aku kenyang," ucap Alana.Alana menolak suapan Leo dengan menutup mulutnya menggunakan tangan. Dia juga menoleh sedikit ke samping menghindari sendok yang disodorkan Leo padanya."Satu kali lagi, Sayang. Kamu sudah mengeluarkan banyak tenaga saat melahirkan. Sekarang, kamu harus mengganti tenagamu dengan makan yang banyak," ucap Leo."Bear, sampai siang ini saja kamu sudah memintaku makan banyak makanan. Kalau tidak salah ingat, kamu sudah memberi aku makan tiga kali, dua kali makanan ringan, dua kali jus buah. Perutku rasanya seperti mau pecah karena kekenyangan," ucap Alana melakukan protes atas tindakan Leo yang terus membujukkan untuk makan.Leo tertawa mendengar keluhan dari Alana. Dia berpikir bahwa karena istrinya telah melalui perjuangan yang melelahkan untuk melahirkan putra mereka, maka dia harus memberikan makanan bergizi yang cukup agar istrinya bisa pulih dengan cepat. Namun, ternyata usahanya tersebut menimbulkan protes dari Alana. "Baiklah. Kali ini aku t
"Dokter, bagaimana?" Leo tidak sabar menunggu penjelasan hasil pemeriksaan kehamilan istrinya."Usia kehamilan istri Anda sudah cukup bulan, Tuan. Tinggal menunggu waktu lahir saja," jelas dokter.Dokter itu mengarahkan pandang pada Alana dengan senyum ramahnya."Nyonya, kelahiran seperti apa yang Anda inginkan?""Dokter, aku tidak ingin istriku kesakitan saat melahirkan. Bisakah kami ajukan untuk melakukan operasi saja?" ucap Leo cepat sebelum Alana memberi jawaban."Bear!" Alana memberi wajah protes."Sayang." Leo meraih tangan Alana dan mengenggamnya lembut. "Aku tidak mau melihatmu kesakitan."Wajah Leo tampak sedih membayangkan istrinya kesakitan saat melahirkan. Makanya, dia ingin kelahiran anak mereka melalui operasi caesar saja dengan tehnologi terbaru agar istrinya tidak merasakan sakit. Namun, niat baik Leo melindungi istrinya dari rasa sakit mendapat penolakan tegas dari Alana."Aku tidak mau, Bear. Aku mau melahirkan secara normal saja," u
“Damian, ada apa?” tanya Leo dengan wajah penasaran sembari berjalan meninggalkan Alana dengan langkah hati-hati agar langkahnya tidak menimbulkan suara. “Apa Marco sudah memberitahumu?” tanya Damian di ujung sana, di balik teleponnya. Suaranya terdengar tidak biasa seperti ada sesuatu yang terjadi.“Apa?” tanya Leo semakin penasaran.“Siang tadi, Arga berusaha memberontak dengan melarikan diri dan mencoba kabur dari pengawasan. Saat mereka mengejar dan mencarinya, mungkin juga karena panik, pria itu tidak melihat jalanan. Dia juga tidak melihat ada truk yang melintas saat menyeberang jalan,” cerita Damian.Damian menceritakan tentang kecelakaan yang dialami oleh Arga saat pria itu melarikan diri dan mencoba kabur dari pengawasan mereka. Karena ceroboh dan mungkin juga panik karena takut penjaga mengejarnya, Arga tidak memperhatikan ada truk yang melintas dengan kecepatan tinggi saat dia menyeberang jalan, sehingga tubuhnya tertabrak dan terpental hingga beberapa meter.“Mereka baru
“Sayang, kamu cantik sekali menggenakan pakaian ini,” puji Leo sembari mengelus perut buncit Alana."Bear, kamu mengejutkan aku?" Alana kaget, tiba-tiba Leo memeluknya dari belakang.Sore ini Alana mengenakan pakaian daster tidak berlengan, sehingga perutnya yang besar terlihat. Bahan yang lembut dan jatuh membuat perut Alana yang membesar terlihat menonjol dan lebih seksi ditambah dengan bentuk tubuhnya yang memang indah semakin membuat Leo tidak mau melepaskan pelukannya."Kenapa berdiri di sini sendirian?" lirih Leo."Pemandangannya bagus, Bear. Lihat itu!" Alana menunjuk langit sore, di mana matahari hampir tenggelam di antara bukit-bukit hijau. Bias sinar yang mulai redup menghias langit sore tampak semburat merah keemasan memberi warna indah yang membuat mata sejuk dan hati teduh."Indah banget langitnya!" decak kagum Alana.Leo tersenyum. Peluknya semakin erat. Meski perut Alana sudah membesar, tetapi tidak menjadi penghalang untuk tetap memeluknya. Sebaliknya, perut besar Ala
"Nyonya, teh Anda."Dona mendekati Alana yang sedang duduk santai di bangku taman yang berada di dekat kolam renang belakang rumah. Kemudian, memberikan secangkir teh yang masih hangat pada Alana dengan penuh kebaikan hati."Terima kasih."Alana pun merasa sangat berterima kasih dan mengucapkan kata-kata itu dengan senyum yang manis, lalu menyeruput teh hangat sembari menunggu Dona duduk di depannya.Suasana taman sore ini terasa semakin nyaman dan tenang dengan hadirnya secangkir teh hangat tersebut."Mulai hari ini, jangan panggil aku nyonya lagi! Aku bukan nyonyamu," kata Alana sembari meletakkan cangkir di atas meja.Dona tercengang kaget."Kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan?" Dona merasa perlu tau alasan Alana. Dia tidak merasa melakukan kesalahan. Hubungan mereka beberapa hari ini juga baik-baik saja, tetapi tiba-tiba Alana mengatakan hal itu padanya. Jelas saja hal ini membuatnya bingung dan bertanya-tanya.Melalui ekspresi kagetnya saja, seharusnya Alana sudah mengerti
“Bear,sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Alana bingung.Leo menoleh, lalu memberi senyum manisnya.“Bukankah kita sudah membicarakannya, Sayang? Aku akan membawamu ke tempat yang tenang dan sejuk. Kita akan ke luar kota,” jawab Leo mengingatkan Alana tentang apa yang sudah pernah mereka bicarakan.“Tapi, kenapa pakaian yang kamu bawa sangat banyak?” Alana melempar pandangnya ke arah tumpukan pakaian dalam koper yang belum tertutup.Leo pun melirik ke arah yang dikatakan istrinya. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum.“Karena kita akan melakukan liburan dalam waktu yang lumayan cukup lama,” jawab Leo.Dia sibuk mengemas beberapa pakaian mereka dan memasukkan ke dalam koper. Ada dua koper di sana, salah satunya sudah terisi penuh dengan pakaian Leo sendiri. saat ini suami Alana itu sedang menegmas pakai Alana. Tadinya, Alana ingin membantu, tetapi Leo melarangnya dan memintanya duduk saja di tempat tidur.Setelah merasa cukup dan selesai, Leo bangkit dari tempatnya, lalu mendekati A
"Dokter, bagaimana?""Nyonya, apakah Anda merasa baik-baik saja?" tanya dokter pada Alana. Leo tampak sangat cemas menatap wajah dokter yang memeriksa kondisi kandungan istrinya. Apalagi saat dokter itu tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan mengarahkan pandang pada Alana dengan sorot mata yang tidak baik-baik saja. Refleks dia pun ikut mengarahkan pandangnya pada Alana, lalu meraih tangan Alana dan menggenggamnya."Dokter?" Setelah Leo menyapa dokter, dokter tersebut menghela napas panjang dengan suara yang terdengar berat saat memandang Leo. Reaksi ini membuat Leo merasa semakin cemas dan khawatir akan kondisi istrinya. Meskipun tidak diketahui secara pasti apa yang dipikirkan oleh dokter, namun dari reaksinya itu dapat diartikan bahwa ada sesuatu yang membuatnya khawatir tentang kesehatan Alana dan bayi dalam kandungannya. Hal ini tentunya menambah kekhawatiran bagi Leo dan membuatnya merasa semakin tidak tenang."Dalam kondisi kehamilan yang masih muda, seharusnya istri
"Leo-""Sstt!" Leo segera meletakkan jari telunjuknya di depan bibir ketika Damian datang dan berjalan ke arahnya sembari berbicara. Karena hal ini, Damian pun menghentikan ucapannya dan memperlambat serta memperhalus langkahnya. Sembari mendekat, matanya tertarik memperhatikan wanita yang tertidur di sofa dengan kepala di atas pangkuan Leo."Apa istrimu sakit?" tanyanya dengan suara lirih setelah duduk di depan Leo. Matanya masih memperhatikan wajah lelap Alana yang menurutnya sedikit pucat dan tampak sedikit lelah."Tidak, tapi dia tidak baik-baik saja," jawab Leo juga mengarahkan pandangnya pada wajah Alana.Damian menoleh dan memiringkan kepalanya sedikit, sedangkan matanya menyipit ketika mendengar perkataan Leo. Ia kemudian bertanya, "Ada apa?"Melihat ekspresi Damian yang penasaran, akhirnya Leo menceritakan tentang masalah yang dialami Alana. Dia bercerita tentang mimpi buruk yang membuat Alana ketakutan dan sulit tidur hingga pagi hari. Karena itu, Leo memutuskan untuk tidak
"Jangan bunuh anakku! Aku mohon," mohon Alana dalam rintih kesakitan dan tangis.Tenaganya telah habis dan suara tangisnya hampir tak terdengar lagi. Arga telah melakukan hal yang membuat dunianya runtuh dan tak berarti lagi. Meskipun ia memberontak dan menjerit, tak seorang pun yang bisa menolongnya. Hidupnya telah hancur dan kini ia berada pada titik terdalam kesedihan yang tak terbayangkan. Semua harapan dan impian yang pernah dimilikinya kini sirna, meninggalkan dirinya dalam kehancuran yang sangat menyakitkan. Alana kembali berteriak histeris sembari memberontak menggunakan sisa tenaganya. Meski merasa tidak lagi memiliki harapan karena Arga terus menghujam tubuhnya dengan maksud untuk membunuh bayi dalam perutnya, Alana, dia berharap masih memiliki harapan untuk menyelamatkan anaknya."Berhentilah melawan, Alana! Tidak ada yang bisa menyelamatkan anakmu," ujar Arga dengan bengisnya."Dasar bajingan! Aku bersumpah akan membunuhmu, Arga!" sumpah Alana.Plak!Arga kembali melayang