"Alana, kita harus bicara," ucap Leo saat melihat Alana keluar dari kamar hendak pergi.
Sejak pengacara membacakan isi surat wasiat Charles, orangtunya, Alana sering mengurung diri, bahkan sama sekali tidak mau bicara dengan Leo. Dia sering menghindar dan lebih suka berada di luar rumah dengan alasan banyak tugas di kampus."Alana, aku bicara denganmu," seru Leo ketika Alana kembali melanjutkan langkah tanpa melihatnya.Alana kembali menghentikan langkah. Masih dengan wajah yang sama, marah, kesal dan jutek, Alana memutar tubuh untuk melihat Leo. Tatapannya tajam nan bengis penuh kemarahan. Bahkan ada sirat kebencian di dalam manik matanya yang bulat."Kemari dan duduk!" perintah Leo. Kali ini suaranya terdengar tegas.Alana masih bergeming."Alana!" Kembali Leo memintanya datang.Meski kesal, marah dan benci, Alana akhirnya melangkahkan kaki mendekati Leo."Duduk dan sarapan! Setelah itu aku akan mengantarmu," ucap Leo. Kali ini suaranya lebih lunak dan lembut.Melihat Alana datang padanya, Leo bangkit dari duduknya dan menarik kursi agar Alana duduk di depannya dan sarapan bersama."Aku tidak lapar," ucap Alana dengan wajah cemberut."Aku masak makanan kesukaanmu." Leo tidak menghiraukan wajah Alana. "Dari kemarin kamu belum makan," sambungnya sembari mengisi piring di depan Alana dengan nasi goreng sea food kesukaan Alana."Aku sudah bilang, aku tidak lapar, Om!" seru Alana bertambah kesal karena Leo memaksanya makan. Alana mendorong dan menjauhkan piring itu dari hadapannya.Leo mencoba tersenyum meski mendapat kemarahan Alana."Makanlah! Setelah ini kita bicarakan tentang pernikahan." Leo kembali mendekatkan piring itu pada Alana."Aku tidak mau makan. Aku juga tidak mau menikah dengan om Leo," ucap Alana. Kali ini suaranya tidak bervolume, namun wajahnya semakin cemberut dan marah."Terserah kamu mau menikah atau tidak, tapi yang jelas saat ini kamu harus makan. Aku tidak mau kamu sakit," ucap Leo.Alana mengangkat wajah dan menatap lekat Leo. Pria dihadapannya itu kembali terlihat tenang, bahkan dari bibirnya tersungging senyum tipis saat mata mereka beradu. Hal itu membuat kemarahan yang berkobar dalam dirinya sedikit mengalami penyusutan. Alana menyadari bagaimana Leo merawat dan membesarkannya, juga memberinya kasih sayang yang tidak sempat dia dapatkan lagi dari orangtuanya."Makanlah!" minta Leo. Lagi-lagi senyumnya mengembang.Tidak bisa menolak kebaikan dan kelembutan Leo, Alana pun akhirnya mengambil sendok, lalu memasukkan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya. Hal itu terulang hingga nasi goreng dalam piringnya hampir habis.Leo sendiri tidak mau mengganggu saat Alana makan, makanya selama gadis itu makan, tidak ada obrolan tentang pernikahan dan surat wasiat itu. Dia lebih memilih berbicara tentang masalah kuliah Alana sebagai topik pembicaraan mereka."Aku antar kamu kuliah," ucap Leo setelah mereka menyelesaikan sarapan pagi ini.Untuk beberapa hari Leo tidak membahas masalah pernikahan. Dia menunggu sampai Alana kembali tenang dan tidak marah lagi padanya. Hanya saja waktu yang dia pikir cepat, ternyata tidak. Kemarahan Alana masih berlanjut hingga beberapa hari. Meski tidak lagi menghindar, tapi Alana masih tidak banyak bicara.Hingga suatu malam Alana mendengar percakapan Leo dengan seseorang di telepon, tiba-tiba kakinya terasa lemas. Dia baru percaya kalau sebenarnya Leo pun tidak bisa menerima pernikahan itu dengan mudah."Om," panggil Alana mendekati Leo saat pria itu sibuk dengan laptop kerjanya."Alana, kamu belum tidur?"Leo kaget melihat Alana belum tidur, padahal waktu menunjukkan pukul 23:00 WIB. Leo segera menutup laptopnya dan meraih tangan Alana untuk duduk di depannya."Ada apa?" tanyanya lembut. "Kenapa wajahmu cemberut?" sambungnya sembari mencubit pipi Alana.Dia pikir setelah beberapa hari tidak lagi membicarakan masalah surat wasiat membuat Alana tenang dan kembali ceria. Bahkan Leo telah memutuskan untuk tidak memaksakan pernikahan itu kalau memang Alana tidak menyetujuinya, tapi malam ini wajah Alana kembali bersedih dan muram."Seberapa berharga aku bagi Om Leo?"Leo kaget, tiba-tiba Alana melontarkan pertanyaan itu padanya. Meski begitu, dari sudut bibirnya tersungging senyuman."Lebih berharga dari nyawaku," jawab Leo sembari mengusap pucuk kepala Alana. "Kamu satu-satunya keponakanku. Kamu pasti paling berharga," sambungnya. Kali ini Leo mencubit ujung hidung mancung Alana. Senyumnya jelas saja masih mengembang menghiasi wajahnya yang tampan.Ya, meski sudah memasuki usia 30 tahun, wajah Leo tetap terlihat tampan. Bahkan bisa dikatakan lebih menawan. Sayangnya, sampai usianya yang matang dan seharusnya telah menikah, Leo masih jomblo. Dia juga tidak pernah membawa wanita pulang atau diperkenalkan pada Alana sebagai kekasih."Bagaimana dengan perusahaan? Apa aku lebih berharga dari perusahaan?" Lagi-lagi Alana memberi tatapan lekat mendalam pada manik mata Leo."Dasar gadis bodoh!" Leo kembali menarik ujung hidung Alana. "Jelas saja kamu lebih berharga dari perusahaan," sambungnya lagi.Alana akhirnya tersenyum. Senyum yang dipaksakan, tapi sebenarnya jauh di dalam hatinya teriris. Jawaban Leo membuat dadanya sesak dan sakit. Alana hampir menangis, tapi dengan cepat menekan agar air matanya tidak jatuh."Alana, ada apa?"Seberapa pun usaha Alana menutupi kesedihannya dengan senyum, Leo masih bisa membaca sorot matanya."Bila kita menikah, apa bisa menyelamatkan perusahaan?""Alana, apa yang kamu bicarakan? Aku tidak mengerti," sahut Leo mengelak untuk mengerti."Aku sudah tau semuanya, Om. Saat umurku dua puluh tahun dan aku belum menikah, maka perusahaan akan diambil alih kepemilikannya dan bisa saja Om Leo tidak memiliki apa-apa.""Apa yang kamu katakan?" Lagi-lagi Leo berpura-pura tidak paham."Kemarin aku menemui pengacara papa. Dia menjelaskan semuanya padaku. Awalnya aku masih tidak percaya dan menganggap apa yang dikatakan itu hanya sebuah alasan agar aku setuju menikah denganmu, tapi setelah mendengarnya sendiri malam ini, aku percaya," ucap Alana.Ternyata tanpa diketahui Leo, Alana diam-diam menemui pengacara papanya. Rupanya dia masih belum bisa menganggap surat wasiat itu sebagai angin lalu meski beberapa hari Leo tidak lagi membahasnya."Om, aku tidak mau kamu bangkrut dan kehilangan perusahaan, tapi aku juga tidak mau kita menikah," sambung Alana dilema. "Sampai kapan pun kita ini keluarga, mana boleh menikah?""Kalau begitu, lupakan saja!""Tapi?""Sudah malam, sebaiknya kamu cepat tidur! Bukankah besok harus kuliah pagi?" Leo menarik tangan Alana dan membawanya berdiri.Leo tidak membiarkan Alana melanjutkan ucapannya dan membahas tentang pernikahan. Selain hari telah larut malam, dia juga tidak akan membiarkan Alana begadang sehingga esok hari keponakannya itu tidur saat kuliah. Leo tidak mau membebani pikiran Alana, dia sendiri yang akan memikirkan cara untuk mempertahankan perusahaan tanpa harus ada pernikahan antara mereka.Alana sendiri tidak menolak atau membantah saat Leo meminta dan mengantarnya kembali ke dalam kamar untuk tidur. Seperti biasa, Leo meminta Alana berbaring, lalu menyelimuti dengan selimut hangat."Tidur yang nyenyak dan jangan berpikir macam-macam!" pesan Leo sembari mengusap pucuk rambut Alana, lalu memberikan kecupan lembut pada kening Alana."Om!" Alana menahan tangan Leo saat pria itu hendak meninggalkan kamar."Alana, ada apa?""Maafin Alana, ya, Om," ucap Alana berwajah sedih.Leo tersenyum mendengar kata maaf dari Alana. Gadis kecilnya itu akan mengucap kata maaf bila dia merasa bersalah.Leo kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang menghadap Alana."Tidurlah, sudah malam!" Leo menepuk punggung tangan Alana.Sekali lagi pria itu merapikan selimut Alana. Meski merasa sedih melihat wajah Alana, tapi bibirnya tetap tersenyum."Selamat malam, Om," ucap Alana ketika Leo di ambang pintu."Selamat malam, Honey," balas Leo, lalu menutup pintu dan meninggalkan Alana.Setelah kepergian Leo, Alana belum juga bisa memejamkan mata. Apa yang tidak sengaja dia dengar membuat hatinya gelisah dan tidak tenang.Selama ini Leo telah berkorban banyak untuknya, bahkan berkorban setengah dari kehidupannya. Apa sekarang saatnya giliran Alana yang berkorban untuk Leo?"Pa, kenapa aku harus menikah dengan om Leo? Kenapa tidak dengan cara lain saja?" lirih Alana. Pandangnya lurus ke langit-langit kamar dengan penerangan redup.Ke
"Masih ada waktu lima belas menit," ucap Leo melirik benda pipih di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran," sambungnya mengalihkan pandang pada Alana.Alana terdiam. Hanya sorot mata bening miliknya yang membalas tatapan Leo dan merespon sosok om yang beberapa menit lagi akan berubah status menjadi suaminya.Leo tersenyum tipis melihat wajah cantik Alana dihiasi dengan mimik cemberut. Wajah yang terpoles sederhana, tapi sedih itu seharusnya tidak terlihat oleh matanya dan seharusnya pernikahan membuat sebagian orang bahagia. Sayangnya tidak untuk Leo dan Alana, pernikahan yang akan mereka langsungkan adalah pernikahan di luar rencana kehidupan mereka."Jawablah!" Leo melirik benda pipih yang sejak tadi ada di genggaman Alana karena ponsel milik gadis itu berdering."Nanti saja," jawab Alana. Jemari lentiknya menekan tombol tolak sehingga dering ponselnya berhenti.Sejak tadi, meski tubuh Alana duduk diam, tapi jemarinya sibuk menekan tombol-tombol aja
"Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?" Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca."Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban."Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan k
"Alana, aku jawab telepon sebentar," ucap Barca, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.Alana tidak menjawab perkataan Barca. Dia hanya mengangguk sembari terus menikmati makanannya."Hiks ... hiks ... hiks ...," tangis Alana pecah.Setelah kepergian Barca, Alana menangis. Tangisan yang sejak tadi ditahan dan telah membuat dadanya terasa ingin meledak, akhirnya pecah juga. Dia merasa pernikahannya dengan Leo telah menghianati cinta yang telah dirajut bersama Barca."Nona, Anda butuh tisu?" Seorang perempuan yang baru datang dan bermaksud duduk bersebelahan meja dengannya menyodorkan tisu.Alana mendongak melihat wajah wanita itu sekilas, lalu menerima pemberiannya dan menggunakan tisu itu untuk mengelap ingus yang keluar dari hidung mancungnya."Terima kasih," ucapnya dengan sisa tangis."Sama-sama," balas wanita itu sembari tersenyum. "Nona, apakah pria tadi kekasihmu?" sambung wanita itu setelah melihat Alana tidak menangis lagi.Alana mengarahkan mata basahnya
"Kamu lelah?" Leo melontarkan pertanyaan lain pada Alana."Em." Alana mengangguk.Rasanya malam ini dia sangat enggan untuk melakukan apa pun, termasuk berbicara dengan Leo. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya kesal, marah dan lelah. Namun, Alana merasa tidak berdaya. Kehidupan sepertinya sedang mempermainkannya."Kalau begitu tidurlah!" ucap Leo tersenyum sembari mengusap-usap pucuk kepala Alana. "Nanti kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," sambungnya.Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, Alana langsung memejamkan mata. Sesungguhnya dia belum mengantuk. Hanya saja tidak ingin melakukan apa-apa. Jalan satu-satunya menghindari obrolan dengan Leo adalah dengan tidur atau memejamkan mata berpura-pura tidur.Melihat Alana terpejam dan patuh membuat Leo mengulas senyum. Kembali tangannya mengusap-usap pucuk kepala Alana, sedangkan tangan lainnya mengendalikan lingkaran setir. Leo melakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang."Alana!" panggil Leo dengan suara lirih.Meski aw
"Barca, aku sudah sampai," ucap Alana menghubungi Barca via phone."Ya. Tunggu di sana! Aku dalam perjalanan," balas Barca.Malam ini Barca mengajak Alana bertemu di sebuah cafe. Sebenarnya Alana enggan pergi. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Bahkan dua hari ini tidak pergi ke kampus. Dia juga tidak memberitahu hal ini pada Leo.Karena tidak mau membuat Barca kecewa, dia terpaksa setuju dan pergi, meski sebenarnya sangat malas dan enggan."Mbak!" panggil Alana sembari mengangkat tangan pada pelayanan cafe. "Tolong tambahkan capucino lagi!" mintanya setelah pelayan menghampiri.Alana menunggu kedatangan Barca dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, tapi Barca belum juga datang. Alana juga sudah menghabiskan dua gelas cappucino dan satu botol air mineral."Barca, kamu di mana? Aku sudah lama menunggu." Alana mengirim pesan pada nomor Barca karena beberapa kali melakukan panggilan pria itu tidak menjawab. Pesan chat yang dikirim pun tidak ada respon, tidak dibaca oleh keka
"Om Leo!" teriak Alana.Alana sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dua pria yang sedang bergulat."Om, cukup, Om!" Alana berusaha menghentikan amukan Leo pada Barca."Lepaskan, Alana! Biar aku bunuh pria brengsek ini!" Leo menepis tangan Alana dari lengannya dan kembali melayangkan tinju pada wajah Barca.Melihat Barca menjadi bulan-bulanan Leo dan teman-temannya hanya bisa diam menyaksikan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena Damaian telah mengunci mereka. Sedangkan Eris, wanita yang dipilih Barca dibanding Alana hanya terdiam memberi jarak dengan menatap ngeri."Cukup, Om!"Alana tidak bisa menahan dan menurunkan kemarahan Leo hanya dengan berteriak, menangis dan memohon. Karena Leo telah naik hitam, jalan satu-satunya hanya dengan memeluk erat. Alana melakukan hal itu. Dia memeluk erat tubuh Leo dari belakang sembari menangis dan memohon agar Leo menghentikan kebrutalnya. Alana sama sekali tidak memikirkan bahaya yang datang padanya. Bisa saja Leo hilang kendali seh
"Om!" Alana menahan lengan Leo saat tubuhnya sempurna terbaring di atas tempat tidur."Tidurlah!" ucap Leo lembut sembari menyentuh punggung tangan Alana dan mengusapnya kecil."Maafkan aku."Leo tersenyum melihat wajah penuh sesal Alana. Dia memang kecewa dan marah saat ini. Namun, Leo tidak bisa marah pada Alana, apalagi melihat keponakannya itu sedang terluka. Dia pun mendaratkan satu kecupan pada pucuk kepala Alana sebagai jawaban permintaan maaf Alana."Tidurlah! Lupakan semua yang terjadi malam ini!" ucapnya sembari mengusap-usap rambut Alana.Tadinya Alana sudah terlelap saat di perjalanan, makanya Leo mengangkat dan membaringkan di tempat tidur. Hanya saja saat tubuhnya sempurna terbaring, tiba-tiba Alana membuka mata. Mungkin karena Leo kurang hati-hati saat membaringkannya. Maklum, meski tubuh Alana ramping, tetap saja Alana bukan keponakan kecilnya lagi. Jelas saja tubuhnya memiliki beban sendiri.Alana melepas tangan Leo dan membiarkan om kesayangannya itu keluar dari kama
"Sudah, Bear. Aku kenyang," ucap Alana.Alana menolak suapan Leo dengan menutup mulutnya menggunakan tangan. Dia juga menoleh sedikit ke samping menghindari sendok yang disodorkan Leo padanya."Satu kali lagi, Sayang. Kamu sudah mengeluarkan banyak tenaga saat melahirkan. Sekarang, kamu harus mengganti tenagamu dengan makan yang banyak," ucap Leo."Bear, sampai siang ini saja kamu sudah memintaku makan banyak makanan. Kalau tidak salah ingat, kamu sudah memberi aku makan tiga kali, dua kali makanan ringan, dua kali jus buah. Perutku rasanya seperti mau pecah karena kekenyangan," ucap Alana melakukan protes atas tindakan Leo yang terus membujukkan untuk makan.Leo tertawa mendengar keluhan dari Alana. Dia berpikir bahwa karena istrinya telah melalui perjuangan yang melelahkan untuk melahirkan putra mereka, maka dia harus memberikan makanan bergizi yang cukup agar istrinya bisa pulih dengan cepat. Namun, ternyata usahanya tersebut menimbulkan protes dari Alana. "Baiklah. Kali ini aku t
"Dokter, bagaimana?" Leo tidak sabar menunggu penjelasan hasil pemeriksaan kehamilan istrinya."Usia kehamilan istri Anda sudah cukup bulan, Tuan. Tinggal menunggu waktu lahir saja," jelas dokter.Dokter itu mengarahkan pandang pada Alana dengan senyum ramahnya."Nyonya, kelahiran seperti apa yang Anda inginkan?""Dokter, aku tidak ingin istriku kesakitan saat melahirkan. Bisakah kami ajukan untuk melakukan operasi saja?" ucap Leo cepat sebelum Alana memberi jawaban."Bear!" Alana memberi wajah protes."Sayang." Leo meraih tangan Alana dan mengenggamnya lembut. "Aku tidak mau melihatmu kesakitan."Wajah Leo tampak sedih membayangkan istrinya kesakitan saat melahirkan. Makanya, dia ingin kelahiran anak mereka melalui operasi caesar saja dengan tehnologi terbaru agar istrinya tidak merasakan sakit. Namun, niat baik Leo melindungi istrinya dari rasa sakit mendapat penolakan tegas dari Alana."Aku tidak mau, Bear. Aku mau melahirkan secara normal saja," u
“Damian, ada apa?” tanya Leo dengan wajah penasaran sembari berjalan meninggalkan Alana dengan langkah hati-hati agar langkahnya tidak menimbulkan suara. “Apa Marco sudah memberitahumu?” tanya Damian di ujung sana, di balik teleponnya. Suaranya terdengar tidak biasa seperti ada sesuatu yang terjadi.“Apa?” tanya Leo semakin penasaran.“Siang tadi, Arga berusaha memberontak dengan melarikan diri dan mencoba kabur dari pengawasan. Saat mereka mengejar dan mencarinya, mungkin juga karena panik, pria itu tidak melihat jalanan. Dia juga tidak melihat ada truk yang melintas saat menyeberang jalan,” cerita Damian.Damian menceritakan tentang kecelakaan yang dialami oleh Arga saat pria itu melarikan diri dan mencoba kabur dari pengawasan mereka. Karena ceroboh dan mungkin juga panik karena takut penjaga mengejarnya, Arga tidak memperhatikan ada truk yang melintas dengan kecepatan tinggi saat dia menyeberang jalan, sehingga tubuhnya tertabrak dan terpental hingga beberapa meter.“Mereka baru
“Sayang, kamu cantik sekali menggenakan pakaian ini,” puji Leo sembari mengelus perut buncit Alana."Bear, kamu mengejutkan aku?" Alana kaget, tiba-tiba Leo memeluknya dari belakang.Sore ini Alana mengenakan pakaian daster tidak berlengan, sehingga perutnya yang besar terlihat. Bahan yang lembut dan jatuh membuat perut Alana yang membesar terlihat menonjol dan lebih seksi ditambah dengan bentuk tubuhnya yang memang indah semakin membuat Leo tidak mau melepaskan pelukannya."Kenapa berdiri di sini sendirian?" lirih Leo."Pemandangannya bagus, Bear. Lihat itu!" Alana menunjuk langit sore, di mana matahari hampir tenggelam di antara bukit-bukit hijau. Bias sinar yang mulai redup menghias langit sore tampak semburat merah keemasan memberi warna indah yang membuat mata sejuk dan hati teduh."Indah banget langitnya!" decak kagum Alana.Leo tersenyum. Peluknya semakin erat. Meski perut Alana sudah membesar, tetapi tidak menjadi penghalang untuk tetap memeluknya. Sebaliknya, perut besar Ala
"Nyonya, teh Anda."Dona mendekati Alana yang sedang duduk santai di bangku taman yang berada di dekat kolam renang belakang rumah. Kemudian, memberikan secangkir teh yang masih hangat pada Alana dengan penuh kebaikan hati."Terima kasih."Alana pun merasa sangat berterima kasih dan mengucapkan kata-kata itu dengan senyum yang manis, lalu menyeruput teh hangat sembari menunggu Dona duduk di depannya.Suasana taman sore ini terasa semakin nyaman dan tenang dengan hadirnya secangkir teh hangat tersebut."Mulai hari ini, jangan panggil aku nyonya lagi! Aku bukan nyonyamu," kata Alana sembari meletakkan cangkir di atas meja.Dona tercengang kaget."Kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan?" Dona merasa perlu tau alasan Alana. Dia tidak merasa melakukan kesalahan. Hubungan mereka beberapa hari ini juga baik-baik saja, tetapi tiba-tiba Alana mengatakan hal itu padanya. Jelas saja hal ini membuatnya bingung dan bertanya-tanya.Melalui ekspresi kagetnya saja, seharusnya Alana sudah mengerti
“Bear,sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Alana bingung.Leo menoleh, lalu memberi senyum manisnya.“Bukankah kita sudah membicarakannya, Sayang? Aku akan membawamu ke tempat yang tenang dan sejuk. Kita akan ke luar kota,” jawab Leo mengingatkan Alana tentang apa yang sudah pernah mereka bicarakan.“Tapi, kenapa pakaian yang kamu bawa sangat banyak?” Alana melempar pandangnya ke arah tumpukan pakaian dalam koper yang belum tertutup.Leo pun melirik ke arah yang dikatakan istrinya. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum.“Karena kita akan melakukan liburan dalam waktu yang lumayan cukup lama,” jawab Leo.Dia sibuk mengemas beberapa pakaian mereka dan memasukkan ke dalam koper. Ada dua koper di sana, salah satunya sudah terisi penuh dengan pakaian Leo sendiri. saat ini suami Alana itu sedang menegmas pakai Alana. Tadinya, Alana ingin membantu, tetapi Leo melarangnya dan memintanya duduk saja di tempat tidur.Setelah merasa cukup dan selesai, Leo bangkit dari tempatnya, lalu mendekati A
"Dokter, bagaimana?""Nyonya, apakah Anda merasa baik-baik saja?" tanya dokter pada Alana. Leo tampak sangat cemas menatap wajah dokter yang memeriksa kondisi kandungan istrinya. Apalagi saat dokter itu tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan mengarahkan pandang pada Alana dengan sorot mata yang tidak baik-baik saja. Refleks dia pun ikut mengarahkan pandangnya pada Alana, lalu meraih tangan Alana dan menggenggamnya."Dokter?" Setelah Leo menyapa dokter, dokter tersebut menghela napas panjang dengan suara yang terdengar berat saat memandang Leo. Reaksi ini membuat Leo merasa semakin cemas dan khawatir akan kondisi istrinya. Meskipun tidak diketahui secara pasti apa yang dipikirkan oleh dokter, namun dari reaksinya itu dapat diartikan bahwa ada sesuatu yang membuatnya khawatir tentang kesehatan Alana dan bayi dalam kandungannya. Hal ini tentunya menambah kekhawatiran bagi Leo dan membuatnya merasa semakin tidak tenang."Dalam kondisi kehamilan yang masih muda, seharusnya istri
"Leo-""Sstt!" Leo segera meletakkan jari telunjuknya di depan bibir ketika Damian datang dan berjalan ke arahnya sembari berbicara. Karena hal ini, Damian pun menghentikan ucapannya dan memperlambat serta memperhalus langkahnya. Sembari mendekat, matanya tertarik memperhatikan wanita yang tertidur di sofa dengan kepala di atas pangkuan Leo."Apa istrimu sakit?" tanyanya dengan suara lirih setelah duduk di depan Leo. Matanya masih memperhatikan wajah lelap Alana yang menurutnya sedikit pucat dan tampak sedikit lelah."Tidak, tapi dia tidak baik-baik saja," jawab Leo juga mengarahkan pandangnya pada wajah Alana.Damian menoleh dan memiringkan kepalanya sedikit, sedangkan matanya menyipit ketika mendengar perkataan Leo. Ia kemudian bertanya, "Ada apa?"Melihat ekspresi Damian yang penasaran, akhirnya Leo menceritakan tentang masalah yang dialami Alana. Dia bercerita tentang mimpi buruk yang membuat Alana ketakutan dan sulit tidur hingga pagi hari. Karena itu, Leo memutuskan untuk tidak
"Jangan bunuh anakku! Aku mohon," mohon Alana dalam rintih kesakitan dan tangis.Tenaganya telah habis dan suara tangisnya hampir tak terdengar lagi. Arga telah melakukan hal yang membuat dunianya runtuh dan tak berarti lagi. Meskipun ia memberontak dan menjerit, tak seorang pun yang bisa menolongnya. Hidupnya telah hancur dan kini ia berada pada titik terdalam kesedihan yang tak terbayangkan. Semua harapan dan impian yang pernah dimilikinya kini sirna, meninggalkan dirinya dalam kehancuran yang sangat menyakitkan. Alana kembali berteriak histeris sembari memberontak menggunakan sisa tenaganya. Meski merasa tidak lagi memiliki harapan karena Arga terus menghujam tubuhnya dengan maksud untuk membunuh bayi dalam perutnya, Alana, dia berharap masih memiliki harapan untuk menyelamatkan anaknya."Berhentilah melawan, Alana! Tidak ada yang bisa menyelamatkan anakmu," ujar Arga dengan bengisnya."Dasar bajingan! Aku bersumpah akan membunuhmu, Arga!" sumpah Alana.Plak!Arga kembali melayang