"Apa? Aku harus menikah dengan om Leo?"
"Begitulah isi surat wasiat yang mama dan papamu tinggalkan, Nona.""Tidak. Ini tidak mungkin. Anda pasti salah baca."Seluruh otot wajah Alana menegang. Matanya yang bening dan bulat semakin membola setelah mendengar isi surat wasiat yang dibacakan oleh pengacara kepercayaan orangtuanya. Bahkan gadis berumur 20 tahun itu sampai bangkit dari duduknya dan sedikit membungkuk ke arah pria setengah baya menunjukkan gestur tidak percaya dan menentang."Alana."Seorang pria dewasa memiliki wajah tampan yang sejak tadi duduk di sampingnya mengulurkan tangan dengan tenang meraih pergelangan tangan Alana. Dia adalah Leo, pria yang namanya juga disebut dalam surat wasiat."Duduklah dan kita bicarakan dengan tenang!" sambung Leo meminta Alana kembali duduk.Alana segera memutar poros lehernya menghadap Leo dan memberinya tatapan tajam melekat. Dari sorot matanya menunjukkan rasa jengkel dan marah. Wajahnya semakin memerah setelah beberapa saat pandangnya beradu dengan Leo yang masih saja duduk dengan tenang. Alana semakin kesal melihat Leo bergeming."Om, kenapa kamu masih saja bisa tenang?" kesal Alana memutar posisi tubuh menghadap Leo. "Bicara, dong!" Alana menghentakkan kaki mengekspresikan kekesalannya."Duduklah!" minta Leo dengan sabar menarik kembali tangan Alana untuk duduk.Masih belum bisa menerima apa yang dia dengar, Alana terpaksa menuruti permintaan Leo dan duduk kembali di samping pria itu. Wajahnya masih marah dan kesal. Sungguh dia ingin memberontak dan membantah lagi, tapi lagi-lagi Leo memintanya tenang dan mendengarkan sampai pengacara orangtuanya selesai membacakan surat wasiat yang mereka tinggalkan."Om, kamu juga tidak percaya, kan?" Alana memberi tatapan penuh harap pada Leo. Dia ingin pria yang duduk di sampingnya itu juga tidak mempercayai isi surat wasiat itu atau paling tidak membantah sepertinya."Aku percaya," jawab Leo membalas sorot mata Alana."Om!" Alana membentak marah."Alana."Leo kembali meraih tangan Alana dan berusaha menggenggamnya, namun gadis itu segera menepis."Aku tidak percaya. Pasti ada yang salah dengan surat itu," bantah Alana."Nona, semua isi surat ini ditulis langsung oleh tuan Charles menggunakan tangan agar kamu percaya," ucap pengacara setelah selesai membacakan isi surat wasiat. Dia mengatakan hal itu karena Alana masih belum bisa percaya kalau surat itu dibuat oleh orangtuanya. "Silakan kamu periksa keasliannya!" sambung pengacara menyodorkan surat itu pada Alana.Alana terdiam untuk beberapa saat sembari menatap lekat pengacara itu, meski pada akhirnya surat itu diambil juga. Alana melihat dan mengamati. Meski hanya sekilas, tapi dia tidak pernah lupa bagaimana bentuk dan tulisan ayahnya."Ini memang tulisan papa," ucapnya lirih.Air matanya jatuh melihat tulisan yang terangkai rapi membentuk sebuah kata hingga menjadi susunan kalimat. Meski tulisan itu tegak bersambung, tapi dapat dibaca dengan jelas. Bahkan di lembar terakhir dibubuhkan tanda tangan dan nama ayahnya, Charles Wijaya Jingga."Papa." Alana menangis.Tiba-tiba Alana merasakan kerinduan terhadap kedua orangtuanya. Namun, dalam kerinduan itu terselip kemarahan karena mereka meninggalkan wasiat yang tidak bisa diterimanya dengan mudah. Bahkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya."Alana." Leo mengusap air mata Alana dan membelai lembut rambutnya.Alana mengangkat wajah, menatap Leo dengan matanya yang basah."Om, ini hanya mimpi, kan? Kita tidak mungkin menikah, bukan?" ucapnya menahan isak tangis.Pedih hati Leo melihat gadis kecilnya yang dulu selalu ceria kini tumbuh dewasa dan menangis di depannya. Leo merengkuh pundak dan membawa kepala Alana bersandar dalam dekapannya dan membiarkan gadis itu menumpahkan kemarahannya lewat tangis."Kita tidak akan menikah, kan, Om?" Kembali Alana mengulang pertanyaan itu setelah beberapa saat dalam dekapan Leo.Alana mengangkat wajah dan menjauhkan dari dada Leo setelah beberapa saat tidak mendapat respon. Matanya masih basah menilik manik mata Leo mencari jawaban atas pertanyaannya. Dia ingin mendengar pendapat Leo dan berharap Leo pun tidak menyetujui surat wasiat orangtuanya."Om?" Alana merajuk."Alana, papamu menulis surat seperti itu pasti memiliki tujuan dan maksud," jawab Leo dengan suara lembut."Jadi, Om setuju?" Alana semakin memberi jarak antara mereka. Matanya kembali membola dan kemarahannya kembali tergambar pada wajahnya yang telah basah oleh air mata."Tidak ada alasan untuk tidak setuju."Alana tercengang dan terdiam membeku mendengar jawaban Leo. Jawaban itu meleset jauh dari yang diharapkan. Bahkan pria yang selama ini menemaninya, menggantikan sosok orangtua untuknya, masih terlihat tenang."Om, kita ini keluarga," seru Alana."Nona, kamu dan tuan Leo-"Leo mengangkat tangan menghentikan perkataan pengacara."Alana, kita tidak bisa membantah surat wasiat papamu," ucap Leo.Tatapan Alana semakin garang dan marah. Dia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Leo. Pria yang selama 15 tahun menjaga dan membesarkan, bahkan menjadi orangtua pengganti itu tiba-tiba menjadi sosok orang lain yang tidak dia kenal.Leo telah menjadi sosok yang tidak berperasaan. Bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda ada di pihaknya, bersama-sama membantah surat wasiat yang ditinggalkan papanya."Alana, sebenarnya aku juga tidak bisa menerima semua ini, tapi aku yakin mereka melakukan ini pasti mempunyai tujuan dan maksud yang belum kita ketahui," ucap Leo kembali mencoba memberi pengertian.Sebenarnya bukan hanya Alana yang tidak bisa menerima permintaan orangtua Alana agar mereka menikah, Leo pun kaget dan tidak bisa menerima dengan mudah. Meski sebelumnya Charles pernah membahas tentang Alana dan masa depannya, tapi dia sama sekali tidak menyangka bila Charles menulis surat wasiat seperti itu, yang mengharuskan mereka menikah setelah Alana berusia 20 tahun."Apa pun alasannya, aku tetap tidak setuju kita menikah," ujar Alana.Alana memutar tubuh dan berlalu begitu saja dari hadapan Leo dan pengacara itu. Langkah kakinya cepat, bahkan berlari kecil menuju kamar. Alana segera membuka pintu kamar dan menutupnya kembali dengan cara membanting.Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang kecuali menghempaskan tubuh rampingnya di atas kasur empuk, lalu menangis terisak. Dunianya seakan langsung kelabu. Masa mudanya suram."Tuan-""Dia pasti shock," gumam Leo masih menatap lekat pintu kamar Alana."Ya, aku tau," sahut pengacara setuju dengan perkataan Leo. "Tapi pernikahan ini harus tetap terlaksana," sambungnya.Leo menarik perhatiannya, lalu mengalihkan pada pengacara itu."Apa tidak bisa ditunda? Umur Alana masih belum genap dua puluh tahun.""Tidak bisa. Saat genap dua puluh tahun, kalian harus sudah menikah. Itu baru aman."Leo kembali terdiam.Sejujurnya bukan hanya Alana yang menolak pernikahan itu, dia juga. Leo telah menganggap Alana seperti keluarganya sendiri, keponakannya. Sejak berumur 5 tahun, dialah yang merawat, membesarkan, bahkan mengasuh Alana hingga sekarang ini. Bahkan sebagian waktu hidupnya dicurahkan untuk Alana. Sekarang dia harus menikah dengan bocah kecil yang tumbuh di sampingnya? Ini tidak mudah."Tapi aku-""Tuan, aku tidak percaya Anda tidak mengetahui alasan tuan Charles menulis surat wasiat seperti ini," ucap pengacara menatap lekat Leo."Alana, kita harus bicara," ucap Leo saat melihat Alana keluar dari kamar hendak pergi.Sejak pengacara membacakan isi surat wasiat Charles, orangtunya, Alana sering mengurung diri, bahkan sama sekali tidak mau bicara dengan Leo. Dia sering menghindar dan lebih suka berada di luar rumah dengan alasan banyak tugas di kampus."Alana, aku bicara denganmu," seru Leo ketika Alana kembali melanjutkan langkah tanpa melihatnya.Alana kembali menghentikan langkah. Masih dengan wajah yang sama, marah, kesal dan jutek, Alana memutar tubuh untuk melihat Leo. Tatapannya tajam nan bengis penuh kemarahan. Bahkan ada sirat kebencian di dalam manik matanya yang bulat."Kemari dan duduk!" perintah Leo. Kali ini suaranya terdengar tegas.Alana masih bergeming."Alana!" Kembali Leo memintanya datang.Meski kesal, marah dan benci, Alana akhirnya melangkahkan kaki mendekati Leo."Duduk dan sarapan! Setelah itu aku akan mengantarmu," ucap Leo. Kali ini suaranya lebih lunak dan lembut.Melihat Alana datang p
"Maafin Alana, ya, Om," ucap Alana berwajah sedih.Leo tersenyum mendengar kata maaf dari Alana. Gadis kecilnya itu akan mengucap kata maaf bila dia merasa bersalah.Leo kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang menghadap Alana."Tidurlah, sudah malam!" Leo menepuk punggung tangan Alana.Sekali lagi pria itu merapikan selimut Alana. Meski merasa sedih melihat wajah Alana, tapi bibirnya tetap tersenyum."Selamat malam, Om," ucap Alana ketika Leo di ambang pintu."Selamat malam, Honey," balas Leo, lalu menutup pintu dan meninggalkan Alana.Setelah kepergian Leo, Alana belum juga bisa memejamkan mata. Apa yang tidak sengaja dia dengar membuat hatinya gelisah dan tidak tenang.Selama ini Leo telah berkorban banyak untuknya, bahkan berkorban setengah dari kehidupannya. Apa sekarang saatnya giliran Alana yang berkorban untuk Leo?"Pa, kenapa aku harus menikah dengan om Leo? Kenapa tidak dengan cara lain saja?" lirih Alana. Pandangnya lurus ke langit-langit kamar dengan penerangan redup.Ke
"Masih ada waktu lima belas menit," ucap Leo melirik benda pipih di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran," sambungnya mengalihkan pandang pada Alana.Alana terdiam. Hanya sorot mata bening miliknya yang membalas tatapan Leo dan merespon sosok om yang beberapa menit lagi akan berubah status menjadi suaminya.Leo tersenyum tipis melihat wajah cantik Alana dihiasi dengan mimik cemberut. Wajah yang terpoles sederhana, tapi sedih itu seharusnya tidak terlihat oleh matanya dan seharusnya pernikahan membuat sebagian orang bahagia. Sayangnya tidak untuk Leo dan Alana, pernikahan yang akan mereka langsungkan adalah pernikahan di luar rencana kehidupan mereka."Jawablah!" Leo melirik benda pipih yang sejak tadi ada di genggaman Alana karena ponsel milik gadis itu berdering."Nanti saja," jawab Alana. Jemari lentiknya menekan tombol tolak sehingga dering ponselnya berhenti.Sejak tadi, meski tubuh Alana duduk diam, tapi jemarinya sibuk menekan tombol-tombol aja
"Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?" Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca."Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban."Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan k
"Alana, aku jawab telepon sebentar," ucap Barca, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.Alana tidak menjawab perkataan Barca. Dia hanya mengangguk sembari terus menikmati makanannya."Hiks ... hiks ... hiks ...," tangis Alana pecah.Setelah kepergian Barca, Alana menangis. Tangisan yang sejak tadi ditahan dan telah membuat dadanya terasa ingin meledak, akhirnya pecah juga. Dia merasa pernikahannya dengan Leo telah menghianati cinta yang telah dirajut bersama Barca."Nona, Anda butuh tisu?" Seorang perempuan yang baru datang dan bermaksud duduk bersebelahan meja dengannya menyodorkan tisu.Alana mendongak melihat wajah wanita itu sekilas, lalu menerima pemberiannya dan menggunakan tisu itu untuk mengelap ingus yang keluar dari hidung mancungnya."Terima kasih," ucapnya dengan sisa tangis."Sama-sama," balas wanita itu sembari tersenyum. "Nona, apakah pria tadi kekasihmu?" sambung wanita itu setelah melihat Alana tidak menangis lagi.Alana mengarahkan mata basahnya
"Kamu lelah?" Leo melontarkan pertanyaan lain pada Alana."Em." Alana mengangguk.Rasanya malam ini dia sangat enggan untuk melakukan apa pun, termasuk berbicara dengan Leo. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya kesal, marah dan lelah. Namun, Alana merasa tidak berdaya. Kehidupan sepertinya sedang mempermainkannya."Kalau begitu tidurlah!" ucap Leo tersenyum sembari mengusap-usap pucuk kepala Alana. "Nanti kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," sambungnya.Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, Alana langsung memejamkan mata. Sesungguhnya dia belum mengantuk. Hanya saja tidak ingin melakukan apa-apa. Jalan satu-satunya menghindari obrolan dengan Leo adalah dengan tidur atau memejamkan mata berpura-pura tidur.Melihat Alana terpejam dan patuh membuat Leo mengulas senyum. Kembali tangannya mengusap-usap pucuk kepala Alana, sedangkan tangan lainnya mengendalikan lingkaran setir. Leo melakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang."Alana!" panggil Leo dengan suara lirih.Meski aw
"Barca, aku sudah sampai," ucap Alana menghubungi Barca via phone."Ya. Tunggu di sana! Aku dalam perjalanan," balas Barca.Malam ini Barca mengajak Alana bertemu di sebuah cafe. Sebenarnya Alana enggan pergi. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Bahkan dua hari ini tidak pergi ke kampus. Dia juga tidak memberitahu hal ini pada Leo.Karena tidak mau membuat Barca kecewa, dia terpaksa setuju dan pergi, meski sebenarnya sangat malas dan enggan."Mbak!" panggil Alana sembari mengangkat tangan pada pelayanan cafe. "Tolong tambahkan capucino lagi!" mintanya setelah pelayan menghampiri.Alana menunggu kedatangan Barca dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, tapi Barca belum juga datang. Alana juga sudah menghabiskan dua gelas cappucino dan satu botol air mineral."Barca, kamu di mana? Aku sudah lama menunggu." Alana mengirim pesan pada nomor Barca karena beberapa kali melakukan panggilan pria itu tidak menjawab. Pesan chat yang dikirim pun tidak ada respon, tidak dibaca oleh keka
"Om Leo!" teriak Alana.Alana sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dua pria yang sedang bergulat."Om, cukup, Om!" Alana berusaha menghentikan amukan Leo pada Barca."Lepaskan, Alana! Biar aku bunuh pria brengsek ini!" Leo menepis tangan Alana dari lengannya dan kembali melayangkan tinju pada wajah Barca.Melihat Barca menjadi bulan-bulanan Leo dan teman-temannya hanya bisa diam menyaksikan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena Damaian telah mengunci mereka. Sedangkan Eris, wanita yang dipilih Barca dibanding Alana hanya terdiam memberi jarak dengan menatap ngeri."Cukup, Om!"Alana tidak bisa menahan dan menurunkan kemarahan Leo hanya dengan berteriak, menangis dan memohon. Karena Leo telah naik hitam, jalan satu-satunya hanya dengan memeluk erat. Alana melakukan hal itu. Dia memeluk erat tubuh Leo dari belakang sembari menangis dan memohon agar Leo menghentikan kebrutalnya. Alana sama sekali tidak memikirkan bahaya yang datang padanya. Bisa saja Leo hilang kendali seh