Beranda / Romansa / Hasrat Cinta Om Leo / Bab 1. Surat Wasiat

Share

Hasrat Cinta Om Leo
Hasrat Cinta Om Leo
Penulis: Soesan

Bab 1. Surat Wasiat

"Apa? Aku harus menikah dengan om Leo?"

"Begitulah isi surat wasiat yang mama dan papamu tinggalkan, Nona."

"Tidak. Ini tidak mungkin. Anda pasti salah baca."

Seluruh otot wajah Alana menegang. Matanya yang bening dan bulat semakin membola setelah mendengar isi surat wasiat yang dibacakan oleh pengacara kepercayaan orangtuanya. Bahkan gadis berumur 20 tahun itu sampai bangkit dari duduknya dan sedikit membungkuk ke arah pria setengah baya menunjukkan gestur tidak percaya dan menentang.

"Alana."

Seorang pria dewasa memiliki wajah tampan yang sejak tadi duduk di sampingnya mengulurkan tangan dengan tenang meraih pergelangan tangan Alana. Dia adalah Leo, pria yang namanya juga disebut dalam surat wasiat.

"Duduklah dan kita bicarakan dengan tenang!" sambung Leo meminta Alana kembali duduk.

Alana segera memutar poros lehernya menghadap Leo dan memberinya tatapan tajam melekat. Dari sorot matanya menunjukkan rasa jengkel dan marah. Wajahnya semakin memerah setelah beberapa saat pandangnya beradu dengan Leo yang masih saja duduk dengan tenang. Alana semakin kesal melihat Leo bergeming.

"Om, kenapa kamu masih saja bisa tenang?" kesal Alana memutar posisi tubuh menghadap Leo. "Bicara, dong!" Alana menghentakkan kaki mengekspresikan kekesalannya.

"Duduklah!" minta Leo dengan sabar menarik kembali tangan Alana untuk duduk.

Masih belum bisa menerima apa yang dia dengar, Alana terpaksa menuruti permintaan Leo dan duduk kembali di samping pria itu. Wajahnya masih marah dan kesal. Sungguh dia ingin memberontak dan membantah lagi, tapi lagi-lagi Leo memintanya tenang dan mendengarkan sampai pengacara orangtuanya selesai membacakan surat wasiat yang mereka tinggalkan.

"Om, kamu juga tidak percaya, kan?" Alana memberi tatapan penuh harap pada Leo. Dia ingin pria yang duduk di sampingnya itu juga tidak mempercayai isi surat wasiat itu atau paling tidak membantah sepertinya.

"Aku percaya," jawab Leo membalas sorot mata Alana.

"Om!" Alana membentak marah.

"Alana."

Leo kembali meraih tangan Alana dan berusaha menggenggamnya, namun gadis itu segera menepis.

"Aku tidak percaya. Pasti ada yang salah dengan surat itu," bantah Alana.

"Nona, semua isi surat ini ditulis langsung oleh tuan Charles menggunakan tangan agar kamu percaya," ucap pengacara setelah selesai membacakan isi surat wasiat. Dia mengatakan hal itu karena Alana masih belum bisa percaya kalau surat itu dibuat oleh orangtuanya. "Silakan kamu periksa keasliannya!" sambung pengacara menyodorkan surat itu pada Alana.

Alana terdiam untuk beberapa saat sembari menatap lekat pengacara itu, meski pada akhirnya surat itu diambil juga. Alana melihat dan mengamati. Meski hanya sekilas, tapi dia tidak pernah lupa bagaimana bentuk dan tulisan ayahnya.

"Ini memang tulisan papa," ucapnya lirih.

Air matanya jatuh melihat tulisan yang terangkai rapi membentuk sebuah kata hingga menjadi susunan kalimat. Meski tulisan itu tegak bersambung, tapi dapat dibaca dengan jelas. Bahkan di lembar terakhir dibubuhkan tanda tangan dan nama ayahnya, Charles Wijaya Jingga.

"Papa." Alana menangis.

Tiba-tiba Alana merasakan kerinduan terhadap kedua orangtuanya. Namun, dalam kerinduan itu terselip kemarahan karena mereka meninggalkan wasiat yang tidak bisa diterimanya dengan mudah. Bahkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya.

"Alana." Leo mengusap air mata Alana dan membelai lembut rambutnya.

Alana mengangkat wajah, menatap Leo dengan matanya yang basah.

"Om, ini hanya mimpi, kan? Kita tidak mungkin menikah, bukan?" ucapnya menahan isak tangis.

Pedih hati Leo melihat gadis kecilnya yang dulu selalu ceria kini tumbuh dewasa dan menangis di depannya. Leo merengkuh pundak dan membawa kepala Alana bersandar dalam dekapannya dan membiarkan gadis itu menumpahkan kemarahannya lewat tangis.

"Kita tidak akan menikah, kan, Om?" Kembali Alana mengulang pertanyaan itu setelah beberapa saat dalam dekapan Leo.

Alana mengangkat wajah dan menjauhkan dari dada Leo setelah beberapa saat tidak mendapat respon. Matanya masih basah menilik manik mata Leo mencari jawaban atas pertanyaannya. Dia ingin mendengar pendapat Leo dan berharap Leo pun tidak menyetujui surat wasiat orangtuanya.

"Om?" Alana merajuk.

"Alana, papamu menulis surat seperti itu pasti memiliki tujuan dan maksud," jawab Leo dengan suara lembut.

"Jadi, Om setuju?" Alana semakin memberi jarak antara mereka. Matanya kembali membola dan kemarahannya kembali tergambar pada wajahnya yang telah basah oleh air mata.

"Tidak ada alasan untuk tidak setuju."

Alana tercengang dan terdiam membeku mendengar jawaban Leo. Jawaban itu meleset jauh dari yang diharapkan. Bahkan pria yang selama ini menemaninya, menggantikan sosok orangtua untuknya, masih terlihat tenang.

"Om, kita ini keluarga," seru Alana.

"Nona, kamu dan tuan Leo-"

Leo mengangkat tangan menghentikan perkataan pengacara.

"Alana, kita tidak bisa membantah surat wasiat papamu," ucap Leo.

Tatapan Alana semakin garang dan marah. Dia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Leo. Pria yang selama 15 tahun menjaga dan membesarkan, bahkan menjadi orangtua pengganti itu tiba-tiba menjadi sosok orang lain yang tidak dia kenal.

Leo telah menjadi sosok yang tidak berperasaan. Bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda ada di pihaknya, bersama-sama membantah surat wasiat yang ditinggalkan papanya.

"Alana, sebenarnya aku juga tidak bisa menerima semua ini, tapi aku yakin mereka melakukan ini pasti mempunyai tujuan dan maksud yang belum kita ketahui," ucap Leo kembali mencoba memberi pengertian.

Sebenarnya bukan hanya Alana yang tidak bisa menerima permintaan orangtua Alana agar mereka menikah, Leo pun kaget dan tidak bisa menerima dengan mudah. Meski sebelumnya Charles pernah membahas tentang Alana dan masa depannya, tapi dia sama sekali tidak menyangka bila Charles menulis surat wasiat seperti itu, yang mengharuskan mereka menikah setelah Alana berusia 20 tahun.

"Apa pun alasannya, aku tetap tidak setuju kita menikah," ujar Alana.

Alana memutar tubuh dan berlalu begitu saja dari hadapan Leo dan pengacara itu. Langkah kakinya cepat, bahkan berlari kecil menuju kamar. Alana segera membuka pintu kamar dan menutupnya kembali dengan cara membanting.

Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang kecuali menghempaskan tubuh rampingnya di atas kasur empuk, lalu menangis terisak. Dunianya seakan langsung kelabu. Masa mudanya suram.

"Tuan-"

"Dia pasti shock," gumam Leo masih menatap lekat pintu kamar Alana.

"Ya, aku tau," sahut pengacara setuju dengan perkataan Leo. "Tapi pernikahan ini harus tetap terlaksana," sambungnya.

Leo menarik perhatiannya, lalu mengalihkan pada pengacara itu.

"Apa tidak bisa ditunda? Umur Alana masih belum genap dua puluh tahun."

"Tidak bisa. Saat genap dua puluh tahun, kalian harus sudah menikah. Itu baru aman."

Leo kembali terdiam.

Sejujurnya bukan hanya Alana yang menolak pernikahan itu, dia juga. Leo telah menganggap Alana seperti keluarganya sendiri, keponakannya. Sejak berumur 5 tahun, dialah yang merawat, membesarkan, bahkan mengasuh Alana hingga sekarang ini. Bahkan sebagian waktu hidupnya dicurahkan untuk Alana. Sekarang dia harus menikah dengan bocah kecil yang tumbuh di sampingnya? Ini tidak mudah.

"Tapi aku-"

"Tuan, aku tidak percaya Anda tidak mengetahui alasan tuan Charles menulis surat wasiat seperti ini," ucap pengacara menatap lekat Leo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status