Mobil Damar telah terparkir rapi di depan rumah Kania tapi pria itu masih di dalamnya. Dia memikirkan apa yang harus dikatakan kepada kedua orang tua kekasihnya. Di kantor mungkin dirinya terbiasa bicara atau bahkan memerintah Pak Hutama tapi kali ini momentnya sungguh berbeda. "Ayo Damar." Dia menyemangati dirinya sendiri dan meyakinkan semua akan baik-baik saja. Sejurus kemudian Damar keluar dari mobil, dia berjalan menuju pintu rumah mewah itu. Di depan pintu dia memberi salam kepada salah satu pelayan yang terlihat ingin keluar rumah. "Anda tamu Nona Kania ya." Pelayan perempuan itu tersenyum. Kelihatannya kehadiran Damar sudah ditunggu hingga pelayan pun tahu. Anggukan kecil Damar membuat pelayan itu mempersilahkannya masuk. Menunggu beberapa saat, kini Kania dan kedua orang tuanya keluar. Damar yang awalnya duduk kini berdiri menjabat calon mertuanya. "Selamat malam Ibu dan Pak Hutama." Sapanya. Terlihat pria itu sedikit gugup dengan tatapan kedua orang tua Kania. K
"Sayang boleh aku bertanya sesuatu?" Di dalam mobilnya Damar bertanya pada sang kekasih. Kania yang fokus melihat jalanan ibukota pun menoleh, "Apa Mas?" Balik dia bertanya. "Kenapa kalian kaum hawa suka sekali dengan kata terserah, kenapa nggak ngomong langsung mau ini, ingin kesini, mau kesana atau apalah." Pertanyaan Damar mengundang tawa wanita itu, giginya yang putih terlihat bahkan suara tawa mulai terdengar. "Biar kalian kaum Adam peka dengan kita," sahut Kania enteng. "Peka yang bagaimana? kamu para pria bukan cenayang yang bisa tahu keinginan kalian." Damar merasa heran dengan jawaban Kania, padahal kamu pria itu mahkluk yang tidak mau ribet, wanitanya bilang ini pasti segera diturui tanpa drama. "Maka dari itu pria terus belajar jadi cenayang Mas biar bisa langsung tau apa yang kami inginkan." Penjelasan Kania benar-benar membuat Damar tak tahu harus berkata apa, ternyata wanita bukanlah mahkluk sederhana, mereka jauh menyeramkan dan ancaman para kaum Adam
Hari libur telah tiba, Damar meminta ijin kepada Arga agar memberinya kebebasan untuk hari ini karena rencananya dia ingin mengajak Kania ke sebuah tempat yang indah. "Padahal aku ingin kamu mewakili aku bertemu seseorang." Arga nampak tidak rela apabila Damar berkencan daripada mengerjakan pekerjaannya. Lalita yang datang membawa minuman nampak memarahi suaminya. "Mas ini hari libur loh, kenapa sih masih saja menyuruh Pak Damar bekerja?" Sambil meletakan minuman di atas meja. Arga melirik istrinya dengan kesal, "Pembela Damar datang." Cicitnya pelan. Wanita itu turut bergabung, "Bukannya membela cuma kamu ini diktator sekali. Pak Damar punya kekasih yang juga butuh waktunya bukan hanya kamu." Kalimat pembelaan kembali keluar. Damar tersenyum, jika tidak ada Lalita entah bagaimana nasibnya. Mumpung masih ada pembelanya, Damar segera pamit dengan alasan Kania sudah menunggu. Arga hanya bisa menatap punggung Damar dengan kesal andai tidak ada istrinya dia tidak akan mengijinkan
"Kenapa Mas?" Suara Kania terdengar begitu berat. "Tidak apa-apa Sayang." Pria itu terlihat frustasi akan hasrat yang sudah di ubun-ubun. Suasana hening kembali, hanya suara air dan cicitan burung yang terdengar. Tanpa sengaja mata Kania melihat sesuatu yang aneh di antara paha kekasihnya. "Mas kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Kania membuat Damar menatapnya lekat, dari tatapan itu sudah dapat dipastikan apabila dirinya tidak baik-baik saja. Dia menahan gejolak dalam dadanya, menepis bisikan-bisikan iblis yang terus memintanya untuk memakan wanita yang kini ada di hadapannya. "Aku baik sayang." Pernyataan yang sangat kontras, suara yang berat dengan nafas yang sedikit memburu, siapapun pasti tahu kalau dirinya kini melawan nafsunya. "Apa kamu ingin melakukannya Mas?" Kania memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Gelengan kecil Damar tunjukkan, dia tidak ingin melakukan sesuatu diluar aturan. "Tidak sayang." Setelah berucap demikian, Damar mengajak Kania ke d
"Ish pelit sekali." Wanita itu tertawa melihat mode jaim kekasihnya. Sementara itu Damar hanya tersenyum kemudian dia mengajak Kania masuk. Kini mereka berada di ruangan masing-masing, mengerjakan pekerjaan yang sudah menunggu. Saat tengah bekerja tiba-tiba dia mendapatkan pesan dari Gilang, asisten Siputra Grup. "Astaga bagaimana aku bisa lupa." Matanya agak melebar sembari menatap layar ponselnya. Lalu, buru-buru dia pergi ke ruangan sang CEO untuk melapor. "Pak, pengerjaan proyek diluar kota sudah rampung, lusa kita harus datang kesana untuk meresmikan bersama Siputra Group." Asisten itu berdiri di hadapan sang CEO. Arga melemparkan tatapannya, bagaimana bisa laporannya mendadak seperti ini. "Mendadak sekali? apa sebelumnya tidak ada laporan?" "Pihak Siputra Group memberi tahu sudah seminggu yang lalu hanya saja saya lupa." Pria berkacamata itu menunduk, dia sangat was-was takut CEO-nya akan marah. "Kebanyakan pacaran mangkanya lupa!" Kekesalan Arga kemarin mencua
Lirikan maut Lalita membuat Arga tak berani menatap istrinya terlebih setelah sang istri melihat isi dari berkas tersebut. "Mas, apa ini?" Sambil menunjukkan berkas itu. "Aturan untuk Damar." Jawab Arga. Lalita menatap Kania, dia tersenyum menenangkan wanita yang kini berada di sampingnya. "Aturan itu sudah dibatalkan kamu tenang saja ya."Kania berterima kasih sama Lalita, memang ular itu hanya menurut sama pawangnya. Selepas Kania pergi, Arga mulai protes kepada Lalita. Dari dulu memang pekerjaan Damar seperti ini. Menjadi asisten seorang CEO besar harus siap dengan segala konsekuensinya. Jadi bagaimana bisa seorang kepercayaan CEO terus pacaran dan mengabaikan pekerjaan? Namun bukannya memahami maksud ucapannya Lalita malah terus membela sehingga Arga pun kesal dan marah. "Memang kalian para wanita itu aneh dan lebay." Arga kembali ke meja kerjanya. Dia yang ingin pergi makan siang jadi mengurungkan niatnya dan hanya meminta OB membelikan makanan. "Sudahlah kamu dan Kania
Hingga malam Arga masih belum pulang, hal ini benar-benar membuat Lalita khawatir. "Apa dia keluar kota?" Pikiran Lalita kemana-mana karena memang tak biasanya Arga seperti ini, apalagi ponselnya tidak bisa dihubungi. Mau tak mau Lalita menghubungi Rangga, mungkin CEO itu tau dimana keberadaan suaminya. Panggilan tersambung tapi Rangga tidak menjawab telpon Lalita. Tiga panggilan tak terjawab membuat Lalita menyerah, mungkin Rangga juga sibuk pikirnya. Di sisi lain, Rangga yang memang bersama Arga hanya bisa tersenyum melihat sahabatnya merajuk seperti ini. Bahkan panggilan dari Lalita diminta untuk tidak dijawab. "Pulanglah Arga, kasian istri kamu. Lihatlah tiga panggilan tak terjawab darinya." Rangga menunjukkan ponselnya. "Biarkan saja, aku malas sama dia. Istri macam apa itu, selalu menyalahkan suaminya bahkan mengambil keputusan sendiri!" Pria itu meluapkan isi hatinya pada sang sahabat. Paham akan karakter sahabatnya, Rangga tak berkata apa-apa lagi, dia pun kem
"Tidak bisa, bukankah kamu yang menginginkannya?" Sahut Arga dengan licik. Tentunya Arga tidak ingin membuang kesempatan, biasanya dia hanya mendapatkan slot sekali dan malam dia bisa mendapatkan lebih. Usai bekerja yang cukup lama akhirnya pria itu ambruk dengan senyuman bahagianya sementara itu Lalita merasakan pegal-pegal di seluruh tubuhnya. "Pokoknya kalau anak kita mabok di dalam kamu harus tanggung jawab Mas." Lalita yang kelelahan memberengut. Suara tawa keras Arga terdengar, "Mana mungkin anak kita mabok, justru dia senang karena papanya berkunjung cukup lama." Ada saja alasan pria itu untuk menyanggah ucapan sang istri. "Sinting." Cicit Lalita pelan. Karena sudah sangat mengantuk keduanya memutuskan untuk tidur. Pagi sudah datang menyapa, Arga yang bangun terlebih dahulu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebenarnya rasa kantuknya masih besar hanya saja dia harus keluar kota pagi ini. Sampai Arga selesai mandi Lalita masih belum bangun, pria itu me