"Alana, kita harus bicara," ucap Leo saat melihat Alana keluar dari kamar hendak pergi.
Sejak pengacara membacakan isi surat wasiat Charles, orangtunya, Alana sering mengurung diri, bahkan sama sekali tidak mau bicara dengan Leo. Dia sering menghindar dan lebih suka berada di luar rumah dengan alasan banyak tugas di kampus."Alana, aku bicara denganmu," seru Leo ketika Alana kembali melanjutkan langkah tanpa melihatnya.Alana kembali menghentikan langkah. Masih dengan wajah yang sama, marah, kesal dan jutek, Alana memutar tubuh untuk melihat Leo. Tatapannya tajam nan bengis penuh kemarahan. Bahkan ada sirat kebencian di dalam manik matanya yang bulat."Kemari dan duduk!" perintah Leo. Kali ini suaranya terdengar tegas.Alana masih bergeming."Alana!" Kembali Leo memintanya datang.Meski kesal, marah dan benci, Alana akhirnya melangkahkan kaki mendekati Leo."Duduk dan sarapan! Setelah itu aku akan mengantarmu," ucap Leo. Kali ini suaranya lebih lunak dan lembut.Melihat Alana datang padanya, Leo bangkit dari duduknya dan menarik kursi agar Alana duduk di depannya dan sarapan bersama."Aku tidak lapar," ucap Alana dengan wajah cemberut."Aku masak makanan kesukaanmu." Leo tidak menghiraukan wajah Alana. "Dari kemarin kamu belum makan," sambungnya sembari mengisi piring di depan Alana dengan nasi goreng sea food kesukaan Alana."Aku sudah bilang, aku tidak lapar, Om!" seru Alana bertambah kesal karena Leo memaksanya makan. Alana mendorong dan menjauhkan piring itu dari hadapannya.Leo mencoba tersenyum meski mendapat kemarahan Alana."Makanlah! Setelah ini kita bicarakan tentang pernikahan." Leo kembali mendekatkan piring itu pada Alana."Aku tidak mau makan. Aku juga tidak mau menikah dengan om Leo," ucap Alana. Kali ini suaranya tidak bervolume, namun wajahnya semakin cemberut dan marah."Terserah kamu mau menikah atau tidak, tapi yang jelas saat ini kamu harus makan. Aku tidak mau kamu sakit," ucap Leo.Alana mengangkat wajah dan menatap lekat Leo. Pria dihadapannya itu kembali terlihat tenang, bahkan dari bibirnya tersungging senyum tipis saat mata mereka beradu. Hal itu membuat kemarahan yang berkobar dalam dirinya sedikit mengalami penyusutan. Alana menyadari bagaimana Leo merawat dan membesarkannya, juga memberinya kasih sayang yang tidak sempat dia dapatkan lagi dari orangtuanya."Makanlah!" minta Leo. Lagi-lagi senyumnya mengembang.Tidak bisa menolak kebaikan dan kelembutan Leo, Alana pun akhirnya mengambil sendok, lalu memasukkan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya. Hal itu terulang hingga nasi goreng dalam piringnya hampir habis.Leo sendiri tidak mau mengganggu saat Alana makan, makanya selama gadis itu makan, tidak ada obrolan tentang pernikahan dan surat wasiat itu. Dia lebih memilih berbicara tentang masalah kuliah Alana sebagai topik pembicaraan mereka."Aku antar kamu kuliah," ucap Leo setelah mereka menyelesaikan sarapan pagi ini.Untuk beberapa hari Leo tidak membahas masalah pernikahan. Dia menunggu sampai Alana kembali tenang dan tidak marah lagi padanya. Hanya saja waktu yang dia pikir cepat, ternyata tidak. Kemarahan Alana masih berlanjut hingga beberapa hari. Meski tidak lagi menghindar, tapi Alana masih tidak banyak bicara.Hingga suatu malam Alana mendengar percakapan Leo dengan seseorang di telepon, tiba-tiba kakinya terasa lemas. Dia baru percaya kalau sebenarnya Leo pun tidak bisa menerima pernikahan itu dengan mudah."Om," panggil Alana mendekati Leo saat pria itu sibuk dengan laptop kerjanya."Alana, kamu belum tidur?"Leo kaget melihat Alana belum tidur, padahal waktu menunjukkan pukul 23:00 WIB. Leo segera menutup laptopnya dan meraih tangan Alana untuk duduk di depannya."Ada apa?" tanyanya lembut. "Kenapa wajahmu cemberut?" sambungnya sembari mencubit pipi Alana.Dia pikir setelah beberapa hari tidak lagi membicarakan masalah surat wasiat membuat Alana tenang dan kembali ceria. Bahkan Leo telah memutuskan untuk tidak memaksakan pernikahan itu kalau memang Alana tidak menyetujuinya, tapi malam ini wajah Alana kembali bersedih dan muram."Seberapa berharga aku bagi Om Leo?"Leo kaget, tiba-tiba Alana melontarkan pertanyaan itu padanya. Meski begitu, dari sudut bibirnya tersungging senyuman."Lebih berharga dari nyawaku," jawab Leo sembari mengusap pucuk kepala Alana. "Kamu satu-satunya keponakanku. Kamu pasti paling berharga," sambungnya. Kali ini Leo mencubit ujung hidung mancung Alana. Senyumnya jelas saja masih mengembang menghiasi wajahnya yang tampan.Ya, meski sudah memasuki usia 30 tahun, wajah Leo tetap terlihat tampan. Bahkan bisa dikatakan lebih menawan. Sayangnya, sampai usianya yang matang dan seharusnya telah menikah, Leo masih jomblo. Dia juga tidak pernah membawa wanita pulang atau diperkenalkan pada Alana sebagai kekasih."Bagaimana dengan perusahaan? Apa aku lebih berharga dari perusahaan?" Lagi-lagi Alana memberi tatapan lekat mendalam pada manik mata Leo."Dasar gadis bodoh!" Leo kembali menarik ujung hidung Alana. "Jelas saja kamu lebih berharga dari perusahaan," sambungnya lagi.Alana akhirnya tersenyum. Senyum yang dipaksakan, tapi sebenarnya jauh di dalam hatinya teriris. Jawaban Leo membuat dadanya sesak dan sakit. Alana hampir menangis, tapi dengan cepat menekan agar air matanya tidak jatuh."Alana, ada apa?"Seberapa pun usaha Alana menutupi kesedihannya dengan senyum, Leo masih bisa membaca sorot matanya."Bila kita menikah, apa bisa menyelamatkan perusahaan?""Alana, apa yang kamu bicarakan? Aku tidak mengerti," sahut Leo mengelak untuk mengerti."Aku sudah tau semuanya, Om. Saat umurku dua puluh tahun dan aku belum menikah, maka perusahaan akan diambil alih kepemilikannya dan bisa saja Om Leo tidak memiliki apa-apa.""Apa yang kamu katakan?" Lagi-lagi Leo berpura-pura tidak paham."Kemarin aku menemui pengacara papa. Dia menjelaskan semuanya padaku. Awalnya aku masih tidak percaya dan menganggap apa yang dikatakan itu hanya sebuah alasan agar aku setuju menikah denganmu, tapi setelah mendengarnya sendiri malam ini, aku percaya," ucap Alana.Ternyata tanpa diketahui Leo, Alana diam-diam menemui pengacara papanya. Rupanya dia masih belum bisa menganggap surat wasiat itu sebagai angin lalu meski beberapa hari Leo tidak lagi membahasnya."Om, aku tidak mau kamu bangkrut dan kehilangan perusahaan, tapi aku juga tidak mau kita menikah," sambung Alana dilema. "Sampai kapan pun kita ini keluarga, mana boleh menikah?""Kalau begitu, lupakan saja!""Tapi?""Sudah malam, sebaiknya kamu cepat tidur! Bukankah besok harus kuliah pagi?" Leo menarik tangan Alana dan membawanya berdiri.Leo tidak membiarkan Alana melanjutkan ucapannya dan membahas tentang pernikahan. Selain hari telah larut malam, dia juga tidak akan membiarkan Alana begadang sehingga esok hari keponakannya itu tidur saat kuliah. Leo tidak mau membebani pikiran Alana, dia sendiri yang akan memikirkan cara untuk mempertahankan perusahaan tanpa harus ada pernikahan antara mereka.Alana sendiri tidak menolak atau membantah saat Leo meminta dan mengantarnya kembali ke dalam kamar untuk tidur. Seperti biasa, Leo meminta Alana berbaring, lalu menyelimuti dengan selimut hangat."Tidur yang nyenyak dan jangan berpikir macam-macam!" pesan Leo sembari mengusap pucuk rambut Alana, lalu memberikan kecupan lembut pada kening Alana."Om!" Alana menahan tangan Leo saat pria itu hendak meninggalkan kamar."Alana, ada apa?""Maafin Alana, ya, Om," ucap Alana berwajah sedih.Leo tersenyum mendengar kata maaf dari Alana. Gadis kecilnya itu akan mengucap kata maaf bila dia merasa bersalah.Leo kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang menghadap Alana."Tidurlah, sudah malam!" Leo menepuk punggung tangan Alana.Sekali lagi pria itu merapikan selimut Alana. Meski merasa sedih melihat wajah Alana, tapi bibirnya tetap tersenyum."Selamat malam, Om," ucap Alana ketika Leo di ambang pintu."Selamat malam, Honey," balas Leo, lalu menutup pintu dan meninggalkan Alana.Setelah kepergian Leo, Alana belum juga bisa memejamkan mata. Apa yang tidak sengaja dia dengar membuat hatinya gelisah dan tidak tenang.Selama ini Leo telah berkorban banyak untuknya, bahkan berkorban setengah dari kehidupannya. Apa sekarang saatnya giliran Alana yang berkorban untuk Leo?"Pa, kenapa aku harus menikah dengan om Leo? Kenapa tidak dengan cara lain saja?" lirih Alana. Pandangnya lurus ke langit-langit kamar dengan penerangan redup.Ke
"Masih ada waktu lima belas menit," ucap Leo melirik benda pipih di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran," sambungnya mengalihkan pandang pada Alana.Alana terdiam. Hanya sorot mata bening miliknya yang membalas tatapan Leo dan merespon sosok om yang beberapa menit lagi akan berubah status menjadi suaminya.Leo tersenyum tipis melihat wajah cantik Alana dihiasi dengan mimik cemberut. Wajah yang terpoles sederhana, tapi sedih itu seharusnya tidak terlihat oleh matanya dan seharusnya pernikahan membuat sebagian orang bahagia. Sayangnya tidak untuk Leo dan Alana, pernikahan yang akan mereka langsungkan adalah pernikahan di luar rencana kehidupan mereka."Jawablah!" Leo melirik benda pipih yang sejak tadi ada di genggaman Alana karena ponsel milik gadis itu berdering."Nanti saja," jawab Alana. Jemari lentiknya menekan tombol tolak sehingga dering ponselnya berhenti.Sejak tadi, meski tubuh Alana duduk diam, tapi jemarinya sibuk menekan tombol-tombol aja
"Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?" Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca."Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban."Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan k
"Alana, aku jawab telepon sebentar," ucap Barca, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.Alana tidak menjawab perkataan Barca. Dia hanya mengangguk sembari terus menikmati makanannya."Hiks ... hiks ... hiks ...," tangis Alana pecah.Setelah kepergian Barca, Alana menangis. Tangisan yang sejak tadi ditahan dan telah membuat dadanya terasa ingin meledak, akhirnya pecah juga. Dia merasa pernikahannya dengan Leo telah menghianati cinta yang telah dirajut bersama Barca."Nona, Anda butuh tisu?" Seorang perempuan yang baru datang dan bermaksud duduk bersebelahan meja dengannya menyodorkan tisu.Alana mendongak melihat wajah wanita itu sekilas, lalu menerima pemberiannya dan menggunakan tisu itu untuk mengelap ingus yang keluar dari hidung mancungnya."Terima kasih," ucapnya dengan sisa tangis."Sama-sama," balas wanita itu sembari tersenyum. "Nona, apakah pria tadi kekasihmu?" sambung wanita itu setelah melihat Alana tidak menangis lagi.Alana mengarahkan mata basahnya
"Kamu lelah?" Leo melontarkan pertanyaan lain pada Alana."Em." Alana mengangguk.Rasanya malam ini dia sangat enggan untuk melakukan apa pun, termasuk berbicara dengan Leo. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya kesal, marah dan lelah. Namun, Alana merasa tidak berdaya. Kehidupan sepertinya sedang mempermainkannya."Kalau begitu tidurlah!" ucap Leo tersenyum sembari mengusap-usap pucuk kepala Alana. "Nanti kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," sambungnya.Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, Alana langsung memejamkan mata. Sesungguhnya dia belum mengantuk. Hanya saja tidak ingin melakukan apa-apa. Jalan satu-satunya menghindari obrolan dengan Leo adalah dengan tidur atau memejamkan mata berpura-pura tidur.Melihat Alana terpejam dan patuh membuat Leo mengulas senyum. Kembali tangannya mengusap-usap pucuk kepala Alana, sedangkan tangan lainnya mengendalikan lingkaran setir. Leo melakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang."Alana!" panggil Leo dengan suara lirih.Meski aw
"Barca, aku sudah sampai," ucap Alana menghubungi Barca via phone."Ya. Tunggu di sana! Aku dalam perjalanan," balas Barca.Malam ini Barca mengajak Alana bertemu di sebuah cafe. Sebenarnya Alana enggan pergi. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Bahkan dua hari ini tidak pergi ke kampus. Dia juga tidak memberitahu hal ini pada Leo.Karena tidak mau membuat Barca kecewa, dia terpaksa setuju dan pergi, meski sebenarnya sangat malas dan enggan."Mbak!" panggil Alana sembari mengangkat tangan pada pelayanan cafe. "Tolong tambahkan capucino lagi!" mintanya setelah pelayan menghampiri.Alana menunggu kedatangan Barca dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, tapi Barca belum juga datang. Alana juga sudah menghabiskan dua gelas cappucino dan satu botol air mineral."Barca, kamu di mana? Aku sudah lama menunggu." Alana mengirim pesan pada nomor Barca karena beberapa kali melakukan panggilan pria itu tidak menjawab. Pesan chat yang dikirim pun tidak ada respon, tidak dibaca oleh keka
"Om Leo!" teriak Alana.Alana sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dua pria yang sedang bergulat."Om, cukup, Om!" Alana berusaha menghentikan amukan Leo pada Barca."Lepaskan, Alana! Biar aku bunuh pria brengsek ini!" Leo menepis tangan Alana dari lengannya dan kembali melayangkan tinju pada wajah Barca.Melihat Barca menjadi bulan-bulanan Leo dan teman-temannya hanya bisa diam menyaksikan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena Damaian telah mengunci mereka. Sedangkan Eris, wanita yang dipilih Barca dibanding Alana hanya terdiam memberi jarak dengan menatap ngeri."Cukup, Om!"Alana tidak bisa menahan dan menurunkan kemarahan Leo hanya dengan berteriak, menangis dan memohon. Karena Leo telah naik hitam, jalan satu-satunya hanya dengan memeluk erat. Alana melakukan hal itu. Dia memeluk erat tubuh Leo dari belakang sembari menangis dan memohon agar Leo menghentikan kebrutalnya. Alana sama sekali tidak memikirkan bahaya yang datang padanya. Bisa saja Leo hilang kendali seh
"Om!" Alana menahan lengan Leo saat tubuhnya sempurna terbaring di atas tempat tidur."Tidurlah!" ucap Leo lembut sembari menyentuh punggung tangan Alana dan mengusapnya kecil."Maafkan aku."Leo tersenyum melihat wajah penuh sesal Alana. Dia memang kecewa dan marah saat ini. Namun, Leo tidak bisa marah pada Alana, apalagi melihat keponakannya itu sedang terluka. Dia pun mendaratkan satu kecupan pada pucuk kepala Alana sebagai jawaban permintaan maaf Alana."Tidurlah! Lupakan semua yang terjadi malam ini!" ucapnya sembari mengusap-usap rambut Alana.Tadinya Alana sudah terlelap saat di perjalanan, makanya Leo mengangkat dan membaringkan di tempat tidur. Hanya saja saat tubuhnya sempurna terbaring, tiba-tiba Alana membuka mata. Mungkin karena Leo kurang hati-hati saat membaringkannya. Maklum, meski tubuh Alana ramping, tetap saja Alana bukan keponakan kecilnya lagi. Jelas saja tubuhnya memiliki beban sendiri.Alana melepas tangan Leo dan membiarkan om kesayangannya itu keluar dari kama