"Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?"
Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca."Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban."Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan karena dia cemburu melihat Alana yang kini berstatus menjadi istrinya, Leo tidak baik-baik saja karena terpaksa menikahi Alana yang sejak kecil telah dirawat dan dibesarkan olehnya."Aku akan menceraikannya setelah dia dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri," ucap Leo kembali meluruskan pandangnya ke arah perginya Alana."Kamu yakin?" Lagi-lagi pertanyaan ini yang dilontarkan oleh Damian untuk merespon perkataan Leo."Damian." Leo kembali memberi Damian tatapan lekat. "Kamu tau alasanku menikahinya?" sambungnya mengingatkan Damian pada alasan mereka menikah."Aku tau, tapi-""Aku tau kamu akan mengatakan bila pernikahan itu sakral, tapi aku tidak bisa memenjarakan Alana dengan alasan pernikahan."Damian terdiam. Yang dikatakan Leo memang benar. Pernikahan itu sakral dan dia paham bagaimana Leo menyayangi Alana. Bahkan demi membesarkan dan merawat gadis kecil itu, Leo rela kehilangan kebahagiaan masa mudanya.Demi Alana, Leo tidak pernah mendekati wanita, apalagi memikirkan pernikahan karena dia tidak ingin Alana merasa kasih sayangnya terbagi. Leo tidak mau Alana merasa cemburu karena yang dimiliki Alana hanya dia. Meski Damian juga sering memberi perhatian pada gadis itu, tapi sosok Leo untuk Alana adalah sosok orangtua pengganti."Alana berhak bahagia. Lagi pula saat umurnya telah genap dua puluh satu tahun, aku pun akan menyerahkan perusahaan padanya.""Kamu yakin Alana sudah bisa mengelola setelah umurnya genap dua puluh satu tahun? Menurutku, dia harus belajar terlebih dahulu sebelum kamu benar-benar melepaskan," ucap Damian meragukan rencana yang telah dipikirkan oleh Leo.Leo kembali menatap Damian, tapi kali ini disertai dengan senyuman."Kamu meragukan kemampuan keponakanku? Kamu meragukan hasil didikanku?"Damian tertawa kecil."Bagaimana aku bisa meragukanmu, Leo? Itu sangat lancang," sahut Damian mengimbangi senyum Leo. Dia juga menepuk pundak Leo, tepuk persabahatan. "Okelah. Apa kamu mau terus menunggunya di sini? Kenapa kita tidak pergi minum sedikit untuk merayakan pernikahanmu?""Pernikahan ini hanya formalitas, kenapa kamu menganggapnya sungguhan?""Sinting! Kalian mengucap janji nikah di hadapan Tuhan dan aku salah satu saksinya, bagaimana kamu bisa mengatakan pernikahan ini hanya formalitas?"Leo tertawa kecut."Bukankah sudah aku katakan? Aku tidak akan mengikat Alana dengan pernikahan ini? Alana tetap keponakanku dan aku masih om yang baik dan satu-satunya," ujar Leo, lalu menginjak pedal gas dan mengarahkan lingkaran setir meninggalkan tempat itu."Ingat masih ada aku, Leo! Aku juga om yang baik untuk Alana," protes Damian merasa tidak terima Leo melupakan jasanya dan tidak mengakui bila dia juga mempunyai andil dalam membesarkan dan menjaga Alana.Leo tertawa dan tetap fokus pada jalanan. Dua pria itu telah sepakat pergi untuk minum, tapi bukan minum bir atau alkohol yang bisa orang muda lakukan. Mereka berdua lebih memiliki pergi ke cafe dan minum kopi atau yang lainnya.Di saat Leo dan Damian menikmati siang mereka dengan minum kopi di sebuah cafe tempat mereka sering pergi dan nongkrong, Alana pun duduk manis dengan seorang pria di sebuah restauran."Alana, apa kamu sakit?"Barca meraih dan menggenggam tangan Alana. Sejak kedatangan Alana, kekasihnya itu tampak tidak bersemangat dan murung. Pembawaan Alana tidak seperti biasanya. Hal ini membuatnya penasaran dan merasa ada yang telah terjadi pada kekasihnya.Alana mengangkat wajah dan membalas tatapan Barca, bahkan bibirnya tersenyum memberikan respon baik-baik saja."Tidak," jawabnya singkat sembari membalas genggaman tangan Barca. "Aku baik-baik saja," sambungnya meyakinkan Barca.Barca tersenyum. Meski Alana mencoba memberinya senyum, tapi wajah dan sorot mata Alana tidak bisa menipunya. Hanya saja dia tidak mau memaksa, apalagi hal itu bisa memicu keributan antara mereka.Alana sendiri berusaha membuat air mukanya berseri. Dia tidak mau Barca cemas dan khawatir, apalagi sampai berpikir yang bukan-bukan. Alana tidak mau Barca mengetahui titik kecemasannya."Kita pesan makanan. Perutku sudah lapar," ucap Alana mengalihkan topik.Barca membiarkan Alana melepaskan genggaman mereka untuk melihat-lihat menu makanan dan pesan."Aku mau pesan ini, ini, ini dan ini," ucap Alana sembari menunjuk gambar menu makanan. "Aku juga pesan minum ini dan ini," sambungnya menunjuk beberapa minuman.Apa yang dilakukan Alana, terlebih apa yang ditunjuk Alana membuat mata Barca membola. Seketika itu juga Barca mengangkat wajah dan memperhatikan wajah Alana. Sayangnya, gadis yang diperhatikan sama sekali tidak mempedulikannya. Alana masih sibuk berbicara dengan pelayan restauran mengenai pesanannya."Barca, kamu mau pesan apa?" tanyanya.Alana berbicara dan bertanya pada Barca, tapi matanya tidak lepas dari daftar menu makanan. Dia juga tidak sadar bagaimana Barca memperhatikan dirinya karena Alana selalu menghindari beradu padang dengan Barca."Barca," panggil Alana setelah beberapa saat tidak mendengar jawaban kekasihnya.Alana baru mengangkat wajah untuk melihat Barca."Ada apa?" tanyanya saat mendapati tatapan Barca padanya lekat dan aneh."Alana, apa yang terjadi padamu?" Barca malah balik bertanya.Alana mengernyitkan kedua alis membuat matanya sedikit menyipit."Memangnya apa yang terjadi padaku?" Alana berlagak tidak paham."Alana, aku mengenalmu bukan satu atau dua hari. Aku tau kamu tidak akan pernah bisa menghabiskan makanan sebanyak itu, tapi sekarang kamu memesan banyak makanan, pasti ada yang tidak beres," ucap Barca melontarkan kecurigaannya.Alana tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuh ke arah Barca. Bahkan salah satu tangannya dibentangkan di sisi wajah, lalu bersuara lirih, "Aku sedang datang bulan, makanya napsu makanku meningkat."Alana membuat seolah-olah dia malu bila ucapannya terdengar oleh pelayan yang masih menunggu pesanan mereka."Kamu yakin?" Barca masih tidak muda percaya."Hemm." Alana mengangguk. "Kalau tidak percaya, tanya saja pada mbaknya!"Alana mengarahkan ekor mata melirik pelayan yang berdiri di sampingnya dan kebetulan pelayan itu seorang wanita muda."Mbak-""Oke, oke. Aku percaya," ucap Barca menghentikan Alana saat memanggil pelayan.Alana tersenyum menang. Pada akhirnya Barca percaya. Padahal dia hanya ingin melampiaskan perasaan kacaunya dengan makan. Dia tidak mungkin mengungkapkan perasaannya di rumah, di hadapan Leo. Hanya saat jauh dari Leo, Alana bisa mengekspresikan perasaannya yang kacau."Alana, pelan-pelan!" Barca kembali dikagetkan dengan cara makan Alana yang seperti orang kesurupan."Alana, aku jawab telepon sebentar," ucap Barca, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.Alana tidak menjawab perkataan Barca. Dia hanya mengangguk sembari terus menikmati makanannya."Hiks ... hiks ... hiks ...," tangis Alana pecah.Setelah kepergian Barca, Alana menangis. Tangisan yang sejak tadi ditahan dan telah membuat dadanya terasa ingin meledak, akhirnya pecah juga. Dia merasa pernikahannya dengan Leo telah menghianati cinta yang telah dirajut bersama Barca."Nona, Anda butuh tisu?" Seorang perempuan yang baru datang dan bermaksud duduk bersebelahan meja dengannya menyodorkan tisu.Alana mendongak melihat wajah wanita itu sekilas, lalu menerima pemberiannya dan menggunakan tisu itu untuk mengelap ingus yang keluar dari hidung mancungnya."Terima kasih," ucapnya dengan sisa tangis."Sama-sama," balas wanita itu sembari tersenyum. "Nona, apakah pria tadi kekasihmu?" sambung wanita itu setelah melihat Alana tidak menangis lagi.Alana mengarahkan mata basahnya
"Kamu lelah?" Leo melontarkan pertanyaan lain pada Alana."Em." Alana mengangguk.Rasanya malam ini dia sangat enggan untuk melakukan apa pun, termasuk berbicara dengan Leo. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya kesal, marah dan lelah. Namun, Alana merasa tidak berdaya. Kehidupan sepertinya sedang mempermainkannya."Kalau begitu tidurlah!" ucap Leo tersenyum sembari mengusap-usap pucuk kepala Alana. "Nanti kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," sambungnya.Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, Alana langsung memejamkan mata. Sesungguhnya dia belum mengantuk. Hanya saja tidak ingin melakukan apa-apa. Jalan satu-satunya menghindari obrolan dengan Leo adalah dengan tidur atau memejamkan mata berpura-pura tidur.Melihat Alana terpejam dan patuh membuat Leo mengulas senyum. Kembali tangannya mengusap-usap pucuk kepala Alana, sedangkan tangan lainnya mengendalikan lingkaran setir. Leo melakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang."Alana!" panggil Leo dengan suara lirih.Meski aw
"Barca, aku sudah sampai," ucap Alana menghubungi Barca via phone."Ya. Tunggu di sana! Aku dalam perjalanan," balas Barca.Malam ini Barca mengajak Alana bertemu di sebuah cafe. Sebenarnya Alana enggan pergi. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Bahkan dua hari ini tidak pergi ke kampus. Dia juga tidak memberitahu hal ini pada Leo.Karena tidak mau membuat Barca kecewa, dia terpaksa setuju dan pergi, meski sebenarnya sangat malas dan enggan."Mbak!" panggil Alana sembari mengangkat tangan pada pelayanan cafe. "Tolong tambahkan capucino lagi!" mintanya setelah pelayan menghampiri.Alana menunggu kedatangan Barca dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, tapi Barca belum juga datang. Alana juga sudah menghabiskan dua gelas cappucino dan satu botol air mineral."Barca, kamu di mana? Aku sudah lama menunggu." Alana mengirim pesan pada nomor Barca karena beberapa kali melakukan panggilan pria itu tidak menjawab. Pesan chat yang dikirim pun tidak ada respon, tidak dibaca oleh keka
"Om Leo!" teriak Alana.Alana sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dua pria yang sedang bergulat."Om, cukup, Om!" Alana berusaha menghentikan amukan Leo pada Barca."Lepaskan, Alana! Biar aku bunuh pria brengsek ini!" Leo menepis tangan Alana dari lengannya dan kembali melayangkan tinju pada wajah Barca.Melihat Barca menjadi bulan-bulanan Leo dan teman-temannya hanya bisa diam menyaksikan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena Damaian telah mengunci mereka. Sedangkan Eris, wanita yang dipilih Barca dibanding Alana hanya terdiam memberi jarak dengan menatap ngeri."Cukup, Om!"Alana tidak bisa menahan dan menurunkan kemarahan Leo hanya dengan berteriak, menangis dan memohon. Karena Leo telah naik hitam, jalan satu-satunya hanya dengan memeluk erat. Alana melakukan hal itu. Dia memeluk erat tubuh Leo dari belakang sembari menangis dan memohon agar Leo menghentikan kebrutalnya. Alana sama sekali tidak memikirkan bahaya yang datang padanya. Bisa saja Leo hilang kendali seh
"Om!" Alana menahan lengan Leo saat tubuhnya sempurna terbaring di atas tempat tidur."Tidurlah!" ucap Leo lembut sembari menyentuh punggung tangan Alana dan mengusapnya kecil."Maafkan aku."Leo tersenyum melihat wajah penuh sesal Alana. Dia memang kecewa dan marah saat ini. Namun, Leo tidak bisa marah pada Alana, apalagi melihat keponakannya itu sedang terluka. Dia pun mendaratkan satu kecupan pada pucuk kepala Alana sebagai jawaban permintaan maaf Alana."Tidurlah! Lupakan semua yang terjadi malam ini!" ucapnya sembari mengusap-usap rambut Alana.Tadinya Alana sudah terlelap saat di perjalanan, makanya Leo mengangkat dan membaringkan di tempat tidur. Hanya saja saat tubuhnya sempurna terbaring, tiba-tiba Alana membuka mata. Mungkin karena Leo kurang hati-hati saat membaringkannya. Maklum, meski tubuh Alana ramping, tetap saja Alana bukan keponakan kecilnya lagi. Jelas saja tubuhnya memiliki beban sendiri.Alana melepas tangan Leo dan membiarkan om kesayangannya itu keluar dari kama
“Alana, ayo bangun!” Leo menyibak selimut yang menutupi tubuh Alana.“Jam berapa ini, Om?” Alana masih tidak mau membuka mata. Bahkan tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Meski Leo telah menyingkirkan selimut dari tubuhnya, tubuh ramping itu masih memeluk guling dengan hangatnya. Alana meringkuk sembari menenggelamkan wajah pada ujung guling.“Tidak usah tanya jam berapa! Buruan bangun dan cuci wajahmu!”Leo kembali meminta Alana bangun dengan cara menarik tangannya.“Om Leo, aku masih ngantuk.” Alana menepis tangan Leo dan kembali memeluk guling. Kali ini semakin erat dengan tubuh semakin melengkung.“Alana, bangun!” Leo kembali menarik tangan Alana.Alana menggeser tubuh menjauhi Leo.“Hari ini aku males ke kampus,” ucap Alana sembari mata terpejam.Leo tersenyum tipis. Dia tau keponakannya itu masih terluka, makanya tidak memiliki semangat untuk pergi ke kampus.Leo naik ke atas tempat tidur dan duduk di belakang Alana dengan tubuh serong menghadap Alana. Punggung Alana menjadi ti
“Hei, mau ke mana?”Eris mencengkeram lengan Alana saat Alana bangkit dari duduk hendak pergi. Dia pun berkata dengan sombongnya.“Lepaskan tanganku!” minta Alana dengan suara penuh penekanan.Alana sangat malas berurusan dengan Eris, wanita yang menjadikannya bahan taruhan. Mendengar suaranya saja rasanya sudah muak, apalagi melihat wajahnya. Eris memang memiliki wajah cantik yang digandrungi banyak laki-laki, terlebih mahasiswa di kampus mereka. Namun, kecantikan Eris sungguh memuakkan bagi Alana.Dulu, Alana sempat mengagumi kecantikannya, sama dengan yang lainnya. Hanya saja setelah Eris selalu mencari gara-gara dan masalah dengannya, seperti tidak menyukainya, sejak saat itu dia merasa muak.“Kenapa? Kamu merasa kalah dariku?” tanya Eris dengan wajah songong dan sombong. Bahkan dari wajah dan caranya berucap, Eris seperti sedang memandang Alana sebagai pecundang yang kalah bertanding dengannya. Dia pikir Alana menghindar karena tidak mau mengakui kekalahannya.Alana mendengus de
"Om Leo ... aku ingin menangis!" Melihat Leo berjalan dan datang ke arahnya, Alana langsung menyambut dan berhambur memeluk om kesayangannya dengan erat. Dia tidak peduli lagi dengan pandangan orang di sekitar taman. Dia juga tidak peduli dengan tanggapan mereka. Yang dia pedulikan adalah perasaannya yang hancur lebur.Leo sendiri kaget dan hampir saja tubuhnya terhuyung ke belakang mendapat pelukan tiba-tiba dari Alana. Dia hampir jatuh, untung kaki panjangnya sangat kuat dan otot-otot tubuhnya tangguh sehingga saat mendapat tubrukan tubuh Alana, Leo bisa menjaga keseimbangannya."Aku pingin nangis," ucap Alana lagi sembari mengeratkan pelukannya."Eits! Tahan!" Leo segera melepaskan pelukan Alana dengan mendorong kedua sisi pundak keponakannya itu. Dia juga menjaga jarak sepanjang tangannya sehingga tubuh Alana condong ke belakang. Meski begitu, tidak ada yang khawatir Alana akan terjatuh karena tangan kuat Leo menjaganya."Om Leo!" Mendapat penolaka