"Maafin Alana, ya, Om," ucap Alana berwajah sedih.
Leo tersenyum mendengar kata maaf dari Alana. Gadis kecilnya itu akan mengucap kata maaf bila dia merasa bersalah.Leo kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang menghadap Alana."Tidurlah, sudah malam!" Leo menepuk punggung tangan Alana.Sekali lagi pria itu merapikan selimut Alana. Meski merasa sedih melihat wajah Alana, tapi bibirnya tetap tersenyum."Selamat malam, Om," ucap Alana ketika Leo di ambang pintu."Selamat malam, Honey," balas Leo, lalu menutup pintu dan meninggalkan Alana.Setelah kepergian Leo, Alana belum juga bisa memejamkan mata. Apa yang tidak sengaja dia dengar membuat hatinya gelisah dan tidak tenang.Selama ini Leo telah berkorban banyak untuknya, bahkan berkorban setengah dari kehidupannya. Apa sekarang saatnya giliran Alana yang berkorban untuk Leo?"Pa, kenapa aku harus menikah dengan om Leo? Kenapa tidak dengan cara lain saja?" lirih Alana. Pandangnya lurus ke langit-langit kamar dengan penerangan redup.Kembali Alana menangis dalam diam. Pilihan yang dihadapkan padanya terlalu berat di usianya yang masih terlalu muda. Dia masih ingin menikmati masa mudanya seperti gadis yang lain.Salah satunya, Alana juga memiliki kekasih. Bagaimana bisa menikah dengan Leo? Bagaimana kehidupan di kampus bila teman-temannya tau dia telah menikah dengan om sendiri?"Aaa!!"Alana berteriak sembari menutup kedua telinga. Kepalanya terasa sakit dan pusing. Banyak benang kusut yang tidak bisa diurai dengan cepat.Karena tidak juga menemukan jalan ke luar, gadis itu meraih ujung selimut dan menutup seluruh wajah hingga kepala pun tak terlihat. Alana pasrah pada malam yang terus berlalu dan terbangun oleh pagi yang menyongsong.***"Aku mau menikah dengan Om Leo," ucap Alana tiba-tiba."Uhuk!"Tiba-tiba juga Leo tersedak oleh teh hangat yang baru saja diseruput. Dia terkejut. Alana yang baru saja keluar dari kamar dan mendekat, tiba-tiba menyatakan setuju menikah dengannya."Alana, apa yang kamu katakan?" tanyanya setelah meletakkan cangkir teh di atas meja.Alana tidak segera menjawab. Gadis itu menatap Leo lekat, lalu duduk di samping Leo dengan meja bundar kecil di antara mereka."Aku setuju menikah dengan Om Leo," ucapnya lagi memperjelas apa yang sudah dia katakan.Leo mengernyitkan kedua ujung alis dengan mata sedikit menyipit, namun tatapannya penuh selidik menusuk manik bening mata Alana."Alana, kamu masih tidur dan mengigau?""Tidak." Alana menggelengkan kepala."Kamu kesurupan?" Leo masih tidak percaya."Aku serius, Om. Aku setuju menikah dengan Om Leo," seru Alana geram. "Tapi dengan syarat," sambungnya.Leo semakin menajamkan mata. Bahkan kali ini menatapnya dengan sedikit lirikan."Syarat?""Ya." Alana mengangguk. "Aku setuju menikah dengan Om Leo, tapi pernikahan ini hanya kita yang tau. Aku tidak mau ada orang lain yang tau, terlebih teman kuliahku," sambungnya.Leo kembali terdiam. Kesadarannya masih di ambang bawah sadar untuk menelaah apa yang terjadi."Aku juga tidak mau ada hubungan badan antara kita. Kita tetap tidur terpisah kamar," sambung Alana.Lagi-lagi Leo masih belum bisa memberi respon dengan kata-kata."Satu lagi! Aku sudah punya pacar. Aku tidak mau pacarku tau tentang pernikahan ini. Aku juga tidak mau putus dengannya," sambungnya lagi tanpa menunggu umpan balik Leo.Mendengar Alana telah memiliki pacar, kali ini wajah Leo mulai memberikan ekspresi berbeda. Ada senyum tipis terukir pada bibirnya. Sayangnya, senyum itu tidak membuat Alana senang."Om, aku serius," seru Alana lagi."Kamu sudah punya pacar?""Ya? Dia kakak seniorku di kampus. Hubungan kami baru beberapa bulan ini, tapi aku sangat menyukainya."Leo menarik napas panjang, lalu menghembuskan secara perlahan sembari menyenderkan punggung."Alana, kamu tau apa yang kamu katakan ini?""Ya, aku tau," jawab Alana penuh percaya diri."Kamu tau apa itu pernikahan?"Alana terdiam. Gadis seusianya, mana tau apa itu pernikahan yang sesungguhnya?"Alana, menikah itu bukan perkara sederhana. Menikah itu-""Aku tau," potong Alana.Padahal Leo belum benar-benar menutup bibir karena masih ada hal lain yang akan dikatakan, tapi Alana sudah memotong dengan suara nyaring."Kamu tau?" Leo kembali memberinya tatapan menyelidik."Semalam aku sudah memikirkannya dengan baik," ucap Alana. Lagi-lagi keponakan Leo itu menunjukkan kepercayaan dirinya."Aku setuju menikah dengan syarat yang aku katakan tadi. Satu lagi, meski kita sudah menikah, aku mau antara kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing, termasuk urusan pribadi dengan pacarku. Yah, anggap saja seperti pernikahan kontrak atau pernikahan palsu seperti yang terjadi dalam cerita-cerita novel. Mereka menikah hanya sebagai status saja."Wajah Leo mengerut. Apa yang dikatakan Alana semakin membuatnya tidak mengerti."Kamu tidak paham, Alana." Leo mendengus."Aku paham, Om. Om Leo juga pasti tidak setuju bukan dengan isi surat wasiat papa? Aku dan Om Leo sudah hidup bersama sejak lama. Om Leo sudah seperti papa bagiku. Om Leo juga sebagai mama untukku. Sekarang kita harus menikah. Aku tau perasaan Om Leo juga berat."Ya. Yang dikatakan Alana benar. Permintaan dalam surat wasiat itu memang berat baginya, tapi sebelum Charles mengalami kecelakaan, papa Alana itu telah memberi isyarat bahwa pernikahan itu harus terjadi. Hanya saja selama ini Leo selalu mengabaikan dan menganggap isyarat itu hanya omong kosong saja."Kamu tau ini berat, kenapa kamu setuju?"Alana terdiam membalas tatapan lekat Leo. Dia tau sebenarnya Leo tidak ingin membuatnya sedih karena terpaksa menyetujui wasiat papanya."Selama ini Om Leo sudah menjaga aku hingga sekarang. Om Leo juga sudah berkorban untukku. Aku pikir, sekarang saatnya aku membalas budi Om Leo," jawab Alana dengan suara sedikit pelan, bahkan semakin lirih di akhir kalimat.Salah satu sudut bibir Leo tertarik ke samping. Pria itu memberikan senyum kecut mendengar perkataan Alana."Kamu pikir, apa yang aku lakukan selama ini, aku memintamu membalas budi?"Leo tidak suka dan tidak setuju dengan apa yang Alana pikir tentang apa yang sudah dia lakukan selama ini."Aku tidak menginginkan hal itu, Alana. Aku merawat dan membesarkanmu karena aku mau. Karena aku menyayangimu. Aku tidak membutuhkan balas budi darimu," sambung Leo sedikit memberi nada kesal.Alana masih terdiam. Jelas saja dia tau, Leo melakukan semua ini tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan apa pun darinya. Apa yang dilakukan padanya semua terlalu nyata dan tulus."Aku tau Om Leo melakukan dengan tulus, tapi aku tidak bisa membiarkan Om Leo terus berkorban untukku. Lagi pula aku tidak mau Om Leo kehilangan perusahaan dan jatuh miskin," ucap Alana memberi wajah sedih, bahkan cenderung cemberut."Ha! Ha! Ha!" Leo tertawa sedikit keras. "Dasar gadis bodoh! Siapa yang akan jatuh miskin? Meski aku kehilangan perusahaan, aku tidak akan jatuh miskin. Aku punya ilmu, punya pengalaman, aku bisa bekerja di tempat lain," sahut Leo mematahkan pikiran Alana."Tapi aku tidak mau jadi orang miskin, Om," seru Alana.Leo tercengang. Bahkan matanya membola mendengar pengakuan konyol Alana."Jadi, kamu setuju menikah karena kamu tidak mau jadi orang miskin? Bukan karena wasiat papamu? Begitu?""Masih ada waktu lima belas menit," ucap Leo melirik benda pipih di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran," sambungnya mengalihkan pandang pada Alana.Alana terdiam. Hanya sorot mata bening miliknya yang membalas tatapan Leo dan merespon sosok om yang beberapa menit lagi akan berubah status menjadi suaminya.Leo tersenyum tipis melihat wajah cantik Alana dihiasi dengan mimik cemberut. Wajah yang terpoles sederhana, tapi sedih itu seharusnya tidak terlihat oleh matanya dan seharusnya pernikahan membuat sebagian orang bahagia. Sayangnya tidak untuk Leo dan Alana, pernikahan yang akan mereka langsungkan adalah pernikahan di luar rencana kehidupan mereka."Jawablah!" Leo melirik benda pipih yang sejak tadi ada di genggaman Alana karena ponsel milik gadis itu berdering."Nanti saja," jawab Alana. Jemari lentiknya menekan tombol tolak sehingga dering ponselnya berhenti.Sejak tadi, meski tubuh Alana duduk diam, tapi jemarinya sibuk menekan tombol-tombol aja
"Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?" Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca."Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban."Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan k
"Alana, aku jawab telepon sebentar," ucap Barca, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.Alana tidak menjawab perkataan Barca. Dia hanya mengangguk sembari terus menikmati makanannya."Hiks ... hiks ... hiks ...," tangis Alana pecah.Setelah kepergian Barca, Alana menangis. Tangisan yang sejak tadi ditahan dan telah membuat dadanya terasa ingin meledak, akhirnya pecah juga. Dia merasa pernikahannya dengan Leo telah menghianati cinta yang telah dirajut bersama Barca."Nona, Anda butuh tisu?" Seorang perempuan yang baru datang dan bermaksud duduk bersebelahan meja dengannya menyodorkan tisu.Alana mendongak melihat wajah wanita itu sekilas, lalu menerima pemberiannya dan menggunakan tisu itu untuk mengelap ingus yang keluar dari hidung mancungnya."Terima kasih," ucapnya dengan sisa tangis."Sama-sama," balas wanita itu sembari tersenyum. "Nona, apakah pria tadi kekasihmu?" sambung wanita itu setelah melihat Alana tidak menangis lagi.Alana mengarahkan mata basahnya
"Kamu lelah?" Leo melontarkan pertanyaan lain pada Alana."Em." Alana mengangguk.Rasanya malam ini dia sangat enggan untuk melakukan apa pun, termasuk berbicara dengan Leo. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya kesal, marah dan lelah. Namun, Alana merasa tidak berdaya. Kehidupan sepertinya sedang mempermainkannya."Kalau begitu tidurlah!" ucap Leo tersenyum sembari mengusap-usap pucuk kepala Alana. "Nanti kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," sambungnya.Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, Alana langsung memejamkan mata. Sesungguhnya dia belum mengantuk. Hanya saja tidak ingin melakukan apa-apa. Jalan satu-satunya menghindari obrolan dengan Leo adalah dengan tidur atau memejamkan mata berpura-pura tidur.Melihat Alana terpejam dan patuh membuat Leo mengulas senyum. Kembali tangannya mengusap-usap pucuk kepala Alana, sedangkan tangan lainnya mengendalikan lingkaran setir. Leo melakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang."Alana!" panggil Leo dengan suara lirih.Meski aw
"Barca, aku sudah sampai," ucap Alana menghubungi Barca via phone."Ya. Tunggu di sana! Aku dalam perjalanan," balas Barca.Malam ini Barca mengajak Alana bertemu di sebuah cafe. Sebenarnya Alana enggan pergi. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Bahkan dua hari ini tidak pergi ke kampus. Dia juga tidak memberitahu hal ini pada Leo.Karena tidak mau membuat Barca kecewa, dia terpaksa setuju dan pergi, meski sebenarnya sangat malas dan enggan."Mbak!" panggil Alana sembari mengangkat tangan pada pelayanan cafe. "Tolong tambahkan capucino lagi!" mintanya setelah pelayan menghampiri.Alana menunggu kedatangan Barca dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, tapi Barca belum juga datang. Alana juga sudah menghabiskan dua gelas cappucino dan satu botol air mineral."Barca, kamu di mana? Aku sudah lama menunggu." Alana mengirim pesan pada nomor Barca karena beberapa kali melakukan panggilan pria itu tidak menjawab. Pesan chat yang dikirim pun tidak ada respon, tidak dibaca oleh keka
"Om Leo!" teriak Alana.Alana sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dua pria yang sedang bergulat."Om, cukup, Om!" Alana berusaha menghentikan amukan Leo pada Barca."Lepaskan, Alana! Biar aku bunuh pria brengsek ini!" Leo menepis tangan Alana dari lengannya dan kembali melayangkan tinju pada wajah Barca.Melihat Barca menjadi bulan-bulanan Leo dan teman-temannya hanya bisa diam menyaksikan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena Damaian telah mengunci mereka. Sedangkan Eris, wanita yang dipilih Barca dibanding Alana hanya terdiam memberi jarak dengan menatap ngeri."Cukup, Om!"Alana tidak bisa menahan dan menurunkan kemarahan Leo hanya dengan berteriak, menangis dan memohon. Karena Leo telah naik hitam, jalan satu-satunya hanya dengan memeluk erat. Alana melakukan hal itu. Dia memeluk erat tubuh Leo dari belakang sembari menangis dan memohon agar Leo menghentikan kebrutalnya. Alana sama sekali tidak memikirkan bahaya yang datang padanya. Bisa saja Leo hilang kendali seh
"Om!" Alana menahan lengan Leo saat tubuhnya sempurna terbaring di atas tempat tidur."Tidurlah!" ucap Leo lembut sembari menyentuh punggung tangan Alana dan mengusapnya kecil."Maafkan aku."Leo tersenyum melihat wajah penuh sesal Alana. Dia memang kecewa dan marah saat ini. Namun, Leo tidak bisa marah pada Alana, apalagi melihat keponakannya itu sedang terluka. Dia pun mendaratkan satu kecupan pada pucuk kepala Alana sebagai jawaban permintaan maaf Alana."Tidurlah! Lupakan semua yang terjadi malam ini!" ucapnya sembari mengusap-usap rambut Alana.Tadinya Alana sudah terlelap saat di perjalanan, makanya Leo mengangkat dan membaringkan di tempat tidur. Hanya saja saat tubuhnya sempurna terbaring, tiba-tiba Alana membuka mata. Mungkin karena Leo kurang hati-hati saat membaringkannya. Maklum, meski tubuh Alana ramping, tetap saja Alana bukan keponakan kecilnya lagi. Jelas saja tubuhnya memiliki beban sendiri.Alana melepas tangan Leo dan membiarkan om kesayangannya itu keluar dari kama
“Alana, ayo bangun!” Leo menyibak selimut yang menutupi tubuh Alana.“Jam berapa ini, Om?” Alana masih tidak mau membuka mata. Bahkan tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Meski Leo telah menyingkirkan selimut dari tubuhnya, tubuh ramping itu masih memeluk guling dengan hangatnya. Alana meringkuk sembari menenggelamkan wajah pada ujung guling.“Tidak usah tanya jam berapa! Buruan bangun dan cuci wajahmu!”Leo kembali meminta Alana bangun dengan cara menarik tangannya.“Om Leo, aku masih ngantuk.” Alana menepis tangan Leo dan kembali memeluk guling. Kali ini semakin erat dengan tubuh semakin melengkung.“Alana, bangun!” Leo kembali menarik tangan Alana.Alana menggeser tubuh menjauhi Leo.“Hari ini aku males ke kampus,” ucap Alana sembari mata terpejam.Leo tersenyum tipis. Dia tau keponakannya itu masih terluka, makanya tidak memiliki semangat untuk pergi ke kampus.Leo naik ke atas tempat tidur dan duduk di belakang Alana dengan tubuh serong menghadap Alana. Punggung Alana menjadi ti