"Masih ada waktu lima belas menit," ucap Leo melirik benda pipih di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran," sambungnya mengalihkan pandang pada Alana.
Alana terdiam. Hanya sorot mata bening miliknya yang membalas tatapan Leo dan merespon sosok om yang beberapa menit lagi akan berubah status menjadi suaminya.Leo tersenyum tipis melihat wajah cantik Alana dihiasi dengan mimik cemberut. Wajah yang terpoles sederhana, tapi sedih itu seharusnya tidak terlihat oleh matanya dan seharusnya pernikahan membuat sebagian orang bahagia. Sayangnya tidak untuk Leo dan Alana, pernikahan yang akan mereka langsungkan adalah pernikahan di luar rencana kehidupan mereka."Jawablah!" Leo melirik benda pipih yang sejak tadi ada di genggaman Alana karena ponsel milik gadis itu berdering."Nanti saja," jawab Alana. Jemari lentiknya menekan tombol tolak sehingga dering ponselnya berhenti.Sejak tadi, meski tubuh Alana duduk diam, tapi jemarinya sibuk menekan tombol-tombol ajaib dalam layar ponselnya. Alana juga terlihat gelisah. Meski sudah berusaha ditutupi, tapi kegelisahan itu tidak bisa mengelabuhi penglihatan Leo."Kamu yakin?"Pertanyaan Leo menjadi ambigu. Entah ini pertanyaan tentang keyakinannya untuk menikah atau pertanyaan tentang keyakinan tidak menjawab panggilan telepon miliknya?"Aku yakin," jawab Alana mengangguk lemah dan tipis."Maksudku-""Apa kalian sudah siap?"Kata-kata Leo terpotong oleh kedatangan pengacara orangtua Alana.Leo mengarahkan pandangan pada Alana. Kali ini tatapannya ingin mempertanyakan, apakah Alana benar-benar yakin akan menikah dengannya."Siap," jawab Alana."Tuan, Anda?" Pengacara mengalihkan pandang pada Leo.Sekali lagi Leo mengarahkan pandang pada Alana."Aku siap," jawabnya tanpa mengalihkan pandang dari Alana."Baguslah!" Pengacara itu tersenyum mendengar jawaban keduanya."Alana."Leo mengulurkan tangan pada Alana untuk membawanya ke luar, namun Alana menolak dan memilih berjalan mendahulinya.Menggunakan kebaya sederhana, riasan wajah sederhana, Alana dan Leo mengucap janji pernikahan di depan saksi, termasuk pengacara orangtua Alana."Leonardo Samudera, apakah kamu bersedia menerima Alana Samudera Biru menjadi istrimu dan berjanji akan mencintainya seumur hidupmu, baik dalam untung dan malang, dalam senang dan susah, dalam sehat dan sakit?"Leo tidak segera menjawab, matanya malah mengarah pada Alana yang berdiri di sampingnya dengan wajah tertunduk. Kesedihan jelas terlihat. Hal itu membuat dadanya sesak. Ada rasa sakit dan perih menggores hati."Tuan?" Pengacara membuyarkan pandangan Leo."Ya, saya bersedia," jawab Leo akhirnya."Alana Samudera Biru, apakah kamu bersedia menerima Leonardo Samudera sebagai suamimu dan akan mencintainya seumur hidupmu, baik dalam untung dan malang, dalam senang dan susah, dalam sakit dan sehat?"Alana bergeming untuk beberapa saat hingga kedua pundaknya terguncang kecil. Alana terisak dalam tangis.Sangat sakit! Sakit yang tak berdarah. Sakit yang tak bisa dihindari karena ini sudah menjadi keputusannya. Menikah dengan Leo, pria yang selama ini menjadi om kesayangannya. Akankah Leo juga akan menjadi suami kesayangannya?"Alana?"Leo segera menyentuh kedua pundak Alana saat menyadari gadis di sampingnya menangis terisak.Namun, Alana segera menepis saat merasakan tangan Leo berlabuh pada pundaknya. Dia juga segera mengeringkan air mata dan menyeka menggunakan kedua tangan."Aku bersedia," jawab Alana. Meski terlambat, namun bisa membuat Leo terdiam beku.Seharusnya Leo merasa senang karena Alana tidak mengubah keputusannya. Ternyata perasaan itu tidak dia miliki. Mendengar Alana menyatakan kesediaannya, tiba-tiba tubuhnya menjadi lemah tak berdaya. Leo hampir terjatuh, tapi berusaha menguatkan kakinya.Setelah janji pernikahan selesai dan keduanya menandatangani surat pernikahan, Alana segera berlari dan masuk ke dalam kamar. Tangisnya kembali pecah, bahkan sampai terisak tersedu."Aku sudah mengabulkan permintaan kalian, ma, pa," ucapnya dalam tangis.Tangis Alana sedikit surut ketika kembali ponselnya berdering. Dilihatnya nama yang tersembul pada layar ponsel."Barca," lirih Alana membaca nama kekasihnya.Alana segera mengeringkan air mata dan menghentikan tangis. Dia sudah mengabaikan panggilan kekasihnya selama proses pernikahan dengan Leo. Kali ini dia tidak ingin membuat Barca marah, maka cepat-cepat Alana menghentikan tangis, lalu menjawab panggilan Barca."Halo," sapanya dengan suara sedikit serak."Alana, kamu menangis?" Suara di sana terdengar cemas."Tidak. Tadi aku makan pedas dan tersedak, jadi suaraku serak," bohong Alana. "Ada apa?" Alana berusaha membulatkan suara."Alana, aku sudah beli tiket nonton. Aku jemput, ya?"Alana terdiam sesaat."Alana, mau khan nonton malam ini? Bagus lho filmnya," ucap Barca merayu Alana untuk menemaninya nonton."Malam ini?""Ya, malam ini, tapi aku jemput kamu sekarang. Kita jalan dan makan dulu sebelum nonton.""Sekarang?""Aku jemput, ya?"Alana kembali terdiam."Tidak usah. Kita ketemuan saja.""Kenapa?""Kamu tau aku belum pernah menceritakan ini pada om Leo? Yang dia tau, aku belum punya pacar dan harus fokus kuliah," bohong Alana.Padahal sebelum memutuskan pernikahan, dia telah menceritakan siapa Barca karena Leo memaksa dan dia tidak bisa menolak paksaan Leo.Alana segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi menghapus riasan dan berganti pakaian."Om Leo?"Saat keluar dari kamar mandi, Alana terkejut, tiba-tiba Leo sudah ada di dalam kamarnya. Leo juga masih memakai pakaian yang dia gunakan untuk pernikahan.Baru kali ini Alana merasa tubuhnya membeku. Saat berhadapan dengan Leo yang sekarang berstatus suami baginya, tiba-tiba rasa canggung itu ada. Padahal sebelumnya, setiap kali melihat Leo, dia merasa senang. Apalagi mendapat perhatian, Alana merasa sangat bahagia. Dia merasa menjadi keponakan kesayangan."Kamu sudah mandi?" Leo pun merasakan hal yang sama. Gugup.Sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil, Alana berjalan menuju meja rias. Seperti sedang diawasi hewan predator, langkah Alana sangat hati-hati. Bahkan saat duduk pun, lakunya sangat kaku."Biar aku bantu keringkan."Alana semakin dibuat terkejut ketika tiba-tiba suara Leo telah berada tepat di belakangnya. Bahkan pria itu telah mengambil handuk kecil dari tangannya."Om, aku-" Alana berusaha merebut dan menolak."Duduk diam!"Namun Leo menyentuh kedua pundaknya memberi sedikit tekanan agar Alana kembali duduk dengan tenang."Siang-siang begini keramas, kepalamu bisa sakit," ucap Leo sembari mengusap lembut dan perlahan rambut Alana.Alana mengarahkan pandang pada Leo melalui pantulan cermin di depannya. Meski terlihat berbeda, wajah Leo mengembangkan senyum tipis sembari terus mengeringkan rambutnya.Melihat wajah tenang Leo, Alana sedikit merasa rileks dan lega. Bibir yang sejak pagi kehilangan senyumnya, kini mulai melengkung tipis."Kamu mau pergi?" tanya Leo.Ekor matanya tidak sengaja melihat pesan chat yang diterima oleh ponsel Alana. Meski tidak terlalu jelas, tapi Leo sempat membaca pesan dari pacar Alana dan pria itu mengajak Alana pergi siang ini."Em, ini." Alana gugup sembari menyembunyikan ponselnya dalam genggaman."Aku akan mengantarmu. Di mana kalian janji ketemu?""Tapi, Om?""Apa karena sudah mempunyai pacar, maka aku tidak boleh lagi mengantar keponakanku?" Senyum dan tatapan Leo menggoda."Tapi-""Tunggu! Aku ganti pakaian dulu. Bilang sama pacarmu, lima belas menit lagi kita otw!" ucap Leo meletakkan handuk dan berlalu."Om!""Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?" Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca."Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban."Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan k
"Alana, aku jawab telepon sebentar," ucap Barca, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari tempat mereka duduk.Alana tidak menjawab perkataan Barca. Dia hanya mengangguk sembari terus menikmati makanannya."Hiks ... hiks ... hiks ...," tangis Alana pecah.Setelah kepergian Barca, Alana menangis. Tangisan yang sejak tadi ditahan dan telah membuat dadanya terasa ingin meledak, akhirnya pecah juga. Dia merasa pernikahannya dengan Leo telah menghianati cinta yang telah dirajut bersama Barca."Nona, Anda butuh tisu?" Seorang perempuan yang baru datang dan bermaksud duduk bersebelahan meja dengannya menyodorkan tisu.Alana mendongak melihat wajah wanita itu sekilas, lalu menerima pemberiannya dan menggunakan tisu itu untuk mengelap ingus yang keluar dari hidung mancungnya."Terima kasih," ucapnya dengan sisa tangis."Sama-sama," balas wanita itu sembari tersenyum. "Nona, apakah pria tadi kekasihmu?" sambung wanita itu setelah melihat Alana tidak menangis lagi.Alana mengarahkan mata basahnya
"Kamu lelah?" Leo melontarkan pertanyaan lain pada Alana."Em." Alana mengangguk.Rasanya malam ini dia sangat enggan untuk melakukan apa pun, termasuk berbicara dengan Leo. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya kesal, marah dan lelah. Namun, Alana merasa tidak berdaya. Kehidupan sepertinya sedang mempermainkannya."Kalau begitu tidurlah!" ucap Leo tersenyum sembari mengusap-usap pucuk kepala Alana. "Nanti kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," sambungnya.Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, Alana langsung memejamkan mata. Sesungguhnya dia belum mengantuk. Hanya saja tidak ingin melakukan apa-apa. Jalan satu-satunya menghindari obrolan dengan Leo adalah dengan tidur atau memejamkan mata berpura-pura tidur.Melihat Alana terpejam dan patuh membuat Leo mengulas senyum. Kembali tangannya mengusap-usap pucuk kepala Alana, sedangkan tangan lainnya mengendalikan lingkaran setir. Leo melakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang."Alana!" panggil Leo dengan suara lirih.Meski aw
"Barca, aku sudah sampai," ucap Alana menghubungi Barca via phone."Ya. Tunggu di sana! Aku dalam perjalanan," balas Barca.Malam ini Barca mengajak Alana bertemu di sebuah cafe. Sebenarnya Alana enggan pergi. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Bahkan dua hari ini tidak pergi ke kampus. Dia juga tidak memberitahu hal ini pada Leo.Karena tidak mau membuat Barca kecewa, dia terpaksa setuju dan pergi, meski sebenarnya sangat malas dan enggan."Mbak!" panggil Alana sembari mengangkat tangan pada pelayanan cafe. "Tolong tambahkan capucino lagi!" mintanya setelah pelayan menghampiri.Alana menunggu kedatangan Barca dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, tapi Barca belum juga datang. Alana juga sudah menghabiskan dua gelas cappucino dan satu botol air mineral."Barca, kamu di mana? Aku sudah lama menunggu." Alana mengirim pesan pada nomor Barca karena beberapa kali melakukan panggilan pria itu tidak menjawab. Pesan chat yang dikirim pun tidak ada respon, tidak dibaca oleh keka
"Om Leo!" teriak Alana.Alana sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dua pria yang sedang bergulat."Om, cukup, Om!" Alana berusaha menghentikan amukan Leo pada Barca."Lepaskan, Alana! Biar aku bunuh pria brengsek ini!" Leo menepis tangan Alana dari lengannya dan kembali melayangkan tinju pada wajah Barca.Melihat Barca menjadi bulan-bulanan Leo dan teman-temannya hanya bisa diam menyaksikan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena Damaian telah mengunci mereka. Sedangkan Eris, wanita yang dipilih Barca dibanding Alana hanya terdiam memberi jarak dengan menatap ngeri."Cukup, Om!"Alana tidak bisa menahan dan menurunkan kemarahan Leo hanya dengan berteriak, menangis dan memohon. Karena Leo telah naik hitam, jalan satu-satunya hanya dengan memeluk erat. Alana melakukan hal itu. Dia memeluk erat tubuh Leo dari belakang sembari menangis dan memohon agar Leo menghentikan kebrutalnya. Alana sama sekali tidak memikirkan bahaya yang datang padanya. Bisa saja Leo hilang kendali seh
"Om!" Alana menahan lengan Leo saat tubuhnya sempurna terbaring di atas tempat tidur."Tidurlah!" ucap Leo lembut sembari menyentuh punggung tangan Alana dan mengusapnya kecil."Maafkan aku."Leo tersenyum melihat wajah penuh sesal Alana. Dia memang kecewa dan marah saat ini. Namun, Leo tidak bisa marah pada Alana, apalagi melihat keponakannya itu sedang terluka. Dia pun mendaratkan satu kecupan pada pucuk kepala Alana sebagai jawaban permintaan maaf Alana."Tidurlah! Lupakan semua yang terjadi malam ini!" ucapnya sembari mengusap-usap rambut Alana.Tadinya Alana sudah terlelap saat di perjalanan, makanya Leo mengangkat dan membaringkan di tempat tidur. Hanya saja saat tubuhnya sempurna terbaring, tiba-tiba Alana membuka mata. Mungkin karena Leo kurang hati-hati saat membaringkannya. Maklum, meski tubuh Alana ramping, tetap saja Alana bukan keponakan kecilnya lagi. Jelas saja tubuhnya memiliki beban sendiri.Alana melepas tangan Leo dan membiarkan om kesayangannya itu keluar dari kama
“Alana, ayo bangun!” Leo menyibak selimut yang menutupi tubuh Alana.“Jam berapa ini, Om?” Alana masih tidak mau membuka mata. Bahkan tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Meski Leo telah menyingkirkan selimut dari tubuhnya, tubuh ramping itu masih memeluk guling dengan hangatnya. Alana meringkuk sembari menenggelamkan wajah pada ujung guling.“Tidak usah tanya jam berapa! Buruan bangun dan cuci wajahmu!”Leo kembali meminta Alana bangun dengan cara menarik tangannya.“Om Leo, aku masih ngantuk.” Alana menepis tangan Leo dan kembali memeluk guling. Kali ini semakin erat dengan tubuh semakin melengkung.“Alana, bangun!” Leo kembali menarik tangan Alana.Alana menggeser tubuh menjauhi Leo.“Hari ini aku males ke kampus,” ucap Alana sembari mata terpejam.Leo tersenyum tipis. Dia tau keponakannya itu masih terluka, makanya tidak memiliki semangat untuk pergi ke kampus.Leo naik ke atas tempat tidur dan duduk di belakang Alana dengan tubuh serong menghadap Alana. Punggung Alana menjadi ti
“Hei, mau ke mana?”Eris mencengkeram lengan Alana saat Alana bangkit dari duduk hendak pergi. Dia pun berkata dengan sombongnya.“Lepaskan tanganku!” minta Alana dengan suara penuh penekanan.Alana sangat malas berurusan dengan Eris, wanita yang menjadikannya bahan taruhan. Mendengar suaranya saja rasanya sudah muak, apalagi melihat wajahnya. Eris memang memiliki wajah cantik yang digandrungi banyak laki-laki, terlebih mahasiswa di kampus mereka. Namun, kecantikan Eris sungguh memuakkan bagi Alana.Dulu, Alana sempat mengagumi kecantikannya, sama dengan yang lainnya. Hanya saja setelah Eris selalu mencari gara-gara dan masalah dengannya, seperti tidak menyukainya, sejak saat itu dia merasa muak.“Kenapa? Kamu merasa kalah dariku?” tanya Eris dengan wajah songong dan sombong. Bahkan dari wajah dan caranya berucap, Eris seperti sedang memandang Alana sebagai pecundang yang kalah bertanding dengannya. Dia pikir Alana menghindar karena tidak mau mengakui kekalahannya.Alana mendengus de