"Rencananya bulan depan setelah pesta Pak Arga aku akan melamar kamu Sayang, kita akan adakan pesta pertunangan baru setelahnya kita akan menikah." Jelas Damar. Kania tersenyum bahagia hingga langsung saja memeluk Damar yang berada di sampingnya. "Aku senang sekali Mas." Pelukannya semakin erat sehingga membuat Damar sulit bernafas. "Sayang, apa kamu mau aku berpindah alam." Cicit Damar. Perlahan Kania melonggarkan pelukannya, dia terkekeh menatap kekasihnya. "Maaf Mas saking bahagianya jadi kebablasan meluknya." Pria itu kembali mengeratkan tubuhnya, dia juga sangat bahagia akhirnya dia akan memiliki pasangan hidup. Malam semakin larut, Kania bersiap untuk pulang. "Sebenarnya aku masih kangen." Damar terlihat enggan ditinggal pulang kekasihnya. "Sama Mas, besok kita berangkat lebih awal ya," sahut Kania kemudian bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju pintu, sementara itu Damar mengikutinya di belakang. "Sampai ketemu besok ya Mas." Wanita itu melambaikan tangan
Raut kepanikan tergambar jelas di wajah Arga, sementara Rangga dan lainnya bertanya-tanya 'Ada apa'. "Sayang, kamu kenapa!" Arga berteriak panik. Namun... Yang terdengar kini justru suara tawa seorang pria. "Arga.... Apa kabar." Katanya kemudian. "Kamu siapa! dimana istriku!" Pria itu berteriak kembali sambil mengepalkan tangannya. "Tenang, Nyonya Arga bersamaku sekarang." Tut Tut tut. Panggilan telepon terputus. "Hallo... Hallo... Hallo!" Arga terus berbicara. "Shit!" Arga berusaha menghubungi si penelpon itu lagi tapi nomornya sudah tidak aktif. Dari pembicaraan Arga tadi sudah jelas apabila Lalita kini tengah diculik, tak hanya Arga semua pun turut panik terlebih Rangga. Pria itu segera meminta rekaman CCTV kepada petugas hotel siapa tau ada petunjuk dari sana namun kelihatannya si penculik Lalita sudah merencanakannya dengan matang sehingga CCTV bersih dari petunjuk apapun. "Bagaimana mungkin tidak ada jejak sama sekali!" Damar tak percaya kemudian mengulang kem
"Iblis!" Meski pipinya sakit karena tamparan pria paruh baya itu, Lalita tak berhenti mengolok untuk meluapkan amarahnya. Merasa kesal dengan olokan Lalita kedua pria itu keluar. "Wanita sialan!" Umpat salah satu dari mereka. Tapi sejurus kemudian mereka justru tertawa, "Sudahlah hidupnya tinggal hari ini saja." Sementara mereka tertawa senang, Arga di rumahnya nampak frustasi, Kakek juga sangat sedih. Seluruh anak buahnya sudah dikerahkan tapi hasilnya nihil. "Siapa sebenarnya penculik itu, kenapa semua tidak bisa menemukan keberadaan Lalita." Ujar pria tua itu. Arga menggeleng, dia juga tidak tahu. Damar yang biasanya begitu sangat diandalkan kali ini juga tak berkutik, semua jejak digital hampir tak ditemukan. Rangga dan Gilang pun sama, mereka juga tak bisa menemukan informasi apapun. "Penculik Lalita kelihatannya adalah seorang ninja." Celetuk Gilang yang membuat Rangga menatapnya tajam. Damar turut menyahut, "Mereka kelihatannya sudah merencanakan jauh-jauh hari
"Pak Arga?"Lalita yang saat itu sedang memiliki janji bertemu pria yang akan dijodohkan dengannya nampak terkejut setelah tau apabila pasangan kencan butanya adalah CEO-nya sendiri."Kamu mengenalku?" Sang CEO bertanya heran.Wanita itu mengangguk, jelas dia mengenalnya. Arga Rahardi Winata adalah CEO di tempat dia bekerja."S-saya … OB di perusahaan Pak Arga,” jawabnya ragu.Tatapan pria itu semakin sinis dan dingin setelah tau wanita yang akan sang Kakek jodohkan dengannya adalah OB-nya sendiri.Suasana terlihat begitu canggung, Lalita semakin tak nyaman dengan sikap Arga yang tidak bersahabat.“Kamu menerima perjodohan ini karena harta kakek, kan?” Tatapan pria itu masih sinis, terlihat ada rasa benci akan wanita yang telah dijodohkan dengannya.Terkejut sebelumnya belum hilang kini dia harus kembali terkejut dengan kalimat CEO-nya itu.“Maaf, Pak … kelihatannya Anda salah paham terhadap saya.”Pria itu mendengus, sinis. “Bila bukan harta, apalagi yang wanita seperti kamu inginkan
“Selamat pagi, Pak!” Sapaan-sapaan yang terdengar kompak itu membuat Lalita yang sedang fokus membersihkan lantai lobi menghentikan pekerjaannya. Dia yang menggunakan seragam merah–seragam OB lantas memutar tubuh dan menemui rupanya … sang CEO telah datang. Melihat para satpam dan karyawan lain bersikap hormat, Lalita pun tidak mau kalah. Dia, dengan kain pel di tangan menunduk, hormat. “Selamat pagi, Pak Arga….” ujar Lalita pelan, kemudian kembali mengangkat pandangan. Di sanalah, pandangan mereka bertemu. Duk! Entah terkejut atau bagaimana, kaki Arga menabrak ember berisi air pel milik Lalita. Hal itu membuat air kotor di ember tersebut mencuat, dan bahkan beberapa cipratannya mengotori celana dan sepatu mengilap miliknya.Jantung Lalita serasa mau copot. Dia pun buru-buru berujar, meski gagap, “M-maafkan saya, Pak. S-saya akan bersihkan–” Lalita sudah bersiap untuk mengelap sepatu Arga yang terkena cipratan air, tetapi ketika dia berjongkok, Arga lebih dulu menghindar. Sel
“Kita sepakat saling menerima. Jadi, jangan pernah tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mereka.”Bisikan bernada memaksa dari Arga membuat Lalita terkejut dan buru-buru menormalkan ekspresinya. Sejak pagi tadi, Lalita mendadak bersedih. Sebab, setelah janji suci nanti, hidupnya akan tergadai oleh Arga.Seminggu usai Lalita menandatangani kontrak perjanjian, pernikahan pun digelar. Rumah Arga dipilih jadi tempat akad, demi kerahasiaan yang lebih terjaga. Konsep pernikahan sederhana tanpa undangan benar-benar terasa. Nampak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang terlihat di sini hanyalah kedua mempelai. Lalita cantik dengan balutan kebaya warna putih, sedangkan Arga terlihat sangat tampan dengan balutan jas dengan warna yang senada. “Iya, saya paham.” Dia berbisik, dengan lirikan mata tajam ke arah pria yang akan menyandang status sebagai suaminya. “Jika paham, tersenyumlah!” Titahnya dengan penuh penekanan. Arga dan Lalita berjalan menuju tempat akad mereka, keduanya kini tam
"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya." Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah m
Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m